Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06. Masih Ingat?

"Dan, please, gece!" Fabian terlihat frustrasi karena melihat adiknya yang masih berleha-leha di atas sofa. Lihat! Bahkan dengan nyamannya dia memejamkan mata. "Ayah! Semalam Aldan-mmph!"

Aldan yang semula masih merebahkan diri di atas sofa, langsung bangun dan membekap mulut Fabian. Kepalanya pusing karena pergerakan yang tiba-tiba. Sial! Semalam Aldan memang pulang dini hari karena sempat tertidur dan begitu terbangun, sudah tiba di depan pagar rumahnya. Terima kasihlah kepada Ghana yang setia mengantar, bahkan menungguinya sampai terbangun.

Semula, Aldan berpikir jika dia sudah aman dari Gio, secara kedua orang tuanya itu pasti sudah tertidur lelap. Begitu masuk ke rumah, tiba-tiba saja Fabian nongol dari arah dapur dan melihatnya dengan penampilan yang acak-acakan: salah satu lengan bajunya dibiarkan menutupi sampai pergelangan tangan sedangkan yang lainnya tergulung sampai siku, ditambah dengan rambut super acak-acakan ala orang bangun tidur. Fabian yang sudah mengetahui busuknya kelakuan Aldan, langsung mengira kalau Aldan kembali lagi ke klub dan tidur dengan perempuan-perempuannya.

Aldan membantah tuduhan Fabian yang bilang kalau dia tidur dengan perempuan. Jelas, karena dia tidur dengan lelaki. Tentu, dia tak sebodoh itu berkata jujur kepada kakaknya. Beruntung, kakaknya itu bersedia tutup mulut. "Mau gue sumpel pakai sempak, lo!"

Fabian melepaskan telapak tangan Aldan dari mulutnya. "Gue ada kelas pagi. Dan lo malah asik rebahan, sialan!"

"Bacot!" Aldan memakai tas, mengambil sepatu dan menentengnya. "Gue pake sepatu di mobil aja." lalu berjalan menghampiri mobil Fabian dan masuk terlebih dulu.

"Heh, adik kurang ajar!" Fabian menyusulnya, lalu duduk di belakang kemudi. Begitu menoleh, dia mendapati Aldan tertidur dengan jaket yang menutupi sebagian wajah dan badannya

Karena iseng, Fabian mengambil ponsel, lalu membuka aplikasi kamera. Begitu tangannya menyentuh wajah Aldan-membenarkan posisi wajahnya supaya Fabian tidak repot-repot bangun dari duduknya-sang empu wajah langsung menahan tangan kakaknya itu. "Jangan ganggu macan kalau lagi tidur," katanya dengan mata terpejam, lalu menepis tangan kakaknya itu dengan kasar.

Fabian meringis, "Tenaga lo boleh juga." gagal sudah memfoto sang adik tercinta yang sedang tidur di dalam mobilnya. Fabian menaruh ponsel di dashboard dan menjalankan mobil.

"Masih untung gue nggak berubah jadi singa. Kalau sampai berubah, habis lo!"

¶_¶


Dengan alasan tidak enak badan, Aldan menitip absen pada Darren untuk tidak mengikuti jam pelajaran pertama. Setelah lelaki berbandana itu setuju, Aldan langsung menuju UKS. Beruntunglah ternyata UKS sedang sepi. Berjalan menuju bangsal, Aldan merebahkan tubuhnya di atas sana. Dia melepas kacamata, lalu meletakkannya di atas nakas.

Aldan memiringkan tubuh menghadap tembok, matanya terpejam, lalu jatuh ke alam mimpi.

Mungkin sekitar empat puluh menit, atau mungkin enam puluh menit (?) Aldan tertidur, lalu terbangun karena mendengar suara orang bernyanyi. Alisnya menyernyit, masih dalam keadaan terpejam. Aldan mengingat, apakah UKS sudah berubah menjadi kamar mandi? Mengingat ada seseorang yang bernyanyi, yang Aldan akui suaranya lumayan bagus.

Begitu berbalik, dia mendapati makhluk berbandana sedang duduk memunggunginya di samping bangsal dengan telinga tertutup earphone. Aldan berniat mengambil kacamatanya di atas nakas, tepat di sebelah Darren terduduk. Oh, bahkan kursinya menyentuh kaki nakas. Begitu tangannya terulur, Darren tersentak kaget. Dia bangkit dari duduknya dan menjauh dari bangsal. Earphone yang semula menutupi telinganya, kini sudah bertengger di leher.

"Alamak! Gue kira lo setan!"

Aldan memakai kacamata. "Ngapain lo di sini?" alih-alih menghiraukan Darren, Aldan malah balik bertanya.

"Mau bangunin lo. Soalnya lo dipanggil Bu Muna ke ruang guru." Darren kembali mendekat.

"Ngapain?"

Darren mengendikkan bahunya, "Gece, Bang. Bu Muna nggak suka nunggu, lho, for your information."

"Iya."

"Mau bareng ke kelas nggak?"

"Nggak. Lo duluan aja."

"Oke!" Darren berjalan keluar meninggalkan Aldan.

Sebelum memenuhi panggilan Bu Muna, Aldan mampir ke toilet terlebih dahulu. Begitu masuk, Aldan mendapati Alvan yang sedang mencuci muka.

Ah, kalau melihat Alvan dia jadi teringat kejadian semalam. Apakah Alvan mengingatnya? Masih sangat melekat di otak betapa erotis suara desahan alvan, ditambah ekspresi yang mengatakan bahwa sentuhannya terasa nikmat. Apalagi lubang Alvan yang terasa sangat sempit, juga yang mencengkram penisnya dengan erat.

Aldan menyadari sesuatu yang tidak nyaman di bagian pinggul ke bawah. Begitu dia melihat selangkangannya, matanya terbelalak kaget. Anjrit. Gue horny! Aldan menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan pikirannya tentang kejadian semalam bersama Alvan.

Demi apa pun, Aldan tidak pernah menyangka ataupun membayangkan berhubungan badan dengan lelaki yang rasanya ... tidak terlalu buruk.

Terlintas suatu ide di dalam kepala, dia menyeringai, rasanya mengerjai teman sebangkunya itu tak masalah. Aldan berdiri di sebelah Alvan, mencuci tangannya.

Sedangkan Alvan sudah selesai mencuci muka dan mengelap dengan handuk kecil yang dilingkarkan pada lehernya. Dia menatap cermin di hadapannya, "Kenapa lo?"

Aldan tersentak. "Apa?"

"Lo gila? Senyum-senyum sendiri."

Ah, terlihat, ya? Aldan semakin melebarkan seringai. Alvan yang melihatnya hanya bersikap tak acuh, mungkin saja orang yang duduk satu meja dengannya di kelas itu sedang kerasukan jin.

Alvan berbalik, hendak berjalan keluar toilet kalau saja lengannya tak ditahan oleh manusia aneh berkacamata. Pandangan malas dilontarkan untuk Aldan, "Ada urusan?"

Aldan memutus jarak tubuh mereka hingga menyisakan beberapa senti saja, tak luput dengan seringai yang tak kunjung luntur. Alvan bergidik dibuatnya. "Masih inget nggak?" entah untuk alasan apa, Aldan benar-benar ingin Alvan tahu bahwa dialah yang semalam membuat Alvan ejakulasi tiga kali.

"Waras lo?" Alvan menggeleng, tak habis pikir dengan lelaki di hadapannya yang bersikap seolah mereka itu saling mengenal. "Nyampah tahu nggak lo di sini!" Alvan mendorong tubuh Aldan, namun yang didapat malah lingkaran tangan Aldan di pinggangnya. Alvan terbelalak, nyaris tak percaya dengan perlakuan makhluk di hadapannya saat ini. Alvan risih, diperlakukan seperti ini membuatnya teringat akan kejadian tololnya tadi malam. "Lo ngapain, anjing!"

Aldan semakin merapatkan tubuhnya, jarak wajah mereka hanya terpaut beberapa sentimeter saja. Sekali lagi mendekat dipastikan mereka sudah berciuman. Alvan membuang wajahnya ke samping, menghindari tatapan berlapis lensa bening dari orang yang memeluknya-anggaplah saja seperti itu.

Aldan menyibak kerah seragam Alvan, "Sialan, lo ngapa-"

"Oh, udah biru, ya?" Alvan melotot, kini matanya menatap mata Aldan. Sorot terkejut tak dapat dihindarkan. Bagaimana dia bisa tahu kalau terdapat tanda bekas gigitan dari lelaki brengsek yang menganggapnya pelacur. Sialan! Alvan benci jika mengingat hal itu. Ditinggalkan dengan beberapa ratus uang, membuat harga dirinya benar-benar terbuang.

Alvan menepis tangan Aldan, lalu membenarkan kerah seragamnya. "Sekarang jamnya guru killer, kalau lo lupa!" Alvan mengingatkan, yang sebenarnya sangat tidak penting bagi mereka berdua. Itu hanya supaya Aldan lepas darinya, juga demi kesehatan jantungnya. Entah kenapa, berada di posisi seperti ini membuat jantungnya berdetak tak menentu, seperti ingin melompat keluar.

"Ngomong-ngomong, gigi gue tajem juga, ya?"

Hah? Sejak kapan pembicaraan mereka sampai ke gigi? Oh, tolong ingatkan Alvan jika sedari tadi tidak ada obrolan berarti di antara mereka. "Lo tuh nggak jelas, tau nggak?"

"Jelas, kok." Aldan kembali menyibak kerah seragam Alvan hingga memerlihatkan lagi bekas gigitan yang dia lakukan tadi malam, lalu kembali menggigit leher Alvan, tepat pada gigitan sebelumnya.

"Shit! Lo ngapain?" dengan segenap kekuatan, dia mendorong Aldan yang hanya berakhir sia-sia. Pelukannya semakin erat hingga Alvan meringis karena kekurangan oksigen. Posisi saat ini benar-benar semakin mengingatkannya dengan kejadian tadi malam. Benar-benar sama persis.

Aldan melepaskan gigitan, tapi tidak dengan pelukan. "Lo bener-bener nggak ingat?"

Alvan menahan napasnya karena wajah Aldan benar-benar sangat dekat. Sedikit menjauh, lalu, "Gue nggak-"

"Yang semalam, ingat?"

Alis Alvan berkerut. Apa yang dia lakukan dengan Aldan tadi malam? Bertemu dengannya pun tidak-

"Tadi malam, di toilet klub, lo sama gue-"

Entah kekuatan dari mana, Alvan sudah mendorong tubuh Aldan menjauh sebelum menyelesaikan kalimatnya. "Lo...." lidahnya benar-benar kelu begitu mendapati kenyataan yang sebenarnya: bahwa Aldanlah lelaki yang tadi malam melakukan seks dengannya. Juga, orang yang memerlakukannya layaknya seorang pelacur.

"Udah ingat?"

Alvan tertawa miris. Dunia memang sempit. Dari sekian banyak lelaki, kenapa harus dia yang menjadi partner seksnya tadi malam. Dan bodohnya dia sama sekali tak mengenali Aldan. Sial! "Lo yang semalem ngentot sama gue?"

Aldan meringis mendengar bahasa Alvan yang vulgar. "Bisa tolong dihalusin bahasa lo?"

Alvan tertawa, "Sama aja, 'kan?" dia mengeluarkan dompet dan melemparkan beberapa lembar uang dengan nominal sama seperti apa yang Aldan berikan tadi malam. "Gue bukan pelacur!" lalu pergi meninggalkan Aldan yang bergeming.

Beberapa detik setelahnya, Aldan terkekeh, merasakan harga dirinya jatuh dilempari uang seperti itu oleh seorang yang bilang, bahwa dirinya bukan pelacur (?)

"Ngapain lo diem di situ sambil lihatin duit?"

Aldan menoleh dan mendapati siswa asing yang tiba-tiba masuk ke dalam toilet. Ia berjalan mendekati siswa itu. "Lo mau duit?" ekspresi lelaki di hadapannya terlihat bingung. Tanpa perlu menunggu jawaban, Aldan melanjutkan, "Ambil aja. Sorry, kalau berserakan di lantai. Dan, itu asli, kok!" menepuk pelan bahu siswa di hadapannya, lalu beranjak keluar dari toilet.

Begitu langkahnya sudah sampai di depan kelas, Aldan melihat Bu Nik, guru Seni Budaya, yang sedang menjewer telinga Alvan.

"Kamu, Anak Baru, sini!" kata Bu Nik begitu menunjuk dirinya.

Aldan manut, dia memasuki kelas, baru saja ingin membuka suara, tapi jemari Bu Nik dengan sigap menjewer telinganya. Aldan meringis. Selama tujuh belas tahun hidup di dunia, Bu Niklah wanita pertama yang berani menjewer telinganya. Shira sendiri tidak pernah memerlakukan anaknya secara fisik. Biar itu yang menjadi tugas sang suami.

"Kalian berdua dari mana?"

Alvan meringis, "Lepasin dulu, Bu, baru saya jawab!"

"Kamu ini, jawab tinggal jawab!"

"Yaudah, Ibu juga lepas tinggal lepas."

"Kamu, nyaut aja kalau guru ngomong!"

"Kalau saya diem, nanti Ibu kitati saya cuekin!"

Sebelum melepaskan jewerannya di telinga Alvan, Bu Nik menjewer telinga Alvan lebih kencang hingga mengaduh. "Push up lima puluh kali!"

"Astaga, banyak amat!"

"Mau nambah?"

"Nggak, Bu, makasih!" Alvan segera melaksanankan hukumannya.

Selagi Alvan push up, perhatian Bu Nik berpindah kepada Aldan, melepaskan tangannya dari telinga Aldan. "Kamu push up tiga puluh kali!"

"Ibu curang, masa saya disuruh push up lima puluh kali sedangkan Si Brengsek-"

"Alvan! Enam puluh kali push up!" Bu Nik bertolak pinggang. "Bahasa kamu itu dari dulu nggak pernah dirubah!"

Alvan berdecak dalam push up nya, "Bawaan lahir, Bu."

Bu Nik menggeleng-gelengkan kepala. Kelakuan anak didik satunya ini sama sekali tidak baik. Jika saja tak ingat nasihat dari Ketua Yayasan, mungkin manusia seperti Alvan sudah dikeluarkan oleh pihak sekolah. Sudah berapa kali para guru rapat dengan Kepala Sekolah, mendiskusikan masalah Alvan dan beberapa pelanggaran yang dirasa cukup sekali untuk mengirimkan surat drop out padanya. Sayangnya, peran kepala sekolah tidak ada apa-apanya untuk siswanya itu. "Alvan, setelah selesai dengan hukuman kamu, tolong ke ruangan saya!"

"Sekarang aja deh, Bu!"

Bu Nik melemparkan pelototan pada Alvan.

"Iya, Bu, saya nurut!"

Aldan, yang sudah selesai dengan hukumannya, kini berdiri, memakai kacamatanya kembali, lalu mengelap telapak tangannya pada celana sekolah. "Saya udah rapih, Bu!" lapornya.

"Kamu ikut saya ke kantor."

Aldan menunjuk dirinya sendiri, "Saya?"

"Iya, kamu, tapi tunggu Alvan selesai, biar sekalian." pandangan Bu Nik kembali pada Alvan yang masih menyelesaikan push up. "Alvan, cepat!"

Alvan menjatuhkan dirinya dari push up hingga tengkurap. "Nyerah, Bu, saya capek!"

Bu Nik kembali melotot padanya, "Alvan!"

"Ibu!" Alvan menirukan suara Bu Nik yang memanggilnya.

"Kamu ini, berantem aja bisa, giliran disuruh push up malah capek. Kayak perempuan aja kamu!"

"Saya memang perempuan, Bu." Alvan masih memertahankan posisinya yang tengkurap. Murid satu kelas malah terbahak karena guyonan Alvan. Entah kenapa, setiap olahraga yang berat-berat Alvan selalu mengeluh capek, dan guru olahraga juga melontarkan kalimat sama seperti yang Bu Nik lontarkan untuknya. Dan Alvan pun akan menjawab sama halnya seperti itu.

Bu Nik menghela napas, "Oke, anggap aja saya kasih diskon untuk hukumanmu kali ini!"

Alvan langsung bangun dari tengkuranpnya. "Gitu dong, Bu. Lain kali diskon aja lagi."

"Enak aja!" Bu Nik berbalik, menatap Aldan. "Ayuk, Aldan, kita ke ruang guru. Kamu juga, Alvan!" Bu Nik menarik pergelangan tangan Alvan.

"Bu, saya udah bisa jalan, nggak usah dituntun," Alvan mencoba melepaskan tangannya, dan berhasil!

"Jangan kabur!"

"Nggak, Bu. Nih, saya di belakang Ibu."

Bu Nik hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mengurus Alvan memang tidak pernah ada habisnya. Bu Nik jalan lebih dulu, disusul Alvan dan Aldan di belakangnya. Sesekali ia menoleh pada Alvan, takut jika muridnya itu malah kabur.

"Sorry," Aldan bersuara, sangat pelan, entah pada siapa.

"Lo ngomong sama gue?" Alvan menjawab dengan intonasi seperti biasa: seperti saat ia berbicara, tinggi.

Aldan mengangguk, lalu menoleh dan mendapati Alvan yang juga sedang menoleh padanya. Ia memperlampat jalannya. "Yang semalam, gue nyelipin duit bukan karena bermaksud apa-apa. Cuma, ya, nggak enak aja ninggalin lo tanpa apa-apa."

Alvan mendengus, pandangannya terahli ke depan, "Mendingan lo tinggalin gue tanpa duit, tau nggak?" langkahnya juga menyamai Aldan.

Aldan mengangkat kedua bahu, pandangannya kembali ke depan, "Gue nggak tahu. Biasanya, gue selalu ninggalin mereka duit."

Alvan terkekeh, "Jangan samain gue dengan pelacur-pelacur lo!"

Langkah mereka berhenti begitu melihat Bu Nik yang juga berhenti dan berbalik menghadap mereka. Alvan mengeraskan rahangnya. Sial! Dia takut jika Bu Nik mendengar apa yang keluar dari mulutnya.

"Kalian berdua, kenapa malah ngobrol?"

Bel pulang sekolah sudah memperdengarkan dirinya, memberitahu kepada penghuni sekolah bahwa KBM-kegiatan belajar mengajar-sudah selesai. Alvanlah orang pertama yang keluar dari kelas-setelah guru yang mengajar jam pelajaran terakhir meninggalkan kelas. Aldan, yang duduk di sebelahnya tak mengacuhkan.

"Bang, nggak mau nongkrong dulu, gitu? Hitung-hitung nambah temen."

Aldan menoleh dan mendapati Darren yang sudah siap dengan tasnya. "Mungkin lain kali," tolaknya. Jika dulu dia selalu keluyuran sehabis pulang sekolah, bahkan jarang sekali di rumah yang laganya sudah seperti orang sibuk, tapi sekarang, entah kenapa rasanya malas sekali berkumpul, terlebih mereka orang-orang baru. Mungkin kalau teman lamanya yang mengajak, Aldan sudah menyetujuinya.

"Oke, kalau gitu gue duluan."

Aldan tak menjawab, lebih baik dia membereskan barang-barangnya. Lagi pula, Darren juga sudah pergi. Aldan mengambil buku di kolong meja, begitu terangkat, kedua alisnya menyernyit. Di sana, di kolong mejanya terdapat beberapa surat dengan warna yang berbeda-beda.

Aldan melihat sekeliling, ruang kelas sudah mulai kosong. Tangannya mengambil sepucuk surat bewarna merah, membukanya.

Lo itu penghancur!

Kerutan di dahinya semakin dalam kala mencoba mengartikan maksud dari surat itu. Karena penasaran, Aldan mengambil lagi surat berwarna putih, lalu membukanya.

Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Cetakannya aja nggak bener, pantes kalau hasilnya nggak bener!

Dasar bocah! Aldan sama sekali tidak menyangka jika di sekolah barunya masih zaman mengirim surat penghinaan macam ini. Kalau ada masalah, kenapa tidak diselesaikan secara langsung?

Aldan kembali memasukan surat-suratnya ke kolong meja. Biarkan ini menjadi masalah mereka, masalah antar siswi di sekolah ini. Mungkin, anak tingkat sebelumnya, yang duduk di tempat ini sering dibully. Dan Alvan, yang menurut pandangannya malas sekali membuka buku, tidak mungkin sempat melihat kolong meja dan membersihkan semua surat-surat ini, begitu pikir Aldan.

Tapi kenyataannya tidak begitu. Semua yang Aldan pikirkan sangat berbanding terbalik dengan kenyataan.

*****

Jangan lupa vomment, ya :))

Ann | 09/6/17

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro