Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐣6. Bersamamu Selamanya

Setelah sekian kali Ziva selalu ditolak bahkan tak dipedulikan keberadaannya oleh Nusa, kini apa yang telah ia harapkan terjadi.

Sepulang sekolah Nusa dan Ziva berjalan beriringan menuju ruangan eskul, diikuti Biru yang berjalan di belakang layaknya seekor anjing yang sedang mengekori sang majikan.

Hanya karena melihat Ziva yang berjalan berdua dengan Nusa, beberapa murid sempat berpikir bahwa keduanya sudah memiliki hubungan khusus. Mereka sendiri pun merasa aneh, mengapa Nusa bisa jatuh hati pada perempuan ganjen itu? Walau pada kenyataannya tak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Semua dilakukan demi eskul choir.

"Kakak Ganteng, seneng nggak bisa jalan sama aku?" tanya Ziva sembari memeluk lengan Nusa.

Tentu saja Nusa risih. Terlihat jelas dari lirikkan matanya yang terus berbelok ke sisi lain. Andai saja bisa menghempas gadis ini jauh ke lautan di seberang sana, pasti sudah ia lakukan.

"Nggak, biasa aja." Nada bicaranya masih terdengar datar, bahkan tak sesedikit pun kepala itu menoleh ke arah Ziva. Sungguh, mungkin kalau boleh jujur, ia tak mau dibuat sakit mata oleh gadis di sebelahnya tersebut.

"Masa? Bohong, ya, pasti!" seru Ziva tak terima. Lagi pula ia juga tahu, kalau kata Google, cowok itu tampak gengsi di awal, namun pada akhirnya cowok itu pasti luluh dan ingin bersama Ziva terus.

Pelukan tangan sang gadis dibuat semakin erat. Membuat Nusa yang awalnya risih jadi tak tahu harus berbuat apa.  Kalau saja bukan demi eksistensi ekskul dan manfaat manusia terkutuk ini, tak akan mungkin ia membiarkan lengannya ternoda.

"Katanya nggak suka, tapi dipeluk kayak gitu malah dinikmatin," ucap Biru sinis sembari menyipitkan mata.

Nusa menoleh. Lalu tangannya berusaha menghempas kepala Ziva kasar. Layaknya orang yang sedang mendorong pintu dalam keadaan panik. Seperti itu.

"Ih, Kakak Ganteng, lagi nyaman senderan sambil jalan gini, kok, malah dihempas. Biar mesra. Nanti kalo orang-orang kira kita pacaran, 'kan bagus." Ziva memanyunkan bibirnya lima senti. Rasa nyaman yang ia nikmati sedari tadi harus menghilang secara paksa.

"Malu." Nusa menjawab singkat.

"Hah, malu? Berarti kalo kita kayak gini di tempat sepi, Kakak Ganteng nggak malu? Ya udah nanti di rumah aku aja, gimana?" Ziva tersenyum.

"Najis!" Nusa berjalan lebih dulu, segera mendorong pintu dan mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Aduh, rasa-rasanya bisa gila dia kalau terus meladeni manusia satu ini.

"Yah ... tadi aja dia nikmatin, pasrah gitu ceunah. Kok sekarang kabur?"

"Mau nyenderan sama gue aja, nggak, Ziv?" tawar Biru seraya memamerkan lengannya yang kosong. Apalagi belum pernah ada yang menyentuh selain dirinya sendiri, sebab ia selalu menghindari sentuhan fisik dari perempuan yang jatuh hati kepadanya. Raganya sudah disiapkan hanya untuk Ziva seorang. Spesial seperti martabak cokelat.

Ziva menggeleng cepat. "Eh, tapi emang badan Ziva bau, Kak?"

Biru menggeleng. "Wangi kayak bunga tujuh rupa, eh melati."

"Ck!" Setelah selesai berdecak, kakinya dihentakkan ke lantai. Lantas mengikuti jejak langkah Nusa, dan meninggalkan Biru sendirian.

"Kak Biruuuuuuu!" teriak salah seorang siswi berambut sepinggang bersama kedua orang sahabat yang sudah terlihat bagai ekor. Mengintil ke mana pun ia pergi, bahkan sampai ke toilet.

Astaga Biru hafal betul siapa cewek ini. Makhluk hidup yang sering dipanggil karena datang ke sekolah seperti sedang ke mal. Menggunakan lipstik merah, lalu menggambar alis, bahkan sampai mewarnai pipi dengan pink-pink.

"Ya ampun, susah, ya, jadi anak orang kaya. Ke mana-mana dikejer fans!" desis sahabat Nusa yang kemudian segera ikut berlari.

Beberapa gadis di sana sontak berdecak kesal. Memang, ya, untuk menikmati pemandangan indah itu sulit. Selalu saja ada batas waktu. Kalau incarannya  tidak segera pergi, pasti memiliki gandengan lain.

"Sabar, ya, Mon," ujar si gadis berambut seleher pada Monako.

🐛🐛🐛

"Gimana, Ziv, menurut lo yang salah bagian mana aja?" tanya Nusa sembari menunjukkan tumpukkan kertas itu di hadapan Ziva.

"Yang salah itu perasaan Ziva sama lo, harusnya sama gue aja dia," jawab Biru tak santai. Namun, walau begitu, rasanya ada sebuah perasaan lega yang mencuap setelah isi hatinya dilontarkan dengan jujur depan sang gadis. Siapa tahu saja, kalau semakin sering Biru berucap, hati gadis berambut sebahu itu akan luluh.

Tak ada yang menyahut, sementara Ziva masih terfokus meneliti kata demi kata. Matanya dibuat semakin lelah, seperti perasaan yang tak pernah berbalas.

Banyak kesalahan dalam penulisan, semua tidak teratur dan tidak digunakan pada tempatnya. Pantas saja Bu Doremi mengangkatnya sebagai sekretaris untuk membantu Nusa. Ternyata ini adalah sebabnya. Butuh waktu lima belas menit untuk mengoreksi satu halaman bersama pulpen merah yang ia genggam. Hampir semua kata ia lingkari.

"Ziv, lo gambar-gambar apa coret-coret proposalnya, sih? Lama banget." Nusa dibuat bingung. Kemarin ketika pengajuan pun kepala sekolah hanya membaca dalam beberapa menit, kemudian langsung bisa menilai. Kenapa gadis ini lama sekali? Apakah ia juga berkomunikasi dengan tulisan di kertas sembari bertanya bagian mana yang salah?

"Aku lagi benerin, Kakak Ganteng. Tunggu, ya," balas Ziva.

"Mau gue bantuin, nggak?" tanya Biru.

Ziva masih terdiam dan fokus, sementara Nusa masih sibuk memandangi kertas dan sesekali berganti arah ke wajah Ziva yang mengerut tanpa henti. Sekacau balau itukah tulisannya sampai menimbulkan kesan mual di wajah sang gadis?

"Kenapa, Kak?" tanya Ziva dengan raut wajah serius.

Nusa menggelengkan kepalanya lagi. Matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan. Berusaha sekeras mungkin untuk mengalihkan pandangan dari perempuan di hadapannya. Kalau terlalu lama ia memperhatikan, nanti yang ada disangka aneh-aneh. Sip, lebih baik mencegah daripada mengobati.

"Ziva, gue punya puisi, loh, buat lo. Mau denger, nggak?"

Tak ada jawaban sama sekali. Tapi hal itu justru membuat Biru semakin melangkah maju. Ia mencari puisi dari Google, lalu ia bacakan di hadapan Ziva dengan penjiwaan yang sungguh.

"Wahai, perempuan yang ada di hadapanku sekarang ....
Aku jatuh cinta padamu seperti menyukai donat meses cokelat
Manisnya permen lolipop menggambarkan wajah indahmu
Ziva ... Ziva ... Ziva
Kamu cantik sekali bagai bidadari

Oh, alangkah indahnya dirimu
Sudah sejak hari pertama aku kagum
Tapi apakah balasan itu akan setimpal?
Tuhan, tolong aku!"

Tiba-tiba saja seorang guru  melangkah masuk. Wajahnya tercengang saat mendapati Biru yang mengangkat ponselnya di udara dan kaki kiri yang menginjak kursi, serta kaki kanan yang bertumpu di atas meja. Tak hanya Bu Doremi yang ada di sana, melainkan beberapa siswi lainnya juga hadir untuk membantu merevisi proposal.

Nusa benar-benar tak tahu lagi apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Mungkin sudah gila. Tampil seperti seorang pembaca puisi profesional, tetapi yang dibacakan justru tidak jelas apa isinya.

"Biru?" panggil Bu Doremi. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Mendadak terdiam kaku saat mendapati murid yang mirip seperti orang kerasukan jin.

Biru gelagapan, kemudian demi menutupi urat malunya, cowok ini melambaikan tangan di udara—menyapa Bu Doremi dan juga beberapa orang di belakangnya.

"Kamu kenapa seperti orang gila begitu? Turun ...."

"Kak Biru, kita juga mau, dong, dibacain puisi kayak gitu." Salah seorang siswi justru meminta. Tak peduli dengan bagaimana kualitas puisi yang dibaca, tapi suara Biru dipercaya dapat memperindah segala sesuatu. Mendengar cowok itu berbicara biasa saja sudah mampu membuat kaum hawa menjerit.

"Enggak, makasih. Puisi ini nggak berlaku bagi siapa pun. Special buat orang yang gue suka," ucapnya kemudian turun dari atas meja dan berkumpul bersama Nusa dan juga Ziva.

Hancur sudah hati siswi itu. Ditolak mentah-mentah di tengah keramaian, bahkan sampai melangkah pergi dari sana. Niatnya untuk membantu Bu Doremi seketika urung demi menutupi urat malunya.

"Woah ... Ziva jago banget. Gue makin suka, nih," ucap Biru untuk mengalihkan perhatian.

"Makasih, Kak," sahut Ziva.

Tentu saja beberapa orang lainnya merasa cemburu, bahkan tak segan mereka merendahi Ziva dan beranggapan bahwa siswi itu tak bisa berbuat apa-apa.

"Dih, cewek kayak gitu mah apaan? Paling juga minta dibuatin sama guru bahasa Indonesia."

Beberapa ikut mengangguk setuju. "Iyalah, cewek manja kayak gitu bangga. Jangan-jangan dia pake ilmu pelet buat Kak Biru."

Ziva mendengar itu semua, tapi ia lebih memilih untuk tetap fokus daripada harus mengurusi hal-hal tak penting seperti itu. Lebih baik memerhatikan tulisan, sembari menengok wajah Nusa sesekali untuk mengisi semangatnya.

"Heh, lo semua diem, ya. Jangan ngusik kehidupan orang. Kayak hidup lo pada udah bener aja!" umpat Biru pada segerombolan siswi yang berujung ikut pergi dari sana.

"Bagaimana proposalnya, Ziva? Sudah selesai dan siap diajukan ke kepala sekolah? Ingat ... besok beliau akan pergi ke Batam, dan perlombaan sudah tak lama lagi. Latihan tak akan bisa dilaksanakan jika proposal saja belum disetujui." Bu Doremi kembali berkumandang. Niatnya memang sekedar mengingatkan, tapi hal itu tentu saja berhasil membuat Nusa kembali mengingat bahwa waktunya sudah tak lama lagi. Semua harus dilakukan dengan cepat dan diselesaikan hari ini juga. Apalagi mereka masih harus mengetik ulang di laptop.

"Iya, Bu. Nanti sore kayaknya Ziva selesai revisi, kok. Tenang aja. Ziva bakal berusaha semaksimal mungkin demi Kakak Ganteng, eh maksud Ziva demi kelancaran lomba," jawab Ziva yang kemudian menceletuki dirinya sendiri. Aduh ... di depan Bu Doremi pun mulutnya tak bisa diajak kerja sama. Namun, sepertinya guru itu tidak mendengar. Syukurlah.

"Baiklah, semangat! Butuh bantuan siswi yang saya ba—" Ucapan Bu Doremi seketika terhenti. Kenapa semua murid mendadak hilang bagai ditelan angin?

"Enggak usah, Bu. Ziva bisa sendiri, kok."

"Bu Dore nggak mau nyemangatin saya juga buat dapetin Ziva?" tanya Biru.

Bu Doremi menggeleng, lalu segera meninggalkan ruangan. Namun, masih ada satu pesan yang ia sampaikan kepada Biru untuk tidak mengganggu Ziva dan lebih baik ia keluar saja dari ruangan, karena sepertinya kehadiran Biru tak terlalu dibutuhkan.

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro