[24] Apa Kita Sahabat?
Suara getar ponsel di mejanya bikin Bora tersadar. Jam pelajaran kosong kali ini terlalu membosankan. Andin nggak masuk, jadi dia nggak bisa bahas drama dan ngehalu bareng. Karin lagi asyik ngobrolin serial Game of Thrones, yang selalu dibahasnya tanpa bisa Bora mengerti, sama anak-anak lain tepat di sebelah Bora.
Bora nunduk dan memperhatikan. Jangan lupa sama tugas lo. Tulisan itu muncul di layar ponsel dan bikin keningnya berkerut. Tangannya baru mau ambil ponsel itu, tapi Karin tiba-tiba merebut. Sekian detik Bora masih menatap Karin bingung. Kenapa cewek itu menyambar ponselnya kayak gitu?
"Ini HP gue, Yong. HP lo di sana, tuh," ujar Karin sambil menunjuk sebelah kanan Bora, di mana ponselnya tergeletak dan ketutupan sikunya.
Bora langsung noleh dan menemukan ponselnya lalu nyengir. Efek ngantuk memang luar biasa. Dia sampai nggak sadar kalau itu bukan ponselnya. "Btw tugas apaan, Kar? Emang kita ada PR?"
Karin mengutak-atik ponselnya, tangannya berpindah-pindah di layar buat mengetikkan balasan sambil terus menghela napas. Karena belum dijawab, Bora mengulang pertanyaannya, bikin Karin tersadar. "Hah? Nggak kok, bukan tugas pelajaran."
Masih belum puas sama jawaban Karin, Bora pengin nanya lagi. Tapi baru buka mulut, bel istirahat udah bunyi dan Karin udah keburu menghampiri Reksa yang baru lewat di depan mereka. "Reksa, kita ke kantin bareng, yuk."
Reksa yang dihampiri tiba-tiba kayak gitu refleks menghindar lalu menatap Bora. Cewek itu cuma bisa mengangkat bahu dan alis berbarengan. Reksa yang udah malas banget menanggapi Karin dan langsung melenggang pergi. Apalagi Bora nggak kasih respons yang gimana-gimana. Kayaknya dia aja yang terlalu berharap habis kecanggungan kemarin.
Bora mengiring langkah Karin yang terus mengejar Reksa sambil menggeleng-geleng. Usaha cewek itu agak kelewat keras kayaknya, tapi bukan itu yang harus dia pikirin sekarang. Maka dia bangun dan berjalan keluar kelas. Sialnya, dari depan dia lihat Rama dan gengnya lagi jalan ke arahnya. Malas banget kalau harus berurusan sama orang nggak jelas kayak dia sekarang.
"Hai, Cantik." Belum juga sempat menghindar, Rama udah berjalan cepat ke arahnya. Bora cuma bisa mengernyit. Dia pengin pergi secepat mungkin, tapi isi geng yang jumlahnya banyak itu nutupin jalan. "Istirahat sendiri aja? Aku temenin ke kantin aja, yuk. Aku beliin makanan juga, tenang. Cantikku kan nggak boleh sampai sakit."
Muka Bora udah nggak bisa didefinisikan lagi. Rasanya benar-benar mual dengar omongan Rama barusan. Kenapa sih bisa ada manusia kayak gitu di dunia ini? Huh ... Bora menghela napas. "Gue bisa sendiri, kok."
Bora nekat maju, mau menerobos kerumunan geng itu, tapi Rama malah mengadang di depan. Nggak cukup begitu, cowok itu malah maju terus langkah demi langkah sampai Bora harus mundur perlahan dan udah hampir kekunci di pojok pilar. Untungnya di saat kayak gitu, seseorang datang dan langsung menyelip di tengah-tengah, bikin Rama berhenti.
"Udah jelas-jelas Bora nggak suka sama lo. Mending lo mundur." Suara Akas terdengar yakin dan lantang.
"Mana mungkin sih Cantikku nggak suka sama cowok ganteng, gaul dan romantis kayak gue? Semua orang berebut buat jadi cewek gue," jawab Rama kepedean.
"Nggak usah sok perfect. Cewek nggak suka cowok yang banyak omong tanpa bukti. Sekarang mending kalian minggir, jangan ngalangin jalan."
Baru kali ini Bora melihat Akas ngomong dengan penuh penekanan. Tatapannya tajam, seolah bilang kalau dia nggak lagi main-main. Bikin siapa pun yang ada di depannya merasa terintimidasi. Alhasil, Rama dan gengnya minggir, kasih ruang yang cukup buat Bora dan Akas pergi dari sana.
Reksa terlambat lagi beberapa detik. Kalau bukan karena harus menghindari Karin tadi, dia yang akan nolongin Bora barusan. Tapi seenggaknya Bora udah lolos dari geng nyebelin itu. Habis Bora dan Akas pergi, Rama berbalik. Matanya memicing, sambil senyumnya naik setengah.
"Jago juga ..." Reksa tahu pasti, omongan itu masih ada sambungannya, tapi Rama keburu berbalik, jadi suaranya nggak kedengaran lagi. Gerakan mulutnya juga nggak bisa lagi dibaca. Tapi Reksa yakin, masih ada sesuatu yang nggak bisa dia sepelekan.
***
Hari ini Bora mau pulang sama Anka. Dia udah lama banget nggak pulang bareng sahabatnya itu. Udah terlalu banyak hal yang pengin dia ceritain ke Anka. Juga semua kemungkinan yang masih ada di otaknya. Dia butuh Anka buat berdiskusi. Biasanya sahabatnya itu jago banget kalau dimintai pendapat.
Di depan kelas Anka, Bora berhenti karena lihat Danny dan Anka di dalam. Danny kelihatan lagi mengejar Anka yang udah jalan duluan di depannya. Bora cuma bisa tertawa kecil. Anka memang nggak pernah gampang didekati, jadi Danny harus berjuang lebih kayaknya.
Sebelum Anka berhasil keluar kelas, Danny menarik lengannya, bikin dia mau nggak mau berhenti dan berbalik. Danny masih bergeming, menatap Anka lekat-lekat. Kesempatan itu dipakai Anka buat coba pergi lagi, tapi Danny masih berhasil menahan. "Apa kita nggak bisa balikan, Ka?" ujar Danny dengan suara lirih.
Pertanyaan Danny barusan bikin mata Bora membesar seketika. Balikan? Jadi ini bukan pertama kalinya Danny ngedeketin Anka, dan bahkan mereka pernah pacaran? Tapi kapan? Kenapa Bora nggak pernah tahu? Bukannya dia sama Anka udah sepakat buat cerita apa pun yang mereka alami? Bukannya persahabatan harusnya kayak gitu?
"Nggak bisa," jawab Anka tegas. Lalu dia berbalik cepat dan keluar dari kelas dengan tergesa. Begitu keluar, dia ketemu Bora yang menatapnya dengan ekspresi yang nggak bisa dijelaskan. Yang jelas Anka baru kali ini melihat muka Bora kayak gitu. "Yong ..."
"Kalian ..." Bora mengembuskan napas perlahan. Tiba-tiba dadanya sesak buat sekadar ngomong. Dan pada akhirnya dia malah ketawa. Mungkin lebih tepatnya menertawai dirinya sendiri, yang bisa-bisanya mengaku sahabat tapi nggak tahu apa-apa tentang sahabatnya.
Melihat tawa Bora tadi, Anka malah merasa perih. Hari yang paling dia takutkan akhirnya datang. Harusnya dia bisa cegah semua ini. Harusnya dia bisa jujur lebih awal. Tapi semuanya terlambat. Ketika penyesalan datang, nggak ada lagi yang bisa dilakukan. "Maaf, Yong." Cuma kata itu yang bisa Anka ucapkan.
"Lo kenapa nggak pernah cerita apa-apa, Ka? Lo tau kan, gue paling seneng denger cerita orang? Dari dulu gue bertanya-tanya, kenapa cuma gue yang punya cerita pas suka sama orang, deket sama orang itu, sampai akhirnya sakit sendiri. Kenapa lo nggak pernah punya cerita? Dan sekarang gue tau, gue yang kehilangan momen itu, Ka. Momen saat sahabat gue ceritain kejadian konyolnya pas deket sama cowok. Gimana deg-degannya dia, gimana malunya, bahkan gimana sedihnya pas patah hati. Lo tau apa artinya cerita sama orang lain, Ka? Artinya lo kasih kepercayaan sama mereka buat menanggung hal yang sama kayak lo. Lo mau mereka jalan beriringan sama lo, ngatasin masalah sama-sama. Dan itu yang selalu pengin gue lakuin sama lo, karena kita sahabat." Bora merasa matanya udah panas. Tangannya juga udah bergetar.
"Atau emang gue nggak pernah jadi sahabat lo, Ka? Apa emang cuma gue aja yang terlalu pede nyebut diri sendiri sahabat lo?" Bora mengangguk-angguk walau air matanya udah mulai menetes. "Kayaknya emang gue yang terlalu egois selama ini."
Dan setelahnya, Bora berbalik. Lalu pergi dengan langkah lemah. Punggungnya yang kecil makin lama makin nggak kelihatan sama Anka karena semuanya ketutup kabut di matanya. Sahabat satu-satunya baru aja pergi.
"Ka ..." Danny yang baru datang menepuk pundak Anka perlahan. Dan saat itu, runtuhlah semua pertahanan Anka. Air matanya mulai jatuh sedikit demi sedikit, tapi lama-lama jadi makin banyak dan nggak bisa dihentikan.
Anka berjongkok sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar hebat. Danny ikut berjongkok dan menepuk-nepuk pundak Anka pelan. "Ini semua gara-gara lo!" Kata-kata itu terus Anka ulang-ulang, sampai Danny hafal dan tertanam di dirinya.
"Iya, aku yang salah, Ka. Aku yang salah," ujar Danny bikin Anka makin terisak.
Sambil terisak, Bora mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya. Suara orang di seberang telepon sana seolah bergaung, membuatnya membatu. Sampai beberapa detik kemudian, kakinya baru memacu cepat. Dia harus sampai ke sana secepat mungkin.
_____________________________________________
Updatean kedua datang! Tapi maaf bukan hadiah tahun baru yang menyenangkan 😔
Siapa yang mau masuk club pembenci Rama? 😂😂😂
Anka dan Bora akhirnya berantem karena ... keenggak jujuran. Sebenarnya itu masalah sepele, tapi kalau ditumpuk terus ya jadinya kayak bom waktu. Bisa nggak kalian ngerasain kesedihan Bora? Apa menurut kalian Bora lebay?
Dan siapakah yang nelepon Bora?
Ditunggu vote, komen, dan sarannya, ya!
Sampai ketemu Kamis!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro