Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[34] Gantungan Kunci

Begitu turun dari bus, Bora langsung berlari menuju satu tempat. Rumah Akas. Dia yakin banget kalau ingatannya nggak salah. Dia pernah lihat gantungan kunci yang sama persis kayak yang dia pegang itu di genggaman Tyas, waktu dia menemani cewek itu di taman.

Beruntung pas Bora baru sampai di taman yang mereka datangi waktu itu, dia melihat Tyas dan Bi Nah. Tanpa pikir panjang, Bora langsung lari menghampiri mereka. "Hai, Tyas. Halo, Bi," sapa Bora sambil nyengir lebar. "Bi, aku boleh ya bawa Tyas ke suatu tempat?" Bora nggak bisa basa-basi lebih lama. Kalau ditunda terus yang ada dia keburu lupa, apalagi kalau udah mulai ngobrol, bisa keterusan.

"Ke mana, Non? Non Tyas nggak boleh pergi jauh-jauh."

"Cuma ke sekolah Tyas dulu, kok, Bi, nggak akan lama." Lagi-lagi Bora nyengir lebar.

Bi Nah menimbang-nimbang sebentar. Harusnya sih Tyas nggak boleh dibawa pergi sama orang lain, tapi dia percaya Bora itu nggak akan macam-macam, anaknya kelihatan polos banget. Lagi pula Bora temannya Akas, yang udah dua kali dibawa ke rumah. Artinya mereka dekat banget karena Akas nggak pernah bawa siapa pun ke rumah. "Tapi jangan lama-lama, ya, Non."

Bora mengangkat tangannya sejajar alis, memberi hormat ala militer lalu mengambil alih kursi roda Tyas. Dia nggak tahu apa yang dia lakukan kali ini benar atau nggak, dan akan bikin Akas emosi atau nggak, tapi dia mau usaha. Hasil urusan belakangan.

"Kabar kamu gimana, Tyas?" Bora memulai percakapan, walau dia tahu Tyas nggak pernah jawab, tapi pasti cewek itu mendengar dengan baik semua yang ada di sekelilingnya.

"Kak Akas itu kakak yang baik banget, kan? Dia peduli banget sama kamu." Lagi, Bora ngomong, walau Tyas nggak menanggapi sedikit pun.

Ketika mereka sampai di tempat tujuan, Bora berpindah ke depan Tyas. Dia melihat tangan cewek itu mengepal makin kencang, walau tatapannya masih kosong. Perlahan, Tyas mulai menarik napas. Dalam banget dan diembuskannya pun pelan-pelan. Pasti berat bagi cewek ini buat balik ke tempat yang sekian lama nggak dia datangi, tapi menyimpan banyak kenangan.

Tyas melihat sekolah yang dulu selalu dia datangi tiap hari. Nggak ada yang berubah, kecuali kehadirannya dan cowok itu. Sekolah sekarang udah sepi. Semua murid pasti udah pulang. Tapi kenangan itu datang. Waktu cowok itu menunggu dia di depan gerbang. Sekolah mereka sebelahan dan cowok itu selalu melakukannya tiap hari sampai tanpa sadar bikin Tyas selalu menunggu bel pulang.

Mereka yang dulu sering ketawa bareng. Cowok itu yang dulu suka mengambil fotonya diam-diam di segala kesempatan. Tyas selalu cantik, kata cowok itu, yang selalu berhasil bikin dia tersipu. Dan gimana cowok itu selalu membantunya melakukan apa pun yang susah buat dia lakukan sendiri, sesederhana mengambilkan barang yang jatuh, misalnya. Semua itu masih terekam jelas di ingatan Tyas. Dan mungkin semuanya masih bakal baik-baik aja, andai dia nggak pernah dengar kata-kata itu.

Bora berjongkok di depan Tyas. Matanya menatap cewek itu dalam-dalam. "Kamu berhak bahagia, Tyas. Keluarga kamu juga. Mereka sayang banget sama kamu, dan pasti sedih banget ngeliat kamu terus-terusan kayak gini. Makanya kamu harus bangkit, Tyas. Semangat lagi buat hidup kamu. Aku minta maaf atas nama orang itu." Ragu-ragu, Bora mengulurkan gantungan kunci yang dari tadi dia genggam. Dia harap yang dilakukannya kali ini benar.

Mata Tyas membesar. Napasnya ditahan tanpa sadar. "Itu ...." Walau pelan banget, Bora bisa dengar suara Tyas. Akhirnya cewek ini ngomong lagi!

Bora mengangguk-angguk semangat sambil tersenyum lebar. Dia nggak menyangka kalau gantungan kunci ini berpengaruh sebegitu besar buat Tyas sampai akhirnya cewek itu bisa mengeluarkan suaranya lagi. "Aku ..."

"Kamu ngapain bawa Tyas ke sini?!" Omongan Bora barusan nggak selesai karena Akas tiba-tiba datang dan menariknya berdiri. Dia meringis karena genggaman Akas di lengannya terlalu kencang. "Jangan pernah bawa Tyas ke mana-mana tanpa izin dulu sama aku!" Suara Akas makin meninggi, dan genggamannya makin kencang.

"I ... iya, Kak," jawab Bora terbata sambil mengangguk-angguk pelan. Entah kenapa Akas jadi seseram ini. Kayaknya kalau berurusan sama Tyas, emosi Akas akan mudah meluap-luap.

Akas beralih pada Tyas dan siap membawa adiknya itu pulang, tapi gerakannya langsung berhenti saat melihat air mata Tyas menetes. Tyas menangis. Setelah sekian lama akhirnya adiknya menunjukkan emosi lagi. Apa ini tandanya keadaan Tyas akan membaik? Akas kembali menoleh pada Bora. Apa cewek yang barusan dia kasarin itu udah bikin Tyas membaik?

***

Bora berlari ke rumahnya. Yang ada di pikirannya cuma harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Kalau tadi Tyas udah kasih reaksi kayak gitu, berarti tebakannya benar, apalagi dia ingat kalau pernah lihat foto Tyas di ponsel Ardy. Masalah mereka berdua harus diselesaikan secepatnya sebelum makin membesar, karena dia nggak yakin Akas akan diam aja kalau udah tahu kebenarannya. Dan dia nggak mau salah satu dari mereka kenapa-kenapa.

Sesampainya di rumah, Bora mencari ke semua sudut, tapi dia nggak bisa menemukan Ardy di mana-mana. Padahal biasanya kakaknya itu pasti udah ada di rumah jam segini. Bora mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Ardy, tapi nomornya nggak aktif. Ke mana sih kakaknya itu saat dibutuhkan banget kayak sekarang?

Akhirnya Bora memutuskan buat pergi ke rumah sakit. Walau kemungkinannya kecil Ardy ada di sana, tapi dia harus tetap coba. Lagi pula, dia memang harus menemui mamanya. Siapa tahu keberuntungan berpihak padanya dan Ardy ada di sana. Berharap pada kemungkinan, sekecil apa pun itu, nggak pernah salah buat Bora.

Bora membuka pintu kamar rawat mamanya dan kakinya langsung terpaku di sana. "Pa ... Papa ..." ujar Bora lemah, masih berusaha meyakinkan diri kalau dia nggak salah lihat. Kalau yang tampak belakang dan lagi berlutut ke arah mamanya itu benar-benar ayahnya.

Teddy menoleh dan langsung berdiri. Dia berjalan cepat ke arah Bora dan membawa anaknya itu ke dalam pelukannya. Selama sesaat, Bora cuma bisa mematung, tanpa bisa membalas pelukan ayahnya. Selama ini dia selalu bertanya-tanya gimana rasanya dipeluk ayahnya yang super pendiam itu. Tapi saat mengalaminya sendiri, Bora malah nggak bisa melakukan apa-apa. Dia masih terlalu kaget dengan semua yang terjadi di depannya. Selama ini jarang berkomunikasi, tapi sekarang dipeluk. Walau bahagia, rasa aneh itu tetap ada.

"Makasih, Pa. Makasih udah mau pulang." Tanpa sadar, itu yang Bora ucapkan. Walau tangannya masih belum bergerak, tapi hatinya udah. Yang dia tahu cuma itu. Dia bersyukur ayahnya mau pulang.

"Maaf." Bisikan lemah itu bikin Bora memejam. Dia udah banyak dengar kata maaf, tapi rasanya jauh lebih sakit dengar dari ayahnya. Karena ternyata yang dia pengin bukan kata itu. Dia cuma pengin komunikasi yang lebih sama ayahnya. Dia pengin ayahnya bisa ungkapin semua perasaannya. Dia pengin ayahnya bahagia juga.

"Papa jangan terlalu diam lagi, ya. Papa juga harus bahagia." Omongan Bora itu membuat pelukan ayahnya makin mengencang. Kenapa semuanya datang begitu terlambat? Kenapa dia baru sadar sekarang kalau udah menyakiti anak yang begitu baik?

Teddy mengangguk-angguk sambil melepas pelukannya. "Kamu juga ... Nak."

Senyum Bora mengembang. Butuh perjuangan panjang dan waktu yang lama buat dia akhirnya bisa dengar panggilan itu dari ayahnya. Semoga setelah hari ini, keluarga mereka tetap baik-baik aja, bahkan makin bahagia. Bora beralih ke samping kanan ranjang mamanya dan menemukan Ardy di sana.

"Ada yang mau gue omongin sama lo, Kak," ujar Bora sambil melangkah keluar ruangan. Tanpa disangka, Ardy mau mengikuti waktu diminta Bora. Saat Ardy udah di depannya, Bora langsung menunjukkan gantungan kuncinya.

"Dari mana lo dapet itu?" Ardy membelalak.

"Di kantung yang gue bawa ke panti asuhan hari ini. Gue nggak tau gimana bisa ada di sana, tapi itu nggak penting. Yang penting, gue udah tau cerita di baliknya, Kak. Lo harus cepet selesaiin masalah ini."

"Lo tau apa emangnya? Lo nggak tau apa-apa!"

"Kalau gitu cerita sama gue, Kak. Cerita semuanya. Kalau dibiarin aja, masalah ini bakal bikin kacau nantinya."

Ardy menghela napas dalam-dalam. Dia nggak menyangka kalau suatu saat, dia harus mengungkap cerita ini. Cerita yang pengin dia simpan sendiri, buat selamanya.

_____________________________________________

Akhirnya masalah Bora dan ayahnya juga terselesaikan. Tinggal satu masalah, nih. Masalahnya Tyas.

Cerita masa lalu Ardy kayak gimana? Ada yang penasaran?

Oh ya, ada yang masih pengin nanya-nanya sama karakter di cerita ini, atau sama aku, atau tentang cerita Drama ini?
Kalau ada, silakan langsung komen di sini ya, pertanyaannya dan ditujukan buat siapa itu.
Biar kalau ada, nanti kujawab sekalian di part terakhir 😁

Lanjut part berikutnya, ya! Ada yang bikin deg-degan!

Ditunggu vote, komen, dan sarannya!

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro