Chapter 2
Chapter 2
Vincent tampak gagah dengan pakaian berburunya. Pakaian itu terbuat dari bulu-bulu lebat serigala yang tak kaku dan juga hangat untuk dikenakan. Setelah puas dengan kelengkapan pakaian berburunya dan juga peralatan yang hendak ia kenakan, Vincent membantu Alphonse.
"Matahari sudah mulai terbit," gerutu Archibald, "kita harus segera pergi!"
"Kami sudah siap." Timpal Edward sembari mengangkat busurnya.
"Kalau begitu, ayo."
"Tunggu, Nic belum ada di sini." Bisik Alphonse tak nyaman. "Biasanya Nic yang selalu datang pertama. Di mana dia?"
"Ah, tenang saja." Archibald menepuk pundak adiknya cepat. "Nic sudah jalan duluan ke dalam hutan. Ia ingin memastikan sesuatu. Katanya, kita hanya perlu menunggunya di pos pertama."
"Apa Nic sedang mencari keberadaan Drakon?"
"Entahlah, Ed. Sudah, jangan banyak omong dan mulai berjalan!"
Keempat bersaudara mulai memasuki hutan. Setelah hampir satu kilometer jauhnya, kondisi hutan mulai tak stabil. Banyak pepohonan besar yang tumbuh di tanah atau gundukan yang miring. Bahkan, tak sedikit tanaman yang tumbuh dari bagian bawah batu vulkanik yang terdampar ribuan tahun yang lalu. Bagi orang yang pertama kali berjalan sejauh ini ke dalam hutan, Alphonse tampak begitu antusias memandangi sekelilingnya, sama halnya dengan keempat kakaknya dahulu.
"Oh, itu Nic!" Edward dapat melihat siluet Nic dari kejauhan.
"Kurasa ia tak jadi mengurus urusannya?" Vincent menatap kakaknya penasaran.
"Atau mungkin ia sudah menyelesaikannya lebih cepat dari dugaannya." Sahut Archibald.
Semangat Alphonse kembali menggebu dan ia berlari ke arah kakak sulungnya. Sayangnya, ia tak begitu memperhatikan sekitarnya. Kakinya tersandung salah satu akar pohon yang menjalar keluar dari tanah dan pemuda berusia 13 tahun itu terjatuh dengan wajah membentur semak yang berada di bawahnya. Sontak hal ini mengundang tawa kakak-kakaknya.
"Apa kau baik-baik saja?" sebuah tangan terulur dan Alphonse meraihnya tanpa pikir panjang. Tangan itu terlalu halus untuk ukuran tangan kakak keduanya, Archibald, yang berusia 21 tahun. "Alphonse?"
Bocah itu menegadah, dan mendapati Jesysca sedang menatapnya was-was. Di saat ia hendak menjawab pertanyaan gadis itu, Vincent sudah berada di hadapannya dan meraih Jesysca kasar. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku yang mengajaknya." Jawab Nicolaus kalem.
"Nic?" Edward memprotes. "Apa yang kau pikirkan? Bagaimana bila ia terbunuh nantinya?"
"Jesysca lebih baik dalam pertahanan diri dibandingkan dengan Vincent. Jadi kurasa ia akan baik-baik saja." Archibald mengangkat bahunya cuek. "Ayo lanjutkan perjalanan, aku tak suka membuang-buang waktu."
"Kau sudah tahu tentang hal ini, huh?" Vincent tampak terluka selama beberapa detik, lalu ekspresinya berubah mengeras. "Nic, bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau Jesysca—"
"Ya, memang." Nicolaus menatap tajam Vincent. "Tetapi menurutku Jesysca sudah tinggal cukup lama di desa dan ia berhak tahu. Apalagi, sebentar lagi ia akan menjadi bagian dari kita. Umurnya sudah cukup untuk menikah denganku atau Archibald nantinya. Jadi, kenapa tak memberitahunya sekarang? Toh tak akan ada ruginya."
"Ha, kau mengatakannya seolah-olah salah satu dari kita akan benar-benar menikahi Jesysca." Archibald mendengus.
"A-aku juga tak ingin menikahimu, Archie!" Wajah Jesysca memerah akibat perasaan malu.
Mereka saling menjulurkan lidah, yang lalu ditengahi oleh Nicolaus supaya tak berkelahi. "Sudah, ayo kita lanjutkan perjalanan."
Mengabaikan kemarahan Vincent, suasana cukup terasa menyenangkan bagi Jesysca. Gadis itu dapat menemui berbagai macam hewan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Rusa dengan mata bercahaya gelap yang memiliki cakar-cakar mematikan pada kedua kaki depannya, beberapa merkat dengan gigi bergeruji, hingga seekor kuda putih dengan tanduk tirus panjang di tengah tengah kepalanya.
Tak hanya itu, gadis itu mendapati berbagai macam tanaman langka untuk pengobatan. Wajahnya memerah karena perasaan senang. Di sela-sela perjalanan, ia menyempatkan diri mencuri-curi kesempatan untuk mengambil beberapa tanaman obat. Setelah kurang lebih satu jam lamanya mereka berjalan, mendadak Nicolaus berhenti di tanah lapang kecil yang dikelilingi pepohonan. Semua orang menatapnya penasaran.
"Kenapa kita berhenti?" protes Edward.
"Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepada kalian." Nicolaus menoleh kepada gadis jakung yang berdiri di samping Vincent. "Jesysca, bisakah kau mengeluarkan pisau berburumu sekarang?"
"Kenapa?" Gadis itu tampak bingung, tetapi mengikuti apa kata Nicolaus. Ia mencabut pisau berburunya dari pelindung yang terikat di bagian kiri tubuhnya dan mencondongkannya ke arah Nicolaus. Terdengar suara terkesiap dari arah sampingnya, yang ketika Jesysca lihat, berasal dari si bungsu Alphonse.
Manik mata Alphonse melebar, menunjukkan ekspresi dari kombinasi keterkejutan serta ketakutan. Jesysca terkekeh pelan, lalu menyarungkan kembali pisaunya. "Apa ini kali pertamamu melihat pisau sebesar ini, Alphonse? Tenang saja, pisau ini tak akan melukaimu."
Alphonse tak segera menjawabnya, dan mengeluarkan pisau berburunya. Jelas, hal ini membuat Jesysca mengerutkan alisnya bingung. "Alphonse?"
"Kau. . ." Nada suara Vincent tegang, membuat sang gadis menoleh. Lalu, ia menyadarinya. Keempat bersaudara itu telah mengeluarkan senjata berburu mereka masing-masing, semua kecuali Vincent yang membeku.
"Hey, ada apa?" Merasa terintimidasi oleh perilaku aneh kawan-kawannya, Jesysca mundur secara perlahan. "Kenapa ekspresi kalian menakutkan seperti ini? Jangan katakan kalau kalian ingin memberiku pelajaran agar tak kembali kemari lagi."
"Jess," sekali lagi nada suara Vincent membuat nyali gadis itu ciut. "dari mana kau mendapatkan benda itu?"
"Kau tak pernah melihatnya sebelumnya, Vin?" Archibald memasang sikap siaga.
"Ini baru kali pertama aku melihatnya."
"Apa selama ini disembunyikan?" Edward menatap Jesysca tajam.
"Apa maksud kalian?" Gadis itu menggigit bibir bawahnya. "Aku selalu membawanya saat berburu. Vincent saja yang tak pernah memperhatikannya. Lagipula, memangnya apa ada yang salah dengan pisau berburuku? Benda tua ini—"
"Kami menyebutnya Drakonäc." Nicolaus membuka mulutnya. "Nama pisau berburumu itu Drakonäc."
"Drakonäc?" Kata itu terdengar aneh di telinga Jesysca.
"Drakonäc adalah," Alphonse berbicara untuk pertama kalinya ketika teringat ilmu yang dibagikan oleh ayah mereka, "senjata yang dibuat dari gigi drakon. Konon, Drakonäc hanya bisa diturunkan sekali. Dari ayah drakon ke anaknya. Dan siklusnya akan sama untuk seterusnya."
"Ha?" Informasi yang Jesysca dengar dirasanya sangat tak masuk akal dan masuk akal pada saat yang bersamaan.
"Jika kau adalah Drakon," Edward berdiri di hadapan Jesysca, merunduk menatap mata gadis yang hanya sedagunya. "itu berarti Drakonäcmu merupakan pemberian dari Popsmu. Yah, naturalnya seperti itu. Tapi, who knows? Kami sudah memburu Drakon selama bertahun-tahun. Bisa saja mereka sudah mulai punah, sehingga tak lagi melakukan tradisi mereka. Jadi, Drakonäc itu bisa saja milik kakek dari kakek buyutmu."
"Atau," Vincent mendorong Edward menjauh dan berdiri di hadapan Jesysca, menamengi sahabatnya dari saudara-saudaranya. "bisa saja ternyata Jesysca merupakan salah satu keturunan dari klan kita yang meninggalkan desa. Kakek buyut yang Edward maksud mungkin saja membunuh Drakon dan mengambil Drakonäc miliknya. I-itu bisa menjelaskan kenapa Jesysca berwujud manusia, kan? Maksudku, Drakon yang selama ini kita buru adalah makhluk buas raksasa bersisik yang ganas dan bisa terbang!"
"Mereka bisa saja berevolusi!" Melihat sikap Edward yang mendadak siaga, Alphonse serta Archibald juga mengeluarkan tombak mereka.
"Vin," Nada suara Jesysca terdengar panik, dan ia mencengkeram bagian belakang pakaian Vincent.
"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya." Nicolaus yang sedaritadi hanya mendengarkan, kini mengeluarkan seringaian mengerikan. Ia menghunuskan pedangnya dan menyerang.
Aliran darah Jesysca terasa begitu cepat seiring dengan degup jantungnya yang tak teratur. Ia merasakan panas tubuhnya keuar dari pori-porinya dan tubuhnya terasa jauh lebih ringan dari biasanya. Jesysca tahu perasaan ini. Tubuhnya familier dengan insting yang selalu gadis itu gunakan di saat ia sedang berburu.
Dalam hitungan detik, Jesysca mampu menyingkirkan Vincent dari jangkauan pedang Nicolaus. Tubuh sahabatnya itu terpelanting ke semak belukar yang ada di sekitar pepohonan.
"Vin!" Jeritan Alphonse memecah fokus keempat saudaranya.
"Lihat, ada asap keluar dari tubuh Jesysca!"
Ketika semua orang memfokuskan pandangan mereka kepada Jesysca, tubuh mereka membeku seketika. Tak hanya asap tipis keluar dari tubuh gadis itu, pantulan sinar matahari juga memperjelas wujud gadis itu.
"B-bukankah itu sisik?!"
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro