🐣Extra Part (1)
"Ziv, sini Mama ada beli kalung kemaren," panggil Mela pada seorang gadis yang tengah sibuk terduduk di depan televisi bersama setoples kuaci.
Kedua bola matanya masih fokus menatap kartun masa kecil kesukaannya. Sang gigi pun masih aktif dalam memisahkan hubungan antara dua buah kulit kuaci yang menyatu.
"Zivanna, kamu tau kalau dipanggil orang tua terus nggak nyaut itu bisa apa? Mau besok jadi tuli?" ancam wanita yang tengah berdiri di depan pintu kamar.
Kedua bibir Ziva masih terkatup rapat seraya mengunyah benda tipis berwarna hijau itu. Sibuk membayangkan bagaimana jika tiba-tiba Nusa datang, lalu mengupaskan semua kulit, dan membiarkan Ziva menikmati itu semua secara cuma-cuma.
Ya ampun, semoga saja bibir Mela tidak spontan dalam mengucapkan sumpah serapah. Ia sendiri pun jadi teringat bagaimana ibu Malin Kundang mengutuk putranya menjadi batu. Astaga, jangan sampai ia menyumpahi Ziva menjadi tuli. Bisa-bisa ada petir yang datang menelusup dan menyambar telinga perempuan berusia 16 tahun tersebut.
Baiklah, lebih baik kali ini ia mengalah demi keamanan bersama. Segera melangkah dan berdiri tepat di belakang Ziva sambil berkata, "Angkat dulu rambutnya."
Ziva mengangguk pelan seraya menuruti perintah sang ibu.
Kedua buah jari Mela sontak melingkarkan sebuah kalung berliontin hati di leher Ziva. Berkat ujung rambutnya yang diangkat menjuntai ke atas, leher jenjang miliknya pun terekspos dengan sempurna.
"Nah, kalau kayak gini kan jadi makin can—" Sebentar ... sebuah rasa sesak seketika menjulang tinggi dalam dada wanita berusia 40 tahunan itu. Kedua matanya sudah terbelalak lebar, bahkan seperti ada yang menghimpit sang alat pernapasan untuk berhenti bekerja.
"Ziva."
"Iya, Ma?" Dengan wajah tak berdosa gadis itu menoleh. Sebenarnya ia juga agak mager, setelan kaos oblong putih beserta celana pendek merah muda yang ia gunakan seolah memberikan kesan nyaman dan tak ingin bergerak sama sekali, terkecuali mengemil.
"Kamu nggak nginep di hotel sama Nusa, 'kan?"
Kedua kaki Ziva yang awalnya dibuat bersilang di atas sofa sontak dibuat bagai terjung payung ke atas lantai marmer yang menjadi tempat ia berpijak sekarang. Tubuhnya langsung terangkat naik dan dengan cepat ia berdiri menghadap Mela.
Sekujur tubuhnya seketika tak paham lagi bagaimana cara ia bergerak, bahkan sang bola air mata pun perlahan berkumpul di area pelupuk.
Sesak, kini juga ikut ia rasakan di dada. Menggelengkan kepala pelan, berharap itu bisa menjadi jawaban yang Mela percayai. Memang ia tak sedang berbohong, tapi ketika segala rahasia yang sudah ia simpan terbongkar secara tiba-tiba, apa yang harus dilakukan selain ... astaga ia sendiri pun bingung!
"Zivanna Alecia!" Suara Mela seketika memuncak bagai sirine mobil polisi, hingga Hardie yang tengah mengerjakan laporan di dalam kamar pun segera berlari menampakkan diri. Tak hanya itu, pembantu yang sudah lama mengabdi pun langsung menutup kedua telinga di dapur.
Kepala Ziva kembali digelengkan pelan. "Engg-enggak, Ma. Be-beneran, bu-bukan Nusa."
Akhirnya, setetes air mata lolos dengan sempurna. Ingatan pahit yang semula ia lupakan harus bergerak maju dan berputar seperti film di bioskop.
"Kalau bukan Nusa, terus siapa?! Kamu selingkuh dan berbuat sama cowok lain, Zivanna?!"
"Ziva tolong jujur sama kami berdua!" sahut Hardie dengan kedua tangan yang sudah terlipat di depan dada.
Gadis itu masih setia 'tuk menggelengkan kepala, bahkan kali ini kedua bibirnya pun ikut bergetar saat berucap. "Zi-ziva udah juju-jujur, Mama, Papa. Beneran ...."
"Cepat suruh Nusa ke sini! Sebelum Mama sumpahin dia jadi batu!"
Ziva mengangguk cepat, segera mengambil ponsel yang ia baringkan di atas meja, lantas mencari kontak Nusa. Kedua kaki sang gadis pun masih setia dihentakkan ke atas lantai, bahkan ia juga terus menoleh ke arah pintu seolah berharap bahwa Nusa akan datang tanpa ditelepon.
🍃🍃🍃
"As-salamu 'alaikum, Om, Tante." Kepala cowok itu ditundukkan ke bawah seraya memamerkan sederet gigi rapi pada Hardie dan juga Mela yang sudah menekuk wajah.
Sepasang suami-istri itu nyatanya tak lagi ingat bahwa saat ada orang yang masuk, mereka harus menjawab salam. Tapi ... biarlah, semoga Tuhan mau mengampuni untuk sekali ini saja.
Selang tak lama, Mela segera bangkit dan melangkah ke arah Nusa yang masih berdiri di depan pintu. Dalam diam cowok itu terus memandangi wajah Ziva yang terus ditundukkan ke bawah bersama kaki yang menyilang di atas sofa.
Napas Mela masih berusaha ia atur agar bisa bergerak sesuai ritme normal. Dada yang semula terasa sesak seketika mengalami pertambahan hingga berkali-lali lipat.
Sebuah telapak tangan pun akhirnya mendarat dengan selamat di pipi milik Nusa. Kedua bola mata wanita paruh baya itu tampak memerah, bahkan sudah banyak bola kristal yang berkumpul di area pelupuk mata.
Senyum yang awalnya dipamerkan dengan bangga kini pudar dari wajah Nusa. Kedua matanya membelalak lebar saat sebuah rasa nyeri sudah bertamasya di area pipi hingga meninggalkan sebuah jejak kemerahan di sana.
Kini, jantung cowok yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA ini pun ikut berdebar kencang. Memori ingatan soal bagaimana ia disidang oleh kedua orang tuanya pun kembali berputar. Iya, rasanya sama persis kala itu.
Tapi ... sekarang, sang rahang pun tampak ikut mengetat seolah melupakan apa yang pernah Mela ucapkan saat pertama kali mereka bertemu. Ya ... lagi dan lagi soal mitos.
"Tolong jelaskan pada saya, bagaimana bisa di leher Ziva ada noda!" teriak Mela seraya menggelengkan kepala pelan.
"Maaf, tapi saya berani bersumpah kalau menyentuh Ziva saja tidak pernah melebihi telapak tangan, Tante." Muak rasanya ketika harus mengingat siapa pelaku di balik noda itu.
"Bohong!" pekik Mela.
"Anak muda sekarang memang sulit, ya, untuk berkata jujur," sahut Hardie yang perlahan bangkit dari sofa yang diduduki oleh putrinya.
Mengusap para air mata dengan punggung tangan secara kasar, Ziva akhirnya bangkit dan ikut berlari ke arah Nusa. "Percaya sama kita, Mama boleh besok dateng ke sekolah dan nanya sendiri sama Bu Doremi!"
"Mama jadi curiga kalau kamu nutupin sesuatu. Kenapa nggak jawab sendiri aja sekarang?"
Kedua bibir Ziva pun ikut bergetar semakin hebat. Membuat gadis itu akhirnya memilih untuk memeluk pergelangan tangan sang kekasih yang ia anggap mampu memberikan sebuah kehangatan.
"Saya minta maaf dan semua ini ulah Biru—anak yayasan SMA Alderra." Baiklah, untuk kali ini ia angkat bicara demi keamanan bersama. Biarlah nama itu kembali berputar asal fakta bisa terkuak.
Sudut bibir Mela seketika terangkat sinis. Bersamaan pula dengan bola mata yang melirik ke samping seperti tak percaya dengan omongan pemuda satu ini.
"Kalau memang saya terbukti menjadi pelaku, saya rela putusin Ziva!"
"Kakak Ganteng!" Pelukan tangan Ziva seketika terlepas begitu saja bersamaan dengan air mata yang ikut lolos dari perangkap. Gadis itu menoleh, menggelengkan kepala tak percaya saat mendengar apa yang baru saja terucap.
"Semudah itu mainin sebuah hubungan, pake bilang putas-putus segala?! Gila, ya, kamu?" tanyanya. Sekarang ... segala ingatan manis rasanya pudar dalam hitungan detik. Mungkinkah apa yang pernah ia mimpikan saat itu akan berujung menjadi sebuah kenyataan pahit? Haha ... ia juga tak tahu, mungkin.
———————————————————————————
Ya allah saya jadi sebel sama Nusa :)
Oh iya jangan lupa bakalan ad extra part (2)
Udah, deh, Happy Reading aja!
I love u,
Bong-Bong
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro