13. Mari Bersenang-senang
Alvan bolos sekolah. Persetan dengan ulangan. Dia tidak ingin bertemu dengan manusia-manusia yang ia temukan sebelumnya. Mungkin menghilang dari peradaban bisa membuat hidupnya damai. Namun sayang, itu hanya akan menjadi bayang-bayang saja. Karena sepertinya takdir tidak semudah itu membuat hidupnya damai.
Motornya ia lajukan ke arah berlawan dari sekolah. pikirannnya tertuju pada satu tempat. Satu tempat yang mungkin bisa memberikan dirinya informasi untuk menuntaskan salah satu masalah. Alvan menaikan kecepatan. Butuh waktu 20 menit untuk bisa sampai di tujuan.
SMA BARUWA
Alvan memandang beberapa banner penghargaan yang terpampang jelas, bahkan sebelum kalian memasuki sekolah ini.
"Di sini, ya," ucap Alvan. Tatapannya menyisir beberapa sudut, tidak didapatkan satu orang pun siswa berkeliaran di sini, yang ada hanya security di sana. Alvan melajukan kendaraan sehingga tiba di depan pagar. Terlintas ide konyol untuk bisa dapat memasuki sekolah ini.
"Permisi, Pak!"
Petugas keamanan di sana segera keluar dari pos. Ia memerhatikan Alvan dari ujung kaki sampai kepala, terlihat asing. "Ada yang bisa dibantu, Nak?"
Alvan berdehem. "Saya anak baru, Pak." Sudah ada beberapa rencana jika memang dia ketahuan berbohong.
Petugas itu mengernyitkan kedua alisnya. Lagi, dipandangi Alvan. "Kamu telat banyak, Nak."
"Saya nyasar, Pak."
"Lho, kok, bisa."
"Belum hapal jalan."
Petugas itu menggelengkan kepala, namun ia tetap membukakan pagar untuk Alvan. "Mau saya antar ke ruang administasi?"
"Nggak usah, Pak. Saya udah tahu ruangannya." Bisa mampus dia jika sampai ketahuan.
"Untuk parkir kendaraan siswa ada disebelah kiri, ya," katanya memberitahu.
"Terimakasih, Pak." Alvan melajukan kendaraannya pada parkiran yang sudah diberitahu. Di sana sudah terpampang rapih bermacam-macam kendaran, mulai dari roda dua hingga roda empat. Alvan dibuat takjub karena di sekolahnya saja tidak diperkenankan membawa kendaraan roda empat dan hanya boleh membawa kendaraan--itu pun untuk jenis roda dua--jika sudah kelas XI. Anak angkatan pertama tidak diijinkan membawa.
Alvan menimbang untuk masuk ke wilayah sekolah. Pasalnya, seragam mereka sedikit berbeda. Jika SMA Bintara hanya memakai seragam putih abu-abu, SMA Baruwa memiliki blazer biru dongker sebagai lapisan terluar. Sudah seperti anak kejuruan, pikirnya.
Alvan berdecih. Persetan, dia harus menemui salah satu orang di sekolah ini. Kenapa tidak terlintas dipikirannya untuk menanyakan nama siswa di sini yang ingin dia temui.
"Lho, Alvan."
Sedikit tersentak begitu namanya disebut. Alvan menoleh dan mendapati seorang siswa yang wajahnya sudah tidak asing lagi.
"Ngapain di sini?"
"Lo sendiri ngapain keluyuran di sini?"
Lelaki dengan wajah oriental itu menyernyit. Ia ke parkiran untuk mengambil beberapa buku yang tertinggal. Namun, tidak disangka jika dia menemui Alvan. "Gue Rama. Masih ingat?"
Rama, Alvan merapal dalam hati. "Iya tahu. Lo temennya Aldan, kan?"
"Iya. Terus lo ngapain di sini? Ada perlu apa?"
Alvan diam sejenak. Bagaimana, ya, mulainya. "Temen lo yang badannya tinggi gede itu siapa, deh?"
Rama mengernyitkan kedua alisnya. "Ghana?"
Alvan menjentikkan jari. "Iya, betul!"
"Kenapa?"
"Gue ada perlu sama dia. Boleh panggilin orangnya nggak, ya?"
Rama sedikit berpikir. Raut wajah bingungnya begitu kentara. "Boleh aja, sih. Tapi abis jam pelajaran selesai kita ada ulangan."
"Info aja, temui gue di sini. Sebentar aja," pinta Alvan. Kedua telapak tangannya terkatup.
"Oke."
"Tapi, please, jangan kasih tahu siapa pun, termasuk temen lo yang lain kalau gue cari dia."
Rama mengacungkan ibu jari, kemudian dia berlalu dari hadapan Alvan. Butuh waktu cukup lama untuk Ghana menemuinya. Mungkin karena Alvan hanya menunggu seorang diri. Menyibukan diri dengan ponsel pun rasanya sangat membosankan.
Alvan berdecak. Sumpah, dia mati bosan. Helaan napas kasar keluar. Dia menyandarkan kepala pada spedometer motor. Kalau seperti ini, dia bisa terlelap--.
"Ada apa, nih?"
Alvan mendongak. Lelaki yang ia cari sudah berada di hadapannya. "Lama banget."
"Kan gue lagi belajar, bukan dugem," katanya santai. Ia menduduki jok motor lain di sebelah Alvan. "Ada perlu apa, nih? Kalau sampai ke sekolah gue, berarti itu penting."
"Gue mau bicara empat mata."
"Ini udah empat mata."
"Di ruang tertutup," lanjut Alvan.
Ghana mengerjabkan mata. "Sepenting apa?"
"Bisa atau nggak?" tanya Alvan tanpa menjawab perkataan Ghana. Penting atau tidaknya itu urusan nanti. Karena penting baginya belum tentu penting juga bagi lelaki itu.
Ghana bangun dari duduk. Kini ia berdiri tepat di depan Alvan, tubuhnya yang besar menutupi pandangan Alvan. "Lo mau ngasih gue apa kalau gue bilang bisa?"
Tepat seperti apa yang Alvan inginkan. Ia memang tidak tahu Ghana itu lelaki seperti apa dan bagaimana. Orientasinya pun masih samar, menurut Alvan. Meski begitu, ia yakin jika Ghana bisa diajak bekerja sama. Setidaknya Alvan berpikir mereka memiliki satu frekuensi yang sama. Dibanding dengan Aldan.
Ada seringai yang terpampang di wajah Alvan. Dan setelah ini--Alvan seratus persen yakin--Ghana tidak akan menolaknya. Kepalanya mendongak, retina miliknya bertemu dengan iris hitam Ghana. Ia berkata dengan mantap. "Apa pun itu yang lo mau."
Tentu, kejutannya baru saja dimulai.
"Lo harus bayar semua. Gue bakal bolos ulangan hari ini." Ghana menyodorkan salah satu tangannya. "Setuju?"
Alvan menjabat tangan Ghana dengan pasti. "Ya."
"Gue minta waktu lima belas menit."
Alvan mengangguk. "Silahkan."
"Omong-omong, gue bawa mobil." Telunjuknya menunjuk sebuah Ferrari 488 Spider dengan warna kuning mencolok. Di sana, hanya mobil Ghana yang benar-benar menunjukkan eksitensinya.
"Ferrari?"
"Test drive."
Alvan menyernyitkan salah satu alisnya. "Di sini?"
"Ya, nggaklah. Niatnya habis pulang sekolah baru mau gue pakai. Makanya gue bawa."
"Pajaknya gede, lho."
Ghana mengangguk, mengiyakan. "Minggu depan mau di bawa ke luar kota."
Alvan ber'oh' ria. Pikirannya masih tidak menyangka dengan sekolah yang dimasukinya. Benar-benar di atas standar per sekolahan. Bagaimana mungkin ada sekolah yang meperbolehkan siswa membawa mobil mewah. Alvan benar-benar penasaran uang muka untuk masuk sekolah ini. Atau mungkin dikenakan pajak juga untuk membawa mobil ke lingkungan sekolah.
"Tunggu, ya, Bro," ucap Ghana
Alvan mengangguk. Setelah dipastikan Ghana sudah hilang dari pandangan, ia menyelonjorkan kaki. Pandangannya memandang sekitar, berharap tidak ada yang mengenali dirinya lagi. Salah satu alisnya terangkat begitu mendapati Ghana yang sudah kembali. Secepat itu kah jarak dari kelas menuju parkiran.
"Gue udah hubungin Rama untuk absenin gue nanti," ucap Ghana. Ia membuka blazer, lalu menaruhnya di bahu.
"Lo bisa keluar tanpa surat ijin?"
Ghana terkekeh. "Gue keluar pakai uang."
Oh. Alvan sudah tidak heran lagi. Sebagai anak orang kaya uang segitu tidak akan ada artinya. "Oke."
"Karena lo butuh ruang tertutup, di apartemen gue kayaknya cocok."
"Bebas."
"Gue tinggal sendiri. Jadi lo bebas ngapain aja."
Sangat bagus sekali. Sebelumnya Alvan sudah pernah sekali ke apartemen Ghana, saat pesta tidak jelas yang mereka buat. Memang lumayan--sangat--besar jika ditinggali seorang diri.
"Lo udah tahu tempatnya, bukan?"
"Gue ikutin dari belakang supaya nggak nyasar."
"Oke." Ghana melangkahkan kaki menuju kendaraan mewahnya. Begitu ia memasuki mobil, Alvan mulai menyalakan motor. Menunggu Ferrari itu keluar lebih dulu.
Kini, yang bisa Alvan tangkap dari Ghana adalah mempesona. Padahal, pertama kali mereka bertemu Alvan yakin jika Ghana lelaki biasa saja. Justru Aldanlah yang terlihat menonjol.
Alvan mulai mengendarai motor begitu Ghana sudah keluar dari area parkir. Sampai di pos security, Alvan melihat lelaki itu memberi amplop pada petugas yang ia temui. Alvan yakin amplop itu berisi uang.
Mereka melajukan kendaran masing-masing. Ghana masih dengan kecepatan minimum, begitupun Alvan. Dirasa sudah melewati lingkungan sekolah, Ghana mengendari Ferrari dengan kecepetan sedikit tinggi.
Alvan berdecak. "Anjing!" tidak mau kalah, Alvan menambah kecepatan motornya supaya tidak tertinggal.
Jarak antara SMA Baruwa dengan apartemen Ghana memakan waktu kurang lebih 20 Menit. Jika dengan kecepatan maksimal--seperti saat ini--hanya butuh waktu 10-15 menit saja dan tentu, jika jalanan tidak padat kendaraan. Tidak ada komunikasi yang terjalin di antara dua pengendara itu. Alvan yang setiap saat mengumpat dan Ghana yang dengan senang hati melajukan kendaraan dengan cepat. Bahkan, terkadang Alvan tertinggal dan ia harus sedikit memutar otak, mengingat jalan yang pernah dilewati.
Mereka sudah tiba di depan gedung pencakar langit. Di sana terdapat 3 tower dengan masing-masing tower terdiri lebih dari 25 lantai. Mereka berpencar, tempat parkir motor dan mobil berbeda arah. Alvan benci mengakui ini, tapi dia sering salah masuk gedung jika sudah sampai di tempat parkir.
Alvan berdecih. "Mana nggak punya nomernya."
Begitu sudah dipastikan motornya terparkir dengan benar, Alvan menghampiri seseorang petugas di sana.
"Permisi, Pak. Saya mau tanya alamat."
"Alamat mana?"
Alvan berpikir sejenak. Mungkin atau tidak jika petugas ini tau nama seluruh penghuni apartemen. "Bapak tau tempatnya ... Ghana?"
Tampak terlihat kedua alis bapak itu mengerut. "Ghana yang mana?"
"Yang...." astaga. Mau jawab apa dia. Lagi pula ada banyak Ghana mungkin di tempat ini. Namun, terlintas beberapa hal di otaknya. "Itu, lho, Pak. Yang bawa Ferrari kuning."
Bapak itu ber'oh' ria. "Dia ada di tower dua. Dari sini kamu terus aja. Nanti ketemu lift servis. Kamu bisa naik itu."
Alvan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Lantai berapa, ya, Pak?" Meskipun pernah datang sekali ke tempat Ghana, Alvan sama sekali tidak tau lantai berapa lelaki itu tinggal.
"Waduh, kamu temannya masa nggak tahu."
"Saya lupa, Pak."
"Dia tinggal di lantai empat belas."
"Oke, deh. Makasih banyak, Pak."
"Sama-sama."
Alvan melenggang pergi, langkahnya terus membawa dia sampai pada lift servis. Ia memencet tombol 14, lalu membiarkan lift itu membawanya sampai tujuan. Alvan berterima kasih kepada siapa pun yang tidak memasuki lift di saat ia sedang memakainya. Karena bisa menghemat waktu untuk itu.
Lift terbuka dan Alvan merutuki kebodohannya karena tidak sempat menanyakan nomor berapa tempat Ghana tinggal.
"Kayaknya gue harus makan salmon, deh."
"Emang," jawab seseorang.
Alvan menoleh dan mendapati Ghana yang berjalan menghampiri.
"Biar otak lu nggak bloon," lanjutnya.
Alvan memutar kedua bola matanya malas. "Yang penting tiba dengan selamat."
Ghana mengendikkan kedua bahunya tak acuh. "Sekarang lo ikutin gue, jangan sampai hilang pandangan. Nanti diculik."
"Bacot."
Ghana terkekeh. Kemudian sempat terpikir hal konyol olehnya. Dia ingin sedikit berpesta dengan calon kekasih Aldan. Tenang saja, Ghana bukan tipikal lelaki yang mudah menaruh hati. Sama sekali tidak. Mungkin jika orang awam yang melihatnya akan menilai Ghana jatuh hati. Namun, untuk seseorang yang sudah paham dirinya, ini bukan apa-apa.
Ghana menyamakan langkahnya dengan Alvan. Kemudian ia menaruh lengannya di pinggul Alvan dan untuk kesekian kalinya lelaki yang lebih pendek itu terkejut.
"Mau minum nggak?"
"Gue nggak minum." Meski tidak sepenuhnya. Tapi jika disuruh memilih, Alvan sama sekali tidak ingin menenggak alkohol jika tidak terdesak.
"Tenang aja. Nggak berat, kok. Cuma empat puluh persen."
Alvan bisa mati di tempat jika sampai minuman beracun itu masuk ke tubuhnya. Membayangkannya saja membuat Alvan bergidik.
"Ya?"
Ini gila. Mana mungkin dia mau menuruti permintaan Ghana. "Kasih gue jus."
"Oke, deal."
Mereka sudah sampai di depan pintu kediaman Ghana. Ibu jarinya menyentuh layar sentuh di sana, dan pintu terbuka.
"Selamat datang, Tamu Spesial," ucap Ghana begitu memasuki tempat tinggalnya. "Lo mau tunggu di ruang tamu dulu atau mau langsung ikut gue ke atas? Nanti kita minum di atas aja."
Dahi Alvan berkerut. "Lo mau ngapain?"
"Gue mau salin baju." Langkahnya dengan cepat menaiki anak tangga satu per satu.
"Gue ikut deh. Biar nggak bolak- balik." Alvan mengikuti Ghana dari belakang. Sembari menaiki anak tangga matanya menelusuri setiap sudut apartemen Ghana. Lebih parah lagi jika Ghana memang benar tinggal seorang diri di tempat sebesar dan semewah ini.
"Lo boleh rebahan kalau mau. Gue mau ke kamar mandi dulu," katanya begitu langkah kaki itu sudah tiba di lantai 2.
"Oke."
Alvan memerhatikan Ghana sampai lelaki itu hilang dari pandangan. Baru setelah itu dia menduduki kasur hingga badannya terpantul. Saat dirasa empuk Alvan langsung menjatuhkan badannya. Benar-benar nyaman. Begini kah kasurnya orang kaya?
Larut dalam kenyamanan, tak sadar jika Alvan sudah memejamkan mata. Bahkan Ghana sudah keluar kamar mandi dengan setelan santainya, kaus putih dengan balutan celana pendek warna khaki. Tidak lupa dengan dua botol minuman beralkohol berada pada genggaman.
"Padahal bolos sekolah, tapi kayaknya capek banget," ucap Ghana.
Alvan membuka kelopak matanya. Ia langsung memposisikan tubuhnya untuk duduk. "Gue bolos juga ngeluarin tenaga."
Ghana mengernyit. "Iya, kah?"
Alvan tak menjawab perkataan Ghana. Pandangannya kini tertuju pada dua botol di tangannya dengan satu gelas yang dibawa. "Gue nggak minum. Lo conge banget, sih."
"Lho, ini buat gue."
"Gila lo, Setan."
"Kalau lo minta jus, ada di kulkas. Ambil sendiri, ya."
Alvan berdecak. "Tamu adalah raja."
"Tapi gue bukan pembantu."
Alvan memutar kedua bola matanya malas. Jika bukan karena sesuatu yang ingin dibicarakan, Alvan sudah meninggalkan tempat ini.
"Oke, gue ambilin."
"Emang harusnya begitu."
"Ya- ya." Ghana melenggang pergi begitu menaruh minumannya di atas meja. Padahal kulkas miliknya tidak jauh dari tempat Alvan duduk. Ia mengambil satu botol bewarna oren di sana. "Gue adanya jus jeruk. Kalau mau syukur, kalau nggak yaudah."
"Terserah."
Ghana mengambil satu botol jus jeruk dari sana, lalu memberikannya pada Alvan.
"Omong-omong hal penting apa yang mau lo bicarakan?" Ghana menduduki ranjang yang sama, sedikit berjarak dengan Alvan.
Alvan tidak langsung menjawab. Ia membuka sweater yang dikenakan, lalu melipat dan menaruhnya pada meja kecil samping ranjang.
"Masalah Aldan," ujarnya.
"Aldan?" Dahi Ghana berkerut. "Dia kenapa?"
"Lo boleh sambil minum," ucap Alvan, kemudian dia meminum jusnya terlebih dulu.
"Oke. Kita bicara santai aja." Ghana membuka tutup botol pertama, menuangkan cairan pada gelas yang ia bawa. Menenggak dengan satu tegukan.
"Gimana rasanya?" tanya Alvan.
"Enak." Ghana menuangkan kembali cairan beralkohol itu, lalu diminum. Ia bukan tipe orang pemabuk, tetapi akan mabuk jika memang ingin dan itu tidak setiap hari. Untuk kadarnya yang cukup tinggi ia hanya meminum tidak lebih dari sepuluh tegukan. Seperti saat ini. Dia mungkin akan berhenti pada tegukan ke-lima karena dia tidak ingin mabuk.
"Ini ke-dua kalinya gue bilang, kalau gue nggak bisa nge-handle orang mabuk," ucap Alvan begitu melihat Ghana sudah meminum gelas ke-tiga.
"Lo harus bisa nge-handle. Kalau nggak, lo bisa habis." Ghana melirik Alvan di sebelahnya. "Kecuali kalau lo emang ingin."
Alvan terkekeh. Kepalanya menoleh, menatap Ghana yang sedang memainkan mata. "Siapa yang nggak ingin?" Alvan bangun dari duduknya, melangkah sedikit dan berhenti di hadapan Ghana. "Coba lo pikir."
Ghana mengernyit begitu telapak tangan Alvan menyentuh bahunya. Kelopak matanya melebar, terkejut ketika tangan yang lebih kecil itu mendorong bahu dan membuat tubuh besarnya kini terlentang di atas kasur dengan Alvan di atasnya.
"Gue kasih tau, biar paham. Kita sama-sama lelaki, bukan?" Jarak wajah mereka hanya bertaut sejengkal. "Orientasi kita sama, bukan?"
Ghana menelan ludahnya dengan paksa. Mau bagaimana pun, jika dihadapkan dengan ini Ghana itu normal. Iya, normal karena memang orientasinya sama dengan Alvan. Normal karena bisa membuatnya terangsang jika dihadapkan dengan lelaki submissive sepertinya. Kepalanya sudah mulai pening karena alkohol yang masuk ke tubuhnya.
Alvan menyadari perubahan raut wajah Ghana dan memang seperti ini yang Alvan inginkan. Dan ia akan membuatnya sesuai dengan rencana.
"Gimana? Udah bisa mikir?"
"A- panya?" Suaranya tercekat.
Telapak tangannya bergeser, kini menyentuh leher Ghana, menekannya di sana. Ghana terkesiap
Ghana terkesiap. Dia memegang pergelangan tangan Alvan. "Lo ngapain--"
"Tenang, gue nggak mungkin nyekik lo," lanjut Alvan.
"Lepas."
"Nggak. Gue nggak bakal bunuh lo, sialan."
"Tujuan lo apa ngelakuin ini?"
Alvan mengernyit. Kemudian tawanya pecah, ia menyembunyikan wajahnya di leher Ghana. "Nggak perlu tujuan. Harusnya lo paham apa yang gue mau."
Bulu kuduknya meremang, kepeningannya bertambah. Bukan hanya di kepala, tetapi daerah sakralnya sudah mulai berkedut. "Apa yang lo mau, Alvan?"
"Hm." Alvan mengembuskan napas di cerug leher Ghana.
"Tadi lo bilang tentang Aldan."
"Oh, itu." Alvan merubah posisinya. Kini dia sudah duduk di perut Ghana. Bisa ia rasakan sedikit perubahan pada penis Ghana. "Keras juga."
"Cepet, Alvan."
"Hm." Tatapan matanya terfokus pada lelaki di bawahnya. Namun, tangannya mulai bermain di perut Ghana, menyentuh otot- otot di sana. "Apa yang Aldan rencanakan?"
"Nggak ada."
"Oh, ya?" Tangannya berpindah dari perut Ghana menuju belakang telinga, ibu jarinya mengusap lembut bagian sensitif itu. "Dia straight, kan?"
***
Aku bagi jadi dua bab karena takut kebanyakan. Nanti kalian mual bacanya.
See u next chapter. Silahkan tinggalkan jejak. Jangan lupa vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro