Prolog
Prolog
Hembusan lembut angin yang mengenai pepohonan di hutan Lunar membuat suara bergemerisik. Seorang pemuda sedang berbaring di salah satu sudut hutan yang terbuka. Rerumputan yang tinggi menyelimuti tubuhnya, meninggalkan hanya wajah tampannya yang terekspos.
Pemuda itu bernama Severus. Ia tak tampak berbeda dengan manusia lainnya, kecuali fakta bahwa ia adalah Drakon. Terdapat beberapa bekas luka sayatan pada kulitnya, menandakan jika ia sudah sering bertarung.
"Severus, waktunya sudah hampir tiba." Suara lembut seseorang membuat Severus membuka matanya.
"Aku tahu."
Dengan gerakan sigap, Severus bangkit berdiri. Manik matanya yang berwarna biru langit menatap kawannya dengan tajam—bukan, ia melihat melewati bahu kawannya. Sedang terjadi sesuatu di dalam hutan, dan ia merasakan sebuah perasaan yang teramat kuat untuk mendatangi tempat itu.
"Aidan, apa kau merasakannya?"
"Merasa—oh!" Aidan terkesiap saat perasaan yang sama menjalarinya. Bau aneh yang terasa panas mulai tercium. "Aku tak percaya ini."
"Ayo!"
Severus mulai bergerak memasuki hutan, disusul oleh Aidan. Mereka memanjat pohon dan melompati satu pohon ke pohon lainnya, mengikuti arah bau itu. Semakin mereka mendekat, semakin kuat pula bau itu, juga bau - bau lainnya yang turut mendominasi. Bau darah.
"Ini bau darah Drakon." Desis Aidan.
"Mereka membunuh salah satu dari kita!" desis Severus. "Siapa yang bertugas berjaga di daerah ini, Aidan?"
"Sebenarnya ini masih daerahku." Jawab Aidan tanpa memperlambat geraknya. "Dan para Drakon muda masih belum bisa berubah wujud maupun terbang. Jadi kemungkinannya—"
"Kita harus lebih cepat!" Severus mempercepat geraknya, semakin mendekat ke sumber bau.
"Seve, ini mustahil!" seru Aidan akhirnya. "Bau mereka semakin menjauh dan kita belum memperingatkan para Tetua."
"Tapi kita juga harus—"
"Kawanan kita juga harus mengetahui ancaman ini." Balas Aidan. "Kenapa kau belum mengerti juga? Kau terbang lebih cepat dariku, Seve. Karena itu kita menjadi tim. Kau yang cepat dan tangguh, sementara aku pemikir."
"Aku tak melihat ada hubungannya." Ujar Severus gusar.
"Ada, Seve." Manik mata Aidan yang keperakan, seperti manik mata Severus, menatap sahabatnya mantap. "Terbanglah ke kawanan, peringatkan mereka melalui rute memutar supaya tak terdeteksi oleh makhluk-makhluk itu. Aku akan berusaha sebisaku untuk menahan mereka—atau menyelamatkan Drakon itu. Mengerti?"
"Kau janji?"
"Tentu, sekarang pergilah."
Kedua Drakon itu saling mengangguk, lalu mereka bergerak bersamaan. Hanya saja kali ini berbeda arah. Severus kembali ke tempat terbuka tadi, sementara Aidan meneruskan pencariannya. Pergerakan bau itu mulai melambat, membuat Aidan dengan mudahnya menyusul.
"Oh," bau darah yang tadi tercium olehnya sangat kuat, terpisah cukup jauh dari bau aneh yang panas itu. Pada awalnya, Aidan tampak bimbang hendak mengikuti bau yang mana hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti bau darah itu.
Di sana terdapat seseorang, sedang tertatih-tatih tetapi tak memperlambat geraknya. Tangan kirinya mencengkeram lengan kanannya yang lemas. Darah memenuhi kaosnya, tepatnya di punggungnya, di mana terdapat dua benjolan besar. Nafas orang itu putus-putus, dan wajahnya pucat pasi. Aidan belum pernah melihat orang itu sebelumnya, tetapi ia tahu jika orang itu bukan makhluk yang mempunyai bau panas.
Aidan menghirup udara banyak-banyak, meyakinkan dirinya untuk keputusan yang hendak ia ambil. Tak salah lagi, bau darah ini bau darah Drakon. Walaupun begitu, Aidan tak pernah mengetahui jika ada Drakon selain kawanannya di daerah Lunar, dan itu membuatnya ragu.
"Ah!" orang itu tersandung dan terjatuh terlentang. Nafasnya semakin tak teratur dan ia mengerang. Terdengar suara berderak di tubuhnya, dan sisik-sisik mulai mucul di beberapa bagian tubuhnya, lalu menghilang lagi.
Setelah rasa sakitnya reda, orang itu menegadah, menatap pohon yang menjulang di atasnya. Para Drakon memiliki pengelihatan yang luar biasa hebat dan Aidan dengan mudah dapat melihat ekspresi orang itu walaupun dari kejauhan. Pemuda itu hendak berpindah ke pohon lainnya ketika cabang pohon yang ia injak patah.
Aidan membeku, merutuki kaki manusianya yang bodoh hingga ia merasakan sebuah tatapan tertuju padanya. Refleks, ia menatap ke tempat Drakon asing tadi berbaring dan tatapan mereka beradu. Mata Drakon itu berwarna abu-abu jernih—sejernih mata Alpha kelompoknya. Tak hanya itu saja, pada bagian lingkar kornea Drakon itu, terdapat semburat emas yang kuat.
"Kau pasti bercanda," gumam Aidan terperangah.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro