[32] Kangen
"Ka! Ada yang suka sama lo, namanya Anka." Cewek itu menunjukkan ponselnya yang berisi SMS entah dari siapa.
"Wah namanya cocok tuh, Eka sama Anka. Dipanggilnya sama-sama Ka. Cocok bangetlah kalian. Jodoh kali jodoh." Teman-teman di sekitar cewek tadi menimpali, sambil menggoda Eka.
Sejak saat itu, hidup Anka nggak pernah tenang. Dia nggak tahu siapa yang mengirim SMS ke teman sekelasnya itu, yang jelas orang itu benar-benar kurang kerjaan. Dia juga nggak kenal sama yang namanya Eka. Bahkan kalau nggak ditunjuk, dia udah salah tanggap tentang pemilik nama itu. Dan gara-gara itu semua, Anka nggak pernah berani berhadapan sama geng itu. Kalau ada mereka, Anka akan otomatis menghindar. Sampai suatu hari dia nggak bisa menghindar karena mereka berkumpul di depan kelas saat jam pulang sekolah.
"Ka, ada jodoh lo, tuh. Hai, Anka! Duh gila ... Eka Anka, cocok banget dah."
Anka menunduk dalam-dalam, bersiap pergi dari sana, tapi dia melihat orang yang dia kenal baik di kerumunan itu. Harapannya mulai timbul. Senyum kecil mengembang di mukanya yang masih belum berani diangkat penuh.
"Eh, Danny, anggota baru kita. Menurut lo gimana? Cocok nggak Eka sama cewek itu? Pantes nggak cewek itu jadi pasangan wakil ketua geng kita?"
Mata Anka membulat mendengar omongan cowok tadi. Dia nggak pernah tahu kalau Danny bergabung di geng paling gede di sekolah ini. Matanya terus menatap Danny, menunggu jawaban cowok itu.
"Jelas nggak pantes," jawab Danny singkat. Matanya melirik Anka sebentar, lalu kembali menatap teman-temannya. Lalu mereka tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Danny bangga.
Anka mematung. Otaknya menyuruh dia cepat-cepat pergi dari sana, tapi nyatanya kakinya nggak bisa bergerak, seolah ada paku yang begitu kuat ditancapkan di sana dan menahan langkahnya. Matanya terus menatap Danny, dan lama-lama mulai terasa perih. Air matanya udah terkumpul penuh dan siap menetes, tapi tiba-tiba satu senyum terlihat di mukanya ketika semua omongan Danny waktu itu melintas kembali di ingatannya.
"Jangan kasih tau siapa-siapa tentang hubungan kita ya, Ka. Aku maunya ini jadi rahasia kita aja, biar spesial."
"Termasuk Bora?" Anka menoleh dengan wajah bingung.
Danny mengangguk mantap. "Termasuk Bora. Dia kan bocor banget kata kamu."
Waktu itu, Anka percaya dengan semua omongan Danny. Dia juga setuju kalau Bora memang nggak pernah bisa jaga rahasia. Apa pun info yang dia dapat, sekecil apa pun itu, dia bakal langsung cerita. Jadi, dia terpaksa jaga rahasia itu. Padahal Anka udah sengaja nggak cerita masa pendekatan dia sama Danny buat kasih Bora kejutan pas mereka tiba-tiba jadian kayak sekarang. Ternyata dia masih juga harus tutup mulut setelahnya.
Tiap ketemu Bora, Anka menahan diri sebaik mungkin supaya nggak keceplosan, padahal dia udah excited banget. Dia juga jadi harus mengarang-ngarang alasan tiap Bora ajak pulang bareng. Semuanya cuma biar dia bisa ketemu sama Danny dengan bebas. Dan jaga perasaan cowok itu, karena dia maunya hubungan mereka dirahasiakan.
Selama dua bulan Anka merasa bahagia banget sama Danny. Dia merasakan semua yang nggak pernah dia rasakan sebelumnya. Dekat sama cowok, berbagi hal sekecil apa pun itu, dan diperhatiin. Danny itu cowok yang baik banget buat Anka. Seenggaknya sampai beberapa detik sebelum ini. Sebelum dia tahu tujuan sebenarnya Danny merahasiakan hubungan mereka.
Waktu melihat Danny tadi, Anka nggak berharap cowok itu akan bantu dia, karena hubungan mereka yang dirahasiakan itu. Tapi dia juga nggak pernah nyangka kalau Danny bakal ngomong kayak barusan. Cowok itu nggak harus ngebela, dia cuma perlu diam aja dan Anka udah cukup senang. Tapi memang Anka yang terlalu munafik buat percaya kalau cowok itu benar-benar baik dan setulus itu sama dia, kan?
Anka menarik napas dalam-dalam. Mengingat semua kejadian itu sama sekali nggak gampang buatnya. Selama ini dia berusaha sekeras mungkin supaya bisa lupa. Walau hasilnya nggak benar-benar lupa, tapi seenggaknya dia cukup berhasil, sampai saat sebelum Danny kembali mengusik hidupnya. Matanya menatap Bora yang lagi duduk sendirian. Dengan Dancow Oreo di tangan, dia menguatkan tekad. Dia harus menyelesaikan semuanya hari ini.
Anka maju perlahan dan duduk di sebelah Bora. Dancow Oreo di tangannya masih digenggam erat. Dia berusaha melakukan kayak yang Bora lakukan waktu itu, tapi gagal. Dia bukan Bora yang bisa gampang minta maaf dan bersikap kayak biasa lagi. Hatinya penuh rasa takut dan ragu, karena bagi dia sendiri, memaafkan orang lain nggak segampang itu.
"Akhirnya lo dateng juga ke gue, Ka." Tanpa diduga, malah Bora duluan yang ngomong.
Anka menoleh kikuk sambil menyodorkan segelas Dancow Oreo ke hadapan Bora. "Gue mau ikutan nyogok kayak lo waktu itu, tapi ternyata nggak gampang, ya."
Bora tertawa dan langsung menyabet Dancow Oreo yang Anka sodorkan. "Harusnya lo nggak usah kebanyakan mikir. Gue nggak bisa nolak minuman ini ... dan orang yang ngasih."
Tawa Anka lolos begitu aja. Dia memang terlalu bodoh selama ini, udah buang-buang waktu buat takut menghadapi sahabat yang baik banget kayak Bora. Harusnya dia tahu betul sifat sahabatnya ini. Dia tinggal minta maaf, dan Bora akan senang hati melupakan semuanya. Bodoh banget kalau dia sampai kehilangan sahabat kayak Bora cuma gara-gara orang-orang itu.
"Gue minta maaf, Yong," ujar Anka akhirnya. Dia nggak tahu kalau mengucapkan kata itu butuh keberanian yang besar dan waktu selama ini. Dia jadi salut sama orang kayak Bora yang gampang minta maaf dan memaafkan.
"Jadi ... lo udah siap cerita?" tanya Bora hati-hati. Setelah mengalami banyak hal, dia jadi banyak berpikir. Tiap orang nggak sama kayak dia, yang gampang aja melakukan semua hal, termasuk cerita. Mungkin Anka cuma butuh waktu dan keberanian, buat mengeluarkan semua isi hatinya.
Anka mengangguk mantap dan mulai menceritakan semuanya. Dari awal dia dekat dengan Danny, permintaan cowok itu buat merahasiakan hubungan mereka, sampai masalah yang paling bikin Anka down. "Gue emang terlalu bego buat percaya sama dia dan malah ngorbanin sahabat terbaik yang bisa gue punya."
"Eh gila! Gue nggak nyangka Danny orangnya kayak gitu. Tau gitu mah gue nggak baik sama dia, Ka. Harusnya lo cerita sama gue habis dia ngomong kayak gitu, biar gue yang hadapin dia. Ya ... gue nggak bisa berantem sih, tapi kalau marah-marah mah bisalah. Keenakan dia kalau nggak dimarahin."
Anka kembali tertawa. Penyelesaian dari Bora ini benar-benar nggak terduga. "Gue keburu nyesel buat bisa cerita sama lo, Yong. Pas seneng-seneng gue nggak cerita, masa giliran sedih malah nangis-nangis ke lo. Nggak pantes rasanya."
"Mulai sekarang cerita apa aja, kapan aja, Ka. Itu namanya sahabat. Gue juga capek banget nih dari kemarin-kemarin nggak bisa cerita sama lo." Bora membuat mukanya kelihatan secapek mungkin dan itu lagi-lagi bikin Anka ketawa. Lalu tiba-tiba dia memeluk Anka dari samping. "Gue kangen banget sama lo, Ka. Astaga ...."
"Gue juga, Yong. Gue juga."
***
"BORA YOVANKA!" Teriakan itu bikin Bora langsung mengangkat kepalanya sambil melihat kanan-kiri dengan linglung. Matanya mengerjap-ngerjap untuk memfokuskan penglihatan karena terlalu lama memejam. Di depan sana, Pak Kasidi berkacak pinggang dengan mata memelotot. "Kalau mau tidur di rumah, jangan di sekolah! Serahkan rangkuman pelajaran hari ini ke ruangan saya, besok!"
Bora menunduk dalam-dalam lalu mengangguk perlahan. Lalu dia menoleh ke Andin yang duduk di sebelahnya. "Kenapa lo nggak bangunin gue?"
"Udah," bisik Andin. "Gue udah goyang-goyangin tangan sampai badan lo, tetep aja lo nggak bangun. Emang cuma Reksa kayaknya yang bisa bangunin lo."
Reksa .... Bora jadi ingat kejadian waktu itu. Tidurnya jadi terganggu gara-gara kepalanya ditimpa dengan buku. Saat membuka mata, dia menemukan cowok itu lagi berjalan ke depan kelas lalu minta izin ke toilet. Waktu itu Bora kesal banget sama Reksa karena ganggu tidurnya, bikin sakit pula dengan menimpa kepalanya, tapi sekarang dia jadi tahu maksud cowok itu sebenarnya. Dia menoleh dan menemukan Reksa baru aja memalingkan mukanya ke depan lagi. Kayaknya sengaja menghindari tatapan Bora. Apa dia udah buat kesalahan?
Pandangan Bora masih belum beralih dari Reksa pas bel pulang sekolah berbunyi. Pak Kasidi mengakhiri kelas dan langsung keluar, begitu juga dengan Reksa. Bora menghela napas. Akhirnya dia berberes dan ikut keluar kelas dengan langkah lemas. Kakinya yang dihentakkan keras-keras membuat matanya jadi berfokus pada tali sepatu yang lepas.
Bora setengah sujud buat mengikat tali sepatunya itu, tapi belum juga sempat menunduk, dia udah lihat Reksa datang dari arah depan dan ikut memasang posisi setengah sujud. Tangan cowok itu terjulur, seakan mau mengikatkan tali sepatu Bora, tapi nyatanya malah melepaskan sepatunya dan langsung berlari sambil menggoyang-goyangkannya dengan tangan terangkat.
Reksa berlari jauh, sambil terus meledek, menyuruh Bora mengambil sepatu itu. Cowok itu menjauh dan terus menjauh sampai akhirnya hilang. Bayangan itu hilang. Bayangan waktu Reksa masih sering menjaili Bora dulu. Waktu cowok itu benar-benar mengambil sepatu Bora dan mereka jadi kejar-kejaran di lorong sekolah.
"Aku pernah liat ini di drama Korea. Adegan ini romantis, ya?" Bayangan itu benar-benar hilang dan yang ada sekarang Akas. Bukan Reksa yang selalu jail. Bukan Reksa yang selalu bikin Bora teriak saking kesalnya. Dan bukan Reksa yang bikin Bora berhenti mengkhayalkan adegan-adegan di drama Korea.
_____________________________________________
Udah jelas, kan, masalah Anka sama Danny? 😁
Kalau kalian jadi Anka, gimana, maafin nggak si Danny?
Bora kangen Reksa cieee author juga 😆😆
Langsung baca lanjutan ya abis ini. Ada yang membahagiakan! 😆😆😆
Ditunggu vote, komen dan sarannya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro