Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4


Chapter 4

Severus menuntun Jesysca ke sebuah air terjun yang sangat indah. Warna air pada danau di bawahnya tampak jernih dan semakin lama tampak berwarna biru-kehijauan toska. Gadis itu terpana, ia menatap sekelilingnya dengan kagum. Seumur hidupnya, ia tak pernah tahu bila ada air terjun di Hutan Lunar. Jika gadis itu sudah mengetahuinya dari dulu, sudah pasti ia akan pindah untuk tinggal di tempat ini.

"Bagus, kan?" Tanya Severus bangga. Senyum yang ia pamerkan kali ini menunjukkan sederetan gigi putihnya, disertai taring yang agak lebih panjang dari ukuran taring manusia pada umumnya.

Jesysca menganggukkan kepalanya dan tatapannya beralih ke ikan-ikan yang ada di dalam danau. Berbeda dari ikan-ikan yang ada di sungai di desanya, ikan-ikan di tempat ini tampak besar-besar dengan warna gelap. Reflex, gadis itu menyingkapkan lengan bajunya dan berjalan menuju ke air.

"Apa yang kau lakukan?"

"Berburu." Jawab Jesysca yang tak kalah bingungnya dengan pertanyaan yang dilontarkan Severus. "Memangnya ada alasan lain kau mengajakku kemari?"

Severus tampak terhenyak sesaat sebelum kembali tertawa. "Astaganaga! Kau benar-benar menarik. Aku mengajakmu kemari untuk membersihkan dirimu. Kau perlu mandi."

Jesysca menatap pakaiannya yang sudah compang-camping dan lusuh. Badannya pun penuh dengan luka dan kotoran. Seakan telah membuktikan ucapan Severus, gadis itu melipat kedua tangannya di dadanya.

"Lalu, bagaimana dengan makanan?"

"Tenang saja, aku akan berburu untuk kita. Ah, dan omong-omong, jangan coba-coba minum air dari tempat ini atau makan ikan di sini. Mungkin bagi kulit kita, air ini tak masalah. Tapi bagi organ dalam tubuh kita akan merengek kesakitan, kau tahu. Kalau kau haus, berjalanlah ke arah matahari terbenam sampai kau menemukan gua yang cukup besar untuk kau masuki. Di dalam gua itu ada air yang bisa kau minum."

"Tunggu dulu." Jesysca menahan lengan Severus. "Jika kau mengatakan air di sini beracun, bagaimana bisa kau menyuruhku mandi di sini? Tubuhku kan penuh dengan luka. Jika aku—"

Byuuuur!

Jesysca tersentak dan secara reflex meronta untuk naik ke permukaan air. Ia tak pernah tahu cara berenang, karena sungai di desanya tak sedalam maupun seluas danau di air terjun ini, tetapi entah bagaimana instingnya bekerja. Ia mengepakkan kedua kakinya hingga akhirnya ia bisa ke permukaan. Dengan segera, gadis itu menghirup udara dengan rakusnya.

"Apa-apaan kau?" pekik gadis itu saat otaknya mulai memahami apa yang baru saja terjadi.

"Membuktikan apakah air itu baik-baik saja untukmu mandi." Severus menaikkan salah satu alisnya.

"Bagaimana bila aku—"

"Jess, aku mengatakan berdasarkan pengalaman. Duh, aku akan berburu." Severus membalikkan badannya dan berjalan menjauh, sebelum menoleh sebentar untuk meneriakkan, "Ingat, jangan diminum airnya!"

Jesysca mengabaikan Severus dan membiarkan dirinya mengambang di atas air danau. Arus air yang berasal dari air terjun tanpa gadis itu sadari membawanya semakin ke tengah dan ke bagian terdalam sungai, di mana ikan-ikan besar itu berada. Jesysca menegadah ketika ia mendengar suara pekikan elang yang tampak terbang mendekat.

Awalnya, tak ada yang salah dengan elang itu hingga Jesysca menyadari kecepatan terbang makhluk itu yang tak lazim. Beberapa saat kemudian, gadis itu menyadari bila elang itu memiliki dua ekstra kaki belakang. Elang itu menikuk dengan tajam, membuat Jesysca memekik terkejut dan dengan reflex menyelam ke dalam air yang dalam.

Elang itu meraih, lalu berhasil mencengkeram salah satu ikan yang besarnya melebihi tubuh Jesysca. Makhluk itu kembali ke permukaan dan terbang menjauh dengan ikan yang masih meronta di cengkeramannya. Jesysca yang merasa panik segera menggerakkan keempat anggota tubuhnya untuk berenang ke tepian.

"Sial," umpatnya panik. Gadis itu berlari ke arah barat, memasuki hutan dengan tergesa sehingga terjungkal salah satu akar pohon yang mencuat dan membuatnya terjatuh.

"Apa yang kau lakukan di bawah sana?" Severus muncul dari balik semak-semak dari kirinya. Pemuda berkulit tan itu menaikkan salah satu alisnya.

Jesysca mengerang dan meraih tangan Severus untuk membantunya berdiri. Satu tangan Severus lainnya mencengkeram erat leher dua hewan pengerat sebesar kelinci.

"Aku melihat makhluk aneh berbentuk elang tetapi memiliki dua kaki tambahan. Tubuhnya besar dan cakar-cakarnya panjang serta berwarna gelap. Hal yang tak lazim untuk ukuran elang."

"Eh, itu bukan elang. Kami menyebut makhluk itu dengan sebutan griffin." Ujar Severus sembari menuntun Jesysca memasuki hutan. "Kita memiliki masa lalu dengan mereka, jadi berhati-hatilah. Terutama pada air liur mereka. Satu patukan dan kau akan mati dalam hitungan menit."

"Dan kau tak repot-repot memberitahuku?" seru Jesysca tak percaya.

Severus mengibaskan tangannya dan berhenti berjalan. Jesysca mengamati pemuda itu dengan hati-hati. Severus terlihat tegang. Ia menggertakkan giginya keras-keras dan tatapannya tampak tajam menusuk ke dalam hutan.

"Severus?"

Pemuda itu tak menjawab pertanyaan Jesysca dan justru menarik gadis itu ke balik tubuhnya. Terdengar suara gemuruh lolongan dari dalam hutan. Suara itu memekakkan gendang telinga Jesysca, yang mengingatkan gadis itu akan suara hewan sekarat.

"Seve?"

"Shush," Pemuda itu mendesis, lalu secara perlahan menarik Jesysca memanjat salah satu pohon besar terdekat.

Mengikuti instingnya, Jesysca sama sekali tak mengeluarkan suara dan bersandar pada salah satu dahan besar yang berada hampir di puncak ketinggian pohon. Severus duduk dengan kasual di samping gadis itu. Salah satu kaki pemuda itu menggantung di bawah dahan dan kaki satunya tertekuk di dada Severus, menopang mayoritas beban tubuh pemuda itu. Jesysca sadar, walaupun tubuh pemuda itu terlihat relaks, tatapan Severus penuh dengan perhitungan dan kewaspadaan.

Selama semenit penuh, tak ada hal lain selain gemerisik suara dedaunan. Jesysca mulai tak sabar. Gadis itu mulai bergerak-gerak tak nyaman di dahan pohon tempatnya bersandar. Menyadari tatapan yang ditujukan padanya, gadis itu menegadah dan mendapati Severus menaikkan salah satu alisnya.

Kenapa Severus menatapku seperti itu? Pikir Jesysca. Tak ada suara lain selain gemerisik dedaunan yang terkena angin. Mungkin ia hanya—oh.

Kedua manik mata Jesysca membesar. Tentu saja. Mereka sedang berada di dalam hutan. Seharusnya mereka bisa mendengar suara binatang dan makhluk-makhluk lainnya beraktivitas. Tapi nyatanya, hanya terdengar suara dedaunan. Bahkan, burung-burung pun tak bersuara. Hanya ada dua pertanda akan hal ini. Bahaya sedang mengancam atau badai sedang datang.

Benar saja dugaan Jesysca. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Suara langkah kaki khas yang ia kenal. Tiga kepala dengan rambut berwarna tembaga tampak berjalan dengan hati-hati menelusuri hutan. Suara langkah kaki mereka terendam oleh sol alas kaki yang mereka gunakan. Mereka berhenti di beberapa pohon jauhnya dari pohon Jesysca.

"Nic, kita sudah berjalan terlalu jauh." Suara Archibald tampak khawatir. "Aku bahkan ragu jika pops sudah pernah melintasi wilayah ini."

"Tetapi kita tak bisa membiarkan Jesysca pergi begitu saja." Edward mengerutkan kedua alisnya. "Makhluk itu menyamar sebagai salah satu dari kita. Ini bukanlah pertanda baik. Bagaimana jika ada lebih banyak dari makhluk itu di desa?"

Nicolaus menatap kedua saudaranya sejenak sebelum akhirnya membuka mulutnya. "Apa yang dikatakan Edward benar. Tetapi akan lebih bijak bila kita Kembali ke desa dan memperingati penduduk akan penemuan kita. Kita juga takt ahu berapa makhluk lagi yang dapat menyamar sebagai manusia."

Edward hendak memprotes, tetapi tatapan yang diberikan Nicolaus membuatnya bungkam. "Kita akan berkemah di lereng tempat kita beristirahat tadi. Besok pagi, kita akan melanjutkan perjalanan Kembali ke rumah."

Alphonse mengangguk. "Aku akan berburu untuk makan malam kita."

Kedua saudara lainnya mengangguk dan mereka berpisah. Alphonse berjalan ke selatan sementara Edward dan Nicolaus kembali ke arah kedatangan awal mereka. Baik Severus maupun Jesysca tetap berdiam selama beberapa saat. Ketika manik mata Jesysca bertemu dengan pemuda di sampingnya, gadis itu dapat melihat bagaimana Severus tampak berpikir dengan keras.

"Ayo," Pemuda itu mendesah pelan. "kurasa akan lebih aman apabila kita berlindung di gua untuk saat ini."

Jesysca menganggukkan kepalanya pelan dan memperhatikan Severus melompat dari dahan tempatnya bersandar. Layaknya seekor hewan yang mengikuti imprintnya, insting pertamanya adalah dengan sedikit menekuk pergelangan kakinya menatap tanah, lalu mendarat dengan kedua kakinya dengan suara berdentum yang pelan. Jesysca menegadah dan mendapati Severus yang memberikan cengiran bocah.

"Sudah kubilang kau tak secacat yang Aidan kira."

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro