20. SHOURI'S SIDE: SEBENARNYA...
Waktu itu saat aku dan teman-teman sekelompokku sewaktu kuliah mengadakan reuni. Yuka meminta untuk bertemu denganku lebih dulu untuk menjelaskan sesuatu, katanya.
Nyatanya tak ada pembahasan darinya. Hanya perbincangan remeh soal makanan yang dipesan, teman-teman yang sudah menikah, kesibukanku, kesibukannya, hanya itu.
Setelah makan siang bersamanya, kami lanjut menuju tempat karaoke. Tempat kami akan berkumpul di sana. Dalam perjalanan, Yuka tak hentinya membahas masa-masa kami ketika kuliah.
Yuka masih seperti biasa. Masih seperti awal sebelum ia mendeklarasikan perasaannya padaku ketika aku mengatakan kalau akan sibuk ke Tokyo. Setelahnya aku meninggalkannya.
Terdengar jahat, memang. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada aku harus bersikap seolah aku juga menaruh rasa padanya. Aku hanya menganggapnya sebagai sahabatku. Tak lebih. Kurasa sikapku membuatnya salah paham karena kami lebih banyak menghabiskan waktu berdua dibanding dengan teman sekelompokku.
Sungguh, Yuka selalu bisa diandalkan. Bahkan ketika aku tidak meminta ia hadir pun selalu datang. Mungkin karena itu ia jadi salah paham. Bahkan teman-temanku pun juga demikian meski sudah kujelaskan yang sebenarnya.
Setelah sampai di tempat karaoke, kami memesan tempat untuk 6 orang. Entah mengapa aku merasa waktu itu ada yang mengikuti. Semoga ini cuma halusinasiku.
Kubuka ponsel untuk mengabarkan teman-temanku sembari berjalan menuju satu ruang yang sudah kami pesan.
Dan kini hanya kami berdua di ruang ini. Belum ada percakapan lagi. Yuka sedang sibuk mengamati ruangan ini, sedang aku masih sibuk dengan ponselku.
"Hey, Shou-chan."
Astaga panggilan itu. Refleks aku menoleh padanya yang sedang menghampiriku. Duduk dekat denganku tanpa ada jarak. Kemudian wajahnya mendekat padaku, mempertemukan kedua bibir kami. Singkat. Setelahnya ia agak menjauh.
"Yuka–"
"Aku masih mencintaimu."
"Tapi... sudah kujelaskan waktu itu, bukan?"
"Apa aku tidak ada kesempatan lagi?" tatapan Yuka mulai sayu. Bahunya melemas. Kalau sudah begini, aku yang akan disalahkan jika teman-temanku melihat ini.
Aku menggeleng lemah. Rasanya aku ingin menjelaskan tentangmu pada Yuka. Soal kita yang sudah berkomitmen dan tinggal bersama, tapi tidak bisa. Demi karirku juga dan urusan pribadimu. Aku tidak mau kalau sampai Yuka mengusikmu. Pikiranku sudah mulai jauh.
"Maaf, Yuka. Kamu enggak lebih dari sahabat aku. Aku minta maaf kalau perlakuanku padamu membuat salah paham. Tapi kalau kamu minta lebih dari ini, aku enggak bisa."
Yuka menarik ujung bibirnya. Terlihat memaksa untuk tersenyum, "Tapi boleh aku masih menghubungimu?"
Dengan ragu aku mengangguk. Sebenarnya tidak apa-apa kalau mau menghubungiku, tapi aku malah takut ada maksud lain, "Tapi aku tidak janji akan membalasnya cepat seperti dulu."
Kurasa Yuka sudah membaik. Ia tersenyum kemudian bersandar pada sofa. Menatap langit-langit ruangan.
Tak lama berselang, teman-teman kami sudah datang. Kami lanjutkan reuni ini. Yuka? Sudah kembali dengan keriaannya. Ia malah yang banyak berbicara, bertanya-tanya pada kami.
***
Setelah reuni itu, aku pulang sendiri dengan langkah terburu-buru. Aku mau ketemu kamu. Entah kenapa jadi setiap detik merindu.
Menggelikan, ya? tapi begitulah adanya.
Inginnya, sih, aku ajak kamu. Namun, aku enggak mau memperlihatkan keimutanmu pada teman-temanku. Nanti mereka jatuh cinta padamu. Aku enggak mau. Kamu cuma punyaku.
Sampailah aku di apartemen. Membuka pintu seraya mengucap salam. Mama yang baru saja ingin ke ruang tengah menyambutku. Aku memeluk mama menanyakan kamu ada di mana.
Segera aku ke kamar setelah diberitahu oleh mama. Kubuka pintu tanpa mengetuk dulu. Kulihat kamu sedang mengemasi barang-barangmu. Menolehku dengan tanpa ekspresi.
Jangan-jangan kamu masih marah.
"Ketuk dulu sebelum masuk." katamu yang kembali pada aktivitas tadi.
"Biasanya juga enggak usah." elakku. Mendekatimu lantas duduk di tepi kasur tepat beberapa jangka dari jarakmu.
"Kalau ke sini cuma diam saja, mending keluar deh." ketusmu.
"Galak banget. Aku cuma kangen, tahu." aku tersenyum seraya menatapmu.
"Aku enggak mempan digombali gitu."
"Aku enggak gombal. Beneran, tahu."
Kamu menghentikan aktivitas, lantas menatapku dengan tanpa ekspresi, lantas aku berdiri, tanpa persetujuan mendekapmu. Tidak ada tanggapan darimu. aku mengeratkan pelukan. Akhirnya kamu membalas pelukanku.
"Shou-chan." ucapmu.
"Hm?"
"Jangan pergi, ya."
Aku mengerutkan kening, "Aku masih di sini kok."
Ku kecup puncak kepalamu. Kamu ini kenapa, sih? Aku, kan, enggak akan ke mana-mana. Tadi cuma pergi reuni, sih. Hehe.
[Bersambung]
Ada yang ingin disampaikan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro