[16] Penyesalan
Bora masuk ke kelasnya dengan langkah lebar-lebar. Tubuhnya diempas kencang ke kursi di belakang, sampai menimbulkan suara yang membuat anak-anak yang tersisa di kelas menoleh ke arahnya. Kedua tangannya menangkup wajahnya yang kecil. Beberapa kali dia menghela napas dan mengembuskannya kencang. Dia kesal. Kesal pada dirinya sendiri yang nggak bisa mengontrol emosi dan malah bikin Anka sedih. Penyesalan terbesar di hidupnya mungkin kejadian tadi, apalagi saat melihat Anka berbalik dengan punggung lemas dan mata mengembeng.
Harusnya dia bisa cari kata yang lebih baik. Harusnya dia bisa mengontrol emosi. Harusnya dia mikir dulu sebelum ngomong. Harusnya dia bisa mengerti Anka dan menenangkan sahabatnya itu. Tapi kenyataannya, yang Bora lakukan malah hal sebaliknya. Sahabat macam apa dia, malah menambah kesedihan Anka saat cewek itu butuh banget dihibur.
"Lo kenapa, Yong?"
Bora menoleh dan menemukan Andin udah duduk di sebelahnya. Sekali lagi dia menghela napas sebelum menjawab. Membicarakan kesalahan, apalagi yang menimbulkan penyesalan nggak pernah gampang. Dan Bora butuh kekuatan lebih buat itu sekarang. "Gue sahabat yang payah. Gue jahat, Ndin."
Kening Andin mengerut. Baru kali ini dia lihat Bora frustrasi dan nyalahin diri sendiri kayak gini. "Emang lo ngapain? Coba cerita yang jelas, jangan sepotong-sepotong."
Pelan-pelan, Bora ceritain kejadian tadi ke Andin. Dia memastikan nggak ada satu pun yang kelewat, biar Andin benar-benar bisa mengerti. "Jadi pas di SMP, Anka juga pernah diginiin?" tanya Andin dengan nada tinggi. Dia mungkin nggak tahu jelas rasanya ada di posisi Anka, tapi mengalami hal kayak gitu dua kali udah pasti sama sekali nggak menyenangkan.
Bora mengangguk lemah. "Gue nggak ngerti apa yang salah sama Anka sampai dia harus difitnah tentang hal kayak gini dua kali, sama geng sejenis pula. Dia pasti sedih banget, Ndin, tapi gue malah bikin dia tambah sedih." Bora kembali membenamkan wajah di kedua tangannya.
Andin yang melihat itu cuma bisa mengelus-elus pundak Bora. Dia mungkin nggak bisa kasih solusi, tapi seenggaknya dia bisa kasih penghiburan dan semangat buat Bora. Walau dia sendiri nggak terlalu yakin semangat macam begini ada gunanya dalam situasi yang lagi dihadapi Bora.
"Lo lemas banget kayaknya. Nih, minum dulu." Reksa meletakkan gelas plastik yang sampingnya penuh dengan serpihan hitam. "Udah nggak banyak sih, tapi lumayan lah."
Bora melirik gelas plastik yang ada di depannya dan makin merasa bersalah. Gimana nggak, perhatiannya gampang aja teralih gara-gara Dancow Oreo di depan sana, padahal sedetik sebelumnya dia masih galau mikirin Anka. Maaf, Anka.
Bora meraih gelas plastik itu dan menyedot seteguk lalu mengernyit. "Ini kan air putih!"
"Ya emang. Nggak ada yang bilang itu Dancow Oreo, kan. Gue cuma bilang minum dulu. Emang air putih nggak bisa diminum?" tanya Reksa santai.
Bora mengerang kesal. Dia nggak tahu apa memang dia yang terlalu polos buat terus kejebak sama keisengan Reksa, atau si nyebelin ini yang kurang kerjaan. Selalu ganggu dia, bahkan pas dia lagi galau kayak gini. "Lo kenapa sih nyebelin banget?! Selalu aja ganggu!"
Melihat itu Reksa malah tertawa kecil. Misinya berhasil. "Ini baru Bor Kecil yang gue kenal."
"Nggak usah sok kenal sama gue! Kenal apaan, tiap ketemu aja kerjaan lo cuma ngisengin!"
"Jadi maksudnya lo mau kita saling kenal lebih dalam?" Reksa mengangkat-angkat alisnya.
"Aaaa! Molla molla! Mendingan lo pergi, deh. Jangan ganggu gue!" Bora berteriak. Tangannya bergerak cepat seolah mengacak-acak barang. Untung di depannya lagi nggak ada apa-apa. Kalau ada mungkin bisa hancur karena dia berantakin.
Bukannya pergi kayak yang Bora suruh, Reksa malah ketawa, lebih kencang dari sebelumnya. "Asli, ini baru lo, Bor Kecil. Muka sedih tuh sama sekali nggak cocok buat lo. Kalo ada masalah tuh diselesaiin, jangan digalauin doang. Gih, sana."
Bora menghela napas. "Nggak segampang itu. Anka kalo udah marah susah dideketinnya."
Andin yang dari tadi cuma memperhatikan sekarang mengerti sikap Bora dan alasannya ngomong kayak gitu. Menghadapi penyesalan memang nggak pernah gampang. Mungkin kalau dilihat dari luar, penyelesaiannya bisa aja sederhana, tapi kadang hati kita yang jadi penghalang. Kita terlalu merasa bersalah buat minta maaf dan yakin layak dimaafin, sampai akhirnya kita nggak berbuat apa-apa dan kadang malah menambah penyesalan.
"Lo yakinnya Anka sedih atau marah? Orang marah mungkin emang butuh waktu buat sendiri, tapi kalo lagi sedih, orang butuh dihibur, minimal ditemenin."
Bora cuma bisa mengerjap-ngerjap. Benar juga apa yang dibilang Reksa. Kalau dia yakin Anka sedih, harusnya dia ada di sana buat menemani sahabatnya itu. Bukannya malah di sini ngegalau nggak jelas. Bora baru mau berdiri pas Karin tiba-tiba datang dan menggandeng Reksa, membuat dia dan Andin saling menatap bingung. Sedangkan Reksa lagi susah payah melepas gandengan Karin, apalagi pas cewek itu ngomong sesuatu yang bikin dia bergidik.
"Ternyata lo dewasa juga ya, Reksa. Makin suka, deh."
***
"An ..." Suara Danny mengatung ketika sampai di kelas Anka, tapi nggak menemukan cewek itu di mana pun. Matanya langsung melebar pas berbalik dan melihat papan tulis. Tulisan itu udah nggak terlalu jelas karena ada yang menghapus, tapi mungkin karena terburu-buru, jadi masih ada sisa-sisa yang cukup jelas buat nebak isi keseluruhannya.
Astaga Anka ... lagi! Danny berdecak sambil menghapus seluruh isi papan tulis itu. Akhirnya dia tahu alasan Anka, yang beberapa lama ini nggak keluar kelas buat menghindarinya, tiba-tiba nggak ada di kelas sekarang. Dia tahu pasti tempat yang Anka tuju di saat-saat kayak sekarang. Dia tahu harus mencari Anka ke mana.
Tiap sudut tersepi di sekolah Danny datangi, dan sekarang dia berakhir di kelas paling ujung di lantai tiga. Kelas ini memang jarang dipakai, dan cocok buat jadi tempat Anka menenangkan diri dalam situasi kayak gini. Danny melangkah masuk perlahan. Dia nggak mau ganggu Anka yang lagi membenamkan mukanya di pojok ruangan.
Setelah sekian lama masuk dan duduk di sebelah Anka, Danny masih bergeming. Rasanya dia pengin banget mengelus-elus kepala atau punggung cewek itu buat kasih semangat, tapi dia nggak berhak. Dia juga pernah bikin Anka sakit, kecewa, marah. Lalu dengan alasan apa sekarang dia bisa balik buat menghibur cewek ini. Tapi dia nggak mau menyerah gitu aja. Bukannya kalau salah, dia harus dihukum dan menembus kesalahan? Dia akan anggap ini sebagai penebusan kesalahannya ke Anka.
"Jangan sentuh gue!" Tangan Danny yang baru bergerak, mengatung di udara. Ini pertama kali Anka ngomong sama dia setelah mereka ketemu di sekolah ini, tapi yang didengar malah omongan kayak gitu. Dia nggak tahu harus senang atau sedih sekarang.
Anka mengangkat wajahnya dan menatap Danny tajam. Entah sampai kapan, dia sendiri nggak tahu, tapi dia nggak berniat bersikap baik sama cowok ini. Walau hatinya nggak setuju sama keputusannya itu, dia nggak boleh berubah pikiran. "Minggir, gue mau pergi." Suara Anka terdengar datar dan dingin. Bagi Danny, itu terdengar jauh. Terlalu jauh sampai susah buat digapai lagi.
"Aku nggak mau minggir, Ka. Aku mau kita ngomong dulu. Aku nggak akan minta kesempatan atau minta kamu maafin aku secepat ini. Aku cuma mau dengar cerita kamu. Aku kangen kamu. Aku kangen ki ..."
Danny menghentikan omongannya ketika Anka memanjat meja depan. Cewek itu bahkan lebih milih melakukan hal yang nggak pernah dia lakukan dan yang sama sekali nggak cocok dengannya daripada mendengar omongan Danny sampai selesai. Danny menghela napas. Tingkah Anka bikin dia kehilangan akal, juga sedih. Tapi dia tahu, apa yang udah dia lakukan ke Anka jauh lebih menyakitkan dari ini.
Danny berdiri dan memberi jalan ke Anka. "Kamu bisa lewat sini, Ka. Jangan manjat lagi." Tapi Anka tetap pada pendiriannya dan berhasil meloloskan diri lewat meja depannya. Tanpa menoleh, Anka keluar dari kelas itu. Meninggalkan Danny yang lagi-lagi cuma bisa menatap cewek yang dia sayang pergi menjauh.
_____________________________________________
Bora nyesal karena kebawa emosi dan ngomong kayak gitu ke Anka. Kalau kalian pernah nggak ngerasa nyesal banget karena ngelakuin sesuatu? Share, dong 😁
Reksa masih juga iseng, tapi kali ini dia punya misi. Dia nggak pengin ngeliat Bora sedih, nggak cocok katanya. Masa sih? 😅
Nah buat part Danny sama Anka, aku mau tanya dong. Menurut kalian, mereka gimana? Ngebosenin nggak part mereka?
Ditunggu vote, komen, dan sarannya!
Sampai jumpa Senin!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro