eighth note
A good friend is a connection to life,
a tie to the past,
a road to the future,
the key to sanity in a totally insane world.
—Lois Wyse—
*
Rasa sakit tajam langsung menusuk bahu Jeno begitu dia membuka mata. Cowok itu mengerang tanpa suara, lalu mengerjap kala menyadari matanya kini memandang pada langit-langit yang asing. Sorot lampu yang terang sempat membuat Jeno mengernyit. Sembari menghela napas, cowok itu berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum dia tidak sadarkan diri. Bayangan peristiwa demi peristiwa melintasi benaknya, kemudian dia tersadar kenapa sekujur tubuhnya terasa kaku dan remuk sekarang.
Seumur hidupnya sampai sekarang, Jeno tidak pernah berantem. Dia selalu jadi anak baik dengan nilai raport yang lumayan. Bukan bintang kelas, tapi cukup untuk bikin Mama tenang sebab dia tidak pernah membuat masalah. Jeno tidak peduli sekalipun orang kerap bilang, cowok yang tidak bisa berantem itu tidak jauh beda dengan banci. Sekarang, merasakan efek dari ditonjok orang pertama kalinya membuat Jeno ingin menangis. Rasa sakit yang paling terasa memang berpusat di bahunya, namun bukan berarti bagian-bagian tubuhnya yang sempat terkena hantaman tinju tidak terasa sakit.
Tapi di mana dia sekarang? Jeno tidak pernah mengenal siapapun yang punya kamar seperti ini. Ini juga bukan kamarnya. Bukan pula rumah sakit, sebab pencahayaan ruangannya terasa lebih hangat dan Jeno tidak sedang terbaring di atas brankar rumah sakit.
"Nggak usah bangun dulu."
Gerakan Jeno terinterupsi oleh suara seseorang bersamaan dengan Terry yang masuk lewat pintu kamar. Jeno mengedip beberapa kali. "Bapak ngapain di sini?!"
Terry berdecak. "Anak-anak jaman sekarang memang kurang ajar. Kamu tuh di tempat saya!"
"Ini kamar bapak?"
"Iya."
"Kok bagus?"
"Maksud kamu apa ya?!" Terry bertanya dengan nada setengah tersinggung.
"Kirain saya bapak tinggal di kos-kosan..."
"Kamu mau bilang kalau tampang saya nggak ada tampang orang kayanya sama sekali?!"
Jeno nyengir, sejenak lupa pada rasa sakit di badannya. "Bukan gitu, Pak."
"Saya kira kamu lebih baik dari Sontoloyo first dan Sontoloyo second. Tapi ternyata sama aja. Kalian ini memang satu kaum kayaknya." Terry mendelik, namun caranya memandang Jeno melembut kala matanya jatuh pada memar-memar di bagian kulit Jeno yang tidak tertutup pakaian. "Jadi, ada yang mau kamu jelaskan atau tanyakan ke saya?"
"Nanya dulu, boleh?"
"Asal jangan nanya kenapa Dilan putus sama Milea, boleh."
"Yang gantiin baju saya siapa?" Jeno baru sadar kalau dia tidak lagi mengenakan seragam sekolahnya, melainkan setelan celana panjang merah gelap dan kaus lengan pendek dengan gambar kereta Thomas di bagian depannya.
"Para Sontoloyo yang lain."
"Nana sama Injun?"
"Kenapa? Kamu ngarepnya yang gantiin baju kamu tuh saya?"
"Nggak gitu..."
"Mereka yang ngurusin kamu, saya sibuk panggil dokter." Terry menjawab jujur.
"Bajunya punya siapa?"
"Siapa aja boleh, yang jelas bukan baju dapet nilep di Mangga Dua."
"Bajunya... bukan punya bapak, kan?"
"Emang kenapa kalau punya saya?"
Jeno terhenyak sesaat, kemudian berujar terbata. "Hng... saya baru tahu... om-om kayak bapak... suka kereta Thomas juga."
Wajah Terry memerah seketika. "Itu punya adik saya! Bukan punya saya! Puas kamu?"
Jeno nyengir lagi, kali ini lebih lebar hingga kedua matanya tenggelam. "Santai aja, Pak. Saya juga kan nggak bilang kalau om-om nggak boleh suka sama kelinci."
"Udah bisa ketawa ya, kamu? Kalau gitu yaudah, saya antar pulang aja sekarang! Dikira rumah saya tempat penampungan anak-anak bonyok apa ya?"
Ekspresi wajah Jeno langsung berubah. Senyumnya hilang tanpa bekas. "Saya nggak mau pulang."
"Kenapa?"
Jeno tidak langsung menjawab, malah memaksa diri untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Dia duduk dengan kaki diluruskan di atas ranjang, kepalanya tertunduk murung. "Mama pasti sedih kalau saya pulang kayak gini..."
"Apa kamu pikir Mama kamu nggak bakal sedih kalau kamu nggak pulang tanpa kabar?"
"Itu... lebih baik. Saya nggak mau bikin Mama sedih karena kelakuan saya."
"Kamu takut dimarahin?"
Jeno menggeleng dan di luar dugaan Terry, cowok itu justru mulai menangis. Air matanya jatuh begitu saja tanpa diawali isak yang pecah. Terry jadi bingung, kenapa anak-anak ini sepertinya punya hobi tersembunyi menangis di depannya? Kemarin Injun dan sekarang Jeno. Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi sebelumnya, Terry sempat bingung harus bagaimana, hingga dia membiarkan perasaannya yang mengambil alih. Hati-hati, Terry memeluk Jeno. Dia mencoba tidak mendekap cowok itu terlalu keras, karena tubuh Jeno yang dipenuhi lebam di sana-sini. Jeno menangis beberapa lama, bikin bagian depan pakaian Terry basah.
Siapa yang mengira jika laki-laki juga bisa secengeng itu?
Sangat konyol, Terry berpikir sambil mengusap punggung Jeno, berusaha menenangkannya. Dulu, waktu lebih kecil dia juga pernah begitu. Kedua orang tuanya selalu bilang, sebagai anak laki-laki tertua, dia tidak boleh cengeng. Dia tidak boleh menangis. Dia harus kokoh dan teguh, sekuat baja. Air mata adalah tanda kelemahan, sesuatu yang seharusnya tidak ditunjukkan bahkan ketika dia punya alasan.
Terry sering bersembunyi untuk menangis, menumpahkan air mata tanpa disaksikan siapapun hingga suatu hari, lewat serangkaian kebetulan yang menyenangkan, Om Adjie memergokinya sedang menangis. Waktu itu tengah malam. Terry masih SMP, baru mendapat penolakan setelah menyatakan cinta pada teman sekelas yang telah lama disukainya. Semula, Terry malu. Dia menyangka Om Adjie bakal menertawakannya, menjadikannya lelucon ketika seluruh anggota keluarga besar berkumpul untuk makan bersama.
Tapi ternyata tidak.
Om Adjie malah santai saja menontonnya, lalu ketika air mata Terry mulai kering, lelaki itu bertanya jahil. "Udah selesai banjirnya?"
Tentu saja Terry malu. Dia hampir bersumpah pada semesta untuk tidak pernah melihat Om Adjie lagi hingga umurnya habis. Namun Om Adjie menahannya, membuatnya tidak bisa pergi, lalu mengungkapkan tanya yang membuat Terry kehilangan kata-kata. "Apa yang begitu memalukan dari tangis dan air mata?"
"Papa selalu bilang, anak laki-laki itu nggak boleh nangis."
"Papa kamu boleh bilang, tapi bukan berarti kamu harus selalu percaya sama apa yang dia katakan." Om Adjie terkekeh. "Manusia, laki-laki dan perempuan, kita sama-sama diciptakan dengan kemampuan untuk terluka, juga untuk merasakan sakit. You're human. Embrace things that make you human. Rasa sakit dan luka adalah salah satunya. Menangis sesekali nggak apa-apa."
"Tapi—"
"And you know what Terry, sometimes, tears make your vision clearer."
"Tetap aja, cowok yang menangis bakal dibilang cengeng!"
"Om nggak bilang kamu cengeng."
Memang... dan hanya Om Adjie yang begitu, Terry membatin seraya tersenyum sarkastik. Entah sudah berapa menit berlalu, yang jelas sedu-sedan Jeno telah mereda. Pipi cowok itu memerah. Dia kelihatan malu saat dia menarik diri dari pelukan Terry. Tangannya mengusap matanya yang basah, lantas beralih menanyakan sesuatu yang lain.
"Soal Udin... dan yang lainnya... bapak nolongin saya?"
"Sedikit. Tapi kamu harus berterimakasih sama seseorang."
"Siapa?"
Terry merendahkan suaranya. "Saya nggak tahu kalau ternyata kamu ini cukup populer di kalangan perempuan jadi-jadian."
Jeno mengerutkan dahi, bingung sebentar, namun kemudian dia tersadar jika yang dimaksud Terry pasti Jupe—dan mungkin beberapa kawannya yang sesama waria. "Oh... Jupe?"
"Kamu kenal dia beneran?!"
Jeno mengangguk.
Terry memandang horor. "Jeno... sebagai majikan kamu untuk sebulan ke depan... saya mengingatkan kamu, tolong jangan dekat-dekat sama dia atau makhluk sekalangannya. Oke?"
"Kenapa?"
"Saya nggak siap lihat murid saya ikut-ikutan ngamen di lampu merah dengan nenen sumpelan segede bakpao."
"Saya temenan sama Jupe bukan berarti saya ada niat ikut mangkal ama dia, Pak!"
"Yah, apa pun itu, dia masih orang asing dan saya mau kamu hati-hati." Terry tetap ngotot. "Tapi kamu beneran nggak mau pulang?"
"Nggak."
"Beneran?" Terry bertanya lagi. "Bukan apa-apa nih, soalnya saya nggak mau tahu-tahu rumah saya digrebek densus karena diduga menculik kamu. Ogah, deh. Nyulik kamu, Injun atau Nana nggak ada untungnya sama sekali. Mending nyulik cucu presiden sekalian. Lebih lucu juga daripada kamu."
Jeno menggeleng. "Nggak mau bikin Mama sedih."
"Ezekiel—"
"Adanya saya aja udah bikin hidup Mama susah. Saya nggak mau bikin Mama tambah susah. Seandainya bisa milih... kalau bisa... saya mau nggak ada aja."
"Maksud kamu apa?"
Jeno mengangkat wajahnya, menatap pada Terry. Takut, kalut, ragu, sedih dan muram berbaur di matanya, membuat kepolosannya jadi terasa menyesakkan. "Seharusnya... seharusnya... saya memang nggak pernah ada. Mama dan Papa nggak pernah merencanakan saya ada. Mereka terpaksa bersama karena saya. Cita-cita Mama juga nggak tergapai... gara-gara saya. Bakal lebih baik kalau dari awal... saya nggak pernah ada."
"Jeno—"
Jeno menggigit bibir, kelihatan seperti sedang menahan mati-matian supaya tangisnya tidak pecah lagi. Namun usahanya sia-sia, karena air mata terus saja menggenang di matanya. Melihatnya seperti itu menghancurkan sesuatu dalam dada Terry. Lantas, seperti bendungan yang jebol, air mata kembali jatuh menuruni pipi Jeno, mengecupi kulitnya yang sembab dan pucat, mengalir tanpa diiringi isak.
"Sampai akhirnya Mama dan Papa berpisah, kehadiran saya cuma bikin Mama susah. Kalau saya pulang kayak gini... Mama... Mama nantinya sedih. Saya nggak mau bikin Mama sedih lagi. Dengan adanya saya, sudah cukup bikin Mama sedih. Sudah cukup selalu jadi beban Mama."
Terry tidak mau bertanya bagaimana Jeno bisa mengetahui itu, tapi berpikir bahwa hadirnya tidak pernah diharapkan sudah cukup mampu menghancurkan hati anak manapun. Terry menghela napas, tidak ingin tercekik oleh sesak yang mulai terbangun dalam dirinya. Lalu, sekali lagi, lelaki itu menarik anak di depannya ke dalam pelukan.
Kali ini, agak sedikit lebih lama dari sebelumnya.
*
Injun memutuskan berhenti menguping dari balik pintu waktu dia mendengar Jeno mulai menangis lagi. Dia tidak benar-benar mengerti makna pembicaraan antara Terry dan Jeno—soalnya Jeno bicara dengan sangat pelan, jadi kan nggak kedengaran—tapi tangisnya membuat bahunya terasa berat. Injun ogah ikut-ikutan menangis. Cukup malam itu saja, dia impulsif dan menangis di teras minimarket lalu membiarkan Terry memeluknya. Sekarang sih sori-sori. Dia tidak mau jadi bahan ledekan Nana.
Nana sedang mengompres memar di sudut bibirnya dengan es batu ketika Injun muncul. Cowok itu melirik jam di dinding, mengembuskan napas pelan dan mengutarakan sesuatu yang mirip keluhan. "Nggak main deh gue di Gerimis. Tapi ya gimana, nggak mungkin juga besok gue nyamperin Kasa dengan muka jelek kayak gini."
"Bukannya selama ini juga udah jelek?"
"Nggak pernah sejelek ini." Nana membantah, yang dia teruskan dengan nada mengejek. "Nggak pernah juga lebih jelek dari lo."
"Sesama orang jelek, nggak usah saling ngatain." Injun menukas cuek sambil ikut menempelkan waslap berisi es batu pada lebam di bawah matanya. Lebam itu tidak besar, berwarna merah dan tidak kehitaman, tapi cukup sakit.
"Bucing apa kabar? Kepalanya nggak bocor, kan?"
"Matanya yang bocor."
Nana tersentak, berhenti mengompres sudut bibirnya. "Hah?!"
"Dia mewek."
"Ck."
"Oh ya, lo nggak mau pulang?"
"Kalau gue balik malam ini, gue pasti digaplok Nenek. Lo juga nggak balik?"
"Bisa berantem susulan ntar gue sama bokap gue. Terus Alma juga pasti kepo. Dia tuh sebelas-dua belas ama Kasa. Nggak suka lihat gue jadi anak nakal."
"Paling nggak, lo nggak bakal diambekin."
"Iya, tapi diomelin terus-terusan."
"Yah, namanya juga wanita." Nana berkata lagi. "Yaudah, suruh aja Pak Toil telponin Nenek sama nyokap lo. Bilang ada belajar kelompok atau apa kek gitu, atau kita mendadak lagi dipersiapkan buat olimpiade."
"Ngaco!" Injun terkikik, melempar Nana dengan cushion sofa. "Mana ada anak kelas tiga ikut olimpiade!? Kita pula. Jangankan Nenek sama nyokap lo, itu Bang Horas saking nggak percayanya sampe berani taruhan iris kuping kali kalau dengar!"
Obrolan antara Injun dan Nana terputus oleh suara pintu kamar yang terbuka. Tidak lama kemudian, Terry muncul di depan mereka, diikuti Jeno yang berjalan sembari memegangi bahunya yang lebam.
"Kalian mau makan apa?"
"Dibayarin apa nggak, nih?" Injun langsung menyambar.
"Saya ini majikan yang baik, jadi saya tanggung makan malam kalian. Yah, lagian mau saya minta kalian bayar juga, kalian nggak punya duit, ya toh?"
"Paham bener, Pak."
"Inilah nasib punya budak bocah-bocah kere."
Nana nyengir. "Makanannya boleh apa aja asal nama makanannya masih bisa kebaca sama saya."
"Piza mau?"
"Mau! Hamdallah rezeki anak soleh ya kebetulan sudah rindu makanan kampung halaman!"
Mata Terry menyipit pada Injun. "Rindu makanan kampung halaman?"
"Gini-gini saya ini blasteran Betawi-Italia, Pak."
"Italia dari mananya!? Muka kamu itu nggak jauh beda sama muka mamang-mamang angkota Leuwipanjang! Ngaca, gih!"
"Ih, beneran Italia, tau!" Injun ngotot, lalu meneruskan dengan nada jahil. "Indramayu-Tasikmalaya. Hehe. Asli, bisa dites dan dicoba!"
"Kadang saya tuh suka lupa kalau kamu manusia." Terry sewot. "Yaudah. Saya beliin. Ada titipan lain? Atau mungkin diantara kalian ada yang alergi apa, gitu?"
"Amerikano, Pak. Jangan lupa. Nggak ada kopi, saya nggak makan."
"Yaudah." Terry meraih kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja ruang tengah, dilanjut berjalan mendekati pintu depan. Namun sebelum pergi, dia sempat bertanya. "Kalian nggak pada mau pulang, by the way?"
"Saya bisa dipresto ama bapak saya nanti kalau saya pulang dengan muka begini."
"Nenek pasti udah nungguin saya di depan pintu bareng sama sapu lidi kalau dia tau saya berantem, Pak."
Terry berdecak, menatap Jeno-Injun-Nana bergantian. "Kalian ini emang anak-anak bermasalah semuanya. Yaudah. Saya tinggal dulu. Jangan ngacak-ngacak apartemen saya selama saya pergi. Dan jangan ganggu Seohyun di kamar saya. Kalau kalian sampai melanggar, saya bakal kirim kalian ke rumah masing-masing pake go-send express malam ini. Ngerti?"
"Siap, Komandan!"
Jeno memiringkan wajah, tak mengerti siapa Seohyun yang dimaksud oleh Terry, tapi dia tidak bertanya lebih jauh. Terry meraih pintu, meninggalkan mereka hanya bertiga. Selama beberapa saat, mereka terjebak dalam kecanggungan. Injun memandang bergantian pada Jeno dan Nana dengan polos, sedangkan Jeno tampak sibuk berpikir seraya memegangi bahunya yang lebam terkena hantaman lonjoran besi.
Nana berinisiatif memecah kebekuan dengan beranjak dari duduk dan ganti menghadapi piano Terry. Jarinya menekan sembarang tuts sebelum mulai memainkan intro Nocturne milik Chopin. Denting memenuhi seisi ruangan, seperti jadi latar belakang suara untuk wajah-wajah kebingungan.
"Jevais," Jeno akhirnya memanggil, membuat Nana berhenti menarikan jarinya pada tuts piano.
"Nocturne in E-flat Major. Op. 9 No. 2."
"Apa?"
"Lagu yang tadi sempat gue mainkan, kalau lo mau tahu."
Jeno menggeleng. "Bukan soal itu."
"Tunggu, lo nggak lagi mau menyatakan cinta ke Nana kan, No?"
"Bukan itu juga."
"Serius dikit, kampret!" Nana mendelik pada Injun yang malah mesem-mesem.
"Saya... mau minta maaf."
"Apa?" Nana bereaksi seakan-akan Jeno baru saja bicara dalam bahasa alien.
"Maaf kalau tindakan saya sudah bikin kamu tersinggung. Maaf kalau kelakuan saya bikin kamu merasa nggak dianggap teman." Jeno ragu sejenak. "Maaf karena... sudah bikin kamu ikut luka-luka."
Nana buang muka, lalu berlagak menekan sembarang tuts untuk menyamarkan jawaban balasannya. "Makasih juga."
"Apa?"
"Makasih juga karena sudah berani menahan hantaman besi itu buat gue."
"Soal yang tadi—"
"Walaupun kalau harus gue bilang, lo itu bego banget." Nana melotot, kini menatap sepenuhnya pada Jeno. "Lain kali, jangan ikut campur sama pertarungan satu lawan satu, sekalipun yang bertarung itu teman lo! Nggak usah sok pahlawan! Ngerti?"
"Kamu juga ikut campur sama urusan satu lawan satu saya dengan Udin."
"Itu bukan satu lawan satu! Itu nggak imbang! Itu satu lawan banyak, makanya gue ikut campur!" Nana ngeles.
Tingkah keduanya bikin Injun mengerjap beberapa kali, diikuti cengiran lebar merekah di wajahnya. Jeno dan Nana spontan menoleh pada cowok itu secara bersamaan, dengan pelototan yang tak jauh beda.
"Ngapain nyengir?!"
Sadar akan betapa kompaknya mereka, keduanya saling memandang dan kelihatan sangat malu, memicu Injun untuk bertepuk tangan keras-keras hingga dia mirip anjing laut.
"Nah, kalau gini kan enak—" Kata-kata Injun terputus saat dia beranjak dari duduk dan tanpa sengaja lututnya menyenggol tepi meja di depan sofa. Vas bunga yang sudah tergeser sampai agak terlalu ke pinggir—karena meja disesaki oleh wadah es batu dan waslap—sepenuhnya jatuh dari meja, langsung menghantam lantai dan pecah berkeping-keping. "Ops—"
Ketiganya bertukar tatap, lalu wajah mereka berubah panik secara serempak.
"ANJIR!"
"Gimana ini?!"
"Pura-pura mati aja apa kita?"
"UMPETIN!"
"BURUAN!"
"JENO, CARI PENGKI SAMA SAPU!"
Jeno baru terpikir mencari pengki dan sapu yang dimaksud Nana ketika pintu mendadak terbuka, menampilkan Terry yang hadirnya sontak memunculkan raut wajah horor dari mereka bertiga.
"Saya baru sadar kalau kartu parkir penghuni saya ketinggalan dan—tunggu, saya mencium ada bau-bau yang nggak beres di sini. Kalian kenap—Nana dan Injun, kalian ngapain jongkok di lantai?"
Injun langsung berusaha menutupi pecahan vas dengan badannya. "Rokoknya Nana jatuh bertebaran ke lantai, Pak."
"KAMU NGEROKOK?!"
"Nggak, Pak! Saya suci!"
"Rokok apa yang kamu maksud—"
"Vas bunga bapak pecah." Jeno akhirnya jujur.
"Apa?"
"Injun mecahin vas bunga bapak."
"HEH BUCING, JANGAN JUJUR-JUJUR AMAT, DONG!"
"MENDING KITA DIHUKUM KARENA NGEROKOK—AMPUN, PAK! AMPUN, JANGAN TOJOS SAYA, PAK!"
Terry berusaha sekuat tenaga untuk mendaratkan cubitan tipis di perut Nana dan Injun yang gesit menghindar—Jeno tidak masuk hitungan, soalnya cowok itu lebih babak-belur dari dua sontoloyo yang lain, hanya bisa memandang sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal—jeritan heboh mewarnai ruang tengah apartemen, yang berpotensi mengganggu ketentraman rakyat sejagat apartemen.
"PAK, AMPUN, PAK!"
"SINI NGGAK KALIAN! SINI NGGAK?!"
"Jangan jiwit kita, Pak! Ampun!"
Terry ngos-ngosan, akhirnya menyerah dan rebah ke sofa. Matanya menatap miris pada pecahan vas bening di lantai. Sebenarnya, mudah saja membeli vas yang baru, tapi vas itu termasuk salah satu benda paling meaningful yang dia punya, dibelinya saat dia pertama kali pindah ke apartemen ini usai kerjasama pertamanya dengan salah satu musisi Hollywood. "Oke. Saya nyerah."
"Kita dimaafin, Pak?"
"Nggak. Saya mau telepon Go-Jek. Kalian bakal saya kirim ke rumah masing-masing malam ini, pake go-send express."
"PAAAAK!!!!"
bersambung ke ninth note
***
Catatan dari Renita:
hello!
haha, jadi apa kabar buat yang sudah coblosan hari ini?
udah dapet diskon-diskonnya? hahaha
gue sendirian aja di kosan karena pada balik. sengaja gabalik karena masih mengurusi tugas akhir ea aku ini anak rantau sejati.
kayaknya, gue nggak punya banyak hal untuk diceritakan hari ini, karena masih membosankan seperti biasanya, mayoritas habis buat nonton game of thrones dan video yang oppa-related.
makasih sudah baca chapter ini dan chapter sebelumnya. sampai ketemu di chapter selanjutnya.
ciao.
Semarang, April 17th 2019
18.35
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro