[17] Gengsi Berujung Malu
Hujan. Lagi. Bora menatap air-air yang mengalir dari atap sekolah dengan kening berkerut dan bibir manyun. Kenapa semua hal terjadi nggak pada waktu yang tepat? Dia sekarang ini lagi pengin banget cepat-cepat pergi ke rumah Anka, tapi hujan datang dan bikin rencananya gagal. Bora lirik kanan-kiri, tapi sekolah kelihatannya terlalu sepi buat mengharapkan ada yang bisa dipinjami payung sekarang.
Tiap hujan, Bora selalu mengumpat ke diri sendiri karena nggak pernah bawa payung. Tapi kenyataannya, tiap hari juga dia melakukan hal yang sama. Payung nggak pernah punya tempat di tasnya. Kadang Bora heran sama dirinya sendiri. Melakukan sesuatu yang salah, nyesal dan janji nggak akan mengulang kesalahan yang sama, tapi ujung-ujungnya tetap nggak berubah. Apa memang kayak gitu ya kebiasaan manusia?
"Bor Kecil, lo belom pulang?"
Bora merasa déjà vu pas dengar Reksa tanya kayak barusan. Dia masih ingat persis kejadian paling nyebelin yang pernah cowok itu lakukan. "Lo mau ngasih gue payung rusak lagi?"
"Gue nggak bawa payung hari ini," jawab Reksa sambil mengangkat bahu, seolah nggak pernah berbuat hal nyebelin sebelumnya.
Dia juga nggak bisa jadi bala bantuan, bisik Bora sambil melangkah ke dekat dinding dan duduk di sana. Tanpa disangka, Reksa mengikuti Bora dan duduk di sampingnya. Melihat itu, Bora cuma bisa memasang tampang bingung. Dia tahu, barusan cowok itu bilang nggak bawa payung, jadi dia juga nggak bisa pulang. Tapi apa iya si nyebelin itu harus ikutin dia dan duduk persis banget di sampingnya gini.
"Gue cuma mau nyandar ke dinding dan mojok," ujar Reksa menghentikan gerakan mulut Bora yang baru pengin menanyakan alasan itu. Bora cuma bisa mengembuskan napas kesal. Entah Reksa bisa baca pikiran atau gimana, tapi dia selalu berhasil menghentikan Bora dari dugaan aneh yang sesuai imajinasinya, yang seringnya berlebihan. Malas menanggapi Reksa, Bora kembali sibuk dengan ponselnya dan membuka folder drama Korea yang udah dia siapkan buat situasi kayak sekarang. "Tadi pagi kelihatannya cerah padahal."
"Yang kelihatan nggak selalu benar dan sesuai kenyataan," celetuk Bora bangga. Memangnya Reksa doang yang bisa ngomong kata-kata bijak. Dia juga bisa, kok.
"Iya, dan yang mau lo tonton itu juga nggak sesuai kenyataan," balas Reksa, paham betul kalau sebentar lagi Bora akan hanyut dalam drama Korea.
"Yang penting bikin bahagia."
"Bahagia kalau palsu buat apa?"
Mendengar itu, Bora cuma bisa mengembuskan napas kencang-kencang. Dia sebal. Banget. Pertama, agenda menghibur dirinya gagal karena Reksa nyebelin beserta kebawelannya. Kedua, dia nggak terima kalau harus kalah debat. Ketiga, kali ini kalahnya telak, karena dia sadar kalau yang diomongin cowok ini benar. Keempat, dan ini alasan paling penting. Cowok itu bikin dia sadar kalau selama ini kebahagiaannya palsu.
Tapi Bora nggak peduli. Kalau memang dia belum bisa dapat kebahagiaan yang sesungguhnya, kenapa harus nolak yang palsu. Toh yang bikin beda cuma waktunya. Kalau dia bisa pertahanin kebahagiaan palsu ini terus-terusan, nanti juga nggak akan ada celah yang bisa bikin dia nggak bahagia. Maka dia tetap lanjut menonton drama Korea yang udah disiapkannya.
Setengah jam berlalu dan cuma diisi suara-suara adegan drama Korea yang Bora tonton. Dari sudut matanya, Bora menangkap sesuatu yang aneh dan langsung noleh. Benar aja. Dia melihat Reksa lagi melirik ponselnya dan diam-diam ikut menikmati drama yang lagi dia tonton. Perlahan, Bora menggeser ponselnya ke kanan, menjauhi Reksa dan badannya sendiri. Lalu dia terbahak ketika melihat kepala Reksa yang bergerak mengikuti pergerakan tangannya.
"Seru, ya?" tanya Bora, membuat Reksa mengerjap-ngerjap dan pura-pura buang muka. Lagi, Bora tergelak. Tingkah Reksa sekarang benar-benar lucu. "Ngaku aja. Gue nggak bakal ledek lo, kok, karena lingkaran pecinta drama emang begini. Walau awalnya lo ngehina drama, tapi pas lo jadi suka, kita malah seneng karena tandanya makin banyak orang yang kena virus drama. Dan kita nambah keluarga. Tapi inget, sekali masuk nggak ada jalan keluar."
"Ujannya udah reda, tuh." Reksa berdiri dan mulai jalan. Di belakangnya, Bora cuma bisa ketawa. Cowok suka bilang kalau cewek gengsinya gede banget, padahal mereka juga sama.
"Lo pulang jalan kaki juga?" tanya Bora saat bisa menyusul Reksa.
Sambil mengangguk pelan, Reksa menarik jaketnya merapat supaya bisa menutupi kunci motor yang menonjol di saku celananya. Nggak masalah buat meninggalkan motornya, selama dia bisa punya waktu lebih lama sama cewek ini.
"Motornya mau ditinggal, Mas." Penjaga sekolah yang udah kenal banget sama Reksa dan motornya muncul tiba-tiba. Dengar itu, Bora langsung menoleh dengan kening berkerut ke arah Reksa yang gelagapan dan mukanya mulai memerah.
***
"Ankaaaa!" Bora menyambut Anka yang baru sampai rumahnya sambil membawa kantung putih di tangannya dengan senyum lebar. Lalu dia mengangkat tinggi ponselnya.
"Lo ngapain?" tanya Anka dengan alis terangkat setengah.
"Lagi nyogok lo pake senyum manis dan drama Korea." Cengiran Bora makin lebar.
Mau nggak mau Anka ketawa kecil melihat muka Bora yang aneh dengan cengiran selebar itu. "Lo nggak tahu cara nyogok yang bener, ya?"
"Ya ... ini kan pertama kalinya. Maklumin aja, deh."
Ini memang pertama kalinya. Bertengkar kayak tadi karena terpengaruh emosi masing-masing, buat hal nggak penting lagi. Anka tahu itu bukan salah Bora, dan dia juga nggak pernah nyalahin sahabatnya itu. Maka dia mengajak Bora masuk ke kamarnya seolah tadi nggak terjadi apa-apa di antara mereka. Kadang kalau udah terlalu dekat, kita nggak bilang maaf secara langsung, karena hati kita udah lebih dulu saling melupakan kesalahan. Dan Anka percaya itu.
Sesuai apa yang Bora mau, mereka menonton drama Korea yang tadi dia kasih lihat. Mereka ketawa, mengumpat, pasang muka serius, berpikir keras dan nahan air mata. Drama Korea memang paling jago mengaduk-aduk perasaan. Itulah yang bikin Bora nggak bisa lepas dari hal itu.
"Ka ... gue mau cerita," ujar Bora pelan. Anka mengangguk, kasih isyarat buat Bora lanjutin ceritanya. "Gue ... lagi deket sama Kak Akas." Bora mesem-mesem nggak jelas. Tangannya menggosok-gosok layar ponsel sambil menggerak-gerakkannya ke kanan-kiri. Duduknya pun nggak bisa tenang.
"Emang dia ngapain?"
"Dia anterin gue pulang, ngajak gue ke rumahnya, ceritain masalah adik dan masa lalunya. Dia bahkan ..." Bora menggigit bibir bawahnya. Menceritakan bagian ini bikin dia berasa melayang. Kalau orang-orang sering bilang ada kupu-kupu dalam perut, Bora rasa sekarang dia lagi ngerasain fase itu.
"Apa?"
"Dia ... nyandarin kepala di pundak gue, suruh gue jangan pergi dan bilang butuh gue." Akhirnya Bora bisa menyelesaikan kalimatnya, walau dia merasa mukanya mulai memanas. Mengingat kejadian itu selalu sukses bikin Bora mesem-mesem. Dia bahkan masih ingat persis gimana deg-degannya saat itu.
"Jangan terlalu gampang baper sama cowok, Yong. Mereka emang suka gitu. Lo nggak pernah bisa bener-bener tahu kapan mereka serius dan kapan mereka cuma mau nyenengin diri sendiri. Mereka bisa aja bikin lo baper hari ini dan pergi besok. Nggak ada yang tahu."
Bora merasa aneh dengan jawaban Anka. Kesannya kayak dia udah punya pengalaman dan lagi ceritain apa yang pernah dia alami. Bora mau nanya lebih lanjut, tapi nggak jadi karena ada chat yang baru aja masuk ke ponselnya dan bikin dia terbahak-bahak.
"Sumpah ini anak lucu banget, Ka. Gue nggak nyangka dia kayak gini, tapi beneran anaknya asyik banget. Selera humornya juga sama kayak gue, receh." Bora menunjukkan chat berisi gambar lelucon yang baru masuk dari Karin. Anka cuma bisa menatap lemah.
Tadi Akas, sekarang Karin. Kenapa Anka merasa Bora jadi jauh?
_____________________________________________
Reksa gengsi! Tinggal bilang aja mau pulang bareng Bora sambil jalan biar lebih lama, tapi sok-sokan, ujung-ujungnya malu deh 😂
Kalian gemes apa mulai kesel sama Reksa yang begitu? 😆
Anka-nya baper 😢 kalian pernah nggak sih kayak gitu? Ngerasa temen jadi jauh. Apa emang Anka yang terlalu baper? 😅
Ditunggu vote, komen dan sarannya, ya!
Semoga nanti bisa double update, didoakan saja, tapi jangan ditagih 😝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro