Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[31] Takut Kehilangan

Anka melihat Bora dari seberang. Cewek itu kelihatan udah lebih baik dari kemarin. Jalannya udah tegak. Mukanya juga udah kelihatan ada senyum, walau belum selebar biasanya. Seenggaknya Anka bisa sedikit tenang sekarang. Entah gimana kabar Bora akhir-akhir ini. Apa yang terjadi sama cewek itu. Anka cuma bisa menebak-nebak dan perhatiin dari jauh, kayak sekarang.

Yang Anka tahu pasti, kemarin Reksa dan Akas hampir tanding basket di lapangan habis pulang sekolah. Dari gosip yang beredar sih, itu buat rebutin Bora. Entah sumber gosipnya dari mana, tapi kalau benar, itu pasti merepotkan juga buat Bora. Anka sendiri nggak pernah nyangka kalau dua cowok itu bakal benaran memperebutkan Bora, bahkan sampai tanding basket kayak gitu. Tapi yang dia masih nggak mengerti, kenapa Reksa malah tiba-tiba pergi, bahkan sebelum pertandingannya dimulai.

Dari seberang, Bora menoleh. Refleks, Anka menunduk, menyembunyikan mukanya dalam-dalam. Rasa bersalah masih bergelayut di hatinya, apalagi kalau ingat gimana muka sedih Bora pas tahu masalah dia dan Danny. Sampai sekarang Anka masih nyesal karena nggak cerita sama Bora, tapi sayangnya, penyesalan yang datang itu suka ditimpa lagi sama rasa nggak layak setelahnya. Bikin keinginan buat jujur kembali urung.

"Kalau nyesel kamu harusnya minta maaf, Ka, bukannya cuma ngeliatin dia dari jauh gini."

Anka tahu pasti suara siapa itu, makanya dia nggak noleh. Bisa-bisanya pula cowok itu datang dan langsung ngomongin apa yang lagi Anka pikirin dalam hati. Nggak mungkin dia bisa baca pikiran, kan? Anka nggak berniat merespons. Gimana pun, Danny ada peran dalam pertengkaran dia sama Bora. Kalau aja cowok itu nggak datang lagi, pasti itu nggak akan terjadi. Anka menghela napas. Dia tahu pikirannya barusan salah. Dia cuma lagi cari objek buat melimpahkan penyesalannya, dan itu Danny. Padahal dia sendiri sadar, kalau semua kesalahan asalnya dari dia. Walau Danny nggak datang, kalau dia jujur sama Bora, semua juga nggak akan kejadian.

"Sekali lagi, aku mau minta maaf, Ka," ujar Danny sebelum Anka sempat beranjak.

Rasanya Anka mulai muak mendengar kata itu. Apa Danny nggak punya kata-kata lain selain itu, sampai hampir tiap kali ketemu, cowok itu harus banget ngomong begitu. Anka menghela napas. Andai dia juga punya stok keberanian sebanyak Danny buat mengucapkan kata itu, dia mungkin nggak akan cuma memperhatikan Bora dari jauh kayak sekarang.

"Aku minta maaf karena udah nyuruh kamu ngelakuin semuanya tapi malah ninggalin kamu gitu aja. Aku pengecut, Ka. Maaf karena orang yang suka sama kamu itu pengecut."

Anka memejam erat-erat. Sial! Semua yang pengin dia lupain malah terputar lagi sekarang di ingatannya gara-gara omongan Danny barusan. Cowok itu nggak tahu apa kalau nggak ada bagusnya membahas masa lalu, apalagi kalau itu kenangan pahit yang harusnya dilupain. Anka nggak peduli. Dia nggak boleh peduli. Akhirnya dia memilih melangkah pergi.

"Aku minta maaf terus biar bisa maafin diri sendiri, Ka. Dan kamu juga harus kayak gitu. Jangan hidup dalam penyesalan, Ka. Minta maaf sama Bora dan baikan kalau emang kamu ngerasa salah sama dia. Kamu juga perlu maafin diri sendiri, Ka. Kita perlu."

Lagi, omongan Danny bikin Anka mematung. Entah sejak kapan cowok itu belajar baca pikiran, tapi omongannya dari tadi selalu tepat sasaran. Dia tahu dia harus minta maaf sama Bora, tapi perasaan kalau dia nggak pantas dimaafin juga segitu gede. Dia nggak pantas menyebut diri sebagai sahabat ketika nggak cerita semuanya, apalagi sampai bikin Bora kecewa.

Anka kembali melanjutkan langkahnya. Walau omongan Danny benar, dia masih belum punya keberanian buat itu. Entah kapan, tapi dia harap secepatnya, karena dia juga nggak tahan nggak komunikasi sama Bora kayak gini.

Langkah Anka otomatis melambat ketika melihat Rama dan gengnya dari arah berlawanan. Satu lagi masalahnya, dia harus menghadapi orang-orang yang merepotkan itu. Dulu dia kalah pas SMP, tapi sekarang dia pengin menang melawan orang-orang kayak gitu. Dia nggak boleh lemah lagi, dia tahu, tapi hatinya masih juga nggak kuat.

"Eh ada fans-nya Rama." Cowok yang biasa memulai omongan kembali menjalankan tugasnya. Entah itu ritual apa gimana, tapi orangnya selalu sama, bikin Anka merasa kalau ini kayak udah direncanakan.

Rama mengibas-ngibaskan tangannya sambil memberi pandangan mengejek. "Nggak penting." Lalu dia melihat ke belakang Ankadan bertanya ke Danny. "Eh, Dan, menurut lo apa dia pantes buat jadi fans gue?"

Anka memejam. Kayak gini lagi. Harus banget kejadiannya terulang persis kayak dulu? "Jelas nggak pantes," jawab Anka, mengulang persis kayak apa yang baru aja mampir ke ingatannya. Dia membuka mata lalu menatap Rama tajam. "Karena lo terlalu nggak jelas buat diidolain. Dan gue nggak berminat buang-buang waktu buat hal nggak jelas."

Senyum Danny mengembang saat melihat Anka pergi meninggalkan Rama dan gengnya dengan punggung tegap, walau hatinya juga pedih karena cewek itu masih ingat persis apa yang dilakukannya dulu. Pasti. Siapa yang akan lupa dengan rasa sakit kayak gitu. Tapi Danny cukup senang. Seenggaknya Anka udah bangkit. Dia nggak lagi kalah sama masa lalu dan rasa nggak percaya diri karena orang-orang nggak jelas itu.

***

Akas melihat Bora dari jauh. Sampai sekarang cewek itu masih juga belum menjawab pernyataan cintanya, tapi Akas nggak mau maksa. Dia akan dekatin Bora kayak sebelumnya sampai cewek itu yakin buat jawab iya. Lagian sekarang jalannya udah lebih gampang karena Reksa mundur. Satu-satunya saingan menghilang, artinya cuma dia yang mungkin menang, kan?

"Kamu mau nonton Sabtu ini, Ra?"

Bora yang lagi duduk sendiri di lorong kelas langsung menoleh kaget. Dia nggak menyangka Akas akan datang, apalagi langsung nanya kayak gitu. Bora menunduk. Rasa canggung memenuhinya. Gimana dia harus hadapin seniornya ini, apalagi kalau diminta jawaban tentang yang kemarin. Dia masih belum memutuskan. Hatinya masih ragu.

"Aku nggak minta jawaban kamu sekarang, kok. Kamu bisa pikirin selama yang kamu mau, jadi nggak usah canggung."

Bora mendongak dan ternyata Akas udah duduk di sebelahnya sambil tersenyum manis. Apa tingkahnya terlalu jelas, sampai seniornya itu bisa tahu kalau dia lagi ketakutan dimintai jawaban? Dengan kikuk, Bora ikut senyum. Dalam hati dia mengumpat. Itu senyum paling payah yang pernah muncul di mukanya. Kelihatan banget nggak tulusnya.

"Kamu belum jawab, lho," ujar Akas lagi.

"Eh? Nonton ya ... Aku pengin nonton Insidious 4 sih, Kak, tapi kayaknya nggak sekarang-sekarang ini." Bora menjawab jujur. Dia nggak yakin bisa senang-senang dengan nonton sedangkan masalah-masalahnya belum benar-benar selesai.

"Wah kamu mau nonton Insidious 4? Emang nggak takut?" Akas merespons di luar dugaan.

Bora menggeleng. "Satu-satunya yang aku takut itu pintu terkunci, Kak."

Kening Akas berkerut. "Kenapa begitu? Fobia?"

"Dulu pernah kekunci di lemari seharian pas lagi main petak umpet, Kak. Orang-orang di rumah tiba-tiba pergi, tanpa ingat kalau aku nggak kelihatan dari pagi. Sejak saat itu aku takut kalau dengar suara pintu kekunci. Bahkan tidur pun aku nggak mau kunci pintu."

Akas mengangguk-angguk mendengar penjelasan Bora. "Serem juga fobia kamu. Padahal kunci pintu itu penting. Nggak ada yang tau tiba-tiba ada orang jahat yang masuk nanti."

Bora mengiakan. Dia juga paham sama risiko itu, tapi gimana pun dia coba, rasa takutnya yang satu itu belum juga bisa hilang. Sebenarnya nggak masalah kalau pintu dikunci, asal dia nggak dengar bunyinya, dan bisa dibuka saat dia mau keluar. Bora cuma bisa tersenyum sambil mendengar omongan Akas selanjutnya.

"Kalo masih terus merhatiin dia kayak gitu, kenapa kemarin lo nggak ngomong?"

Reksa menoleh dan menemukan Andin udah berdiri di sampingnya. Dari tadi dia terlalu fokus memperhatikan Bora dan Akas dari pilar yang jaraknya nggak terlalu jauh, sampai nggak sadar ada yang datang.

"Takut kehilangan seseorang kadang bikin kita nggak berani buat jujur. Kita takut menghadapi reaksi orang itu. Kita takut, kalau dia nggak suka kejujuran itu dan malah menjauh. Padahal kadang ketakutan kita yang akhirnya bikin dia pergi."

Andin setuju. Dia juga mengerti rasanya. Tapi dia nggak pernah melihat ketulusan sebesar yang Reksa punya ke Bora. Dia cuma terlalu bodoh kalau berharap sama orang yang hatinya diisi penuh sama satu orang, sampai nggak menyisakan ruang kosong buat orang lain kayak Reksa.

_____________________________________________

Masalah Anka dan Danny mulai terkuak. Kalian udah bisa ngertikah mereka kenapa?

Akas masih nggak nyerah walau digantungin sama Bora saudara-saudara! Dia malah makin pede karena Reksa mundur.
Dan Reksa yang cuma nongol di ujung bikin aku nyesek 😔
Kalian setuju nggak sama omongan Reksa? Maunya dia gimana nih nantinya?

Oh iya, berhubung ini udah mau selesai minggu depan, aku berniat ngadain GIVEAWAY sebagai rasa terima kasih sama kalian yang udah mau baca DRAMA :")
Kalian maunya GA ini adanya di wattpad aja atau ada di IG juga?

Ditunggu vote, komen dan sarannya, ya!

Sampai ketemu Kamis!

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro