Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Akhir Dari Pemanasan

"Widih." Lelaki yang baru saja memasuki ruang kantin itu bersiul begitu mendapati Alvan dan Daffa sedang menyantap soto ayam dengan lahap. 

Alvan tak mengacuhkan selagi makan siangnya tidak terganggu. Lain dengan Daffa yang langsung memicingkan mata, mengikuti ke mana langkah lelaki itu berhenti. Tepat di meja paling ujung, singgasana para pengonar. Daffa sudah paham dengan tingkatan orang-orang di sekolahnya. Di mana jika dilihat dari pandangan Alvan mereka hanyalah kacung, yang sangat patuh pada satu orang yang bahkan belum menampakan dirinya di sini.

"Gue boleh gabung?"

Alvan menghentikan kegiatannya, bahkan kepala sendok yang ia gunakan masih berada di dalam mulut. Matanya memicing sinis pada lelaki berbandana yang langsung mendudukan pantat di sebelahnya dan jangan lupakan lelaki lain--yang menutupi kedok buruknya dengan kacamata--duduk di sebelah Daffa.

Oh, sejak kapan mereka menjadi teman baik?

Daffa berdehem, menghilangkan kecanggungan.

"Siapa yang nyuruh lo duduk?" Tutur Alvan begitu kepala sendok sudah keluar dari mulutnya.

"Ini bukan kursi VIP, jadi semua orang bebas buat duduk di mana."

"Oh, ya?" Alvan menegakkan tubuhnya, ia menunjuk meja paling ujung di sana dengan sendok. Meja yang sudah mulai dipenuhi orang siswa pecundang. "Kenapa lo nggak gabung sama kacung-kacung di sana? Ha?"

Lelaki itu terkekeh. "Karena gue bukan kacung, makanya gue--"

"Ehem!"

Mereka bertiga mentap Aldan, lelaki berkacamata yang kini menyesal karena mengikuti ajakan Darren ke kantin. Harusnya jam istirahat ia gunakan dengan khitmat untuk menyantap makanan berat di kantin, bukan malah terlibat obrolan tidak jelas seperti ini.

"Gue cabut dulu." 

Darren bangun duduknya, menahan Aldan sebelum lelaki itu berdiri. "Mau ke mana, Bos?"

"Gue mau makan di luar."

Darren menyentuh kedua bahu Aldan, menepuk-nepuknya di sana. "Makanan di kantin lebih enak."

Aldan menghela napas. "Gue nggak suka ada drama picisan."

Darren terbahak. Bahkan mengundang beberapa siswa di ujung sana menoleh. "Santai, Aldan. Hidup lo jangan datar-datar banget."

Alvan dan Daffa masih setia memperhatikan interaksi mereka. Bahkan mereka berpikir bagaimana bisa Aldan berteman dengan manusia seperti Darren? Untuk sekedar ngobrol pun mungkin Alvan tidak akan pernah sudi.

"Harusnya lo jauh-jauh dari manusia kayak dia," ucap Alvan. Tatapannya kini teralihkan pada Aldan dan itu mengingatkannya kembali pada perkataan Ghana. Di mana Alvan benar-benar jijik dengan lelaki straight itu. 

Aldan tak mengacuhkan perkataan Alvan karena yang Aldan inginkan hanya satu.

Krucuk...

Aldan menatap mereka bertiga dengan datar. "Apa?"

"Pft." Darren menahan mati-matian tawanya.

Alvan menyodorkan soto yang masih tersisah setengah ke hadapan Aldan. "Buat ganjel lumayan."

Sialan! Aldan benar-benar tak habis pikir jika perutnya bisa berbunyi di saat yang tidak tepat. Bagaimana bisa harga dirinya jatuh karena kelaparan yang tak bisa disembunyikan. 

"Nggak usah malu-malu," tutur Alvan.

"Diem." Dan Aldan tidak akan menyentuh makanan itu. Lebih baik dia pergi dari sini.

"Mau ke mana?" Darren bertanya begitu Aldan bangun dari duduknya.

"Ada urusan."

Darren terkesiap bangun. 

"Lo mau ngapain?" Aldan berkata sinis. Karena demi apa pun ia tidak ingin istirahatnya diganggu oleh siapa pun, terutama Darren.

"Niatnya tadi mau ngintilin lo, tapi kayaknya ada yang lebih menarik." Darren tersenyum. 

Aldan menatap Darren heran, begitu pun dengan Alvan dan Daffa. Lelaki berbandana itu lebih dulu meninggalkan mereka.

Alvan memperhatikan. Setelah kepergian Darren, Aldan menyusulnya. Ia mengendikkan kedua bahunya. "Dua orang aneh kalau dijadiin satu cocok, ya."

"Entah." Daffa memajukan kembali tubuhnya. Ia ingin tahu lebih lanjut rencana Alvan, namun otaknya harus berpikir cara bicara supaya Alvan mau memberi tahu. "Van."

Alvan menatap Daffa, tangannya sembari menyuapkan makanan ke mulut. "Ya?"

"Kembali ke topik awal. Kenapa lo nggak lakuin yang lain? Kenapa harus tidur sama ... siapa tadi namanya?"

Alvan menghela napas. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Daffa. Karena Alvan yakin, untuk masalah ini ia bisa mengatasinya sendiri. Ia hanya perlu mengikuti alur cerita yang orang itu buat. 

"Sorry, Daf. Kali ini gue nggak bisa ngasih tahu lo."

Daffa menghela napas pelan. Tubuhnya ia sandarkan pada kursi. "Oke. Gue nggak akan tanya lagi."

Alvan menyelesaikan makanannya. Masih tersisa setengah, namun ia sudah tidak bernapsu melanjutkan. "Gue mau ke loker, mau ngecek sesuatu."

"Kemarin udah gue bersihin loker lo."

"Oh ya? Gimana? Banyak sampah nggak?"

"Kayak biasa."

Alvan mendengus. "Kapan ya mereka sadar kalau mereka cuma kacung yang dimanfaatin?"

Daffa mengendikkan kedua bahunya. "Entah." Karena untuk Daffa, Alvan tak menghiraukannya saja sudah cukup. Ia berpikir jika bullying yang dilakukan pada Alvan akan berakhir begitu 'dia' lelah karena tidak memberikan efek apa-apa untuk Alvan. Dan itu adalah tujuan Daffa yang selalu menyurh Alvan mengalah.

Namun sampai kapan? Sampai Alvan tak berdaya di bangsal rumah sakit? Atau sampai Alvan tak mengenali dirinya sendiri dan berakhir di psikiater?

Sebenarnya, hal itu yang membuat Setyo geram bukan main dengan Daffa. Karena bagi Setyo, Daffa seperti srigala berbulu domba. Muka ramahnya bisa menipu semua orang. Mungkin ia tak segan menjatuhkan Alvan jika ingin. Maka dari itu pemikiran mereka tidak akan pernah sama.

"Gue duluan ya, Daf."

Daffa menjawab dengan anggukan. 

Sembari berjalan di sepanjang koridor, beberapa pasang mata memperhatikannya. Hal itu sudah biasa ia dapatkan setiap harinya. Mungkin terlihat aneh jika keadaan disekitarnya baik-baik saja. Karena hal seperti ini juga yang sudah menjadi makanan sehari-hari Alvan, dan itu akan berlanjut satu tahun dari sekarang. Setelah lulus SMA mungkin Alvan memikirkan kepindahaannya keluar kota. 

Alvan menghela napas begitu sampai di depan loker. Ia sudah sangat paham jika setelah ini akan banyak beberapa puluh surat terjatuh di hadapannya dan ia harus membuang kembali ke tong sampah. 

Loker terbuka dan kedua bola matanya membola heran. Ia sempat menutup dan membuka kembali lokernya, memastikan jika ini memang benar miliknya. 

Di mana? Surat-surat yang selalu ada setiap dia membuka loker kini tak ada barang satu surat pun. Hal ini bahkan tidak membuatnya senang sama sekali. Karena Alvan tahu, Jika ada kejutan dibalik setiap keanehan. 

Alvan menarik napas pelan. 

"Kenapa? Kok diem?"

Firasatnya tak meleset. Mungkin bisa dibilang jika surat-surat sampah yang selalu ia dapati adalah sebagai pembuka.

"Bersih, ya?"

Tak perlu menoleh untuk bisa tahu siapa orang di belakangnya. Bayangan yang terpantul sudah bisa membuatnya tahu, jika lelaki ini adalah rival abadi. Lelaki yang akan dia hindari sampai kapan pun ..., Ilham.

"Kalau nggak dibersihin, loker gue bisa jadi sarang sampah."

Ilham terkekeh di belakang sana. Membuat bulu kuduk Alvan merinding karena jarak yang dekat.  "Bagus dong." 

Alvan masih bergeming di tempat.

"Bukannya kita harus buang sampah pada tempatnya? Hm?"

Alvan mendengus. "Padahal dirinya sendiri sampah. Suka lucu, ya." Ia menutup lokernya dengan kencang. Karena kebanyakan siswa berada di kantin, jadi tempat loker sedikit lebih sepi. Dan itu menguntungkan mereka karena tidak adanya mata-mata yang bisa melaporkannya jika terjadi baku hantam.

"Mulai sekarang loker lo akan bersih, tenang aja."

Alvan berbalik, berhadapan dengan Ilham saat ini adalah pertama kalinya sebagai rival. Karena yang ia tahu, Ilham tidak pernah bergerak dengan tangannya sendiri. Para kacung yang setiap saat ia temui di sekolah adalah orang suruhan Ilham. Entah bayaran apa yang lelaki itu janjikan untuk membuat orang membenci dirinya.

Dagunya terangkat, sedikit mendongak untuk berbicara dengan lelaki di hadapannya. "Lo mau apa?"

Ilham terkekeh. Setelahnya beberapa siswa yang bersembunyi berhambur menghampiri. "Gue nggak mau ngotorin tangan gue."

Alvan berdecak begitu kacung-kacung suruhan Ilham mendekat.  Mungkin pikirnya ini cerita aksi baku hantam, makanya Ilham melangkah mundur menyaksikan siswa lain mendekat ke arahnya. Sudah seperti bos pikirnya.

"Satu lawan satu, anjing!" Alvan mengacungkan jari tengahnya. 

Mereka yang ada di sana tertawa, puas melihat Alvan terpojok seperti ini. Jika biasanya dia hanya dihadapkan satu atau dua orang, ini  bahkan lima kali lipat dari sebelumnya. 

"Mereka nggak gigit kok." ucap Ilham. Sebagian dari mereka terkekeh mendengar ucapan Ilham. "tapi kalau lo nggak punya pertahanan diri, mereka lebih buas."

Pembual. Alvan tahu mereka yang dihadapannya bahkan tidak lebih kuat dari dirinya. Mereka adalah kacung. Mereka pecundang yang hanya bisa bergerombol untuk menyerang satu orang. Mereka adalah anjing penjaga yang sangat patuh tanpa tahu sebab-akibat, yang mereka tahu hanya mencari (entah kebenaran atau kesalahan) yang disuruh tuannya. Mereka adalah budak sesungguhnya. Derajat mereka bahkan lebih rendah dari pelacur.

Alvan menghela napas samar. Mungkin untuk yang ini ia tidak akan dimaafkan.  "Ayo, maju kalau kalian mau mati!"


*****

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen.

Maaf untuk chapter yang lama. Sampai ketemu chapter depan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro