🐣4. Biru Samudera
Ia adalah Biru Samudera. Seorang sahabat dari lelaki yang Ziva kagumi. Wajahnya juga tampan, tapi hati Ziva masih akan bertahan di satu orang yang baru saja ia temui kemarin.
"Bi?" panggil Nusa spontan.
Biru menatap Nusa aneh seraya mengangkat bahu, tak ada sesuatu yang salah, lantas mengapa semua orang seolah tak terima?
"Hah?" tanya Biru bingung.
Nusa menggeleng cepat. Ya ampun temannya ini memang tak bisa jauh-jauh dari cewek cantik. Tak peduli dengan bagaimana karakternya, tetapi yang terpenting adalah penampilan. Memang tak pernah salah rasanya ia dalam hal memilih teman.
"Kakak Ganteng, sekarang kita satu ekskul, loh!" Ziva menghampiri Nusa, dan tentu saja kata-kata itu berhasil membuat Nusa menghembuskan napas untuk yang ke sekian kalinya.
Nusa bingung, bagaimana bisa Tuhan menciptakan seekor manusia aneh seperti ini? Baru saja bertemu kemarin di ruang BK, tapi sekarang sudah bertindak layaknya saling mengenal dalam hitungan tahun.
"Nggak usah lebay." Ya ... cukup tiga kata, tapi mampu membuat Ziva bungkam dalam hitungan detik.
💦💦💦
"Hai, Sora!" sapa Ziva sambil mendaratkan bokongnya di atas kursi kelas.
Sora terdiam dan sang retina masih fokus pada bacaan di hadapannya. Ia sedang terbawa suasana oleh isi novel. Tak ingin diganggu oleh siapa pun.
"Ih, gue dicuekkin melulu." Ziva mendengus kesal dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Macam tidak bisa menghargai orang yang sedang berbicara saja. Padahal kan mengeluarkan suara itu juga membutuhkan energi, masa tidak dihargai seperti ini?
"Hm," jawab Sora singkat. Sudah keluar dua huruf, itu artinya sudah diberi tanggapan. Itu prinsip Sora saat berhadapan dengan Ziva. Daripada berlama-lama menjawab dan menjadi gila, lebih baik melindungi diri sendiri.
"Sora, lo jangan nyebelin kek jadi orang. Ih, nanti gue kirimin santet, loh!"
Sora mengendikkan bahu. Ah, sudah biasa Ziva omong kosong. Tak lagi mempan bagi dirinya untuk takut apalagi was-was terhadap gadis bertubuh mungil itu.
Seulas senyum sontak terbit di bibir Ziva. Memicingkan mata, lantas menyentil telinga sahabatnya tersebut, lalu berdeham dengan suara wanita. "Nak, kenapa kamu masih main hp?!"
Kedua mata Sora seketika terbelalak lebar. Bagaimana bisa ada guru padahal jam pelajaran saja belum dimulai? Ya ampun, secara perlahan ia menoleh dalam keadaan mata terpejam. Menghirup napas dalam-dalam, kemudian membuangnya secara perlahan.
"Ma ... eh, anjir gue kirain gurunyabudah masuk. Ternyata lo!" ucap Sora tak terima—membuat Ziva yang semula berdiri di samping kursi segera berlari ke arah luar kelas. Terus tertawa dalam hati atas kepuasan yang ia buat sendiri. Lagi pula siapa suruh bermain-main dengan gadis seperti dirinya? Sekarang rasakan sendiri akibatnya!
Kring!!!
Baru saja Sora berniat bangkit, tetapi bel yang menandakan bahwa jam pelajaran pertama dimulai berhasil membuat Sora mendecak. Ah, sudahlah mungkin ini adalah tanda bahwa ia tak boleh menanggapi orang gila yang selama ini menjadi penguntit.
Seorang guru akhirnya memasuki kelas bersama setumpuk kertas ulangan Matematika. Ah, sudah pasti Ziva mendapatkan nilai terendah. Lagi pula apa tujuannya seorang ilmuan menciptakan rumus yang begitu sulit walau di masa depan nanti hal-hal horror seperti itu tak akan terpakai.
"Selamat untuk kalian semua," ucap lelaki paruh baya dengan lensa bulat yang ia kenakan. Mengukir senyum tipis, lalu mendaratkan bokong di atas kursi guru sembari mengusap perut buncitnya.
"Lagi hamil saya 12 bulan," ucapnya santai.
Tak ada yang tertawa. Menurut mereka, terlalu sering sepertinya guru ini mengucapkan hal yang sama tiap kali masuk kelas. Mentang-mentang sang istri sedang hamil, setiap hari berkicau seperti burung gereja yang pulang ke rumahnya.
"Kok tidak ada yang tertawa?"
"Ha-ha-ha-ha," ucap seisi kelas kompak, membuat si pria paruh baya akhirnya tersenyum bangga. Ya ... tak apa bukan masalah besar, setidaknya mereka sudah menghargai lawakan recehnya.
"Ya udah saya kembali membacakan nilai. Semuanya bagus."
Mata Ziva terbelalak lebar. Tunggu ... apa itu artinya usaha keras untuk belajar selama lima menit terakhir akan berhasil? Apa iya? Andai benar terjadi, Ziva akan sangat senang dan siap menunjukkan pada orang tuanya yang sudah memberikan siraman rohani 1x24 jam merasa menyesal karena sudah membuang-buang waktu berharga mereka.
Bahkan ia juga berjanji untuk mengingatkan jikalau kepintarannya pada masa SMP sudah kembali dan telah mendapatkan sebuah kerajinan yang telah lama pergi. Lagi pula, ia kan hanya mengikuti kutipan di Instagram dan juga para motivator. Masa depan tak selalu ditentukan oleh nilai akademis. Jadi, tak perlu membuang waktu.
Berkat ini juga, bukankah Ziva bisa memamerkan pada Nusa atas peraihan tertingginya selain pelajaran Bahasa Indonesia? Pasti Nusa akan luluh.
"Sor, akhirnya...! Gue bisa lulus ujian mtk, kapan lagi coba keajaiban dunia ini terjadi," ucap Ziva girang sambil menepuk bahu Sora tanpa henti.
"Berisik, Ziv. Diem dulu sampe ujiannya dibagi. Ntar tau-tau dia salah ngomong aja," bisik Sora dengan nada mengejek.
"Jangan hancurin ekspektasi gue, dong, Ra. Gue lagi bersiap buat seneng, nih."
"Tapi ... ada satu orang yang mendapat nilai 0,1," lanjutnya.
Bapak guru itu langsung memanggil nama masing-masing murid. Setelah semua kertas berhasil diterima, semua senyum langsung mengembang. Terkecuali Ziva yang seketika kecewa atas ekspektasinya yang hancur begitu saja.
Ia adalah satu-satunya murid yang mendapat 0,1.
"Makanya, Ziv, kalau ujian tuh belajar. Jangan nonton melulu. Lagian, sih ...." Sora mulai mengikuti Mela. Berceramah layaknya orang yang sudah tua.
"Ih, lo udah kayak nyokap gue aja. Bawel!" balas Ziva kesal.
💦💦💦
Pada saat jam istirahat, ketika Sora dan juga Ziva sedang menunggu pesanan mereka datang, ada Biru dan juga Nusa yang sedang mengantre.
Sora terpesona dengan ketampanan Biru, ah, semakin hari terlihat semakin tampan. Tapi walau begitu, Sora masih memancarkan aura dingin. Sungguh berbeda dengan Ziva.
"Hai, Kakak Ganteng, kita ketemu lagi hehe ...." Ziva benar-benar berjalan menghampiri Nusa dan menyender di bahu lelaki itu.
"Pergi," balas Nusa.
"Ih, galak banget, sih, Kak," jawab Ziva polos.
Melihat wajah Ziva yang berubah menjadi tertekuk, sontak Biru mengambil kesempatan. Ia membawa Ziva kembali ke tempat ia berasal, kemudian cowok itu terduduk di sebelah Sora.
Nusa hanya bisa menggelengkan kepala, lebih baik ia mengantre untuk mendapat sesuatu yang bermanfaat dibandingkan menghiraukan perempuan genit nan tidak jelas tersebut.
Biru mengambil tangan Ziva yang sedang berbaring di atas meja, kemudian ia membuat posisi tangan itu seolah mereka sedang berjabat tangan.
"Gue Biru, lo namanya Ziva, 'kan?"
Sora diam menatap keduanya walau sebenarnya ia berharap bahwa dirinyalah yang ada di posisi itu.
Ziva mengangguk singkat—tak tertarik untuk berbincang lebih lanjut dengan laki-laki di hadapannya sekarang.
Gue nggak ditanya? batin Sora.
"Gue anak pemilik SMA Alderra, loh. Lo nggak tertarik?" Biru mengangkat kedua alisnya—bangga akan statusnya sekarang. Anak orang ternama, tampan, pintar pula dalam akademis. Apa yang kurang sempurna?
Tertarik banget, Bi. Lo tuh sempurna, nggak kayak gue yang nggak punya apa-apa, batin Sora untuk yang kedua kalinya.
"Enggak, Kak. Biasa aja hehe ...." Ziva menolak halus—berharap Biru pergi secepatnya. Lagian kalau saja Nusa yang seperti ini, ia pasti sudah menyambut dengan baik. Ini wajahnya saja jelek, tidak sesuai selera Ziva. Masih berani-beraninya mencoba mendekatkan diri!
"Anjir! Cewek lain aja tertarik sama gue. Gue terkenal, pinter, kaya. Kurang apalagi coba?"
Karena tak betah berlama-lama memandang Biru, tak peduli pula dengan makanan yang sudah datang dan berbaris di atas meja, Ziva segera melengos pergi. Perkara baik bagi Sora, tapi berbalik bagi Biru.
Betul sekali, Ziva datang menghampiri Nusa yang tengah duduk sendirian seraya menyantap mie rebusnya.
"Kakak Ganteng, temennya ganggu aku. Aku pindah ke sini aja, boleh nggak?"
Nusa terdiam, seperti menganggap bahwa tak ada yang berbicara dengannya sekarang. Tanpa peduli Ziva segera duduk di samping. Hanya diam dan menatap Nusa dari sebelah saja sudah membuat perutnya terisi. Ah, para cacing bisa diajak kerja sama rupanya untuk menatap laki-laki tampan. Apakah itu berarti mereka akan menjadi saingan terberat Ziva?
"Ya udah kalo diem berarti artinya iya. Berarti aku boleh duduk di sini, ya," ujar Ziva bahagia. Memang, ya, prinsip hidup ia selama ini paling benar. Bebas melakukan apa pun tanpa mementingkan rasa malu demi mendapatkan Nusa. Ya ... itu yang ia pikirkan kemarin di kamar.
"Parasit," desis Nusa kesal.
"Hah? Aku cantik? Iya, makasih, Kak." Ah, kalau seperti ini, senyum Ziva akan awet sepertinya. Aduh, dipuji gebetan. Ternyata ini yang orang-orang rasakan saat ditanggapi oleh calon pacar.
Sedangkan Biru yang masih duduk bersama Sora pun hanya terdiam seraya mengharapkan hal yang sama seperti Sora. Ia sendiri pun bingung sebenarnya, mengapa perempuan lebih menyukai lelaki yang terlihat seperti orang tak bisa berbicara?
"Sedih, ya, Kak?" tanya Sora.
Biru mengangguk pelan. "Gimana, ya, cara dapetin temen lo? Apa gue harus pura-pura sok cool gitu biar dia suka juga?"
"Enggak gitu, sih, Kak. Ziva emang udah suka sama cowok itu dan nggak bakal bisa pindah lagi ke lain hati. Kecuali ...." Sora menahan bibirnya 'tuk mengeluarkan kata-kata. Ia ingin berbicara bahwa Biru bisa saja berpindah ke lain hati, seperti ke dirinya mungkin, tapi sepertinya itu tak mungkin ia ucapkan supaya tak bernasib sama seperti sahabatnya itu.
"Kecuali apa?"
"Nggak apa, Kak. Nggak jadi. Udah lupa mau ngomong apa."
"Ya udah lo doain aja gue sama dia. Lo ngedukung, 'kan apa pun yang terbaik buat sahabat lo? Gue yakin banget kalau gue jadian sama dia, dia pasti bahagia dan nggak akan menderita kayak sama si Nusa. Bener, 'kan?" tanya Biru sebelum akhirnya kembali ke kelas untuk memperbaiki pandangan matanya.
Happy reading, Bebsky !
❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro