Dream
Seorang gadis tengah mendengus sebal, menatap nanar buku-buku di atas mejanya. Gadis itu lalu membenamkan wajahnya di antara lipatan tangannya.
Ia terlihat gusar, lalu membenarkan kembali posisi duduknya. Dan memandang kosong whiteboard di depan kelasnya.
"Lo kenapa?"
Sebuah suara mengintrupsi sang gadis untuk menoleh, dan melihat pemilik suara itu.
Gadis itu memutar bola matanya malas, saat melihat seorang laki-laki yang sedang menyirit bingung.
Ia lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Malas melihat laki-laki, yang berada di samping meja.
"Gue ngomong sama lo, Zalfa."
Gadis itu-Zalfa- menoleh lagi ke arah laki-laki tadi, dan berdecak kesal.
"Mau ngapain lo?"
"Lo kenapa?" tanya laki-laki itu, tanpa menghiraukan tatapan malas Zalfa.
"Engga kenapa-napa," jawab Zalfa.
Laki-laki itu menatap heran ke arah Zalfa. "Jangan bo—"
"Udah deh, Fal. Gue lagi males, lo jangan bikin gue tambah badmood."
Falah mengangkat sebelah alisnya. Lalu menarik kursi di samping Zalfa, dan mendudukinya.
"Ngapain lo?"
"Gue? Ya, duduk lah."
"Ngapain di sini? Ini tempat Muyash, bukan lo!" sunggut Zalfa kesal.
Falah tersenyum tipis. "Gue tau kok."
Zalfa mendelik, "Minggir lo, gue mau keluar."
Zalfa mendorong keras bahu Falah, agar ia dapat terbebas dari makhluk terkutuk di depannya. Zalfa lalu pergi keluar kelas dengan perasaan kesalnya.
Di koridor, Zalfa bertemu dengan Muyash-sahabatnya- nampak Muyash baru sampai di sekolah.
"Eh, mau kemana lo? Pagi-pagi udah ditekuk aja tuh muka," ucap Muyash.
Zalfa melirik sekilas ke arah Muyash. "Toilet."
Setelah obrolan singkat itu, Zalfa langsung pergi meninggalkan Muyash. Muyash yang melihat tingkah sahabatnya, hanya menggedikkan bahu, lalu melanjutkan perjalanan ke kelasnya.
--
Angin sepoi-sepoi menerpa hangat kulit Zalfa dan Muyash. Mereka sedang duduk di bawah pohon, Zalfa yang tengah menulis sesuatu di bindernya, dan Muyash yang sedang asik dengan makanan di tangannya.
"Zal, lo beneran engga mau makan?" tanya Muyash.
"Gue masih kenyang," balas Zalfa tanpa menatap Muyash.
"Engga minum juga?"
"Engga."
"Beneran?"
Zalfa menghembuskan nafas kasar, lalu menoleh ke samping. "Engga, Mu. Kalo gue laper, nanti gue makan."
Muyash memberikan cengiran khasnya. Zalfa lalu kembali berkutat dengan bindernya dan menggoreskan pena di sana.
Hening, selama beberapa menit.
"Kenapa engga nyoba buat nerbitin?"
Pertanyaan Muyash membuat Zalfa menghentikan aktivitas menulisnya. Lalu, memfokuskan penglihatannya ke arah Muyash.
"Gue belum berani. Lagian, ini 'kan cuma iseng-iseng gue aja."
"Menurut gue, lo punya potensi jadi penulis. Karya-karya lo di ... mana itu namanya? Wa- wattpad ya kalo engga salah? Itu juga bagus. Gue tau isi binder lo itu imajinasi lo semua 'kan? Ya, siapa tau dari salah satu naskah lo itu, bisa buat mimpi lo terwujud buat pergi ke sana," tutur Muyash.
"Gue aja engga yakin bisa ke sana. Apalagi hasil dari naskah gue, kalo diterima ya syukur kalo engga diterima?" Zalfa mendongak ke atas dan memejamkan matanya. "Gue engga bakalan bisa ke Jepang, dan liburan di sana. Itu cuma sebatas angan-angan gue aja."
Muyash menoyor kepala Zalfa. "Yee, kata siapa? Lo aja belum berusaha, udah mau nyerah aja."
"Bukan gitu, cuma ...."
"Gue tau masalah lo, tapi gue bakal bantu sebisa gue." Muyash tersenyum penuh arti. Memang, hanya Muyash lah yang tau seluk-beluk kehidupan Zalfa.
"Eh, tuh Falah mau ke sini," ucap Muyash.
Zalfa langsung mengikuti arah pandangan Muyash. Dan benar saja, Falah menuju ke sini. Ke tempatnya!
"Ck, mau ngapain sih dia?" gumam Zalfa yang dapat di dengar oleh Muyash.
"Nih buat lo." Falah menyerahkan kantong plastik putih ke arah Zalfa.
Zalfa menyirit bingung. "Ini apa?"
"Roti sama susu, gue tau lo belom makan."
"Trims, tapi gue masih ke—"
"Engga ada penolakan. Nanti lo bisa sakit," ucap Falah lalu pergi meninggalkan Zalfa dan Muyash.
Apa-apaan itu? pikir Zalfa.
"Ciee ada yang lagi PDKT nih," goda Muyash sambil menaik turunkan alisnya.
"Apaan sih? Gue engga PDKT, ya! Apalagi sama dia, ih males gue."
"Tapi, Falah perhatian sama lo, loh. Kayaknya dia suka deh."
"Dia perhatian karena dia anggep gue temen."
"Oh, berarti kalo lebih mau?" tanya Muyash.
"Engga lah, lagian kenapa nanya kaya gitu?"
"Ya engga kenapa-napa sih. Tapi, kalo gue sama falah lo marah engga?"
"Engga, lo mau sama Falah? Gue engga perduli, Falah mau sama siapa aja itu bukan urusan gue. Tapi, bukannya lo sama David ya?"
Muyash terkikik geli. "Kalo engga dapet David, Falah juga boleh. By the way, awas nanti lo ke makan omongan sendiri."
Zalfa memutar bola matanya malas. "ENGGA AKAN!"
--
Selalu seperti ini, setiap malam Zalfa harus mendengar pertengkaran kedua orang tuanya.
Zalfa pun tidak dapat berbuat apa-apa. Yang ia lakukan hanya menangis, dan menangis. Meratapi nasib buruk yang selalu menghampiri keluarganya.
Tidak ada kasih sayang, tidak ada kepedulian. Bahkan, mereka hanya memperdulikan ego masing-masing.
Tidak berfikir bahwa, kelakuan mereka berdampak buruk bagi kondisi mental anaknya.
"Kalo kamu seperti itu, lebih baik kita cerai!" terdengar seruan dari ayahnya.
"Oke kalo kamu mau seperti itu. Besok aku akan mengurus suratnya." Sang ibu bahkan menyetujuinya tanpa berfikir panjang.
Deg!
Cerai? Cerai? Kedua orang tuanya akan bercerai? Oh Tuhan, cobaan apalagi kali ini?
Padahal, baru saja Zalfa berniat untuk menanyakan persetujuan kedua orang tuanya, untuk mengirimkan salah satu naskahnya. Tapi, ke-beraniannya hilang begitu saja saat mendengar ucapan mereka yang akan bercerai.
Apa yang harus Zalfa lakukan sekarang? Keluar dan memohon agar mereka tidak bercerai?
Tapi, apa bisa?
Lagi, Zalfa hanya duduk dan menenggelamkan kepalanya diantara lipatan tangannya.
--
Besoknya, Zalfa datang ke sekolah dengan mata sembab, Zalfa langsung duduk di kusinya tanpa menoleh pada siapa pun. Zalfa yang biasanya akan menyapa, tapi kini hanya diam.
Muyash yang bingung dengan perubahan sifat Zalfa langsung menghampiri mejanya dan bertanya, "Zal, kenapa?"
Zalfa tidak menjawab, tapi Muyash tau kalau sahabatnya ini sedang menangis. Terlihat dari bahunya yang bergetar.
Muyash langsung mengusap pelan punggung Zalfa, berusaha menenangkannya. "Kalo lo ada masalah, lo bisa cerita ke gue."
"O-orang tua gue mau ce-cerai hiks ... g-gue ... gue ikut ibu gue hiks," lirih Zalfa.
Muyash langsung memeluk Zalfa, ia sangat tau perasaan Zalfa saat ini. Sudah banyak yang Muyash tau tentang keluarga Zalfa. Menurut Muyash, Zalfa adalah sosok yang tegar.
Tapi, bila Zalfa tidak kuat untuk memendamnya, Zalfa pasti akan mencurahkannya lewat tangisan. Menurut Zalfa, tangisan adalah sebuah bentuk luapan emosi. Dengan menangis, sedikit beban akan hilang.
"Lo yang sabar ya, maaf gue engga bisa bantu."
Zalfa tersenyum sambil menghapus air matanya. "Makasih, Mu."
Muyash menganggukkan kepalanya. "Oh ya Zal, ng ... sebelumnya maaf. Gue sama Falah udah ngirim naskah lo ke penerbit."
Zalfa membelalakkan matanya. "Bohong!"
"Serius, kemarin gue minta tolong sama Falah. Tapi tenang aja, sebelum dikirim udah di revisi kok sama Falah." Muyash meringis.
"Kok bisa?"
"Bisa lah," jawab seseorang dari belakang mereka.
"Fa-falah," gumam Zalfa.
"Tinggal nunggu penerbit ngabarin lo. Dan nanti lo bisa mewujud 'kan mimpi lo ke Jepang dan liburan di sana." Falah merangkul pundak Muyash.
Zalfa menyirit bingung. Banginya, pemandangan di depannya ini terasa yang janggal.
"Malah bengong, harusnya lo seneng Zal," tegur Muyash.
"Kalian pacaran?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Zalfa.
"Lo cemburu?" tanya Falah dengan senyum miringnya.
"Hah? Gue? Cemburu? Ya engga lah. Mau lo jadian sama siapa pun gue engga perduli."
"Loh? Siapa yang jadian? Gue engga bilang jadian kok," ucap Falah.
"Ng ... itu apa maksudnya ... ah terserahlah." Malu. Kenapa bisa secepat itu menyimpulkan bahwa Muyash dan Falah jadian?
"Yaudah, gue mau ke kantin lo mau ikut engga?"
"Ogah! Yang ada nanti gue jadi nyamuk di sana," cibir Zalfa.
"Oke, kita duluan." Falah langsung menarik tangan Muyash untuk berdiri. Sebelum meninggalkan Zalfa, Muyash sempat berbisik sesuatu yang entah kenapa membuat perih hatinya.
"Gue lagi deket sama Falah. Itu jawaban, kalo ada sesuatu yang pengen lo tanyain ke gue."
--
Saat istirahat pun, Zalfa tidak beranjak dari kursinya. Sementara Muyash sudah pergi dengan Falah saat bell berbunyi.
Sakit.
Satu kata yang mewakili perasaan Zalfa. Ia tidak tau kenapa merasakan itu. Apa Zalfa mulai menyukai Falah? Karena Falah selalu perhatian? Dan memberikannya kejutan kecil seperti kemarin? Entah lah Zalfa sendiri pun tidak tau.
Sedang asik termenung Zalfa di kagetkan dengan suara yang memanggilnya. "Zalfa!"
Zalfa menoleh dan mendapati Riza yang menghampirinya. "Kenapa?"
"Tadi gue ngeliat Falah sama Muyash di kantin berdua," ucap Riza.
"Terus? Apa hubungannya sama gue?"
"Bukannya lo pacaran ya sama Falah? Abisnya Falah 'kan perhatian banget sama lo."
"Engga. Gue engga pacaran sama dia," ucap Zalfa.
"Lo engga cemburu emang?" tanya Riza.
"Ngapa—"
Drrt ... drrt ...
Ucapan Zalfa terpotong oleh dering handphone Zalfa.
"Halo?"
"...."
"Ya saya sendiri."
"...."
"Serius Pak?"
"...."
"Oh oke, terimakasih Pak."
Zalfa berseru senang setelah mematikan sambungan handphonenya. Reflex Zalfa memeluk Riza yang berada di sampingnya. "Gue seneng banget Riz! Naskah gue di terima! Dan liburan nanti gue bisa ke Jepang."
"Gue turut bahagia. Tapi, lo bisa lepas pelukannya?" tanya Riza.
Tersadar, Zalfa langsung melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar. "Oops, sorry. Gue terlalu seneng."
"Lo mau ke Jepang?"
Zalfa mengangguk antusias. "Yap. Itu salah satu impian gue, siapa tau gue bisa ketemu kak Andori."
"Mimpi lo yang lain?"
"Petama, bisa ke Jepang. Kedua, bisa liburan di sana. Dan ketiga gue berharap ...."
--
Hari-hari berlalu, Muyash dan Falah makin dekat. Dan perasaan Zalfa semakin sakit melihat keduanya. Tapi, Zalfa juga semakin dekat dengan Riza. Zalfa merasa nyaman dengan Riza sebagai ... teman.
Penjualan novel Zalfa pun semakin naik dan banyak menghasilkan keuntungan. Lusa, Zalfa, Riza, Muyash, dan Falah pergi berlibur ke Jepang. Semua biaya ditanggung oleh Zalfa, sebagai pertanda terimakasih.
--
Kini, mereka telah sampai di negeri sakura, Jepang. Musim yang sedang berlangsung di Jepang adalah musim gugur. Mereka semua menetap di salah satu penginapan di kawasan Prefektur Chiba.
Karena mereka berniat, bermain di Tokyo Disneyland besok. Tokyo Disneyland sendiri, merupakan taman hiburan besar di Tokyo yang bersebelahan dengan Tokyo Disney Sea.
"Akhirnya gue sampai di sini juga!" seru Zalfa.
Muyash, Falah, dan Riza hanya geleng-geleng melihat tingkah Zalfa. Mereka segera beristirahat di penginapan dan membersihkan diri.
Tok. Tok!
Malam pun tiba, dan ada seseorang yang mengetuk pintu kamar Zalfa. Zalfa segera menggeser pintu dan melihat Riza di sana.
"Oyasumi (selamat malam)," ucap Riza.
"Riza? Ngapain?" tanya Zalfa bingung.
"Ikut gue yuk, jalan-jalan. Sekitar penginapan aja."
Zalfa mengangguk ragu. "Oke, gue ngambil jaket dulu."
Setelah mengambil jaket, Riza langsung menggandeng tanganku, berjalan keluar penginapan.
"Mau kemana Riz?" tanya Zalfa.
"Jalan-jalan," balas Riza singkat.
Zalfa bingung melihat sikap Riza malam ini. Selama beberapa menit berjalan, tidak ada yang berbicara. Zalfa yang masih bingung, dan Riza yang menutupi sesuatu.
Sampai mereka berhenti di sebuah taman yang cukup indah. Zalfa membuka suaranya, "Ada apa Riz? Kok aneh banget."
"Oke," Riza mengangkat tangannya. "Gue mau wujudin impian lo."
"Impian yang mana?" Zalfa bertanya bingung. "Gue udah bisa ke Jepang, gue juga udah liburan di sini. Semua udah kenyataan kok."
"Yakin cuma itu?" Riza tersenyum rahasia.
"Ng ...." Zalfa bergumam. "Ada satu lagi sih, tapi gue rasa lo engga mungkin bantu mewujudkannya."
"Siapa bilang?" Riza tersenyum mengejek.
"Gue," Zalfa membalas tatapannya. "Yang terakhir, bisa dapat pernyataan cinta di Jepang. Impossible, right?"
Riza menatapku dalam dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba dia tersenyum. "Watashi wa anata o ashite (aku cinta kamu)."
"Hah?" Zalfa menyirit bingung dan terkejut karena ucapan Riza.
"Watashi wa anata o ashite," Riza tersenyum lembut. "Sekarang, impian lo udah terkabul 'kan?"
"Maksud lo apa?"
"Kurang jelas?" Riza menarik nafas panjang. "Watashi-wa-anata-o-ashite!"
"Iya, tapi ...."
"Engga pake tapi, gue cuma mau bilang itu aja."
"Riza!" Zalfa menggenggam tangan Riza. "Maksud lo apa? Itu bukan bercandaan yang—"
"Siapa yang bercanda?" tanya Riza sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Zalfa.
"Gue engga ngerti Riz, jelasin!"
Riza menghela nafas panjang. "Yang mana yang lo engga ngerti? Kalimat itu sederhana, dan gue yakin lo ngerti juga artinya."
"Lo-lo serius?"
"Gue serius," Riza menatap dalam manik mata Zalfa. "Engga percaya?"
"Kok, bisa?" Zalfa bertanya pelan dan mengalihkan pandangannya ke bawah. Ada sesuatu di tatapan Riza yang membuat Zalfa merasa bersalah. Ada cinta di dalamnya, cinta yang selama ini tidak pernah disadari oleh Zalfa.
"Gue ngerasa nyaman sama lo, ya selama kita deket gue ngerasa engga mau kehilangan aja. Emang sih kita baru deket sebentar, tapi perasaan mana ada yang bisa kita hindari?"
"Tapi ...."
"Apalagi?" tanya Riza dengan malas.
"Tapi, gue engga," aku menguatkan hati dan menarik nafas dalam-dalam. "Tapi gue engga cinta sama lo."
"Yang nyuruh lo cinta sama gue siapa?" Riza tersenyum. "Gue cuma bilang kalau gue cinta sama lo. Gue engga nuntut lo buat suka sama gue, ngajak pacaran apalagi ngelamar."
"Gue ..."
"Jangan terlalu dipikirin, gue ngomong buat mengakhiri perasaan gue ke lo. 'Kan katanya kita bakalan cepet move on kalau ditolak." Riza tertawa pelan.
"Jadi, lo tetep nyatain perasaan lo sama gue padahal lo tau gue engga suka sama lo. Kenapa?"
"Simple. Gue mau wujudin impian lo dan, cepet move on dari lo." Riza mengacak pelan rambut Zalfa. "Gue engga buta, gue tau lo cinta sama Falah. Tapi, lo selalu nyangkal dan mikir dia itu cuma penganggu."
"Lo tau?!" tanya Zalfa panik.
"Gue tau dari tatapan lo, pas liat dia sama Muyash," ucap Riza. "Balik yuk, dingin."
Riza melangkah lebih dulu, tapi Zalfa masih diam ditempatnya tadi. Merasa bersalah karena telah mematahkan hati Riza.
"Zal?" Riza berbalik saat sadar Zalfa tidak ada di sampingnya.
"Gue jahat banget ya, sama lo," lirih Zalfa.
"Lo engga jahat kok. 'Kan lo engga salah apa-apa." Riza tersenyum tipis, dan membuat Zalfa makin bersalah.
"Gue tau konsekuensi dari omongan gue. Akan lebih nyakitin, kalo gue engga nyatain perasaan gue." Riza tiba-tiba merentangkan tangannya. "Kita masih bisa jadi sahabat, 'kan?"
Tanpa disadari Zalfa langsung berlari ke arah Riza dan memeluknya seerat mungkin.
--
Besoknya, mereka semua bermain di Tokyo Disneyland. Mereka bermain semua permainan yang ada di dalamnya. Mereka juga mengunjugi toko-toko souvernir dan makan di restorannya.
Setelah lelah bermain, mereka memilih duduk dan mengistirahatkan sebentar tubuh mereka.
"Zal," panggil Falah.
Zalfa menoleh, "Ya?"
"Temenin gue beli makanan, yuk."
Zalfa mengangguk dan berjalan mengikuti Falah. Sampai di sebuah tenda kecil, mereka memesan makanan ringan dan minuman.
"Zal, duduk di sana dulu ya," ajak Falah menunjuk sebuah kursi yang memang tersedia untuk pengunjung.
"Tapi nanti mereka nungguin kita."
"Udah engga kenapa-napa." Falah langsung menarik tangan Zalfa untuk ikut duduk di sana.
Hening.
Selama beberapa menit.
Tiba-tiba saja Falah menghadapkan tubuhnya ke arah Zalfa dan memegang tangannya.
"Zal," panggil Falah.
Zalfa kini merasa degub jantungnya berdetak dua kali lipat. Apalagi tatapan mata Falah yang begitu teduh dan juga falah sedang memegang tangannya. Dengan gugup Zalfa menjawab, "I-iya?"
"Mungkin ini tiba-tiba, tapi...." Falah memejamkan matanya sebentar, lalu menatap dalam mata Zalfa. "Anata wa watashi no gārufurendo ni narimasu ka? (maukah kau menjadi kekasihku?)." Zalfa menahan nafas tanpa disadari. "N-nani? (apa?)"
Falah membalikkan badan sebentar, lalu kembali menghadap Zalfa dengan sebuket bunga. "Zalfa, kamu mau engga jadi kekasih aku?"
"Ta-tapi, bukannya kamu sama Muyash—"
"Aku engga ada apa-apa sama Muyash, itu semua ide Muyash. Dia pengen tau perasaan kamu ke aku," ucap Falah. "Jadi?"
Zalfa tersenyum, lalu mengangguk. Falah yang senang cintanya diterima pun langsung memeluk Zalfa.
Kini, semua impian Zalfa terwujud. Maskipun banyak rintangan yang harus ia hadapi. Tapi, sebuah hasil tidak ada mengkhianati sebuah perjuangan 'kan?
Dan tanpa mereka sadari, tidak jauh dari tempat Falah dan Zalfa. Ada sepasang mata yang melihat dan terasa disakiti. Orang itu adalah Muyash.
Siapa sangka? Dia yang awalnya membuat rencana untuk melihat kecemburuan Zalfa, malah terbawa perasaan dengan Falah? Muyash segera berlalu pergi dengan meninggalkan sesak di dadanya.
THE END.
�yqv l
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro