Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Gagal?

Note: demi tidak membuat cerita terputus dan tragedi nanggung, saya lampirkan cuplikan dari Bab sebelumya. Jika ada salah dalam pengetikkan, silahkan ditandai, ya. Biar bisa diedit.

Oh, satu lagi. Mulai bab ini dan seterusnya tidak akan sepanjang bab sebelumnya. Mungkin 1000-1500 kata per bab. Demi kelangsungan cerita supaya tidak macet di tengah jalan. Terimakasih. Selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, luv.

***

Alvan menelan semua cairan itu. Mau tidak mau, karena otaknya sama sekali tidak berfungsi. Di mana akal sehatnya tak bisa menolak, walaupun ingin. Sebagai sentuhan terakhir, ia menjilat bibir Alvan.

"Kok, manis, ya?"

Sialan! Bahkan sekarang wajah Alvan benar-benar memerah. Degup jantungnya benar-benar kencang sekali.

"Suara jantung siapa, tuh? Kenceng banget." telinganya ditempelkan pada dada Alvan, "kenceng banget. Nggak copot, kan?"

"Goblok!" Alvan menepis tangannya yang sama sekali tak bisa lepas dari Aldan. "Lepasin nggak? Gue mau pulang. Emak gue nyariin!"

Aldan terkekeh. "Udah gue bilang, kok, kalau anaknya main sama gue."

"Mana ada."

Aldan menuang kembali minuman tanpa nama itu di gelas, kembali menenggak untuk ketiga kalinya. Dan masih sama, kesadarannya masih stabil.

"Sumpah gue nggak berpengalaman nge-handle orang mabuk!"

"Gue nggak mabuk, tenang aja."

"Pala lo gundul tenang aja!" setelah ini ia harus mencari cara agar bisa terlepas dari Aldan. Bagaimanapun juga ia sangat yakin lelaki di depannya itu mabuk, tidak sekarang tapi nanti. "Lo mau gue laporin polisi?"

Kekehannya jantan sekali. Rasanya Alvan ingin memukul manusia di depannya sampai babak belur karena berani meremehkan dirinya. "Laporin aja." Ia semakin memutus jarak. Jantung Alvan sudah dipastikan tidak bekerja sesuai jobdesk.

Sialan! Sialan! Sialan!

"Gue boleh cium lo?"

Alvan sudah bukan bocah ingusan lagi untuk urusan seperti ini. Ia paham, mulai saat ini-atau mungkin semenjak Aldan pindah-dirinya sudah menjadi permainan lelaki berkacamata itu. Daripada menolak, tidak sekalian saja dia mengikuti alur permainan mereka. Toh, semuanya memang sudah berjalan tidak sesuai keinginannya. Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk semuanya hancur. Tanpa ada sisa sedikitpun.

Tanpa jawaban yang keluar dari bibirnya, Alvan mendorong Aldan, membiarkan lelaki yang lebih besar darinya terduduk di sofa. Kini, biarkan Alvan memainkan perannya. Ia merendahkan tubuh, menghapus jarak di antara mereka. Bibir lembut Alvan menyentuh pipi Aldan, memberi kecupan kecil di sana sebagai permanasan, lalu turun ke bibir, menyambut bibir Aldan yang dingin. Rupanya efek minuman yang sebelumnya ditenggak membuat sensasi nikmat. Setidaknya Alvan sedikit menikmati. Tak puas hanya sebatas bibir, Alvan memberi gigitan kecil untuk memberi akses lidahnya masuk dan Aldan dengan senang hati memberikan, mencoba mengambil ahli ciuman mereka. Bukan apa, hanya saja ciuman Alvan terasa lebih lembut dan itu membuat Aldan ingin mendominasi.  Ayolah, di sini Aldan-lah yang memimpin.

Alvan sempat terengah begitu Aldan mengubah posisi duduk mereka tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Tangan besarnya dengan lihai memindahkan bokong Alvan ke pangkuannya. Bagi Aldan posisi seperti ini adalah on point, karena bibir dan pinggul mereka bersentuhan, setidaknya itu membuat dirinya hangat. Aldan terbuai, ia yang memancing dan Alvan yang terpancing benar-benar membuat Aldan lupa diri. Rasanya ia ingin mengulang malam itu saat ini juga kalau saja tidak ingat masih banyak manusia-manusia yang  berkeliaran.

Alvan melepaskan tautan terlebih dulu. Kepalanya menegadah, menarik napas sebanyak-banyaknya seolah esok oksigen sudah tidak ada di dunia. Keringat sudah mengucuri sebagian tubuh Alvan dan ia sangat membencinya. "Panas," ucapnya. Masih dengan napas yang terengah.

"Mau ke kamar Ghana?" Aldan menawarkan, bujarinya membersihkan sisa liur di sudut bibir. "Di sana nggak ada orang, jadi lebih dingin."

"Nggak usah." Alvan sudah tahu itikad buruk Aldan. Ia mengangat bokong, tetapi belum sepenuhnya terangkat Aldan sudah mendudukinya kembali. Kedua bola mata Alvan melotot. "Anjing!"

"Kenapa?" Aldan merendahkan suaranya. 

"Lo berani bayar gue berapa buat duduk dipangkuan lo?"

Sudut bibir Aldan terangkat. Jika memang Alvan bersungguh-sungguh ingin membuka harga untuk tubuhnya, saat ini juga Aldan akan memberikan berapapun yang dimaunya untuk mendapatkan tubuh Alvan. "Berapa pun yang lo mau. One night stand, oke?"

***


Entah perbincangan seperti apa yang mereka bicarakan begitu Alvan melangkahkan kaki keluar dari apartemen ini dengan penampilan yang benar-benar buruk, tatanan rambut yang sudah tidak berdiri seperti semula, lengan jas yang digulung sampai siku, kemeja dengan beberapa kancing terbuka. Alvan benar-benar tidak peduli. Lagi pula, anak-anak dari sekolah mereka datang satu jam setelahnya. Ia tertipu. Rupanya hanya ia dan Setyo yang jam undangannya lebih cepat dari yang lain. Persetan, Alvan sudah muak. 

"Eh, ada anak pelacur, ngapain di sini?"

Suara berat dari belakang membuat langkahnya terhenti.  Suara yang sudah tidak asing. Suara yang bahkan membuat dirinya lupa apa itu depresi, karena selalu terngiang-ngiang akan ucapan-ucapan tak pantas yang mengalir begitu saja dan sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Alvan.

"Kali ini dibayar berapa, hm?"

"Bukan urusan lo."

Langkah lelaki itu semakin mendekat. Bahkan hembusan napasnya sudah sampai belakang leher Alvan.  Salah satu sudut bibirnya terangkat, "Wah-wah," jemarinya bermain di wajah Alvan, mengusap perlahan pipi lelaki pendek di depannya. "Ayolah, one night stand, hm?"

Satu pukulan telak mengenai pipi. Apanya yang one night stand. Memangnya ia pelacur, seperti yang dibilang mereka. Matanya memerah dan hembusan napas semakin kencang. Seolah takdir benar-benar mempermainkan Alvan. Hidupnya benar-benar tidak bisa tenang. Andai saja ia dibekali keberanian untuk membunuh, mungkin sudah dilakukannya sejak satu tahun lalu. 

"Gue udah cukup sabar," ucap Alvan. Iris matanya menatap lelaki di hadapan dengan mantap. Kelopaknya menyipit, mengisyaratkan amarah yang sudah lama terpendam. "Seorang yang hanya bisa berdiri di belakang anak buahnya nggak pantas disebut sebagai laki-laki, dasar pengecut."

"Justru lelaki yang hebat selalu berdiri di belakang anak buah. Atau mungkin lebih pantas di singgasana kali, ya. Karena di mana-mana, yang lemah lebih dulu tumbang daripada yang kuat," ucapnya dengan lantang. 

Alvan terbahak, seolah manusia di hadapnnya sedang melakukan stand up comedy. Bagaimana mungkin bisa ucapan yang dilontarkannya itu memang benar. Alvan mengakuinya. Dan mungkin keadaanya saat ini seperti itu. Alvan dengan golongan terendah yang bebas ditindas oleh siapa pun. 

"Lo benar-benar terjun bebas, ya," ucap lawan bicaranya. "nggak lupa, kan, yang membuat lo jadi seperti ini siapa."

Tidak sekalipun ia ingin mengingat kejadian yang membuat hidupnya hancur.  Dan tidak sekalipun ingin menyalahkan pihak-pihak tersebut. Mungkin memang takdirnya ingin Alvan menjadi mengerti jika sudah terikat dengan sesuatu, mau berpura-pura buta dan tuli pun ia harus menghadapinya. "Ilham," suara rendahnya masih bisa tertangkap telinga.

"Apa gue harus nyahut?"

"Silahkan balas dendam sepuasnya." Alvan merentangkan kedua tangan. "Kalau memang itu bisa membuat diri lo, bahkan keluarga lo puas. Silahkan."

Ilham, lelaki iris zamrud dengan otot yang lebih besar dibanding Aldan itu terkekeh. "Nggak segampang itu Alvan-ku sayang." Lagi, langkahnya mendekat. Menurunkan kedua tangan Alvan. Jemarinya mengancingkan kemeja Alvan dengan benar. "Gue pastiin lo berada di titik terbawah dan menyebut nama gue untuk meminta pertolongan."

***

see u next week, luv.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro