Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

final verse

I never realized the warmth of his hug,

until he wasn't around when I needed it.

—Ezekiel N. Karsa—

*

Di pantai, seminggu sebelumnya.

Terry tidak menduga Nana akan setuju begitu saja pada ucapannya, lantas cowok itu menyandarkan kepala ke bahunya seraya berujar samar. "Saya juga mau Bapak bahagia."

Jika diingat kembali pada bagaimana persepsi mereka tentang satu sama lain waktu mereka pertama kali bertemu dulu, tidak pernah terbayang di benak Terry bahwa anak nakal bermata sendu yang bikin guru hobi mengomel sampai menangis bisa berkata seperti itu sambil meletakkan kepala di pundaknya. Terry tidak menarik diri, membiarkan Nana bergeser kian dekat padanya. Mereka duduk bersebelahan, masih terbungkus oleh selimut yang sama sembari memandang garis gelap cakrawala di kejauhan.

Hening sejenak, sampai Terry memanggil pelan. "Jevais."

"Iya?"

"Saya kirain kamu ketiduran."

"Hampir."

"Saya—hng... oke... lupain aja."

Nana menegakkan badan, memandang serius gurunya. "Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Nggak jadi."

"Yah, sayanya udah terlanjur kepo, Bapak! Apa?"

Terry berpikir beberapa lama, kemudian napas panjangnya terhela disusul oleh serangkaian kata-kata. "Tadi, kamu bilang sesuatu tentang keberanian. Soal gimana saya membuat kalian bertiga berani dan sebagai gantinya, saya harus mencoba berani buat kalian. Setelah saya pikir-pikir, sesungguhnya hidup itu sendiri adalah salah satu bentuk keberanian."

"Maksud Bapak?"

"Katanya, manusia itu menakuti sesuatu yang nggak mereka ketahui, sesuatu yang nggak pasti. Sedangkan hidup itu sendiri tercipta dari milyaran ketidakpastian yang nggak pernah bisa kita terka, nggak pernah bisa kita tebak bakal kemana arahnya. Kalau begitu, bukankah hidup itu sendiri adalah bentuk keberanian kita menghadapi ketidakpastian yang jumlahnya juga nggak pasti? Kita nggak tahu apakah ada akhir yang bahagia buat kita, atau apakah sesuatu akan membaik, atau justru memburuk. Tapi kita tetap nggak menyerah, terus bangun setiap hari dan melakukan apa yang menurut kita mesti dilakukan. Menurut saya... itu sendiri adalah bentuk dari keberanian."

"Oh."

"Kamu bilang 'oh' itu tuh ngerti nggak sebenarnya?"

"Bapak, saya tuh nggak se-balegug Injun ya. Jadi saya ngerti, yah walau nggak semuanya sih."

"Dih, nyesel saya ngomong panjang lebar sama kamu!"

"Tapi saya setuju sama Bapak, walau saya memahami 'keberanian' itu dalam makna yang berbeda."

"Mm... berbeda apanya?"

Nana menarik napas, menyesaki paru-parunya dengan udara malam yang membawa aroma asin laut. "Hidup adalah sebentuk keberanian. Mungkin bukan cuma keberanian kita, tapi keberanian orang lain."

"Orang lain?"

"Bisa jadi, keberanian ayah saya. Nggak mudah untuk jadi orang tua tunggal buat anak yang rewel dan badung kayak saya, apalagi tanpa pendamping. Ayah nggak pernah mengeluh, ngurusin saya dari kecil, nggak terpengaruh sama kata tetangga karena dia punya anak tanpa menikah. Buat ngelakuin itu... butuh keberanian kan? Keberaniannya jadi penyebab kenapa saya bisa jadi saya yang sekarang."

Terry diam, mendengarkan.

"Hidup saya, bisa jadi juga, adalah bentuk keberanian ibu saya. Dia bisa memilih untuk nggak pernah benar-benar menghadirkan saya ke dunia. Walau dia nggak pernah menginginkan saya ada, tapi dia tetap menjaga saya, tetap mau bertaruh nyawanya sendiri buat melahirkan saya. Itu juga... butuh keberanian, kan? Tanpa keberaniannya, saya nggak bakal ada."

Terry mengalihkan pandang, buang muka ke arah lain karena entah kenapa matanya terasa panas sekarang. Mau ditempatkan di mana harga dirinya jika dia sampai meneteskan air mata di depan Nana?

"Hidup saya, kemungkinan besar, termasuk dalam bentuk keberanian omnya Bapak. Om Adjie, iya kan? Orang yang kehadirannya nggak pernah saya sadari, tapi nggak pernah berhenti peduli sama saya. Bahkan sebelum pergi, Om Adjie nggak berhenti memikirkan saya sampai-sampai dia membebankan saya ke Bapak. Buat menyayangi seseorang segitu dalamnya, dari jauh dan tanpa pernah bilang apa-apa, itu juga... perlu keberanian."

Terry menelan ludah. "Kamu bukan beban."

"Masa?"

"Well, awalnya saya ngerasa kayaknya nggak guna banget sih hidup saya dipake buat ngurusin kamu, ketambahan sama dua sontoloyo lain pula. Tapi pada akhirnya, saya juga banyak belajar dari kamu, juga Jeno dan Injun. Meski begitu, tolong kurang-kurangin mampir ke apartemen saya cuma buat minta dibeliin makanan mahal. Kalian kira, tempat saya itu panti sosial?"

"Mampirnya kan cuma kalo Injun lagi kangen makanan kampung halamannya aja, Pak. Bapak tahu sendiri, dia blasteran Betawi-Italia."

"Indramayu-Tasikmalaya, bukan Italia di Eropa!" Terry berseru sewot, membuat Nana terkekeh karenanya. "Kalau sekali-sekali sih nggak apa-apa. Kalian tuh minta makanan enak minimal seminggu dua kali, tau?!"

"Bapak perhitungan banget. Nanti kita ganti kok uangnya. Tenang aja."

"Kapan?"

"Sepuluh tahun lagi lah."

"Ada bunganya ya."

"Astagfirullah, Bapak! Sesungguhnya Allah melaknat mereka yang memakan duit riba..." Nana berdecak, bikin Terry mendengus, lantas tawanya pecah. Tawa lepas pertama dari Terry yang Nana lihat setelah seminggu berlalu sejak kejadian itu. Nana menatap lelaki di sebelahnya sesaat, bertanya-tanya bagaimana bisa tawa seseorang bisa membuatnya selega dan sebahagia itu.

"Saya nggak pernah bilang ini ke siapa-siapa, tapi setelah saya kehilangan Aria dan teman terdekat yang pernah saya punya... setelah om saya nggak ada... saya sering berpikir kalau hidup saya itu cuma bentuk lain dari terowongan gelap. Saya terjebak, nggak bisa kemana-mana. Cuma kosong. Sendirian. Orang sering bilang, dalam terowongan segelap apapun, sepanjang apapun, akan selalu ada cahaya kecil yang menunggu di ujungnya. Cahaya yang jadi penanda jalan keluar. Bertahun-tahun, saya berharap bisa menemukan cahaya itu. Lama-lama, saya kehilangan harapan, merasa mungkin cahaya itu memang nggak pernah ada dan terowongan gelap yang menjebak saya adalah terowongan gelap tanpa ujung." Terry menghela napas panjang, menatap Nana dan sorot pandangnya melembut. "Sekarang saya sadar, cahaya di ujung terowongan itu... mungkin kalian, dan saya sudah menemukannya."

Nana menatap penuh harap. "Jadi itu artinya... Bapak bakal tetep sama-sama kita kan?"

"Saya... akan mencoba berani. Buat Jeno, buat Injun dan terutama... buat kamu."

"Buat Yeda juga."

"Yeda?"

"Yeda selalu sayang sama Bapak. Coba sesekali, Bapak lebih... apa ya... hm... nggak sekaku itu sama dia? Gimanapun juga, kalian kan kakak-adik."

Terry termenung sesaat, lalu mengangguk. "Saya rasa saya ngerti maksud kamu."

"Jadi, buat Yeda juga, kan?"

"Buat Yeda juga."

*

Malam ini.

Injun dan Jeno tengah terduduk diam di sofa ruang tengah ketika Yeda melarikan jemarinya di atas tuts hitam-putih piano Terry, memainkan intro sebuah lagu yang tidak familiar. Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa dari Frau. Lagu itu lagu Indonesia, tetapi jarang orang pernah mendengarnya. Musik instrumennya adalah denting piano yang muram, yang selalu Yeda mainkan setiap kali dia merasa sepi, sedih, marah hingga gelisah.

Saat ini, Yeda sedang gelisah sebab Terry tidak menjawab pesan teksnya, juga teleponnya. Dia khawatir bukan pada apa yang bisa saja terjadi pada lelaki itu, tetapi lebih pada apa yang bisa saja Terry lakukan pada dirinya sendiri. Seminggu sudah berlalu sejak kecelakaan itu terjadi dan masih belum ada titik terang dalam pencarian mereka untuk menemukan donor organ buat Nana. Mereka memerlukan donor dari orang mati dan tak semua orang mati terdaftar sebagai pendonor, memiliki kualitas organ yang layak untuk didonorkan dan cocok sebagai pendonor buat Nana. Memang, masih terlalu dini bagi mereka untuk kehilangan harap, toh baru satu minggu lewat.

Tapi siapa yang bisa menebak apa yang berada dalam pikiran Terry?

"Kalau Komandan Toil nggak pulang-pulang, kita telepon polisi 86 aja." Jeno mengusulkan. "Biasanya cepet tuh mereka kalau grebek-grebek."

Injun buka mulut, bermaksud menjawab, namun tak jadi karena ponsel Yeda bergetar. Ada pesan baru masuk. Yeda berhenti memainkan piano, beranjak dari duduk untuk mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Pesan itu dari Terry, berikut titik location sebuah hotel yang Yeda tahu berada tidak jauh dari tempat mereka berada sekarang.

"I defeated Death. It didn't defeat me. I'm so sorry that you have to read this, but this will be the last time. I left everything you all need to know (and by 'you all', I mean you, Jevais, Ezekiel and Artajuna) in a box on the nightstand inside a room where you'll find me.

Take care, little brother. I'm sorry for everything. I never said this before, but—

I love you."

Apa yang Yeda lakukan selanjutnya lebih mirip gerak refleks karena hanya tubuhnya yang bergerak sementara pikirannya kosong, melayang entah kemana. Dia berlari keluar dari apartemen, tak mau repot-repot mengunci pintu—yang untungnya, Jeno punya inisiatif melakukan itu. Injun mengejarnya, menahan pintu lift yang hampir menutup dengan kakinya sementara Yeda yang sudah berada di dalam lift hanya mampu memandang hampa. Matanya bersih dari emosi apapun selain rasa takut yang teramat besar. Injun mengernyit, tadinya ingin bertanya siapa pengirim pesan yang baru Yeda terima, tapi tidak jadi karena dia sadar tangan Yeda mulai bergetar.

Perjalanan turun ke lantai dasar terasa sangat panjang dan dalam kesenyapan lift yang sarat ketegangan, Yeda berbisik perlahan. "Tadi itu kakak gue."

Hanya sebaris kalimat yang bukan hanya cukup buat menjawab tanda tanya dalam kepala Injun dan Jeno, tetapi juga membuat mereka tertular oleh kepanikan yang sama. Ketiganya mencoba tetap tenang sementara Yeda terus menelepon ponsel Terry—yang tentu saja tak kunjung terjawab. Jantung mereka berdebar, serasa ingin menjebol rusuk dan melompat keluar dari rongga dadanya. Ketika mereka terjebak dalam taksi yang melaju kencang membawa mereka menuju lokasi yang dikirimkan Terry, untuk pertama kalinya dalam hidup, Yeda ingin punya Pintu Kemana Saja milik Doraemon. Jadi dia bisa tiba di sana secepatnya.

Jadi dia bisa berada di sana sebelum Terry sempat melakukan segala duga yang kini bercokol dalam benak Yeda.

Namun sayangnya, ini dunia nyata, bukan dunia Doraemon. Tempat di mana keajaiban justru tak terjadi ketika hadirnya betul-betul dibutuhkan. Tempat di mana tangis dicipta dari sakit dan luka, bukan arahan sutradara dan bantuan obat tetes mata.

Suasana hotel masih kondusif tatkala mereka tiba. Yeda buru-buru berlari ke meja resepsionis, menyebutkan nomor kamar yang Terry beritahukan dalam pesan singkatnya, berikut nama lengkap lelaki itu sembari berkeras bahwa penghuni dalam kamar tersebut tengah berada dalam bahaya. Wajah serius Yeda berikut nama belakangnya yang sama dengan nama belakang Terry membuat wajah resepsionis di balik meja pucat pasi. Dia memanggil beberapa petugas keamanan untuk menyertai Yeda, Jeno dan Injun ke lantai atas, lengkap dengan kunci cadangan untuk membuka kamar—yang Yeda asumsikan, karena dia mengenal kakaknya sebaik itu, pasti terkunci dari dalam.

Penyiksaan jilid dua adalah kembali menunggu dalam keheningan sementara lift membawa mereka dari lobi menuju lantai atas.

Suasana koridor senyap. Tembok penuh lukisan yang bergantungan seperti enggan bersaksi, memilih menutup mata dan telinga atas apa yang baru saja terjadi. Pintu kamar dibuka paksa sebelum kemudian mereka disambut oleh sunyi yang mengganggu, juga sisa aroma mesiu. Di ambang pintu, Yeda mendadak berhenti melangkah. Dia tersekat, merasakan dadanya sakit untuk sebab yang tidak masuk akal. Wajahnya memucat, sementara air mata mulai berjatuhan di pipinya. Injun melihat tangan cowok itu bergetar, jadi dia menghela napas panjang, menatap pada Jeno sebagai kode agar Jeno tetap berada di sana, mendampingi Yeda. Sementara itu, dia melangkah mengikuti beberapa petugas keamanan yang berjalan masuk lebih dulu di depan mereka.

Kemudian, Injun melihatnya.

Darah di tembok. Darah di karpet. Matanya memanas, terasa perih seperti seseorang baru saja memotong bawang di sebelahnya. Cowok itu buru-buru membuang muka, tidak sanggup melihat pemandangan di depannya lebih lama. Dia meneguk ludah, disusul air mata yang jatuh berkejaran, turun ke garis rahangnya tanpa permisi. Tangannya mulai gemetar dan ada gumpalan aneh yang serasa menyumbat jalan napasnya, membuatnya diserang sesak tak terduga.

Injun menelan ludah lagi, mengerjapkan matanya berkali-kali, tapi air matanya masih tidak mau berhenti. Dia mengepalkan tangan, menepuk-nepuk dadanya sambil menggigit bibir agar tak mengeluarkan suara, berharap sesak yang melanda jalan napasnya bisa segera reda.

Namun tidak, sesak itu justru semakin mencekiknya.

Saat dia melihat ke arah pintu depan kamar dan sadar Yeda bermaksud melangkah ke tempatnya berdiri sekarang, Injun buru-buru berjalan cepat ke cowok itu dan hanya begitu saja, dia memeluk Yeda dengan kencang. Dia menelan ludah untuk yang kesekian kalinya. Rasanya pahit, tanpa alasan yang jelas. Tremor di kedua tangannya makin gencar.

"Jangan kesana... jangan kesana..."

"Gue—gue—" Yeda terbata-bata, tidak sanggup bicara. Tetapi dia tahu apa yang sudah terjadi ketika dia melihat beberapa petugas keamanan berwajah tegang yang tadi masuk lebih dulu kembali keluar. Mereka sibuk menelepon. Entah polisi. Entah ambulans. Walau melihat dari ekspresi mereka, kelihatannya mustahil berharap mereka bakal mengutamakan memanggil ambulans.

Jeno tergugu, menatap kosong dan sempat berniat mengayunkan langkah lebih jauh ke dalam kamar hotel ketika tangan Yeda yang tak balik memeluk Injun menarik sikunya, membuat langkahnya terhenti seketika.

Bibir Yeda gemetar. Suaranya terguncang saat dia bicara susah-payah dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Jangan... Injun bilang... jangan kesana... jangan kesana... jangan kesana..."

Bibir Jeno melengkung ke bawah dan sama seperti Injun juga Yeda, air matanya jatuh tetap tanpa suara. Dan itu tidak membuat segalanya lebih baik. Itu membuat semuanya jadi jauh lebih menyedihkan.

Sebab tangis paling menyakitkan adalah tangis yang tertumpah dalam keheningan, tanpa suara dan tanpa isakan.

Ambulans tiba tak lama kemudian, bukan karena telepon dari pihak hotel, tapi karena telepon yang Terry lakukan sebelum dia... melakukan apa yang sudah dia lakukan.

Jeno tidak pernah suka suara ambulans, tetapi malam itu membuat apa-apa tentang ambulans jadi berbeda buatnya.

Dia tidak lagi tak menyukainya.

Dia membencinya.

*

Hidup adalah sebentuk keberanian.

Kalimat itu terngiang dalam telinga Nana sebelum dia merasakan napasnya tersekat disusul kedua matanya yang terbuka. Suara pertama yang dia dengar adalah suara khas mesin pemantau detak jantungnya. Mesin yang menunjukkan ritme detak jantungnya. Respon selanjutnya yang dia lakukan adalah mengerjapkan mata berkali-kali, merasa silau dengan lampu ruangan yang kelewat terang. Dia mencoba bergerak, tetapi sekujur tubuhnya terasa kaku. Ada rasa sakit samar yang tidak bisa dia definisikan berpusat di mana. Ventilator terpasang di mulutnya untuk membantunya bernapas.

"Jevais?"

Nana mendengar seseorang menyebut namanya, membuatnya menoleh sedikit ke samping dan tersadar, suara itu milik Ryona. Tangannya perempuan itu menggenggam jemarinya erat. Saat melihat mata Nana mengerjap, tangisnya pecah tanpa bisa dicegah. Dia menciumi jemari Nana, membuatnya basah oleh air mata sambil membisikkan kata 'terimakasih' berkali-kali dalam bisikan.

Nana ingin bicara, ingin bilang pada ibunya agar tidak menangis karena dia sudah bangun dan baik-baik saja sekarang, namun sama seperti ingatannya sesaat setelah kecelakaan itu terjadi, suaranya tidak bisa keluar. Sekujur tubuhnya terasa begitu lemah, membuatnya mesti mengeluarkan tenaga ekstra bahkan hanya untuk melakukan gerakan yang sangat minimal, tapi Nana memaksa menarik tangannya dari genggaman Ryona, hanya untuk menyapukan jari telunjuknya di pipi Ryona, pada jejak basah air mata di wajahnya.

Ryona mengerjap, menatap Nana dan cowok itu menggelengkan kepalanya sedikit, memintanya untuk berhenti menangis. Bahkan dalam keadaan seperti itu, Nana masih memikirkannya. Masih berusaha memintanya agar tak menangis.

Ryona mengangguk berkali-kali sambil mengeringkan air matanya dengan punggung tangan. "Kamu baik-baik aja, Sayang. Kamu akan selalu baik-baik aja."

Ada hangat meleleh dalam dada Nana mendengar Ryona memanggilnya begitu.

"Jangan memaksakan diri. Kamu butuh banyak istirahat. Jangan khawatir. Teman-teman kamu juga ada di sini, selalu berdoa supaya kamu cepat sembuh." Ryona berujar seraya mengarahkan tatapannya ke jendela besar di salah satu sisi tembok ruang perawatan Nana, menunjukkan mereka yang berdiri di luar kamar. Nana ikut menolehkan kepalanya ke samping, langsung tersenyum saat dia sadar, orang-orang yang berarti baginya... mereka semua ada di sana. Mulai dari Injun yang entah bagaimana bisa berdiri bersebelahan dengan Lala tanpa saling cakar, Jeno, Kasa, Yeda... bahkan Bongshik—yang diwakili melalui fotonya di ponsel Jeno.

Tetapi saat dia tersadar tak ada Terry, senyumnya pelan-pelan memudar.

*

Satu bulan yang terasa panjang dan melelahkan, entah bagaimana bisa berlalu. Sebulan yang hampir seluruhnya Nana habiskan di rumah sakit hingga dia bosan melihat tembok putih setiap hari. Sebulan yang penuh dengan kunjungan banyak dokter—yang saking banyaknya, tidak bisa Nana hapal namanya. Sebulan yang penuh dengan pengobatan anti-rejection agar tubuhnya tidak menolak organ baru. Sebulan yang menyenangkan, karena untuk pertama kalinya, Nana bisa merasakan seperti apa dipeluk ibunya sampai tertidur. Sebulan yang menyenangkan, karena Kasa datang mengunjunginya hampir setiap hari, tak berhenti melipat bangau kertas beraneka warna untuk ditempel di rangka besi tempat tidurnya. Kadang, dia menggambari kantung infus Nana. Atau jika sudah tidak ada tempat di rangka besi ranjang untuk ditempeli bangau, Kasa akan memasukkannya ke dalam toples. Waktu Nana bertanya, kenapa Kasa tidak pernah berhenti melipat bangau kertas dalam setiap kunjungannya, jawabannya sederhana.

"Katanya, kalau kita melipat bangau kertas sampai seribu, nanti keinginan kita bisa jadi nyata. Aku mau Nana cepat sembuh."

"Aku udah sembuh."

"Kalau masih di rumah sakit, namanya belum sembuh."

"Aku udah sembuh."

"Emangnya kamu dokter, bisa bilang gitu?"

"Kan yang tahu badan aku ya aku sendiri. Aku udah sembuh."

"Tahu dari mana?"

Nana terkekeh, mencondongkan badannya sedikit dan mencium pipi Kasa, berhasil bikin cewek itu tersentak kaget. "Kalau masih sakit, nggak bisa cium pipi kamu."

"Nana!"

"Hehe. Maaf. Lain kali, kalau mau cium kamu, aku bilang-bilang dulu, deh." Nana tertawa. "Oh ya, besok kalau mau bawa kertas lipat, bawanya yang agak banyak ya."

"Mmm... buat apa?"

"Soalnya aku mau lipat bangau kertas juga."

"Buat apa?" Kasa tetap tak menyerah bertanya.

"Kan aku punya keinginan juga, Kasa. Keinginan yang aku mau jadi nyata."

"Keinginan apa?"

Dijenguk... Pak Terry, Nana menjawab dalam hati, tapi tidak menyuarakannya keras-keras dan malah menjulurkan lidah. "Nggak boleh tahu. Rahasia. Nanti kalau kamu tahu, keinginannya nggak bakal terkabul."

Setelahnya, Nana ikut melipat kertas, tapi Terry tak kunjung datang. Mungkin karena bangau kertas yang Nana lipat belum mencapai seribu buah. Dia juga tidak bisa terlalu lama duduk dan melipat kertas warna menjadi bangau, karena dia masih butuh istirahat. Nana tidak terlalu mengerti soal istilah kedokteran dan operasi yang baru dia jalani adalah operasi besar pertamanya, namun mereka bilang, jantungnya perlu diperbaiki dan agar pulih sepenuhnya, butuh setidaknya enam bulan hingga dia bisa beraktivitas normal disertai setahun pengawasan oleh tim dokter untuk memastikan kondisi jantungnya... baik-baik saja.

Berada di rumah sakit itu membosankan, tetapi kejenuhan yang dia alami dapat tertahankan karena teman-temannya tidak berhenti mengunjunginya hampir setiap hari. Jeno terus datang, beberapa kali dengan Giza atau dengan mamanya. Jeno bilang, Bongshik cuma bisa titip kartu ucapan karena kucing tidak boleh masuk ruang ICU. Sambil berkata begitu, Jeno memberikan kartu bercapkan kaki kucing dalam cat akrilik warna merah muda. Nana tertawa, menyimpannya dalam toples bersama dengan bangau-bangau kertas yang dilipat Kasa. Injun juga sering datang, terkadang bersama Lala. Injun tidak bilang apa-apa soal hubungan mereka, tetapi Nana menebak, itu pasti lebih dari teman. Yeda hanya berkunjung sesekali dan dia selalu kelihatan muram. Nana ingin bertanya kenapa, juga alasan kenapa Terry tak pernah datang, namun sebelum dia sempat bertanya, Yeda sudah beranjak dan pergi meninggalkan kamar perawatannya. Ryona tidak pernah meninggalkannya kecuali untuk makan siang di kafetaria rumah sakit, atau ke toilet. Dia berada di sisi Nana sepanjang waktu. Pernah, Ryona membacakan dongeng untuk Nana, karena Nana bercerita soal Jeno yang ketika kecil selalu dibacakan dongeng pengantar tidur oleh ibunya. Juga ada Nenek, yang kelihatannya merespon baik kehadiran Ryona.

Tetapi tidak ada satupun dari mereka yang pernah menyinggung Terry di depan Nana dan itu... membuat Nana ragu bertanya.

Entah ragu karena dia lebih merasa nyaman tenggelam dalam ketidaktahuan dan tanda tanya.

Atau ragu karena jauh di dalam hatinya, dia sudah tahu jawaban apa yang bakal dia terima dan dia tidak siap mendengar itu.

Namun jika boleh jujur, satu bulan tanpa Terry terasa sepi.

Tadi pagi, seminggu setelah Nana diizinkan pulang dari rumah sakit untuk berobat jalan—yang kemudian membuat Ryona memaksa Nana dan Nenek untuk tinggal bersamanya—Yeda mengunjunginya. Cowok itu terlihat lebih kurus dari yang terakhir kali Nana ingat. Ekspresi wajahnya muram. Nana sengaja membiarkannya mengambil sebanyak mungkin waktu untuk berpikir sebelum dia bicara dan ternyata, kesenyapan ruang tamu rumah Ryona terpecahkan oleh Yeda yang akhirnya mengeluarkan sebuah kardus seukuran wadah kertas HVS dari kantung plastik yang dia bawa.

"Dari dia."

"Dia?"

"Kakak gue." Yeda memaksakan senyum. "Sori. Gue mungkin terlihat jadi... dingin sama lo. Gue minta maaf. Tapi beberapa peristiwa yang sudah terjadi... bikin gue nggak bisa biasa lagi. Bukan salah lo. Gue tahu itu. Dan jangan khawatir, gue nggak membenci lo. Gue hanya butuh waktu buat... membiasakan diri... mungkin sampai semuanya nggak terasa sakit lagi."

"Ini ada hubungannya ama Pak Terry?"

"Iya."

"Kenapa dia nggak ngasih ini sendiri?"

Yeda tertawa muram. "Lo sungguh-sungguh menanyakan itu?"

"... nggak boleh?"

"Aneh aja."

"Kenapa aneh?"

"Soalnya, gue rasa lo sudah tahu jawabannya, tapi lo terlalu takut untuk mengakuinya, karena itu bakal membuat lo sakit." Yeda menggigit bibir, beranjak dari duduk dan menepuk pelan pundak Nana. "Dilihat kalau lo siap aja. Jangan memaksakan diri. Cepat sembuh, Jevais. Piano Gerimis mungkin udah kangen sama lo."

Yeda tidak menunggu Nana membalas, langsung pergi begitu saja, membiarkan es sirup yang Nenek hidangkan buatnya tergeletak tanpa tersentuh.

Dan disinilah Nana berada sekarang—di depan laptop yang terbuka, dengan sebuah flashdisk tertancap pada salah satu port laptop tersebut. Flashdisk yang jadi salah satu dari banyak barang dalam kardus yang ditinggalkan Yeda untuknya. Hanya ada satu file video di sana. Thumbnailnya berwarna hitam, membuat Nana sukar menerka apa isi video tersebut.

Cowok itu berpikir sebentar, menghela napas dalam-dalam sebelum dia mengklik pada file tersebut dua kali dan video itu pun terputar. Wajah Terry muncul di layar. Dia terlihat canggung dan melihatnya membuat Nana tersadar betapa dia merindukan lelaki itu.

"Halo, Jevais. Sebelumnya, saya mau bilang terimakasih sekaligus minta maaf. Terimakasih karena kalau kamu bisa melihat ini, berarti apa yang saya lakukan nggak sia-sia. Dan maaf... karena kamu... harus melihat ini. Sebentar. Baiknya kita mulai dari mana ya? Hm, gimana kalau dimulai dari sesuatu yang kamu bilang ke saya waktu itu? Tentang hidup, yang katanya adalah sebentuk keberanian.






bersambung ke outro

***

Catatan dari Renita: 

yak. 

gue tau, pasti ada banyak yang masih kalian pertanyakan di sini, mulai dari kelanjutan hubungan jeno-giza, injun-lala,  terus nasib bongshik, nasib band DLP ke depannya bakal gimana, reaksi jeno dan injun gimana, apakah aria bakal muncul atau ngga, darimana terry kecocokan soal organ gimana, hubungan nana dan kasa ke depannya bagaimana lalu gimana dengan yeda. 

sabar beb. 

satu-satu, karena nantinya jeno-injun-nana-yeda bakal punya bagian yang isinya point of view mereka sendiri. 

begitulah. 

but i hope you realized that, they didn't lose him to suicide. pada akhirnya, terry melakukan itu bukan dalam artian 'bunuh diri' tapi karena dia ngasih 'hidupnya' buat nana. itu aja. mungkin lebih detailnya bakal gue bahas di akhir aja ya. 

di chapter pertama banget, pas perkenalan, gue sudah menuliskan 'to live is an act courage' yang berarti, hidup itu sendiri adalah keberanian. 

di sini, gue menuliskannya ke dalam 'to live is a form of courage', di mana seperti yang nana bilang, hidup kita itu, bisa jadi adalah bentuk dari keberanian milik orang lain. your mothers, perhaps? 

his life is a form of his courage. 

his yang pertama refers ke jevais. 

his yang kedua, refers ke terry. 

dan keberanian terry, pada akhirnya jadi salah satu alasan kenapa 'hidup' jevais 'masih ada'. 

haha makasih buat yang sudah baca, sudah vote dan sudah komentar. 

makasih yaaa, sudah mengikuti dari awal sampai cerita ini mau selesai. btw, untuk yang belum tau, setelah menulis ini, gue rasa gue bakal menulis ceritanya johnjae sebagai young daddy dan anak perempuan mereka satu-satunya, sashi juga duo hendery-xiaojun (INI BUKAN CERITA LGBT BTW WKWKWK) judulnya daddy's day out. 

gue sempat terpikir buat menulis LI dulu tapi kayaknya lagi nggak mood di pure romance lol lol

oke. sekian. sampai ketemu di chapter berikutnya. 

ciao. 

Semarang, September 9th 2019 

20.23

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro