07. Titik Awal
"Ini kunci lokermu, ya, Aldan," ucap Bu Nik sambil memberikan sebuah kunci kepada Aldan.
"Makasih, Bu!"
"Iya-"
"Permisi, Ibu panggil saya?" tanpa mengetuk pintu, salah satu murid langsung memasuki ke ruangannya, BK.
Bu Nik hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Ketuk dulu kan bisa, Alvan."
Tanpa dipersilahkan, Alvan duduk di sebelah Aldan. "Sama aja, Bu. Nanti ujung-ujungnya saya juga disuruh masuk."
"Saya permisi, ya, Bu." Aldan berniat bangun dari duduk karena urusannya sudah selesai. Daripada disuruh keluar oleh Bu Nik-yang ternyata guru Seni Budaya memerangkap BK-lebih baik Aldan yang berinisiatif keluar lebih dulu. Namun, suara Bu Nik membuatnya membatalkan niat.
"Kamu di sini aja, kebetulan ada yang mau saya omongin dengan kalian berdua."
Mereka berdua saling melirik lewat sudut mata masing-masing, saling memikirkan kesalahan apa yang telah mereka perbuat.
"Saya sebenarnya nggak mau ngurusin hal-hal di luar sekolah, tapi berhubung kalian berdua murid saya, mau nggak mau saya harus ikut campur, meski privasi sekalipun."
Mereka berdua bergeming, mendengarkan. Raut wajah Bu Nik yang serius membuat mereka seperti berada di dalam kantor polisi, yang akan diintrogasi. Bahkan, Alvan yang selalu menyaut jika guru BK itu bicara, sekarang tidak berani menjawab perkataannya.
Bu Nik menghela napas, "Kemarin, saya dengar pembicaraan kalian."
Mereka berdua menyernyitkan kedua alis. Pembicaraan yang mana, Bu?" tanya Alvan.
"Pembicaraan sewaktu saya menyuruh kalian berdua ke ruang guru, ingat?"
Ekspresi wajah Alvan terlihat datar. Sebenarnya, dia sudah menduga. Karena tidak mungkin Bu Nik tidak mendengar sama sekali pembicaraan mereka berdua, yang notaben berada di belakangnya, kecuali jika memang pendengaran Bu Nik di bawah rata-rata. Nyatanya, telinga Bu Nik tidak bermasalah sama sekali.
Aldan yang duduk di sebelahnya hanya bergeming.
"Ibu denger apa aja?" Alvan berbicara dengan intonasi yang tenang.
Bu Nik menghela napas. Punggungnya bersandar pada sandaran kursi. Meskipun masih berusia dua puluh enam tahun, namun kerutan di dahinya sudah terlihat. "Pelanggaran kamu sudah lebih dari cukup, Alvan. Saya harap, apa yang saya dengar ini hanya pembicaraan senda gurau kalian."
Aldan yang mendengarkan, hanya bisa berspekulasi, bahwa Alvan adalah siswa berandal yang senang sekali mencari masalah, seperti bad boy pada tokoh utama buku yang sering Shinta ceritakan. "Maaf, Bu, itu cuma kesalahpahaman aja," ujarnya. Walaupun Aldan yakin Bu Nik tidak langsung percaya begitu saja dengan ucapannya barusan, mengingat dia sebagai guru BK.
Bu Nik membenarkan posisi duduknya. "Kamu sudah boleh keluar, Aldan."
Aldan manut, dia bangun dari duduknya, disusul Alvan yang juga berdiri.
"Alvan, masih ada yang mau saya omongin sama kamu, jadi silahkan duduk!"
Alvan menghela napas, bokongnya kembali dijatuhkan ke kursi. "Apa lagi, Bu?"
Begitu memastikan Aldan sudah keluar dari ruangannya, Bu Nik menegakkan tubuh. sorot mata yang serius membuat Alvan juga menatap guru di hadapannya dengan tatapan yang sama. "Tolong jangan bawa masalah untuk siswa-siswa yang lainnya, Alvan!"
Hening.
Lima detik setelahnya, Alvan terkekeh. Tak habis pikir dengan pemikiran guru satunya ini, suka sekali mengurusi urusan pribadi orang lain. Meskipun dia berperan sebagai guru BK, tetapi cukup masalah yang berhubungan dengan sekolah saja yang harus dia urus, tidak perlulah masalah pribadi Alvan yang diurus. "Tenang aja, Bu. Masalah saya sama murid baru itu nggak berhubungan sama sekali dengan sekolah." kemudian bangun dari duduknya. "Saya permisi, Bu."
¶
Aldan berjalan di koridor kelas. Setelah dari ruang BK, dia berniat untuk mampir ke lokernya. Mungkin, untuk membersihkannya. Begitu sampai, dia membuka loker dan menemukan beberapa pucuk surat. Dahinya menyernyit, ini sudah kali kedua dia menemukan surat di tempatnya. Pertama, di kolong meja. Kedua, di loker yang akan menjadi miliknya.
Tangannya mengambil salah satu surat bewarna biru, begitu dibuka, kerutan di dahinya semakin dalam.
Enyah lo pelacur!
Isinya sama dengan apa yang dia temukan di kolong meja, kurang lebih seperti itu. Aldan membuka semua surat itu satu per satu. Apa-apaan ini? Semua surat isinya seperti itu. Risih juga lama-lama membacanya. Matanya bisa iritasi jika membaca terlalu banyak kata pelacur.
Matanya menangkap seorang siswa cupu yang sedang memasukan sesuatu ke loker, yang tidak jauh dari loker miliknya. Matanya menyipit, ternyata siswa cupu itu memasukan beberapa surat ke dalam loker. "Hei!"
Siswa itu tersentak dan menjatuhkan beberapa surat yang dipegangnya. Matanya melotot begitu Aldan datang menghampiri. Tangan kurusnya dengan gesit langsung menutup loker dan menguncinya. "M-maaf aku cuma d-di-"
"Lo kenapa?" alis Aldan menyernyit, heran dengan lelaki kerempeng di hadapannya yang terlihat gugup-oh, bahkan berkeringat dingin. Padahal dia tidak melakukan apa-apa "Gue cuma mau nanya, itu-" Aldan menunjuk lokernya yang terbuka.
"K-kalau yang i-itu aku nggak tahu, serius!"
Alis Aldan menukik tajam. Entah apa yang siswa ini bicarakan, dirinya tidak peduli,"Gue nggak ngegigit, kok." suara yang dikeluarkan terkesan dingin. "Gue cuma mau nanya, itu loker yang kebuka, di sana, sebelumnya punya siapa?"
"N-nggak tahu."
Aldan menyipitkan kedua matanya, melihat kebohobongan yang terpancar dari siswa pendek di hadapannya. "Lo pasti ta-"
"Nggak tahu!" siswa itu langsung pergi meninggalkan Aldan setelah memungut surat-surat yang tadi berjatuhan.
Semua murid di sini aneh, batinnya. Padahal, dia hanya ingin bertanya perihal surat-surat di dalam loker yang sekarang sudah resmi menjadi miliknya. Tanpa mau mengacuhkan perihal surat, Aldan kembali ke loker, mengambil semua surat di dalamnya, lalu membuang ke dalam tempat sampah plastik yang berada di sebelahnya. Kebetulan, dia mendapatkan loker di pinggir.
"Shit!"
Aldan menoleh ke sumber suara, dan mendapati Alvan yang sudah berdiri di depan loker-oh, itu bukannya loker Si Siswa Cupu barusan? Kedua alis Aldan menyernyit. Memangnya boleh satu loker dimiliki dua orang?
"Lo liat apa, sialan!"
Cih! Hanya menatapnya saja sudah mendapat semprotan. Benar-benar tempramen. Aldan tak mengacuhkan, fokusnya kembali ke loker di depannya.
Di ujung loker sana, Alvan mengambil semua surat yang berada di dalamnya, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mencari tempat sampah. Ketemu! Dan itu ada di sebelah loker Aldan.
BUK!
Alvan membantin pintu loker dengan kasar hingga Aldan menoleh lagi.
"Lo ada masalah sama gue?" Aldan bertanya dari tempatnya berdiri.
"Pede lo!" langkah Alvan mendekat. Tangannya membuang semua surat yang dipegang. Sebelum surat-surat itu masuk ke dalam tempat sampah, mata Aldan menangkap beberapa kata familiar yang akhir-akhir ini dilihatnya.
"Pelacur-"
BUK!
"Arggh!" Aldan terhuyung ke belakang begitu Alvan memukul wajahnya tiba-tiba. Rasa anyir langsung terasa, lalu dia menyentuh sudut bibir. "Apa-apaan sih lo!"
"Babi!"
"Kenapa lo pukul gue-"
BUK!
Satu pukulan di perut membuat Aldan limbung.
"Nggak usah ikut campur urusan gue, anjing!"
Aldan memegangi perut dan sudut bibirnya yang terasa perih. Dia sama sekali tak habis pikir dengan makhluk yang sedang berdiri di depannya. Menatap penuh kebencian terhadapnya. Aldan heran, padahal dia tidak melakukan apa-apa terhadap Alvan, tapi lelaki itu malah memukulnya tiba-tiba hingga bokong Aldan menyentuh keramik sekolah.
Tanpa sadar, apa yang mereka lakukan terlihat oleh salah satu murid yang langsung melaporkan kejadian itu ke Bu Nik. Lihat, rombongan guru BK dan antek-anteknya sudah terlihat. Mereka datang seperti semut, langsung berkumpul mengelilingi Aldan dan Alvan.
Bu Nik yang melihat Aldan terduduk dengan sudut bibir terluka dan Alvan yang berdiri di depannya dengan tatapan benci langsung membuat guru BK itu tahu seperti apa kejadiannya.
"Alvan , silahkan kamu ke ruang saya!"
Alvan berdecih, matanya memelototi murid-murid yang memandanginya dengan kepo, "Nggak usah lihat-lihat gue, dasar muka dua!"
"Alvan!" Bu Nik membentak Alvan yang sama sekali tak dihiraukan olehnya.
"Lo, lo, lo semua muka dua. Bajingan sialan yang bener-bener bajingan. Puas ngerecokin hidup gue, hah?!" Alvan menatap nyalang satu per satu murid yang berkumpul, tatapan menantangi tercetak jelas di sana. "Sampai lo seret anak baru buat ngerecokin hidup gue? Pengecut lo!"
"Alvan! Cepat ke ruangan saya!"
Ucapan Bu Nik bagaikan angin lalu, Alvan sama sekali tidak peduli dengan perkataan guru sok ikut campur itu. Meskipun begitu, Alvan melangkahkan kakinya dari kerumunan orang-orang, entah ke mana, asalkan bukan ke ruang BK.
Mereka pikir dengan gertakan Bu Nik bisa membuat Alvan patuh? Nyatanya tidak! Mereka semua penjilat.
"Alvan!"
Sang empunya nama tak menoleh, ia terus melangkahkan kakinya sampai orang yang memanggilnya itu mensejajarkan langkahnya.
"Lo nggak pa-pa?"
"Mood gue ancur."
Daffa mengangguk mengerti, "Tolong jangan ikutin amarah lo."
Alvan berdecak sebal. Lama-lama dia juga bosan mendengar temannya itu selalu mengatakan kalimat yang sama setiap dirinya ada masalah. Dan Alvan dengan bodohnya menuriti perkataan Daffa. "Kapan sih gue nggak nurutin perkataan lo?"
"Cuma mengantisipasi aja."
"Gue harap stok kesabaran gue masih ada untuk masalah selanjutnya."
"Cih! Mau aja lo nurutin dia, Van!" Setyo, yang entah datang dari mana tiba-tiba sudah mensejajarkan langkah dengan mereka berdua.
"Udah persis deh lo kayak setan. Dateng-dateng bawa hawa negatif!" celetuk Daffa.
Setyo memutar kedua bola matanya malas. Perkataan Daffa seolah-olah dialah yang menjadi tokoh antagonisnya di sini. Padahal, dia hanya berbicara sesuai kenyataan. "Bisa nggak lo berpikir secara realita? Kita hidup di Jakarta, di mana semuanya saling bersaing satu sama lain untuk merebut tahta tertinggi. Dan di sini, lo malah nyuruh kita ngalah?" Setyo menyeringai, "Wake up, dude, ini bukan sinetron!"
"Bisa nggak lo bersikap lebih dewasa, sedikit aja? Jangan kayak bocah!"
Setyo terbahak, ada-ada saja teman satunya itu. Bersikap dewasa? Ayolah, bisa tidak menikmati masa-masa SMA tanpa perlu embel-embek sok dewasa? "Umur lo berapa sih, Daf? Dua puluh lima?"
"Tolol! Dewasa nggak harus dilihat dari umur-"
Setyo memotong, "Tepat! Bersikap bocah juga nggak harus lihat umur."
"Lo nggak ngerti apa-apa, Yo."
"Udah tahu gue nggak ngerti apa-apa, tapi lo nyuruh gue buat bersikap seolah-olah gue ngerti apa yang lo ngerti?" Setyo menggeleng, "Egois!"
Alvan yang sedari tadi mendengar perdebatan mereka berdua sama sekali tidak berniat menengahi. Alvan pikir, Daffa sudah cukup dewasa untuk menangani masalah sepele macam ini.
"Sebenernya...," Setyo melirik Daffa. "apa yang lo sembunyiin?"
Daffa bergeming. Alvan menatap Daffa di sebelahnya. Perkataan Setyo ada benarnya juga. Kenapa dia sama sekali tidak kepikiran jika Daffa bisa saja menyembunyikan sesuatu dari mereka, entah apa itu. Yang Alvan yakin, jika memang prasangka Setyo benar, sesuatu itu pasti berhungan dengan musuhnya, juga mungkin dirinya (?)
"Gue nggak nyembunyiin apa-apa."
Setyo tertawa sinis, "Lo cocok banget jadi aktor yang main di sinetron picisan!"
Alvan pusing. Padahal, di sini dialah yang mempunyai masalah menonjol, tapi mengapa dua temannya yang beradu mulut?
Memutar kedua bola matanya malas, Alvan melanjutkan langkahnya, meninggalkan kedua temannya yang sibuk dengan masalah mereka masing-masing tanpa berniat melerai. Lagi pula untuk apa? Alvan yakin, Daffa sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah sepele macam ini.
Masalah di hidupnya sudah banyak, untuk apa dia ikut campur dalam masalah orang lain? Perihal Daffa yang menyembunyikan sesuatu atau tidak pun Alvan sama sekali tidak peduli-
BUK!
"Anjing!" Alvan terhuyung ke depan karena seseorang dengan sengaja menabrak badannya. Begitu melihat siapa yang menabraknya, Alvan melanjutkan perkataannya, "Eh, Jongos, kalau jalan lihat-lihat, bangsat!"
Siswa yang menabraknya tertawa merendahkan, "Oh, Si Acur lagi PMS?"
Tak mau kalah, Alvan tertawa sinis, "Alah, jongos aja belagu! Dikasih makan apa sih sama bos lo sampai nurut kayak anjing begini?"
Siswa itu sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan Alvan. Dia malah menambahkan, "Bacot anak pelacur mah bebas-"
BUK!
Satu pukulan berhasil mendarat mulus di perut siswa itu hingga dia meringis. Alvan tidak akan mungkin mulai memukul jika orang itu hanya mengusiknya dengan perkataan, tapi jika sudah membawa orang tua, Alvan tidak akan sungkan untuk memukulnya, atau mungkin membunuhnya, jika ia tidak ingat dosa.
"Lo lebih rendah dari pelacur, bangsat!"
"Oh, ya?"
Alvan mendorong siswa itu untuk menyingkir dari hadapannya. Dia mendekati salah satu teman siswa itu yang sedang asik menyandar di tembok, menonton mereka, lalu menarik kerah seragam lelaki di hadapannya. "Mau sampai kapan berlindung di belakang jongos-jongos lo, hah?"
Lelaki dengan potongan rambut belah pinggir itu menyeringai, "Kalau udah nggak tahan, kenapa nggak lo duluan yang maju?"
"Bajingan!" Alvan melepas cengkraman pada kerah seragam lelaki di hadapannya dengan kasar. "Dasar pengecut!"
Lelaki itu terkekeh, "Mending gue, daripada lo, maho!"
Alvan terbahak sekencang mungkin. Beruntung koridor sedang sepi jadi dia bisa leluasa bertindak. Ah, tolong ingatkan jika Alvan tidak pernah melihat suasana jika bertindak. "Setidaknya gue nggak sebiadab lo!"
"Pft, omongan lo sok bener, dasar pelacur-"
BUK!
"Alvan!"
Tepat setelah pukulan mendarat di rahang lelaki itu, Alvan menoleh dan menatap sinis pada guru di belakangannya. Lama-lama muak melihat guru BK itu selalu datang di saat dirinya sedang atau sudah memukul seseorang. Di matanya, Alvan selalu menjadi pihak banjingan yang selalu menindas orang lain.
"Saya menyuruh kamu untuk ke ruangan saya!"
Alvan berdecih. Berbalik, dan melewati Bu Nik dengan tak acuh. Dia berniat untuk pulang saja. Tidak ada artinya juga dia sekolah kalau berujung hanya disuruh keluar masuk ruang BK. Membuang tenaga. Lebih baik tidur di atas ranjang kesayangan, sudah jelas ada manfaatnya.
"Saya pastikan ibumu mendapat teguran secara langsung dari kepala yayasan jika kamu tidak ke ruangan saya sekarang!"
Langkah Alvan berhenti, "Cih!" terpaksa, niat berbolos harus diurungkan. Menyelesaikan masalah dengan Bu Nik hanya membuang-buang waktu. Karena apa yang terucap dari mulutnya tidak akan pernah dipercaya oleh gurunya itu.
¶_¶
Setelah pulang sekolah, Aldan meminta Ghana untuk datang ke rumahnya. Dia ingin sekali meminta solusi dari tantangan Fabian. Semula, Aldan sempat melupakan tantangan itu. Namun, begitu Fabian membahasnya selama perjalanan pulang, pikiran Aldan menjadi tak karuan. Entah kenapa sekarang dia menyesal telah menyetujui tantangan dari kakaknya.
TING TONG
Aldan bangkit dari sofa dan bergegas membuka pintu.
"Selamat siang. Saya dari jasa 'Anda bercerita, kami bersolusi' siap membantu Anda menghadapi masalah-"
Aldan menendang kaki Ghana hingga dia meringis. "Banyak gaya!"
"Sakit, Mas Bro."
Aldan berjalan kembali ke arah sofa, dan membiarkan Ghana menutup pintu rumahnya. Begitu mereka duduk, Ghana menenggak habis minuman yang ada di atas meja. Aldan hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan temannya.
"Ah, by the way, nyokap bokap lo ke mana?"
"Di kamar."
Ghana ber'oh' ria. Punggungnya dibiarkan menyandaran pada badan sofa. "Jadi, lo mau cerita apa?"
Aldan menatap Ghana sekilas sebelum bercerita, kemudian helaan napas keluar dari mulutnya, "Fabian ngasih gue tantangan ... dan dengan tololnya gue terima."
Ghana membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. "Emang tantangannya apa?"
Kini giliran Aldan yang menyandar pada badan sofa, jarinya memijit pangkal hidung. "Masa gue disuruh pacaran sama cowok. Gila, 'kan?"
Butuh waktu beberapa detik untuk Ghana menyerap perkataan Aldan, di detik berikutnya dia terbahak. Aldan menyernyit, entah apa yang lucu dari perkataannya sehingga temannya itu tertawa. "Gila! Tantangannya anti-manstream banget. Gue kasih lima-eh, empat jempol kalau lo bisa ngejalanin tuh tantangan."
Aldan berdecak sebal. Dia menyuruh Ghana untuk datang ke rumahnya karena berharap teman satunya itu bisa memberikan solusi. "Bahkan dia akan kabulin tiga permintaan kalau gue berhasil ngelakuin tantangannya."
Tawa Ghana berhenti. Dia baru tahu kalau Fabian bisa senekat itu memberikan tantangan. Bagaimana jika Aldan berhasil, lalu dia meminta hadiah di luar ekspetasi, misalnya penthouse (?) Apakah Fabian mampu?
"Jadi gimana?"
Dahi Ghana berkerut, "Apanya yang gimana?"
Lagi, Aldan berdecak, "Kasih gue solusi."
Ghana mengusap-ngusap dagunya, berpikir, "Berapa lama?" Aldan menyernyitkan kedua alisnya. Melihat ekspresi temannya itu, Ghana rasa Aldan belum paham ke arah mana perkataannya, "Berapa lama kalian harus pacaran?" lanjutnya.
"Empat bulan."
Ghana bergeming. Empat bulan termasuk waktu yang sangat lama untuk sebuah tantangan. Apalagi untuk seorang straight seperti Aldan. "Lo udah ada target?"
"Belum."
"Kayaknya temen gue bisa bantu lo. Dia pasti mau jadi pacar pura-pura-"
"Cowoknya itu murid dari sekolah baru gue."
"Hah?" Ghana menganga, "Kalau itu mah lo cari sendiri." Aldan menoyor kepala Ghana. "Sialan!"
"Gue nyesel terima tantangannya."
"Makanya, sebelum terima, minimal lo minta waktulah buat pikir-pikir. Masalahnya ...."
Aldan menatap Ghana, membiarkan temannya itu menyelesaikan kalimatnya.
"Ini masalah hati, Mas Bro."
Aldan menyernyit, tidak mengerti dengan perkataan Ghana. Apanya yang masalah hati?
"Begini," Ghana membenarkan posisi duduknya supaya berhadapan dengan Aldan yang duduk di sebelahnya. "Hal pertama yang harus lo lakuin adalah cari tahu siapa siswa di sekolah baru lo yang mau diajakin homoan-oke, itu bahasa kasarnya.
"Pertanyaannya, ada nggak cowok straight yang mau diajak homoan sama cowok straight lainnya?"
"Nggaklah."
"Nah, jadi lo harus nyari yang pure gay. Masalahnya, lo tega nyakitin hati orang lain?"
Kerutan di dahi Aldan cukup untuk memberitahu Ghana kalau temannya itu sama sekali tidak mengerti. "Gue nggak ngerti apa yang lo omongin."
Ghana mengusap wajahnya dengan kasar. "Intinya, kalau yakin mau ngejalanin tantangan fabian, lo harus terima konsekuensinya. Dah, itu aja!"
"Nggak perlu dikasih tahu gue juga udah paham."
Ghana mengacungkan ibujarinya. "Good luck, Mas Bro. Semoga iman lo nggak goyah!"
Aldan mendengus, "Nggak akan."
"Ah, iya, satu lagi."
Dahi Aldan berkerut, "Apa?"
Ghana memberi gestur untuk Aldan mendekat dengan jari telunjuknya, kemudian dia berbisik, "Mau tau aja atau mau tau banget?"
"Sialan!"
*****
Mohon maaf lahir dan batin, ya. Lebaran tinggal menghitung hari. Semoga puasa dan perbuatan baik kalian selama ramadhan diterima oleh Yang Maha Kuasa, Aamiin!
Cek status saya, yuk. Sekalian isi survey. Btw, saya nggak akan update 1-3/4 minggu ke depan. Banyak yang mau saya urusin di RL dan DUMAY. Udah mulai sepi juga ini.
Ann | 20/06/17
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro