Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[18] Kabur

Masuk ke kantor guru adalah hal yang paling Bora nggak suka. Bikin deg-degan. Nggak tahu maksud guru manggil dia ke sini buat apa. Entah karena kesalahan, nilai jelek, tugas kurang lengkap, atau yang paling entengnya cuma buat ambil buku PR. Apa pun alasannya, Bora sebal harus menebak-nebak dengan perasaan nggak tenang.

Bora melongok dari pintu dan melangkah masuk perlahan setelah menemukan Bu Irma, guru Biologi yang memanggilnya tadi. Bu Irma yang nggak melihat ke arahnya sama sekali bikin Bora tambah takut, apalagi di mejanya nggak ada tumpukan buku. Berarti alasan Bora dipanggil nggak mungkin yang paling enteng.

"Permisi, Bu," sapa Bora pelan.

Bu Irma akhirnya mengangkat kepala. Setelah melihat Bora di depannya, tangannya sibuk mencari sesuatu di tumpukan kertas sampingnya. "Nilai ujian kamu kemarin jelek sekali, Bora."

Omongan Bu Irma barusan menghancurkan semua harapan Bora dan menyambut segala ketakutannya dengan tangan terbuka. Dia menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Biologi memang nggak pernah gampang baginya. Menghafal nama latin tumbuhan, makhluk mikroba, dan lain-lain sama sekali bukan keahliannya. Dia benci hafalan.

"Kalau begini terus, kamu bisa tinggal kelas." Tambahan Bu Irma nggak bikin Bora lega, malah membuatnya menunduk makin dalam. "Ibu akan kasih kamu tugas, tapi kamu harus kerjakan dengan baik buat tambahan nilai. Sekalian kamu belajar lagi, ya."

Bora cuma bisa mengangguk lemah saat mendengar tugas yang Bu Irma beri. Merangkum semua materi yang udah dipelajari ... sama sekali bukan hal yang gampang. Kayaknya selama seminggu ke depan Bora harus berteman sama virus, bakteri, jamur, dan teman-temannya.

"Kamu kenapa lemas gitu?" Pertanyaan Akas menyambut ketika Bora baru aja keluar dari ruang guru.

Yang tadinya lemas, jantung Bora langsung memacu. Entah karena kaget atau karena yang ada di depannya sekarang itu Akas. "Abis dapet tugas karena nilai jelek, Kak."

Sebenarnya Bora malu jawab begitu. Dia jadi kelihatan payah di depan Akas. Bisa aja seniornya itu ilfeel karena menganggap dia bodoh atau pemalas. Pokoknya image-nya bisa jadi jelek, tapi entah kenapa dia jawab gitu aja pas ditanya tadi. Mungkin dia cuma nggak mau menyembunyikan apa-apa dari orang yang dia suka.

"Tugas apa?" Akas kelihatan nggak peduli dengan keterangan yang ditambahin Bora di ujung.

"Biologi. Ngerangkum semua materi," jawab Bora lemas.

"Nggak usah lemas gitu, gampang, kok." Akas tersenyum menenangkan.

Bora cuma bisa mengangguk-angguk. Kayaknya bagi seniornya ini nggak ada yang susah. Mulai dari ekskul, tugas meringkas novel waktu itu, basket, juga yang sekarang. Semua dijawab gampang. Mungkin iya bagi dia, tapi belum tentu buat semua orang. Mungkin dia lupa kalau kemampuan tiap orang beda. Dan Bora yakin, kemampuannya dan Akas nggak bisa dibandingin sama sekali.

"Ayo, aku temanin kamu ngerjain!"

Akas mengedikkan kepala dan Bora mengikuti. Mereka masuk ke perpustakaan dan langsung menempati kursi paling dekat rak buku. Bora membuka buku Biologi yang baru dia ambil dan mulai membaca. Walau nyatanya dia sama sekali nggak bisa konsentrasi karena merasa Akas nggak memalingkan pandangan sedikit pun dari tadi. Akhirnya dia memberanikan diri buat noleh. Dan benar, Akas masih menatapnya lekat-lekat.

"Kakak kenapa ... ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Bora ragu-ragu.

"Karena aku suka lihat muka kamu." Bora menahan napas. Omongan Akas barusan langsung merenggut detak jantungnya dalam sekejap dan mengembalikannya dalam tempo yang jauh lebih cepat dari biasa.

***

"Makanya jadi cowok jangan lelet! Ngerjain apa-apa lambat, tuh kan anaknya jadi ikutan."

Bora memejamkan mata kuat-kuat. Omongan kayak gitu udah sering banget Bora dengar. Pertengkaran di rumah Bora tiap hari selalu terjadi karena hal sepele kayak gitu, beda sama rumah lain yang mungkin penyebabnya cuma masalah besar. Sebenarnya pun, tiap kejadian nggak bisa disebut pertengkaran sama sekali. Karena kenyataannya, cuma mama Bora yang mengomel, sedangkan ayahnya diam aja.

Kayak sekarang, ayahnya Bora cuma keluar dari kamar tanpa omongan sedikit pun. Mukanya juga kelewat datar, sama sekali nggak bisa ditebak apa yang lagi dirasakan hatinya. Kadang Bora mikir, dari siapa dia nurunin sifat nggak bisa diam dan super ekspresif ini. Atau mungkin, sifatnya memang terbentuk dari lingkungan, bukan karena keturunan.

Setelah omelan tadi, masih ada serentetan lagi omelan yang dilontarkan mama Bora dari dalam kamar, sedangkan ayahnya duduk sendirian di ruang tamu. Bora yang baru selesai makan berniat balik ke kamar, tapi belum juga melangkah, satu chat yang masuk ke ponselnya bikin dia berhenti. Keningnya berkerut. Chat itu dari ayahnya.

Kamu bisa nggak ngelakuin semuanya dengan benar? Saya capek disalahin, apa-apa dibilangnya keturunan. Kalau gini saya kabur aja, nggak tahan.

Selama beberapa detik, Bora cuma bisa memandangi chat dari ayahnya itu. Selama ini dia udah sering dengar omelan mamanya, dan memang semua yang buruk selalu dibilang keturunan ayahnya. Dan selama ini ayahnya cuma diam aja, nggak komentar apa-apa, tapi sekarang tiba-tiba datang chat yang bikin Bora bingung sekaligus sedih.

Bora mengintip ke ruang tamu. Di sana, ayahnya lagi tiduran di sofa dengan lengan nutupin mata. Ponsel yang ada di sampingnya masih menyala, berarti memang ayahnya yang mengirim chat barusan. Melihat itu, mata Bora seketika panas. Pandangannya mulai kabur. Apa sebegitu nggak berharganya dia, sampai-sampai dalam jarak dekat pun ayahnya harus mengirim chat, bukannya ngomong langsung? Sebegitu mengecewakannya kah dia sampai bikin ayahnya mau kabur?

Pikiran Bora kalut. Dia nggak bisa tenang sekarang. Dia butuh cerita biar hatinya lega. Maka dia mengendap keluar rumah dan menelepon Anka, satu-satunya yang bisa dengar semua keluh kesahnya saat ini. Beberapa kali nada panggilan tersambung, tapi Anka belum juga mengangkat teleponnya. Akhirnya Bora lari menuju rumah Anka.

"Anka ..." panggil Bora di depan pagar rumah Anka. Kepalanya melongok tapi nggak kelihatan siapa-siapa. Sampai beberapa saat, ibunya Anka keluar. "Anka ada, Bu?"

"Anka lagi nginep tuh di rumah kakaknya. Dia nggak bilang sama kamu?"

Bora menggeleng lemah. Ketenangan yang baru aja dia rasain karena berpikir bisa ketemu Anka dan cerita semuanya secepat mungkin lenyap seketika. Pikirannya kalut lagi. Setelah pamitan sama ibunya Anka, Bora kembali meraih ponselnya. Dia menekan tombol panggil, menunggu beberapa saat, dan mengembuskan napas frustrasi ketika teleponnya nggak juga diangkat. Dia harus ke mana sekarang ...

Kalau ada masalah, kamu bisa ke sini.

Bora teringat omongan itu dan tahu harus ke mana sekarang. Lagi, kakinya berlari cepat. Dia cuma harus ketemu orang yang bisa dengar ceritanya saat ini.

_____________________________________________

Reksa nggak ada ya di part ini, tolong aku jangan diamuk 😂

Kasih komentar dong buat masalah sama ayahnya, terlalu sepele nggak?
Dan ayo tebak-tebakan lagi, ke mana Bora bakal pergi? 😅

Ditunggu vote, komen, dan sarannya, ya!

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro