Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

eighteenth note

Without darkness, nothing comes to birth.

As without light, nothing flowers.

—May Sarton—

*

Terry tiba di kafe itu lebih dulu. Dia sedang duduk sembari menatap pada piano di atas podium yang berada di tengah ruangan saat Ryona sampai. Mudah menemukannya, karena dia memilih tempat duduk di dekat jendela, juga ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkan Ryona pada Adjie. Mungkin karena mereka sama-sama punya pembawaan yang terkesan tenang.

Terry tidak bereaksi waktu Ryona berhenti di dekat kursi di depannya. Matanya hanya berpindah fokus. Tatapannya tanpa emosi, kelihatan begitu dingin.

"Boleh saya duduk?"

"Terakhir saya cek, saya ada di sini buat ketemu seseorang bernama Ryona. Itu nama kamu?"

Ryona mengangguk.

"Kalau begitu, kenapa merasa harus minta izin?"

Ucapannya menohok sampai ke tulang. Oke, Ryona menarik kata-katanya. Lelaki ini berbeda dari Adjie yang selalu ramah pada siapa saja.

"Saya melihat kamu di mal waktu itu."

"Saya rasa kamu sudah tahu saya siapa, dan kenapa saya bisa kenal tiga anak itu. Well, mungkin kamu hanya tertarik pada satu anak. Jevais, kan?"

"Tertius,"

"It's Terry." Terry mengoreksi.

"Oke, Terry. Saya nggak tahu kamu tahu sebanyak apa soal saya atau Jevais. Hanya saja, menurut saya kita mesti bicara soal itu."

"Kenapa kamu kembali?"

Ryona mengernyit, sempat merasa terpicu untuk balik berkata kalau itu bukan urusan Terry, tapi sesuatu dalam mata lelaki itu memberitahunya jika pertanyaan yang baru dia katakan bukan jenis pertanyaan yang bisa diabaikan.

"Terry—"

"Kamu punya kesempatan untuk muncul di hari ulang tahunnya yang pertama. Atau hari saat dia mulai masuk sekolah dasar. Atau waktu ayahnya meninggal. Kenapa baru kembali dan muncul sekarang saat dia nggak lagi butuh kamu?"

"Saya nggak tahu Adjie udah bilang apa ke kamu—"

"Om saya nggak pernah bilang apa-apa. Masih selalu memuji kamu, setelah semua yang sudah kamu lakukan. Sebodoh itu. Sebuta itu." Terry menukas pedas. "Saya mau kamu jawab dengan pasti, kenapa kamu baru muncul sekarang?"

"Kenapa itu penting buat kamu?" Emosi Ryona mulai terpancing.

"Biar saya tahu, saya bisa membiarkan kamu ada di dekat Jevais atau nggak."

"Kamu nggak punya hak. Kamu bukan—"

"Saya bukan ibunya, memang. Tapi seenggaknya, saya ada di sana, ngelihat dia waktu hari pertamanya masuk SD dan saat ayahnya meninggal."

Ryona tidak bisa membantah kata-kata Terry. "Fine. Saya baru kembali sekarang karena selama bertahun-tahun ini, saya memilih jadi pengecut. Kamu puas?"

"Nggak juga. Malah saya merasa kasihan sama anak itu. Selama ini, dia kangen sama seseorang yang terlalu pengecut buat jadi ibunya."

"Saya nggak peduli kamu mau ngomong apa." Ryona menyahut cepat, nada suaranya meninggi. "Saya hanya mau ketemu dia. Kenal sama dia. Sebatas itu. Kamu nggak berhak melarang saya."

"Siapa yang melarang? Entah kamu sebaiknya ada dalam hidupnya atau nggak, itu bukan bagian saya buat memutuskan. Itu semua terserah Jevais." Terry beranjak dari duduknya, sama sekali tidak peduli pada secangkir teh miliknya yang belum dia sentuh sama sekali. "Akhir minggu ini ada Pensi di sekolah. Dia bakal tampil. Mungkin, kamu bisa mulai dari sana."

"Saya—"

"Panggung itu berarti buat dia. Kalau kamu mau jadi bagian penting dari hidupnya, kamu harus bisa jadi bagian dari salah satu hari paling penting buat dia."

Terry sudah berniat pergi, tapi pertanyaan Ryona membuat langkahnya terhenti. "Boleh saya tahu, apa Adjie menyuruh kamu melakukan ini semua?"

"Ini semua?"

"Kelihatannya, kamu bukan jenis orang yang bisa tergerak jadi wali kelas dadakan di sebuah sekolah hanya karena seorang anak yang nggak punya hubungan apa-apa sama kamu."

"Om saya terlalu mencintai kamu, juga anak itu." Terry menjawab. "Dan sampai kapanpun, nggak peduli sebodoh apa keinginan terakhirnya, saya nggak bisa mengabaikannya. Mungkin kamu tahu rasanya. Mungkin juga nggak, karena faktanya, kamu memilih ninggalin dia."

"Jadi karena itu, kamu membenci saya?"

"Saya nggak membenci kamu. Saya justru berharap kamu dan Jevais bisa punya hubungan seperti kebanyakan ibu dan anak. Saya malah ingin semuanya berakhir baik-baik aja."

"Kenapa?"

"Alasannya sesederhana ini; saya bukan orang yang bisa ada buat Jevais selamanya."

Ryona terdiam, tidak mampu berkata-kata. Terry enggan menunggu, langsung berjalan meninggalkannya begitu saja, membiarkannya terjebak dalam keriuhan pikiran di tengah-tengah ruangan kafe yang tenang.

*

Lala tahu yang bakal tampil hari ini tuh Injun, bukan dia, tapi dari semalam, dia yang stress memikirkan soal Pensi. Stressnya betulan bukan cuma dalam pikiran, tapi sampai berefek ke fisik segala. Dari sore, Lala sudah rajin setoran alam ke kamar mandi, sampai-sampai orang tuanya khawatir. Untung saja nggak sampai kehabisan cairan, karena bisa-bisa dia malah dilarikan ke UGD dan nongkrong di kamar rumah sakit bau obat pagi ini, bukannya bantuin dekorasi stand kelasnya.

Lala sengaja menginstruksikan ke anak-anak bagian acara yang bertanggung jawab atas run-down biar menempatkan penampilannya Injun di tengah-tengah, biar mereka tampil waktu sekolah lagi rame-ramenya. Kalau kata orang sih ini namanya memanfaatkan jabatan, tapi ya nggak apa-apa lah ya sekali-sekali. Lagian yang penting, Injun nggak tahu.

Soalnya kalau Injun tahu, bisa berabe, mau ditaruh di mana nanti harga diri Lala?

Saat Lala selesai dengan semua urusan di stand kelasnya, kebetulan masih ada sisa waktu setengah jam sebelum Injun tampil. Setelah berpikir sebentar, Lala memilih menyambangi Injun di salah satu ruang kelas yang sudah beralih-fungsi jadi ruang tunggu buat siap-siap atau ganti bajunya para penampil. Sudah pasti Lala akan melakukan penyamaran atau ngumpet-ngumpet biar nggak ketahuan. Kenapa? Kembali lagi, ada harga diri yang harus Lala pertahankan.

Makanya, Lala sengaja memutar ke bagian samping ruang kelas, lalu mengintip dari celah jendela. Terry ada di sana, sedang memberi sedikit briefing yang ditanggapi Jeno, Injun dan Nana dengan manggut-manggut sok paham, padahal ketiganya sibuk sendiri. Jeno sedang minta doa dari Bongshik yang nongkrong di salah satu kursi, Nana lagi main game di ponsel sementara Injun sibuk ngaca, sesekali memperbaiki topi yang bakal jadi bagian dari kostum panggungnya nanti.

Lala? Hampir semaput.

Tumbenan banget, Injun gayanya kayak orang bener. Dia pake kaos, pake jaket jeans, terus rambutnya di-styling dengan poni bentuk comma macam idol-idol Korea yang lagi rajin wara-wiri internet dan iklan televisi itu. Dilan siapa tuh? Mamang siomay perempatan kali ya. Lala nggak kenal, taunya cuma Artajuna Purnasaman.

Lala masih asik jadi pengamat—eh, maksudnya pengintip—dari jendela waktu tiba-tiba, terdengar suara ngeong kucing yang panik. Bukan Bongshik, karena tanpa mengeong pun Bongshik sudah 24/7 mendapatkan perhatian dari budaknya. Asal suaranya dari pohon mangga depan kelas. Ternyata ada kucing yang entah bagaimana, cuma paham cara manjat tapi lupa jalan pulang. Jadilah dia terjebak di salah satu dahan, bersama mangga-mangga yang masih pentil dan semut rang-rang yang enjoy aja jalan tanpa mempedulikan.

"Pak, ada kucing kejebak di atas pohon!"

"Ya ampun, masa?!" Jeno terperanjat, hampir jalan ke pintu, tapi batal waktu Bongshik mengeong keras. "Eh, maaf, Bongshik. Nggak kok, cuma kepo aja. Tetap kamu seorang—eh kok orang sih kan kamu bukan orang—maksudnya, tetap kamu semeong kucing yang aku sayang."

"Halah, basi." Injun mendelik. "Pak, kasihan itu kucing kejebak di atas pohon!"

"Biarin aja." Terry malah santai.

"BAPAK NIH KOK BIARIN AJA SIH?!" Injun makin kalap.

Jeno manggut-manggut. "Bener! Bapak tidak berperi-kemeongan—jangan cemburu, Bongshik. Aku lagi membela hak-hak kaum kamu, nih!"

"Kalau dia jatuh, paling bangun lagi. Nyawanya kucing kan sembilan."

"Mitos itu tuh!"

"Bener, Bongsai aja bisa mati!"

"Terus mau kamu apa? Saya kudu telepon pemadam kebakaran ke sini?"

"Nggak usah." Injun melepas topinya, ditaruh begitu saja di atas meja. Lala langsung membekap mulutnya dengan kedua tangan. Mati-matian menahan diri supaya nggak teriak. Gila ya, Injun tuh ganteng banget. Randy Martin siapa tuh? Abang rental PS kali. "Biar saya naik aja."

"Awas jatuh, brur. Lo jatuh, nggak jadi tampil kita." Nana bilang gitu, tapi matanya masih fokus ke layar HP.

"Emang kamu bisa naik pohon?"

"Jangan salah, saya ini—"

Terry sudah keburu memotong. "Oiya. Saya hampir lupa kalau kamu separuh kera."

"Bodo amat, Pak! Bodo amat!"

Jadilah, diiringi doa dari Jeno dan cercaan super tega dari Terry, Injun melepas jaketnya dan mulai memanjat pohon. Lala masih mengamati dari samping kelas, diam-diam berdoa supaya Injun baik-baik aja sampai kakinya kembali menyentuh tanah. Doanya serius banget, macam istri lagi menanti suaminya pulang dari medan perang. Segalanya masih baik-baik saja hingga saat menginjak salah satu dahan, dahannya mendadak patah.

Lala memekik tertahan, Jeno melotot, Terry melongo dan Nana melirik sedikit sebelum lanjut main game lagi.

"INJUN!"

"Selow—gue nggak apa-apa—" secepat kilat, Injun memindahkan kakinya ke dahan yang lain—otomatis bikin dia harus mengangkang lebar dan...

Breeetttttt...

Celananya robek di bagian tengah.

"Oh no, mata saya!" Terry langsung melindungi matanya sendiri.

Jeno mendesis tidak percaya. "Ya ampun, kolornya My Little Pony!"

"SEMBARANGAN!" Injun mendesis kesal. Wajahnya merah karena malu, tapi untungnya, hanya ada Terry, Nana dan Jeno di ruang ganti sekarang—yang lain lebih memilih menunggu di kantin, soalnya agak segan gimana gitu seruangan dengan Terry yang dandanannya macam CEO yang lepas dari dunia drama Korea.

"Oh, bukan My Little Pony deng. Haha."

"Lucu lo, Bucing." Injun mendelik usai dia berhasil turun dan meletakkan anak kucing yang diselamatkannya dengan hati-hati di atas rerumputan. "Tapi aduh, celana aing robek. Kumaha yeuh?"

"Bentar." Nana berhenti main game, meletakkan ponselnya di atas meja dan berjalan mendekati Terry. Kemudian, tiba-tiba saja dia melingkarkan lengannya di pinggang Terry.

Terry tersentak. "APA-APAAN INI?!"

Nana mengabaikan reaksi Terry, malah beralih ke Injun dan lagi-lagi, memeluk pinggangnya. "Kalau dari pengukuran gue barusan nih ya, lingkar pinggang Pak Toil ama Injun nggak jauh berbeda. Gimana kalau lo pinjam celananya Pak Toil dulu?!"

"Heh, semprul, terus saya pake apaan?!"

"Celana robeknya Injun."

"Nggak ada ya! Enak aja!"

"Ini penting, Pak. Demi kemaslahatan nusa-bangsa dan kelancaran penampilan—"

Lala memutar bola matanya, merutuki kebodohan Injun dalam hati—walau diam-diam dia juga klepek-klepek. Soalnya Injun idaman banget. Kucing aja dilindungi, apalagi hati gadis yang disayangi. Tapi tentu saja, sekarang bukan waktu yang tepat buat pingsan atau terbang melayang menuju khayangan. Lala harus menyelamatkan penampilan Injun bagaimanapun caranya, maka dari itu, dia memutar otak. Setelah berpikir beberapa lama, dia baru ingat kalau Jarot dan Injun punya postur tubuh yang nggak jauh beda.

Jadilah, hari itu untuk pertama kali dalam hidupnya, Lala menjadi perampok.

Apa yang dia rampok? Celananya Jarot. Ceritanya panjang, tapi intinya Lala berhasil menyusun strategi mencuri celana Jarot dari dalam tasnya sementara yang punya masih sibuk antre jajan batagor di kantin. Nggak apa-apa deh malaikat Atid kerja ekstra hari ini, yang penting Lala berhasil menyelamatkan panggung debut Injun. Namun buat melindungi harga dirinya, Lala nggak bisa memberikan celana hasil maling itu terang-terangan. Jadinya, dia minta tolong salah satu adik kelas buat mengantar celananya ke Injun—yang Injun terima walau dengan rasa heran.

Lala luar biasa lega, baru berniat ke toilet buat merapikan rambut sebelum siap-siap nonton penampilannya Injun ketika dari ujung lain koridor, dia melihat Adin berjalan ke arah.

Aduh, si kutu kupret, Lala membatin, bermaksud melewati Adin dengan gaya paling songong yang dia punya saat anak itu malah tersenyum padanya. "Kak Shavela,"

Lala mengerjap. "Hah?"

"Aku mau nanya sesuatu sama Kak Shavela, boleh?"

Lala jadi bingung, soalnya Adin ngomong dengan sangat manis dan terkesan innocent. Lala bakal berasa jahat banget kalau balik nyolot. "Kamu mau nanya apa?"

"Kakak... suka sama Kak Artajuna?"

Buset, berasa ditorpedo. "Hah?"

"Aku denger dari teman-temanku di kelas, katanya Kak Artajuna sama Kak Shavela itu... sering banget ribut dari dulu. Kak Artajuna juga pernah babak-belur dihajar Kak Shavela. Tapi... nggak tau kenapa, aku ngerasa kalian tuh... nggak kayak orang musuhan kebanyakan." Adin tampaknya memikirkan setiap kata yang diucapkannya dengan hati-hati. "Makanya... aku nanya ke kakak. Kak Shavela, suka sama Kak Artajuna nggak?"

"Emang kenapa?" emangnya kalau gue suka, itu urusan ngana, haaaaaah?!

"Soalnya aku suka sama Kak Artajuna."

Wah, minta direndang nih anak. "Kamu... suka sama dia?"

Mata Adin berbinar ketika dia mengangguk. "Suka. Suka banget. Aku pindah sekolah karena mau ngikutin Kak Artajuna. Kak Artajuna baik. Gambarnya bagus. Aku sukaaaaaaaa banget."

"Kamu pindah sekolah ke sini gara-gara dia?!"

"Iya."

"Orang tua kamu ngizinin?"

"Kata Mama nggak apa-apa, yang penting aku senang."

Fix, ini nyokapnya sama sintingnya kayak dia. "Oh."

"Kakak suka nggak sama Kak Artajuna?"

"Nggak." tapi cinta! Gue tuh bukan suka lagi, tapi udah cinta ampe ke ubun-ubun!

"Kirain kakak suka. Abisnya, kayaknya Kak Artajuna suka sama kakak. Tapi berhubung kakak nggak suka, aku deketin nggak apa-apa ya?"

"Kamu... mau deketin dia?"

"Iya!"

"Nggak malu, gitu?"

Adin menggeleng. "Nggak."

"Kalau dianya nggak suka sama kamu gimana?"

"Nggak apa-apa." Adin tertawa kecil. "Mama pernah bilang, katanya mending menyesal karena udah mencoba daripada menyesal karena nggak pernah mencoba. Lagian, kalau nggak dicoba, kita nggak akan pernah tahu, kan?"

Jawabannya membuat Lala terdiam.

"Yaudah kalau begitu. Makasih ya, Kak Shavela." Adin tidak menunggu jawaban Lala, langsung berlalu pergi dalam langkah-langkah riang, sementara Lala mendadak tenggelam dalam lamunan.

Katanya, mending menyesal karena udah mencoba daripada menyesal karena nggak pernah mencoba. Lagian, kalau nggak dicoba, kita nggak akan pernah tahu, kan?

Abisnya, kayaknya Kak Artajuna suka sama kakak.

Lala mengerjap berkali-kali, memegang dua pipinya yang sekarang terasa panas.

Apa yang baru aja gue pikirkan?!

*

Kegugupan mereka bertiga makin menjadi waktu mereka naik panggung dan disambut oleh massa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa guru sempat melihat mereka, tapi langsung lanjut mengobrol lagi begitu tahu siapa yang akan tampil. Siswa-siswa malah dengan santainya berjalan menjauhi panggung. Nana melirik pada Jeno dan Injun yang balik melihat ke arahnya, lalu mengangguk. Dia menelan ludah, matanya menatap ke kerumunan dan saat dia melihat Kasa duduk di sebelah Ryona... entah kenapa bebannya seperti terbang pergi entah kemana.

Nana menarik napas, mengawali dengan petikan gitarnya.

https://youtu.be/uIi8c6hLpRs

Sesuai yang telah direncanakan, lagu pertama yang akan mereka bawakan adalah lagu berjudul Waktu yang Salah dari Fiersa Besari. Sengaja sih, saat tampil Injun nggak mencari Lala diantara penonton. Soalnya lagunya sedih, sih. Patah hati gitu, nanti Lala bapernya menuju jalur yang salah. Kan bisa berabe buat Injun. Yah, kalau Injun pikir lagi sih ya, kenapa mesti segitunya mikirin makna lagunya. Tapi nggak tau sih. Setelah jadi musuh yang rajin berantem minimal seminggu sekali sejak Lala masuk jadi adik kelas super songong, nggak tau kenapa hadirnya Lala tuh jadi nggak terganti.

Apalagi waktu dia nggak sengaja lihat Lala nitipin celana ke Djalil, untuk kemudian celana itu diantar ke Injun. Injun nggak maksud mengintip sih, niatnya mau ke toilet, ngecek robekan celananya tanpa harus khawatir otong di balik kolor bakal jadi bahan tertawaan Terry, tapi malah nggak sengaja menyaksikan sebuah transaksi rahasia. Entah deh, itu celana barusan dimaling Lala dari mana, walau yang jelas bukan dari mal karena celananya bau pewangi Downy.

By the way, Injun nggak di-endorse Downy.

Semua yang menonton langsung dibuat tercengang waktu Jeno dan Nana membuka lagu dengan petikan gitar mereka. Guru-guru yang mengobrol langsung menolah. Para siswa yang semula hendak pergi ke kantin berhenti melangkah. Perhatian mereka semua tersita pada panggung.

Ternyata, saran Komandan Toil ada faedahnya. Berhubung lagunya familiar, banyak banget yang ikut nyanyi. Ada juga yang berani naik panggung dan ngasih bunga ke Jeno. Nana sih sepanjang main gitar, matanya hanya tertancap pada Kasa seorang. Sesekali menunduk, terus menarik senyum setengah menyeringai.

Setelah lagu pertama selesai diikuti tepuk tangan yang meriah—yang bikin mereka bertiga melongo sambil saling menatap selama beberapa saat, Injun berdeham pada mic di tangannya, sementara matanya mencari diantara kerumunan para siswa, guru dan orang tua yang menonton. Dia sempat panik karena tidak kunjung menemukan Lala, tapi langsung lega saat dilihatnya, Lala berdiri di sudut. Rambutnya dikuncir satu seperti biasa dan dia... memegang setangkai bunga.

"Tadinya, kita mau bawain satu lagu aja. Tapi berhubung gue udah janji sama seseorang kalau gue bakal nyanyi buat dia saat Pensi dan lagu tadi terlalu sedih, jadi gue bakal bawain satu lagu lagi. Kira-kira boleh nggak?"

Semua orang kompak meneriakkan kata 'boleh' yang membuat Injun nyengir sementara Jeno dan Nana langsung senyam-senyum sambil memandang senar gitar mereka.

"Oke kalau gitu." Injun mencabut mic dari standnya. "Katanya, dewi paling cantik dalam mitologi Yunani itu Dewi Aphrodite. Tapi gue... lebih suka Medusa. Jadi lo yang pelototannya bisa bikin gue speechless sampai kayak patung, lagu ini buat lo."

Lagu itu lagu yang cukup populer, tapi Lala tidak terlalu ingat liriknya, namun hanya dari intronya, siapapun sudah bisa menerka lagu itu pasti sangat manis.

https://youtu.be/uEsKSDBRFuc

Itu Cinta Luar Biasa yang dibawakan oleh Andmesh Kamaleng.

Hari-hari berganti

Kini cinta pun hadir

Melihatmu, memandangmu bagai bidadari

Lentik indah matamu

Manis senyum bibirmu

Hitam panjang rambutmu anggun terikat

Rasa ini tak tertahan

Hati ini selalu untukmu

Lala menggigit bibirnya, bimbang akan apa yang harus dia lakukan. Semua yang menonton terdiam, tersihir sempurna oleh melodi yang dimainkan oleh mereka bertiga. Ada bagian dari diri Lala yang ingin maju, memberi bunga di tangannya pada Injun. Dia tidak peduli seisi sekolah akan bereaksi seperti apa soal fakta bagaimana dirinya yang ketua OSIS menyukai Artajuna, si biang onar dari angkatan tertua kelas IPS. Dia ingin Injun tahu bahwa selama ini, bahkan sejak dia pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, dia sudah memiliki perasaan yang istimewa buat cowok itu.

Terimalah lagu ini, dari orang biasa

Tapi cintaku padamu luar biasa

Aku tak punya bunga

Aku tak punya harta

Yang kupunya hanyalah hati yang setia, tulus padamu.

Lala memberanikan dirinya, baru mengambil beberapa langkah untuk menghampiri panggung ketika seseorang muncul dari sisi panggung. Dia naik tanpa malu, memberikan bunga di tangannya pada Injun yang langsung membalasnya dengan cengiran seraya terus menyanyikan lagu. Pemberi bunga itu adalah Adin.

Lala menunduk, menatap bunga di tangannya sendiri seiring dengan seluruh keberaniannya yang terbang pergi.

Kenapa dia selalu sepengecut ini?

*

Nana baru turun panggung ketika seseorang menubruknya keras. Otomatis, Nana meraihnya dalam pelukan erat seraya menunduk, mengubur hidungnya pada helai rambut Kasa. Tangannya melingkar di bahu Kasa, juga melekat di belakang leher gadis itu. Dia sengaja tetap memeluk Kasa beberapa lama, menghirup wangi shampo Kasa banyak-banyak. Kasa sering berkata, Nana punya pelukan paling hangat sedunia. Namun Nana rasa, Kasa salah. Pelukannya sendiri jauh lebih hangat, bikin Nana berasa pulang.

"Nana?"

Suara berat Nana agak teredam karena bibirnya masih berada di dekat leher gadis itu, terselubungi oleh rambutnya. "Mm-hm?"

"Orang-orang ngelihatin kita."

"Nggak apa-apa, jadi mereka tahu cuma aku yang bisa meluk kamu kayak gini."

"Pak Terry juga ngelihat."

"Nggak apa-apa, biar aja ngenes. Dia kan jomblo."

Kasa tertawa dan saat itulah, Nana melepas pelukannya. Nana tersenyum, mengulurkan tangannya untuk menyelipkan sejumput rambut Kasa ke belakang telinga. Saat sedang tersenyum lebar, mata Kasa selalu kelihatan lebih kecil. Manis. Nana suka.

"Aku lepas pelukannya karena mau lihat kamu ketawa. Ketawa kamu bagus."

"Nana—"

"Bagian belakang panggung bukan buat pacaran." Terry tiba-tiba menyela, diikuti oleh Ryona yang berjalan di belakangnya. Nana memberengut, mengerucutkan bibir hingga matanya jatuh pada Ryona yang kini tersenyum.

"Tante nonton sampai akhir?"

Ryona mengangguk. "Tadi itu... bagus sekali."

Terry berdeham, membuat Kasa paham apa maksudnya dan mereka berdua berlalu tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Ryona hanya berdua dengan Nana—well, mungkin teknisnya tidak hanya berdua karena ada orang di sekeliling mereka, namun jarak orang-orang tersebut cukup jauh.

"Makasih sudah nonton, Tante."

Ryona menatap Nana. Bagaimana kulitnya terlihat sangat kontras dengan kaus hitamnya di bawah terpa sinar matahari. Bagaimana rambutnya tertiup angin. Dan bagaimana senyum merekah di wajahnya yang sumringah. Rasanya, dia seperti diseret ke masa lalu. Nana dan ayahnya begitu mirip. Sangat mirip, sampai-sampai Ryona harus mengingatkan dirinya sendiri berkali-kali kalau anak itu bukan ayahnya.

"Ini pertama kali saya nonton konser setelah bertahun-tahun."

Nana tersenyum malu, menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. "Tadi tuh bukan konser, Tante."

Ryona terkekeh. "Penampilan kamu lebih bagus dari kebanyakan konser yang saya datangi."

"Kalau gitu, Tante pasti jarang nonton konser."

"Mungkin kamu benar." Ryona tertawa. "Saya terakhir kali nonton konser... mungkin hampir 20 tahun yang lalu. Nggak berakhir baik."

"Kenapa?"

Ryona tersenyum pahit. "Konsernya tengah malam. Saya terlambat pulang dan dimarahi Papa saya. Sejak saat itu, saya nggak pernah nonton konser lagi."

Tentu itu semua dusta. Ryona tidak terlambat pulang. Dia bahkan tidak pulang sama sekali. Tetapi tidak mungkin baginya bilang, konser yang dia datangi adalah konser band ayah Nana, kan?

"Suatu hari nanti, kalau saya punya konser sendiri, saya bakal kasih Tante kursi gratis di deretan paling depan."

"Saya tunggu."

"Walau kayaknya bakal sangat lama." Nana menunduk, lagi-lagi berusaha menutupi rona di pipinya. Tingkahnya terkesan malu-malu, berbanding terbalik dengan tatapannya saat memetik gitar di atas panggung tadi. Lalu dia menatap Ryona sekali lagi dan wanita itu baru sadar, mata Nana kelihatan berkaca-kaca.

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa." Nana menyeka pelupuk matanya dengan jari sambil tertawa. "Cuma... ini pertama kali saya tampil di atas panggung, ditonton orang. Orang-orang lihat muka saya. Orang-orang tahu saya siapa. Saya nggak harus takut bakal bikin Nenek sedih karena tampil di atas panggung. Dan... ada Tante yang nonton saya."

"Jevais—"

"Saya nggak pernah kenal siapa ibu saya. Dulu waktu kecil, saya suka mikir, kayak gimana ya rasanya punya Mama yang bakal marah-marah tiap ambil raport dan lihat ada nilai merah. Kayak gimana rasanya punya Mama yang bisa dikasih hadiah setiap Hari Ibu. Sekarang, karena Tante mau nonton, saya berasa punya Mama juga, kayak Jeno sama Injun. Makasih ya."

Ryona menghela napas, berusaha menahan air matanya sendiri kemudian, tanpa berkata apa-apa, dia menarik Nana ke dalam pelukannya. Cowok itu balik mendekapnya erat. Dia pasti melewatkan banyak momen. Dia melewatkan masa-masa di mana Nana hanya bisa merangkak dan menangis. Dia melewatkan hari pertama Nana masuk sekolah. Dia tidak pernah melihat bagaimana cowok itu mendewasa seiring dengan waktu yang berlalu. Ini pelukan pertama mereka, dan Nana sudah jauh lebih tinggi darinya.

Sepanjang hidupnya, ada satu malam yang selalu Ryona sesali.

Dia selalu berpikir andai saja, andai saja, andai saja setiap mengingat malam itu. Tetapi sekarang, dia merasa, mungkin malam itu memang seharusnya terjadi. Lagipula, konon katanya, semua selalu terjadi untuk sebuah alasan, kan?

Malam itu memang seharusnya terjadi, karena tanpanya, Jevais tidak akan ada.

Ryona menggigit bibir dan air mata menetes di wajahnya.

Jevais Nareshwara. Nama yang bagus.

Anakku... namanya Jevais Nareshwara.

*

Usai penampilan panggung Injun-Jeno-Nana berakhir, Giza kembali memasang tudung hoodienya sebelum berbalik menuju pintu gerbang sekolah. Oke, anggap saja dia tolol atau apa, tapi dia betul-betul tidak bisa menahan diri. Setelah mendengar Jeno membuat perjanjian dengan Dean soal kompetisi band dan kabar tentang cowok itu yang bakal tampil di Pensi sekolahnya, Giza ingin memastikan Jeno bakal baik-baik saja.

Ternyata, cowok itu melakukannya lebih baik dari yang Giza kira.

Jeno memang pernah cerita kalau dia bisa bermain gitar, tapi Giza tidak menebak kalau Jeno sejago itu. Juga, ada sesuatu yang magis dalam caranya bermain gitar. Dia seperti terlarut dalam dunianya sendiri, dalam petikan melodi yang dia mainkan. Dan satu tambahan lagi, Jeno kelihatan ganteng banget hari ini. Namun tentu saja, Jeno tidak boleh tahu Giza ada di sana. Jadi sejenak setelah penampilan mereka selesai, Giza langsung berbalik pergi.

Sayangnya, Jeno sepertinya menyadari kehadirannya. Giza belum lagi melangkah jauh meninggalkan sekolah saat dia mendengar Jeno memanggil namanya. Refleks, gadis itu menoleh dan mendapati Jeno sedang berlari menghampirinya.

"Giza!"

Giza tidak menjawab, menarik napas dan berdeham untuk melegakan tenggorokannya sesaat sebelum Jeno tiba di depannya.

"Kamu nonton?" Jeno bertanya diikuti senyum yang bikin kedua matanya melengkung seperti bulan sabit.

"Jeno—"'

"Makasih ya udah dateng. Saya seneng!"

Giza ingin membantah, tapi batal bicara ketika dari sudut matanya, dia melihat Dean bersama motornya di kejauhan. Cowok itu sedang merokok, mengamatinya dengan mata setajam elang. Lalu tanpa peduli akan Giza yang telah menyadari keberadaannya, dia menjatuhkan rokoknya, mematikan bara yang tersisa dengan satu kali injakan. Lantas, cowok itu menyalakan motornya, memutar balik dengan cara yang seenaknya tanpa sadar ada sebuah mobil yang tengah melaju kencang ke arahnya. Dean memutar terlalu jauh, membuat motornya berada di lintasan kendaraan yang berlawanan dan tanpa bisa dihindari, tabrakan pun terjadi. 





bersambung ke nineteenth note 

***

Catatan dari Renita: 

alo everybody wkwkwk sori banget baru posting lagi yaaa, soalnya kemarenan ngejar revisi. maafkeun. doakan semoga semua urusan akademik saya segera selesai, jadi bisa posting sering-sering. 

ea aku tau kalian merindukan pak toil. nanti di chapter selanjutnya, kehadiran pak toil bakal makin intens kok hahaha dan siap-siap karena roller-coaster ride akan dimulai pada chapter ke-19 wkwkwkwkwkwkwk 

kemanapun cerita ini berakhir, mari kita lihat. 

btw, congrats karena akhirnya first world tour nct 127 selesai ya walaupun saya salty kenapa ga mampir ke indonesia. sebel. tapi yauda, mungkin next tour harus disusulin langsung ke korea haha jamaah bilang apa? aamiinnnnn. 

dah, sekian dariku, sampai ketemu di chapter berikutnya. 

ciao. 

Semarang, July 21st 2019 

19.19

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro