Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[37] No More Drama, I Just Need You

Kata dokter, Bora nggak kenapa-kenapa, dia cuma syok, tapi sampai sekarang cewek itu belum sadar. Reksa udah menelepon keluarga Bora tadi, sebentar lagi mereka pasti akan sampai. Dia duduk di samping ranjang dan terus menatap Bora. Cewek itu kelihatan lemas dan nggak berdaya. Napasnya dihela dalam-dalam. Tahu gitu, tadi dia nggak meninggalkan Bora dan membiarkan cewek itu bareng Akas.

Pintu kamar terbuka dan Anka orang pertama yang muncul dari sana. Setelahnya, orangtua Bora menyusul, dan terakhir Ardy, yang nggak bisa beranjak saat melihat orang di sebelah Akas. "Tyas ...," panggilnya lemah, membuat cewek itu ikut membelalak.

"Kak ... Ardy ...." Tyas nggak pernah menyangka akan bertemu Ardy dalam keadaan seperti ini, di sini.

"Kamu kenal dia?" tanya Akas saat mendengar panggilan Tyas barusan. Saat Tyas nggak menjawab dan cuma menatap Ardy, Akas langsung sadar akan sesuatu. Tangannya mengepal.

Tyas melihat itu, perubahan sikap kakaknya. Dengan cepat dia menahan tangan Akas. "Aku mau ngomong sama dia, Kak." Butuh waktu cukup lama buat Akas mengangguk, tapi akhirnya kakaknya luluh. Tyas tersenyum singkat lalu menggerakkan kursi rodanya ke arah Ardy. "Kita bisa ngomong di luar, Kak?"

Ardy masih mematung, tapi melihat Tyas mulai bergerak, akhirnya dia mengikuti. Di depan, mereka belum juga membuka suara. Keduanya masih ditelan keheningan dan pikiran masing-masing. "Kamu ke mana aja?" Akhirnya Ardy menanyakan pertanyaan yang selama ini dia membuatnya penasaran.

Kening Tyas berkerut. Keluarganya memang nggak kasih tahu siapa pun tentang kondisinya. Pihak sekolah cuma tahu kalau dia berhenti. Tapi harusnya bukan itu yang diomongin Ardy pas mereka ketemu kayak sekarang, setelah semua perbuatannya, kan?

Tyas tertawa kecil. Rasanya aneh mendengar pertanyaan itu, dan dia juga bingung harus ngomong kayak gimana sama orang kayak Ardy, yang kayaknya nggak merasa bersalah sama sekali. "Kakak bisa tanya kayak gitu setelah ngelakuin semua ini sama aku?"

Kali ini gantian kening Ardy yang berkerut. "Emangnya aku ngelakuin apa ke kamu, Yas?"

Tyas sepenuhnya nggak mengerti Ardy. Bisa-bisanya cowok ini .... Dia menarik napas dalam-dalam. Dia harus bisa mengontrol emosi mulai sekarang. "Apa jadiin aku bahan taruhan bukan apa-apa buat Kakak?"

"Aku nggak pernah jadiin kamu bahan taruhan, Tyas. Siapa yang bilang kayak gitu? Yang aku tau, kamu menghilang dari sekolah. Tiap hari aku nungguin kamu di depan gerbang, di tempat biasa kita ketemu, tapi kamu nggak pernah ada lagi sejak hari itu. Aku cari kamu ke mana-mana, tapi aku tetap nggak tahu keberadaan kamu."

Seketika Tyas nggak mengerti dengan semuanya. Kenapa semua bisa jadi beda banget kayak sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi? "Lalu yang cowok itu bilang ...."

"Siapa, Tyas? Siapa yang ngomong kayak gitu ke kamu?"

Tyas menggeleng. "Aku nggak kenal, tapi dia bilang aku cuma jadi bahan taruhan buat Kakak. Aku nggak usah banyak berharap, apalagi dengan kondisi fisikku yang kayak gini." Tyas mulai berpikir dan teringat pada sesuatu. "Dia bahkan bilang Kakak udah buang ini," lanjutnya sambil menunjukkan gantungan kunci bintang yang dulu dikasih Ardy.

Ardy meraih gantungan kunci itu dan mengusapnya pelan. Tangannya bergerak ke saku dan mengeluarkan gantungan kunci serupa. "Aku nggak pernah buang ini, Tyas. Nggak akan pernah."

Punggung Tyas melemas. Apa lagi ini? Apa selama ini dia juga udah salah paham sama Ardy? Apa selama ini dia udah sedih buat hal yang nggak perlu sama sekali?

Ardy berjongkok dan menggenggam tangan Tyas erat. "Kamu itu cewek paling berarti di hidup aku, Tyas. Di tengah semua masalah keluargaku, kamu yang bikin aku sadar dan membaik. Tapi habis kamu pergi, aku lagi-lagi kehilangan arah, kehilangan kontrol. Aku cari kamu ke mana-mana, karena aku butuh kamu. Cuma kamu yang bisa nenangin semua emosi aku. Cuma kamu yang bisa bikin aku jadi lebih baik."

Tyas memejam. Tangannya yang ada di dalam genggaman Ardy mengepal keras, membuat Ardy mengusapnya pelan. "Aku nggak tau gimana kehidupan kamu habis itu, tapi pasti berat banget. Aku minta maaf, Tyas, karena udah biarin kamu denger omongan kayak gitu. Aku minta maaf, karena nggak berhasil ngelindungin kamu. Jangan pergi lagi. Kita sama-sama lagi, ya?"

Omongan Ardy itu terdengar tulus. Setulus yang pernah Tyas dengar dulu. Dia jadi merasa bodoh, benar-benar bodoh. Harusnya dia percaya sama Ardy, percaya sama perasaan mereka. Harusnya dia nggak menelan mentah-mentah omongan cowok itu. Harusnya dia tanya lagi semuanya sama Ardy, dan nggak segampang itu terpuruk.

Ardy mengangkat tangannya, menghapus setetes air mata yang baru jatuh di wajah Tyas lalu mengusap kepalanya pelan. "Aku nggak akan biarin kamu nangis lagi."

Senyum Tyas mengembang. Hatinya menghangat. Perlahan, dia mengangguk. Dia nggak akan sebodoh dulu lagi. Mulai sekarang, dia akan percaya sama cowok di depannya ini.

***

Bora membuka mata dan merasa begitu silau sampai harus menutupnya lagi. Di depannya, semua orang berkumpul dan langsung menyerbu begitu tahu kalau dia udah sadar. Ujung bibirnya terangkat. Ada juga hikmahnya pingsan kayak gini. Matanya menatap semua orang yang ada di ruangan dan tertuju pada satu orang. Akas.

"Kakak yang ngunciin aku?" tanyanya lemah.

"Bukan." Jawaban itu bukan terdengar dari Akas, tapi Reksa. "Dia lari sama paniknya kayak gue pas balik ke ruang OSIS, Bor Kecil."

Ada rasa aneh saat Reksa menjawab kayak barusan, tapi dia nggak bisa membohongi diri. Bora nggak boleh salah paham juga sama Akas. Udah terlalu banyak kesalah pahaman yang bikin banyak orang celaka.

"Maaf, Ra."

Bora nggak mengerti dengan omongan Akas itu. Kalau bukan dia yang mengunci pintu OSIS, kenapa harus minta maaf? Tapi akhirnya Bora meminta yang lain keluar dan meninggalkan dia dan Akas. Selain mau minta penjelasan, dia juga mau kasih Akas jawaban. Dia sadar, semuanya harusnya nggak ditahan lebih lama lagi.

"Aku minta maaf karena udah punya rencana jahat ke kamu, Ra," ujar Akas bahkan sebelum Bora bertanya. Kening Bora yang berkerut membuatnya menambahkan, "Aku udah suruh Karin kenalin aku ke kamu. Aku juga suruh dia deketin Reksa, biar kalian menjauh. Aku suruh dia deketin kamu terus, biar kamu juga menjauh dari Anka, karena takut temen kamu itu tau rencanaku. Dan aku yang suruh Rama SMS kamu, lalu sengaja belain kamu pas dia deket-deket waktu itu."

Bora kehilangan kata-kata. Dia nggak pernah menyangka kalau semua kesialan dan keberuntungan yang tiba-tiba dia dapat itu hasil rencana Akas. "Kenapa, Kak?"

"Karena aku dendam sama Reksa. Aku kira dia yang bikin Tyas kayak gitu, tapi ternyata salah. Aku nyesal, Ra. Aku nyesal udah bikin semua jadi kayak gini."

Bora menghela napas dalam-dalam. "Jadi, perasaan Kakak ke aku juga bohong?"

Akas menggeleng pelan. "Berusaha nggak suka sama kamu selama menjalani rencana ini tuh bagian paling susah, Ra. Kamu terlalu baik untuk nggak disukai."

Cukup. Tahu itu aja udah cukup buat Bora. Seenggaknya, masalah perasaan itu nggak dibohongi.

***

Anka masuk ke ruangan Bora dengan ekspresi yang nggak bisa dideskripsikan. Kalau menurut Bora sih, itu kacau banget buat ukuran Anka. Cewek itu duduk di samping ranjang sambil memegang ponselnya. "Dia suruh gue ke taman itu kalau mau maafin dia."

Tanpa bertanya, Bora udah paham betul kalau dia yang Anka maksud itu Danny. "Terus lo mau ke sana?" Anka diam. "Kalau gue lagi nggak di rumah sakit gini, lo mau ke sana?"

Anka masih diam beberapa saat, lalu menggeleng pelan. "Gue nggak akan ke sana, walau nggak nemenin lo di sini." Dia menarik napas dalam-dalam. "Gue nggak kayak lo yang gampang maafin orang, Yong. Walau itungannya udah lama, gue nggak bisa munafik kalau sakitnya masih kerasa banget. Mungkin gue butuh waktu lebih lama lagi."

Bora mengangguk-angguk paham. "Tiap orang emang beda, Ka. Lo nggak harus jadi kayak gue yang gampang maafin orang. Take your time, sepuas-puasnya, Ka, sampai lo rasa bener-bener bisa lepas dari rasa sakit itu. Tapi lo juga harus belajar lepasin beban itu, jangan mau nanggung beban kayak gitu sendirian, Ka. Gue yakin, ketika lo belajar maafin, beban di hati lo juga bakal terangkat. Nggak ada salahnya belajar, walau nggak bisa instan juga."

Senyum di wajah Anka mengembang. Baru kali ini rasanya benar-benar beda. Dia bisa langsung cerita ke Bora apa yang dia alami dan gimana perasaannya, dan ternyata melegakan. Apalagi sahabatnya ini tanpa terduga dewasa juga.

"Terus gimana cerita lo sama dua cowok itu? Tadi kasih jawaban ke Kak Akas? Terima apa tolak?" tanya Anka penasaran. Walau sebenarnya dia udah tahu jawabannya, dari cara Bora ceritain Reksa yang nggak sama lagi kayak dulu.

"Dulu gue selalu bilang pengin hidup kayak di drama Korea, tapi pas ngalamin sendiri, ternyata semuanya nggak bener-bener enak. Sekarang nggak perlu lagi hidup kayak gitu, Ka. Gue cuma butuh si nyebelin itu."

Bora ketawa sendiri waktu ingat hubungan dia dan Reksa selama ini. Semua keisengan cowok itu, gimana dia selalu berhasil bikin Bora kesal, tapi ternyata bermaksud baik, gimana dia juga bisa menghibur, walau caranya agak beda sama orang lain. Dan ternyata, itu semua yang akhirnya bikin Bora sadar kalau dia cuma butuh Reksa.

"Dia mungkin cowok paling nyebelin yang pernah gue temuin, tapi dia juga cowok terbaik yang bisa gue suka dan gue butuhin."

"Makasih, lho. Gue terharu." Reksa membuka pintu dan muncul tiba-tiba sambil nyengir lebar, membuat Bora refleks menutup mukanya dengan kedua tangan. Reksa maju perlahan dan melepaskan tangan Bora dari mukanya, lalu menatap cewek itu dengan dua ujung bibir yang masih terangkat sempurna dan alis yang dinaik-turunkan.

Begitu melihat muka Reksa, tangan Bora langsung terjulur. Dia menyentuh ujung bibir Reksa yang terluka, membuat jantung cowok itu berdetak kencang dan tubuhnya kaku. "Ini kenapa?"

Bukannya menjawab, Reksa malah memegang tangan Bora dan menatap cewek itu dalam-dalam. Sekian lama mereka cuma berdiam diri, sambil terus saling menatap, sampai Anka pura-pura terbatuk. "Ada orang kali di sini. Udah sih, jadian aja."

"Nanti, ya. Ada waktunya. Ya, kan, Bor Kecil?" Reksa menoleh ke arah Bora sambil mengedip, membuat muka cewek itu memerah.

_____________________________________________

Dan dengan begini, selesai sudah DRAMA di wattpad beliawritingmarathon ini 😭😭😭

Gimana endingnya? Kurang puas ya? Pasti sih kayaknya 😅
Maaf ya, ternyata nggak cukup banget buat bikin ending dan jelasin semua-semuanya, tapi yang jelas, bukan Ardy yang bikin Tyas begitu.
Dan bagian Reksa sama Bora, aku udah siapin part yang (menurutku) baper sih, tapi kutahan 😆

Karena udah ending, aku mau ucapin makasih banget banget buat kalian semua yang udah baca, vote, apalagi komen di cerita ini. Tanpa kalian aku nggak akan bertahan sejauh ini :") dan kalian harus tau, komen kalian itu banyak yang aku capture-in, buat jadi kumpulan kebahagiaan

Tuh kumpulan kebahagiaanku 😄 makasih banyak lho semuanya, sampai 171 isinya, kuharap nambah 😝😆

Nah, sebelum aku cerita tentang DRAMA dan karakter, aku minta jawaban terjujur kalian dong.

1. Apa kekurangan cerita DRAMA ini? Selain kekurangan di ending sebenernya 😅

2. Part atau bagian mana yang terasa ngebosenin atau kurang dapet feelnya?

3. Kesan kalian setelah menamatkan cerita ini?

Udah segitu aja, buat bahan koreksi dan belajarku.

Sekarang aku minta izin buat curhat, ya 😂
Cerita ini judul awalnya sesuai sama judul part ini, tapi karena ketentuan dari editor buat diseragamin, jadi dipotong, tinggal DRAMA aja. Awalnya aku kepikiran cerita ini karena adegan mainstream di drakor, yang cowok ngambilin buku buat ceweknya. Tiba-tiba kepikiran, gimana kalau ternyata cowok itu bukan mau ngambilin buat ceweknya, atau gimana kalau cowok itu ngisengin doang. Dan muncullah ide DRAMA ini.

Awalnya juga, ceritanya nggak sekompleks ini. Cuma bergerak dari konsep expectation vs reality tentang drakor, aku kepikiran ide buat Reksa dan Bora. Lalu tambahin Akas dengan bumbu dendamnya. Tapi seiring berjalannya cerita, semua masalah itu nongol. Dari mulai cerita Anka, terus ke keluarga Bora. Dan ternyata bahasnya sampai dalem, bisa nyambi curhat pula 😆

Untuk DRAMA sendiri, aku bener-bener modal nekat. Pas baca pengumuman tentang pendaftaran seleksi BWM2, aku galau mau ikut apa nggak karena genre yang diminta komedi romantis dan nulisnya pun terjadwal selama tiga bulan. Aku bukan orang yang bisa ngelawak, juga bukan orang yang bisa nulis spontan ditarget-target gitu, apalagi ternyata ada sistem diskualifikasi kalau nggak update empat kali.

Tapi ternyata, habis dicoba, nagih. Langsung? Nggak, tentunya. Ada masa stres dulu di awal-awal karena nggak tau mesti nulis apa, ngerasa nggak ada yang suka, nungguin, dll (maklum baperan) 😅 Tapi habis cerita ke temenku, aku semangat lagi. Pokoknya jangan sampai didiskualifikasi. Udah dikasih kesempatan masa dilewatin gitu aja. Jadilah semangat lagi, dan karena ada kalian yang suka komen-komen, aku bisa tetap lanjut sampai ada di ending ini. Makasih banyak ya ❤❤❤❤

Ada yang nanya gimana caranya jaga mood bagus terus buat ngetik. Jawabannya ... susah. Susah banget 😂 Aku sendiri hilang mood beberapa kali, tapi karena deadline, inget kalian, juga inget udah dikasih kesempatan kayak gini, jadi bisa semangat lagi. Intinya sih, kita harus tau kenapa kita berjuang buat satu hal. Ingat lagi alasan-alasan awal kita ngelakuin suatu hal. Dengan kayak gitu, mudah-mudahan, kita bisa lalui seberat apa pun dan sehilang apa pun mood kita.

Dan gimana ngumpulin keberanian buat nulis? Aku sendiri bingung jawab ini. Karena dari awal aku pengin banget jadi penulis. Awalnya kupikir gampang, ternyata ... sama sekali nggak 😅 Bener pertanyaannya, butuh keberanian buat bisa menuliskan apa yang ada di otak kita. Dan dari DRAMA ini aku baru belajar mengorek semua luka yang ada dalam diri (karena katanya ini senjata penulis), lalu menyuarakan apa yang nggak bisa diomongin di dunia nyata. Intinya, tulis aja. Ngerasa tulisan nggak bagus? Pasti. Tiap penulis kurasa pernah ngerasain ini. Tapi semua itu bisa berkembang, kok. Aku kemarin bacain cerpen-cerpen zaman dulu, malu banget rasanya, segitu alay tulisanku 😂😂 Tapi kalau mau belajar, semua pasti membaik. Banyak-banyak baca, biar kita tau tulisan yang bagus kayak gimana. Jangan males buat cari ilmu kepenulisan kalau emang niat ada di jalan ini. Dan yang paling penting, jangan takut buat bongkar-pasang plot dan outline. Di cerita ini udah nggak kehitung berapa kali aku bongkar-pasang, susah sih, tapi seenggaknya puas sama hasil yang (kayaknya) paling maksimal. Nggak bakal ada yang sempurna, pasti, tapi seenggaknya kita udah coba yang terbaik :") duh panjang amat 😂

Oke, sekarang kita beralih ke karakter. Sebelumnya, boleh ya aku minta kalian kasih ❤ buat karakter-karakter ini. Kalian punya 10 ❤, mau dikasih berapa ke mereka? Kalau mau kasih minus juga boleh *author provokator 😝😆

1. Reksa

The one and only love ❤❤❤ *maap author norak 😆
Cowok jail, nyebelin, tapi perhatian dengan cara yang beda, kadang bijak, dan yang paling penting, sayang banget sama Bor Kecil-nya :") Terinspirasi bikin karakter dia dari bagian expectation vs reality sih, emang sengaja pengin bikin karakter yang jail, yang suka ngancurin khayalan Bora. Awalnya aku biasa aja sama dia, makanya scene yang ada dianya kurang banget di bagian awal. Tapi makin lama mulai makin suka dan akhirnya cinta banget sama Reksa ini 😭😭😭 tolong aku nggak bisa move on 😭 Dan ternyata karakternya berkembang jauh sampai jadi seloveable ini *pendapat pribadi author, kalau nggak setuju nggak apa-apa 😂

2. Bora

Karakter paling ceria yang pernah kubuat, objek penyaluran haluku dan tiap fangirl 😆 Karakter yang menanggung banyak derita, tapi tetap kuat. Karakter yang aku idolain banget. Pengin banget bisa jadi seceria dan sekuat dia :") Inspirasinya bener-bener dari nonton Do Bong Soon! Itu bener-bener drama favorit. Juga sifatnya aku ambil dari sahabat dan keponakanku, entah kenapa mereka mirip 😕 Ceria, ember bocor yang nggak bisa jaga rahasia, ceroboh, dan tingkahnya suka konyol. No words can describe how i love Bora :")

3. Akas

Cowok yang sayang banget sama adiknya, dan nyari pasangan yang sayang banget juga sama adiknya, makanya dia akhornya melemah sama Bora. Dengan satu sifat ini, semua masalah nongol. Thanks to that 😆 Dari awal karakter ini emang kubuat ... hmm kayak pacar idaman kali ya. Perhatian, ngerti banget cewek maunya digimanain, ditolong kayak apa, dan tau-tau ngebantu tanpa diminta, bisa ngehibur pula. Tapi maaf, dari awal aku nggak jatuh cinta sama karakter ini :") *emak pilih kasih 😅 Jadi peran dia begitu deh, walau ada yang baper, aku nggak ikutan 😂

4. Anka

Kenapa dia? Aku juga nggak kenal-kenal amat sebenernya, tapi pas kemarin nonton Wise Prison Life ngerasa kok dia cocok, dapet jutek-juteknya Anka 😆 Hmm ... nulis karakter ini butuh menghela napas dalam-dalam, karena dia kayak ngulitin aku. Iya, Anka adalah sepenuhnya diriku. Nggak banyak ngomong, nggak ceria kayak Bora, nggak gampang ngelupain dan maafin :") Jadi nulis bagian dia bisa dibilang paling susah. Kadang-kadang aku ngerasa gaya bahasaku mulai dark ketika nulis bagian Anka. Entah kalian ngerasa apa nggak 😅

5. Danny

Selanjutnya nggak usah pakai foto ya, udah kepanjangan 😅 Sebenernya ini ide awalnya dari temen SMAku yang punya mantan, yang dia perjuangin abis-abisan padahal menurutku nggak pantes sampai segitunya 😕

6. Ardy

Nulis karakter ini nggak ada ide apa-apa sebenernya. Dia cuma jadi perbandingan psikologinya Bora. Walau punya masalah keluarga yang sama, cara mereka menghadapi beda, dan itu bergantung sama psikisnya mereka.

7. Tyas

Aku masukin karakter dia buat penunjang karakter Akas. Dan jadi pusat dari semua masalah bermula 😅

8. Karin

Karakter ini bisa dibilang benalu. Tapi kalau nggak ada dia, masalah mungkin juga nggak sekompleks ini.

9. Rama

The one and only i hate 😂😂 Dia ini objek penerima semua dendamku. Tempat menyalurkan semua rasa kesal, dan tempat di mana aku bisa sembuh dari masa lalu.

10. Mama Merry

Berasal dari impian dan harapan. Andai semua mama kayak beliau, damailah sudah dunia ini :")

11. Tante Rana dan Om Teddy

Berasal dari kehidupan nyata. Udah, gitu aja 😅

12. Author *kekeuh numpang 😆

13. Cerita DRAMA

Dua paling bawah cuma nampang buat diminta ❤ nya kok 🙈😆

Dan di cerita ini ada beberapa loveline. Minta ❤ nya lagi, boleh? 😆😆

1. Reksa <==> Bora

Couple paling gemesin. Berawal dari sebel, lama-lama kangen 😆😆

2. Akas ==> Bora

Jadi sepihak nih, padahal awalnya Bora juga sempet suka.

3. Anka <==(?)> Danny

Kenapa ada tanda tanyanya? Karena masih belum jelas, apa si Anka masih punya rasa sama Danny. Hubungan mereka ini ... agak rumit ya 😅

4. Tyas <==> Ardy

Pasangan yang saling sayang, sayangnya dipisahin karena kesalah pahaman dan seseorang yang kurang ajar 😤

5. Author <==> Reksa

Please ini ❤ nya 100 😆😆😆 pasangan yang ada sejak awal dan nggak bisa dipisahkan 🙈

Dari loveline itu, adakah yang mau kalian tau lebih lanjut? Adakah yang mau dibikinin ceritanya? Sekuel mungkin? Author Reksa boleh banget lho *kekeuh 😆😆

Udah ah, mau kabur 😂
Makasih sekali lagi buat kalian semua yang udah baca, apalagi kata-kata nggak jelas yang panjangnya nggak ketolongan ini. Nggak rela pisah, tapi mau gimana lagi 😭😭😭 Semoga kita bisa ketemu di ceritaku yang lain, karena aku ada rencana bikin cerita di akun pribadi. Kalau bersedia silakan mampir nanti. Dan terakhir, semoga nanti Reksa dan Bora bisa kita peluk sama-sama dalam bentuk buku ya :")

Oh ya, hampir lupa! Pengumuman Giveawaynya kalau nggak tanggal 27, tanggal 28 ya. Sekalian pengumuman terbit dari Bentang Pustaka 😄

Bye~ 😭😭😭

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro