Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[15] Why Can't I Be That Person?

Reksa baru berniat pergi ketika teriakan itu terdengar. Suara Bora. Dia yakin banget kalau cewek mungil itu yang teriak barusan. Dan setelahnya, suara lain terdengar jauh lebih kencang. Dia nggak tahu apa yang terjadi di dalam sana, juga siapa yang lagi adu mulut sama Bora, yang jelas dia nggak bisa tenang sekarang. Semua yang ada di pikirannya cuma cewek itu. Apa dia baik-baik aja. Apa orang yang teriak barusan bikin dia terluka.

Chat itu masuk dan Reksa barusan lihat Bora mengintip dari balik gorden. Nggak terlalu jelas gimana keadaan cewek itu, tapi kayaknya nggak mungkin baik-baik aja. Reksa masih menunggu, sampai akhirnya Bora keluar dengan muka bingung. Mata Reksa mulai menelusuri dari atas sampai bawah, memastikan kalau Bora nggak luka, tapi sesuatu dari sudut luar siku Bora menarik perhatiannya. Dia langsung meraih lengan Bora dan membaliknya sedikit. Satu decak lolos dari mulut Reksa ketika melihat luka di tempat yang dia curigai tadi, lengkap dengan darah yang belum berhenti.

"Tunggu di sini, jangan masuk dulu. Gue bakal balik lagi secepatnya."

Bora cuma bisa berdiri di tempatnya dengan bingung. Dia nggak ngerti apa yang mau Reksa lakuin, tapi melihat cowok itu lari secepat tadi membuat dia cuma bisa nurut dan nggak beranjak sedikit pun. Bora menggerakkan tangannya dan melihat luka yang barusan dilihat Reksa. Dia tahu luka itu berdarah, tapi anehnya dia nggak merasa sakit. Mungkin benar kata orang kalau kata-kata bisa aja lebih menyakiti daripada luka fisik. Kali ini Bora setuju.

Nggak berapa lama, Reksa udah balik lagi dengan kantung plastik putih di tangannya. Napasnya masih terengah-engah, tapi dia menuntun Bora ke kursi kayu di seberang. Bora cuma bisa nurut, begitu juga ketika Reksa kasih dia isyarat buat duduk dan meraih lengannya. Gerakan Reksa lembut banget, seolah Bora itu barang rentan pecah yang harus diperlakukan hati-hati.

Dalam diam, Reksa mulai membersihkan luka Bora dengan alkohol. Bora cuma bisa mengernyit berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Dia tahu Reksa udah berusaha sepelan mungkin saat menekan-nekan kapasnya. Juga ketika cowok itu membalurkan obat merah lalu menutup luka itu dengan kapas dan plester. Bora nggak pernah sangka kalau Reksa bisa setelaten itu. Apalagi ekspresinya dari tadi kelihatan serius banget, nggak sedikit pun berpaling dari luka di tangan Bora.

Reksa memperhatikan luka Bora yang baru ditutupnya sekali lagi lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kencang. Kalau tadi pertama kali Bora lihat Reksa setelaten itu, sekarang pertama kalinya cowok itu kelihatan segitu frustrasi. Bahkan jauh lebih frustrasi daripada Bora yang ngerasain luka itu.

"Jangan luka lagi, bisa?" Reksa menatap Bora dalam-dalam. Di muka Bora, dia jelas bisa nangkap kesedihan. Entah sejak kapan melihat cewek itu sedih dan luka bikin dia sakit juga.

Kening Bora mengerut. "Emangnya lo kira gue mau luka. Siapa juga sih yang sebego itu."

"Terus kenapa lo bisa luka kayak gini kalo emang nggak mau?"

"Tadi jatoh dan kegores meja. Lumayan bego sih kalo dipikir-pikir lagi." Bora tertawa garing.

Walau Bora tertawa, Reksa tetap nggak terpengaruh. Matanya masih menatap Bora lekat-lekat, seolah kalau berkedip sebentar, cewek itu akan hilang atau ada yang bikin dia terluka lagi. "Kalo yang nanya Akas, apa jawaban lo bakal sama?"

Bora menoleh sekilas dan tertawa kecil. Lalu dia menengadah menghadap langit gelap yang nggak biasanya berbintang kayak sekarang. "Tadi dia nunjukin lukanya, kelemahannya. Baru kali ini gue liat dia kayak gitu. Dia yang segitu sempurna bilang butuh gue, bikin gue ngerasa bener-bener berharga." Bora tahu maksud pertanyaan Reksa tadi, tapi dia juga nggak bisa jawab dengan pasti. Dia cuma tahu kalau saat ini dia menikmati banget keistimewaan yang Akas kasih.

Reksa nggak bisa bohong sama dirinya sendiri. Dia nggak baik-baik aja melihat Bora ceritain Akas kayak gitu. Bora sendiri punya kesedihan, punya luka, Reksa yakin itu. Tapi cewek itu malah kelihatan bahagia ketika orang lain ceritain kesedihannya. Kenapa cewek itu nggak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa Bora nggak bisa cerita dan menyandarkan diri kayak yang Akas lakuin? Dan kenapa dia nggak bisa jadi orang yang tahu semua kesedihan dan luka cewek itu, yang selalu dengar keluh kesahnya, sekecil apa pun itu?

***

"Tangan kamu kenapa?" tanya Akas begitu melihat plester di tangan Bora.

"Aku bertengkar sama Kak Ardy semalam, Kak. Aku buka HP-nya dan dia marah. Dia narik Hp-nya, aku jatoh, dan luka karena kegores meja," jawab Bora sambil mengangkat tangan dan menggoyang-goyangkannya.

"Cuma karena itu?" Akas terdengar nggak percaya. Gimana bisa dia percaya ada kakak sejahat itu, sedangkan dia mati-matian belain Tyas. "Kakak kamu jahat banget," ujarnya menanggapi anggukan Bora.

Entah kenapa Bora suka dengar jawaban itu. Nggak ada solusi, juga nggak ada penghiburan, tapi Akas barusan ngomongin apa yang pengin dia dengar. Kadang memang yang kita cari cuma pembenaran. Kita pengin dengar kalau orang lain setuju sama pemikiran kita. Kalau seburuk apa pun itu, kita nggak salah mikir kayak gitu. Bora masih senyum-senyum kalau ingat gimana obrolan dia sama Akas tadi, tapi ada yang ganggu pikiran dia sampai sekarang.

"Kenapa dia bisa ada di depan rumah kamu?" Bora baru kepikiran setelah Akas menanyakan itu. Benar juga, kenapa Reksa bisa ada di depan rumahnya tadi malam.

Tepat saat Bora mikirin hal itu, Reksa lewat di depannya. Bora baru maju selangkah pengin mengejar cowok itu, tapi keramaian di kelas Anka yang sedang ditujunya bikin perhatiannya teralih. Entah ada apa di kelas itu. Banyak orang bergerombol di depannya, dan dari dalam beberapa kali terdengar sorakan.

Bora yang penasaran jadi melangkah makin cepat. Begitu sampai di depan kelas Anka, dia masih nggak bisa lihat apa-apa, juga nggak ngerti apa yang bikin segerombolan geng itu bersorak. Yang dia lihat justru Anka yang jalan dengan sangat cepat, bahkan sampai nggak sadar kalau Bora ada di sana.

Pandangan Bora beralih ke papan tulis. Matanya membesar seketika. Emosinya tersulut. Dengan langkah lebar-lebar dia berjalan ke papan tulis dan menghapus tulisan di sana sekuat tenaga, sampai-sampai penghapus papan tulisnya terpental. Napas Bora tersengal-sengal ketika menghadap gerombolan geng yang baru berhenti tertawa dan menatapnya bingung.

Bora benar-benar nggak bisa terima tulisan di papan tulis tadi. Anka love Rama ditulis besar-besar di sana. Dia tahu semua itu pasti fitnah. Dia bahkan yakin Anka nggak kenal Rama sama sekali, sebelum mereka ketemu di ekskul kemarin. Demi Tuhan, kenapa Anka harus ngalamin hal kayak gini lagi.

"Kalian tuh norak banget, tau!" Bora udah nggak tahan sama kelakuan geng terkenal di sekolah. Apa iya karena mereka eksis, terus mereka bisa seenaknya mengolok-ngolok orang lain!

"Temen lo aja tuh yang keganjenan!" Salah satu cewek yang ada di gerombolan itu menyalak.

"Lo ..." Omongan Bora terputus ketika ada tangan yang menariknya. Dia menoleh dan mendapati Anka yang sekarang udah menggeretnya pergi.

"Lo kenapa nggak pernah mikir kalau ngelakuin sesuatu sih, Yong?!" sewot Anka begitu berhasil menyeret Bora ke sudut sekolah yang sepi.

"Gue nggak bisa biarin mereka bikin hidup lo nggak tenang, Ka!"

"Siapa yang bilang hidup gue nggak tenang? Gue nggak peduli mereka mau ngomong apa, Yong, nggak ada ngaruhnya buat hidup gue."

"Nggak keluar kelas supaya nggak ketemu mereka, pas mereka ada di sana dan bikin gaduh tadi lo langsung keluar, bahkan sampai nggak liat gue. Itu yang lo bilang nggak peduli sama omongan mereka dan bisa hidup tenang?"

"Jangan cari masalah, Yong! Gue cuma nggak mau cari masalah sama orang nggak penting kayak mereka."

"Gue mendingan dapat masalah daripada jadi pengecut, Ka!"

Ucapan Bora membuat Anka hanya bisa terdiam selama sekian detik. Pengecut ... Lalu tawa pahitnya terdengar. "Iya, gue pengecut, Yong. Gue nggak setangguh lo buat nyuekin omongan semua orang tentang gue. Gue juga nggak se-percaya diri lo buat tetap jalan tegap di depan orang-orang yang ngeledek lo. Gue si pengecut Anka yang cuma bisa sembunyi dan ngehindarin masalah."

_____________________________________________

Reksa-nya galaaauuuu, nulisnya jadi ikutan galau 😭😭 Gimana nasib perasaannya nanti? Entahlah, mari berdoa aja 😅

Bora sama Anka juga berantem, untuk pertama kalinya 😢 Menurut kalian kalau begini siapa yang salah, Bora, Anka, atau Rama dan geng nggak jelasnya itu?

Ditunggu vote, komen, dan sarannya ya!

Sampai ketemu Kamis!

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro