Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[21] Sekeping Kenangan

"Lo kemarin kenapa, Yong? Gue lagi nginep di rumah kakak jadi nggak megang HP."

Anka langsung menemui Bora begitu sampai di kelas tempat ekskul mereka diadakan. Dia yakin ada yang nggak beres, karena nggak biasanya Bora menelepon sampai berkali-kali. Apalagi ibunya bilang cewek itu ke rumahnya kemarin, malam-malam pula. Benar-benar nggak biasa. Tapi anehnya, muka Bora kelihatan baik-baik aja.

Bora mengulurkan ponselnya, kasih lihat chat yang ayahnya kirim kemarin. "Mau kabur katanya. Untung nggak jadi."

Dari yang awalnya syok, muka Anka berubah bingung. Kenapa Bora bisa jawab dengan sebegitu santai? "Lo ... nggak sedih?"

Dengar pertanyaan itu, Bora malah nyengir. "Udah lewat masa sedihnya, Ka."

Jawaban Bora barusan seakan menampar Anka. Lagi-lagi dia kehilangan satu momen. Dia kenal banget Bora. Dia tahu kalau sahabatnya yang satu ini memang punya masa buat kesedihan. Biasanya cewek itu akan cerita panjang lebar dan menumpahkan semua kesedihannya saat baru mengalaminya ke orang pertama yang bisa dia temui. Dan biasanya orang itu Anka, tapi nggak kemarin.

Anka menatap Bora dalam-dalam. Demi apa pun, dia nggak mau kehilangan sahabatnya yang satu itu, tapi entah kenapa rasanya makin hari semua makin kompleks. Semua hal yang terjadi di sekitarnya seolah membuat mereka perlahan jadi jauh. Kayak sekarang, mereka duduk sebelahan, tapi sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mungkin ini memang fase yang ada di tiap hubungan. Kadang terasa dekat, tapi ada masanya terasa sama sekali nggak tergapai. Ada kalanya terasa begitu menyenangkan, tapi ada juga fase jenuh.

"Yong, lo dipanggil pembina tuh," ujar Karin sambil berlalu. Bora mengangguk dan langsung pergi menemui pembina ekskul mereka.

Pandangan Anka mengikuti langkah Bora yang ringan. Sikap sahabatnya yang satu itu selalu berhasil bikin dia iri. Gimana Bora bisa cuek sama omongan sekitar. Gimana dia juga bisa cepat lupa sama masalah dan kembali senang. Anka selalu pengin bisa kayak gitu juga, tapi sayangnya nggak. Bahkan sekarang baru melihat Rama dan geng nggak jelasnya itu dari jauh aja, Anka udah siap-siap pergi.

"Kamu mau ke mana, Ka?" Danny tiba-tiba datang dan menghadang langkah Anka.

Anka menghela napas dalam-dalam. Demi Tuhan, kenapa dua orang yang menyusahkan hidupnya ini harus muncul barengan. "Minggir," ujarnya pelan.

Bukannya minggir, Danny malah maju satu langkah, bikin jarak mereka jadi dekat banget. Cowok itu menatap Anka dalam-dalam. "Aku nggak akan pernah pergi, Ka."

Mendengarnya, Anka mendengkus kencang. Tawanya bahkan hampir pecah gara-gara muka sok serius Danny. Kalau dulu, dia mungkin akan ketipu. Juga mungkin akan deg-degan cuma gara-gara omongan klise itu. Tapi sekarang semuanya beda. Dia nggak akan sebodoh itu buat jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Tanpa memedulikan Danny lagi, Anka langsung ambil jalan di kiri buat cepat-cepat pergi dari sana. Tapi lagi-lagi Danny menghadang. "Aku serius, Anka."

"Gue nggak peduli!" Lagi, Anka mencoba pergi. Kali ini dia bergeser ke sebelah kanan. Tepat saat itu, suara Rama dan gengnya terdengar dari belakang, bikin dia menghela napas dalam-dalam. Dari dulu, Danny nggak pernah bawa hal baik buatnya.

"Hei, Dan! Lo ada urusan apa sama fans-nya Rama?" Salah satu anggota geng nggak jelas yang kayaknya paling bawel itu melempar pertanyaan, yang lagi-lagi bikin Anka bingung di mana letak lucunya. Mereka semua ketawa padahal sama sekali nggak ada yang lucu, persis orang nggak waras.

"Sembarangan lo! Nggak mau gue punya fans kayak gitu!" Sahutan Rama bikin Anka makin gerah. Kalau lama-lama di sini, bisa-bisa dia ikutan gila. "Eh, Dan. Lo kan keren, kenapa nggak gabung sama geng kita? Lo cocok banget sih kumpul sama kita. Daripada ngeladenin cewek nggak jelas kayak gitu, kan?"

Anka nggak tahan lagi! Tanpa pikir panjang lagi, dia berbalik dan bersiap pergi dari tempat itu. Tapi belum sempat melangkah, Danny udah lebih dulu mencekal pergelangan tangannya. "Gue nggak minat gabung sama kalian. Dan jangan pernah ganggu Anka lagi." Danny menekan suaranya pada tiap kata di kalimat terakhir sambil menatap Rama tajam.

Sambil tersenyum miring, Anka mengempas tangan Danny sampai genggamannya terlepas. Sebelum pergi, dia menatap Danny tajam. Nggak ada kata-kata yang diomongin, tapi Danny bisa merasakan semuanya. Kemarahan, kekecewaan, kesedihan, dan rasa nggak percaya Anka. Dia bisa lihat dan mengerti semua itu.

Langkah lebar-lebar Anka membawanya dengan cepat sampai di depan gerbang. Dari jauh dia dengar Bora teriak, bikin dia berhenti dan noleh. "Lo mau ke mana, Ka?"

"Pulang, Yong. Gue mendadak sakit kepala. Nggak ikut ekskul hari ini, ya," ujar Anka lalu langsung berbalik dan pergi.

Bora cuma bisa menatap bingung. Rasanya dia jadi kayak nggak kenal Anka sekarang.

***

Anka yang Danny kenal dulu nggak jalan kayak gitu. Nggak sambil nunduk dengan pundak lemas. Nggak juga lambat dan tanpa semangat. Anka yang dulu jauh lebih bernyawa. Bercahaya. Tapi sekarang semua hilang. Berganti dengan Anka yang dingin dan menutup diri. Danny sendiri nggak tahu harus minta maaf sampai berapa kali dan kayak gimana lagi buat bikin Anka balik kayak dulu.

Sekarang ini bahkan entah karena mikirin apa, Anka jadi beberapa kali kesandung, padahal dia orang paling hati-hati yang Danny kenal. Dia juga nggak sadar kalau ada orang yang ikutin, padahal biasanya telinganya paling peka buat nangkap suara, sekecil apa pun itu.

Di depan sebuah taman, Anka berhenti dan noleh, bikin Danny mengikuti arah pandangnya. Senyum Danny mengembang tanpa bisa dicegah. Ternyata dia masih ingat. Tapi senyum Danny langsung pudar pas Anka kembali menatap depan dan menarik napas dalam-dalam. Apa ingat sama dia memang bikin Anka segitu tersiksa? Padahal semua yang bisa Danny ingat tentang taman itu adalah kenangan indah.

"Aku menang!" Anka memamerkan kertas ulangan Matematika dengan nilai 90 di tangannya.

"Kamu emang selalu menang," ujar Danny pura-pura kesal.

Anka tertawa kecil. "Makanya belajar yang bener biar bisa menang!"

"Gimana bisa belajar yang bener kalau kepikiran kamu terus."

"Kalau gitu kita nggak usah deket-deket, biar kamu bisa belajar yang bener," jawab Anka santai sambil melirik jail.

Danny memicing. "Enak aja! Kesimpulan kayak apa itu. Nggak ada!" Dan reaksi itu membuat tawa Anka lepas.

"Mau itu?" tanya Danny ketika tukang es krim lewat. Anggukan Anka membuat Danny lari ke tukang es krim itu dan balik secepat mungkin. Dia menyodorkan es krimnya ke Anka, tapi sengaja mengenai hidung cewek itu.

"Dan!" Anka yang nggak terima langsung mengejar Danny yang udah lari duluan sambil terus noleh buat ngeledek.

Senyum datang begitu aja ke muka Danny ketika ingat masa lalunya sama Anka. Dan sekarang, semua yang pengin dia lakukan cuma mengulang masa-masa itu. Tapi apa semuanya mungkin?

_____________________________________________

Gimana part ini? Ngebosenin nggak?
Part yang bisa dibilang khusus buat Anka sama Danny. Udah mulai jelas harusnya. Udah ada yang bisa nebak ada apa sama mereka?

Ditunggu vote, komen dan sarannya, ya!

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro