12. Parasit
Dengkuran halus terdengar dari mulut Alvan. Semenjak kejadian semalam, pulang ke rumah bukanlah salah satu pilihan yang Baik. Maka dari itu, Alvan menyewa taxi untuk membawanya pada kediaman Daffa. Dipikir, mungkin perkataan temannya itu bisa membuatnya sedikit lebih tenang. Walaupun begitu sampai Alvan langsung merebahkan tubuhnya hingga terlelap.
Daffa hanya menggelengkan kepala mengigatnya. Yang ia tahu, semalam Alvan berangkat dengan Setyo, dan berakhir dengan Alvan yang menekan bel rumahnya seorang diri. Ke mana perginya Setyo? Bahkan Daffa yakin jika Alvan butuh seseorang saat itu. Terlihat jelas dari penampilannya tadi malam.
"Kalau tahu akhirnya begini, gue pasti bakal ikut," ucap Daffa. Sedikit menyesal karena memang dirinya sama sekali tidak minat untuk datang ke acara tak resmi seperti itu. Mungkin lebih pantas jika disebut seperti kelab. Di mana terlalu banyak alkohol di sana. Sungguh, Daffa sangat tidak menyukainya. Bahkan membuat teman-temannya mendekati barang seperti itu pun tidak sudi.
Suara parau Alvan terdengar. Daffa menoleh, memperhatikan temannya yang terlelap di atas ranjang. Ia meringis begitu mendapati Alvan menggigit bibir dengan badan sedikit tergunjang. Keringat sudah mengalir dari pelipisnya. Padahal Daffa yakin jika AC rumahnya sudah berada di suhu paling rendah. Ia menghapiri Alvan, duduk di pinggir ranjang. "Van," katanya. Sedikit menguncang tubuh Alvan.
Erangan tak nyaman semakin terdengar dari mulut Alvan. Daffa sangat yakin jika temannya itu sedang dilanda mimpi mengerikan. Mungkin saja terjebak di antara para zombie yang mencoba ingin menyentuh tubuhnya. Memikirkannya membuat Daffa menguncang tubuh Alvan dengan kencang. "Alvan, bangun!"
Kedua kelopak mata terbuka. Napasnya terpacu dengan cepat. Alvan terbangun, ia mengelap keringat di pelipis.
"Zombie-nya ada berapa?" tanya Daffa dengan sedikit khawatir.
Alvan menatap temannya lekat. Satu nyawa pun rasanya beum terkumpul. Ia menghela napas panjang dan membuangnya. Mengulangnya hingga degup jantungnya sedikit normal.
"Zombie-nya ada berapa?" ulang Daffa.
Iris mata hitamnya menatap Daffa dengan mantap. "Ada satu."
"Oke." Daffa bangkit dari ranjang, mengambil segelas air yang sudah ia sediakan dari malam untuk berjaga-jaga jika Alvan terbangun tengah malam dan malas mengambil air keluar. "Minum dulu." kemudian menyodorkannya kepada Alvan.
"Makasih," ucap Alvan begitu segelas air sudah di tangan. Ia meminum dengan rakus, lalu memberikan gelas kosongnya pada Daffa. "Zombie-nya jahat banget, Daf."
Daffa mendengarkan. Baginya mengganti kata 'orang jahat' yang ditemukan dalam mimpi dengan 'zombie' sedikit efektif untuk orang seperti Alvan, yang tidak mungkin bisa menjabarkan apa yang ingin dikatakan. "Jahatnya?"
"Dia mau mendorong gue jatuh ke jurang." Alvan membenarkan posisi duduknya. "Bahkan jurangnya nggak berujung."
Daffa mengangguk. "Tapi sekarang lo aman." Daffa menyandarkan tubuhnya pada meja belajar yang ia letakkan di sebelah ranjang. "Makanya, sebelum tidur cuci muka dulu."
Alvan mengangguk. Kemudian ia bangun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. "Gua numpang mandi, ya."
Daffa mengacungkan jempol. Ia memperhatikan Alvan dari belakang. Bahkan sejak dulu pun Daffa sudah memperhatikkan temannya itu. Bagi Daffa, Alvan itu sudah seperti saudara, bahkan adiknya sendiri yang harus ia lindungi. Daffa sangat tidak mau jika Alvan terlalu gegabah. Baginya, itu sama saja dengan bunuh diri. Membuat dirinya masuk ke dalam lubang penyelasan.
"Daf,"
Daffa menoleh, mendapati Alvan dengan setengah badan menyembul keluar dari pintu kamar mandi. "Kenapa?"
"Minjem handuk, dong."
Daffa memutar kedua bola matanya. "Di dalam ada, Van. Di samping shower."
"Oh, itu handuk. gua kira kain lap." Alvan terkekeh. Ia kembali menutup pintu kamar mandi dan melanjutkan ritual mandinya.
***
Udara di minggu pagi itu berbeda. Setidaknya seperti itu menurut Alvan. Bahkan, ia bisa bangun pagi di hari minggu. Berterima kasihlah kepada zombie yang hadir di mimpi. Berkatnya, Alvan jadi terbangun pada jam tujuh di hari minggu. Setelah tadi membersihkan badan, Alvan langsung bergegas keluar rumah Daffa dengan meminjam sepeda pemilik rumah. Meninggalkan Daffa yang berkutat dengan buku dan laptop kesayangan. Mungkin sedikit bersepeda bisa membuatnya lebih segar karena udaranya masih terasa sejuk.
Alvan meletakkann sepeda Daffa asal di pinggir taman. Kemudian duduk di kursi kayu panjang. Ia menghela napas. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Besok dirinya sudah memulai aktifitas di sekolah. Memikirkannya membuat Alvan kembali menghela napas. "Besok apa lagi."
"Besok belajar, karena ada ulangan Bahasa," ucap seseorang yang langsung mendudukan diri di di samping Alvan. "Nggak ada yang nempatin, kan."
Alvan berdecih. Seorang yang duduk di sebelahnya termasuk ke dalam golongan manusia merepotkan. "Lo ngapain di sini?"
"Taman umum, kan."
Alvan memutar kedua bola matanya malas. "Tapi nggak usah di sini juga kali. Masih banyak bangku kosong, Darren sialan!"
"Wes, santai. Gue nggak ngapa-ngapain."
"Terserah." Alvan menyandarkan punggungnya. Matanya memicing, memperhatikan Darren yang sedang mengambil rokok dan menyalipkan di bibir. Demi Tuhan, semenjak pertama bertemu Darren, Alvan benar-benar menghindarinya. Karena Darren itu salah satu tempat informasi di SMA Bintara. Kau ingin informasi apa pun, asal ada uang silahkan cari lelaki berbandana di sana. Dan kau akan mendapatkan informasi yang kau mau. Namun saat ini ada yang berbeda, Darren tanpa bandananya bagaikan kehilangan jati diri. Setidaknya hanya Alvan yang berpikir seperti itu. Buktinya, beberapa tatapan perempuan yang berada di taman ini mulai memperhatikannya dengan wajah berbinar. Darren jadi sedikit lebih normal dari biasanya. Rambur ikalnya disisir kebelakang, jangan lupakan sedikit semprotan hair spray untuk menahan beberapa anak rambut yang nakal keluar. Darren juga menggunakan jepitan senada dengan warna rambut supaya tidak berjuntai mengenai telinga.
"Jangan lihat-lihat, nanti naksir," ucap Darren. Jemarinya memantikan api dari korek.
Alvan berdecih. Ia bahkan membuang ludah pada rumput hijau di bawahnya. "Sono ngomong sama ludah gue."
Darren mengendikan kedua bahunya tak acuh. "Ngomong-ngomong, semalam gue yang anter lo ke rumah Daffa." Asap rokok membentuk lingkaran kecil keluar dari bibir Darren. "Seenggaknya bayar ongkos, kek."
Alvan menendang salah satu kaki Darren. Ia sendiri tidak ingat mobil yang ia berhentikkan itu bukan taxi. Yang ia tahu, mobil itu berhenti begitu Alvan melambaikan tangan. Memang warnanya bukan biru, tapi Alvan yakin pernah melihat taxi warna hitam.
"Sialan. pantesan gue mimpi buruk."
Darren terkekeh. "Emang mobil gue kelihatan mirip taxi?"
"Mirip banget." walaupun Alvan tidak yakin.
"Bagus begitu. Gue beli pakai uang gue sendiri, masa iya mirip taxi." Darren menghisap kembali rokoknya.
Alvan berdecak. "Lo beli pakai uang haram. Nanti juga kebakar."
"Anjing juga." Ia menjatuhkan rokoknya. Menginjak putung rokok yang masih tersisa setengah. "Kalau lo mau informasi dia, gue bakal kasih. Gratis."
Alvan menatap Darren. Memperhatikan lelaki di sebelahnya yang juga sedang menatapnya dengan senyum menyebalkan. Selama satu kelas dengan Darren, ini yang pertama mereka mengobrol dengan waktu yang cukup lama. Selebihnya hanya Darren yang menegur sapa dan selalu Alvan acuhkan. Karena baginya, Darren itu parasit. "Nggak perlu. Bahkan gue nggak sudi bertukar informasi."
Darren terbahak. Ia tahu, kalau dirinya itu sedikit mengganggu, bahkan bagi semua orang. Karena itu, dia sama sekali tidak butuh teman. Baginya, berteman dengan mereka bagaikan menjempuan cuan. Ya, yang ada di otaknya hanya uang. Tanpa uang manusia tidak bisa apa-apa. Bahkan uang bisa memipin apa pun. Bisa membeli kebahagian. Bisa pula menjemput kebodohan. Pintar-pintar kita saja menggunakan uang untuk apa agar tidak dibutakan olehnya. Tapi untuk Alvan, dia sama sekali tidak membutuhkan uang. Cukup membayar dengan hidupnya saja Darren sudah sangat puas.
"Alvani Jonna. Putus dengan seseorang karena konflik orang tua. Dan itu berimbas kepada mereka berdua. Bahkan mantan pacar rela menjadi pemeran antagonis. Atau bahkan lebih dari-," Satu pukulan dari kepalan tangan Alvan mendarat di pipi Darren. Lelaki berambut ikal itu langsung merasakan anyir di mulut. Belum sempat menghindar, pukulan kedua sudah melayang kembali di tempat yang sama. Sudut bibirnya sobek. Tapi dia menahan diri untuk tidak terlihat sakit.
"Lo yang nggak tahu apa-apa nggak usah ikut campur." Alvan membenarkan pakaian. Bersiap diri meninggakanl taman dan juga Darren, lelaki parasit yang masuk ke dalam daftar hitam miliknya. Mungkin juga, yang akan ia bunuh terakhir setelah urusannya selesai. "Lo nggak akan pernah mendapatkan apa yang lo mau, dasar parasit."
***
See u next week~
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro