Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04. Terselubung

Fabian memarkirkan mobilnya di depan gerbang SMA Bintara. Beruntung sekolah ini tidak memiliki larangan khusus 'dilarang parkir di depan gerbang' seperti tempat-tempat kebanyakan. Lagi pula, ia pun hanya sebentar, satu sampai dua menit setelahnya langsung pergi, entah ke mana: bisa ke kampus, rumah, atau mungkin nongkrong. Selama mobil tidak disita-seperti halnya motor Aldan-ia bebas.

"Inget! Tunggu gue di samping gerbang, jangan di dalam gang!"

Aldan memutar kedua bola matanya malas. Sudah beberapa kali Fabian mengulang kalimat itu, sampai kupingnya terasa panas. Dan jawaban Aldan tetap saja sama, bahwa ia mendengar suara rintihan dan inisiatif mencari sumbernya. Alih-alih mendapat dukungan, satu toyoran berhasil didapati kepalanya, plus kata-kata tidak berguna dari kakaknya, seperti, "Suara desahan, kali, bukannya rintihan. Kuping lo berubah conge gara-gara udah lama nggak denger rintihan dari selir-selir lo!"

Kala itu, Aldan hanya bisa mendengus.

"Keluar lo!"

"Siapa juga yang mau lama-lama di sini."

"Inget, jangan-"

"Iya, Kakak!" potong Aldan sebelum kakaknya itu melanjutkan kalimatnya. Sungguh, muak sekali mendengarnya berulang kali. Aldan membuka seatbeltnya, tanpa melihat spion, ia membuka pintu mobil-

BUK!

Aldan melotot begitu melihat ada siswa lain yang sedang berjalan di samping mobilnya, tepat saat dia membuka pintu mobil. "Sorry, gue nggak sengaja!"

Siswa di hadapannya berdecak sebal sambil mengusap-usap lengannya yang terkena pintu mobil. "Nggak guna, tuh, kaca spion di pasang di situ!"

"Oke, gue udah minta maaf, 'kan?"

"Nggak mutu maaf lo!"

Baik, Aldan, hadapi dengan kepala dingin. Mungkin siswa di hadapannya itu tempramental. Ya, bisa saja!

"Terserah!" Aldan paling malas meladeni orang dengan tipe tempramental. Sedikit-dikit marah, mungkin label 'senggol bacok' berlaku untuknya.

Mobil Fabian berjalan meninggalkan wilayah sekolah bertepatan saat Aldan meninggalkan siswa berlabel 'senggol bacok' ini. Langkahnya terhenti begitu siswa itu berkata, "Heh? Anak mami?"

Aldan menoleh, menatap siswa di depannya yang sedang menyeringai. "Lo ngomong sama gue?" oh, tentu! Aldan yakin ke mana arah pembicaraan siswa itu. Hanya karena di antar, lantas makhluk di hadapannya mengatainya anak mami?

Come on, guys! Bukan hanya Aldan saja yang di antar, banyak murid lain yang sepertinya: entah karena tidak bisa mengendarai mobil/motor, ataupun yang sama sepertinya: disita karena tersangka nakal. Padahal kan ia sudah tobat, beberapa hari yang lalu.

Siswa itu mengangkat kedua bahunya tak acuh, lalu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Siswa Tempramental-begitu sebutan dari Aldan-memasuki gang yang kemarin Aldan masuki. Sambil menyernyitkan kedua alisnya, Aldan berpikir, kenapa orang itu masuk ke tempat yang Aldan sendiri yakini bahwa penghuni sekolah ini sudah tahu kalau itu adalah jalan buntu? Terlebih, ini masih pagi. Bel masuk pun belum dibunyikan.

Daripada menghabiskan waktu memikirkan siswa tempramental itu, lebih baik Aldan bersantai sejenak di kantin sebelum waktu belajar dimulai. Baru saja langkahnya memasuki gerbang sekolah, seseorang dengan santai mengalungkan lengannya di leher Aldan sok akrab.

"Kantin, Bang!"

Aldan menoleh, menatap orang di sebelahnya dengan datar.

"Kenapa lo?"

"Gue lupa nama lo siapa."

PLAK!

Satu pukulan keras mendarat di belakang kepala Aldan. "Ganteng doang, tapi pelupa! Ganteng nanggung lo!"

Aldan mengeraskan rahangnya, membenarkan letak kacamata yang merosot akibat pukulan Darren. "Lo...."

"Gue Darren!" potongnya sebelum Aldan menyelesaikan kalimatnya. Remaja berbandana itu langsung menarik lengan Aldan yang disambut protesan oleh empunya. "Kantin, yuk, Bang!"

Suasana kelas XI-IPS-4 terasa sunyi dan tentram karena sedang berlangsungnya ulangan harian Matematika, walaupun sebelumnya sempat terjadi protes dari beberapa murid yang bilang bahwa ada anak pindahan yang baru masuk kemarin. Sebenarnya, bukan itu permasalahnya, tapi mayoritas murid di kelas ini memang sedang menghindari ulangan Matematika, selain susah mereka juga tidak berniat belajar. Kebetulan, karena Aldan adalah anak baru, jadilah kesempatan mereka untuk menjadikan anak baru itu sebagai senjata yang nyatanya tidak berguna sama sekali. Karena Pak Rahman tidak menerima alasan dalam bentuk apapun.

"Kerjain yang benar! Kalau ada yang dapat nilai di bawah 70, remedialnya saya jamin akan lebih susah dari ulangan hari ini!" Pak Rahman memberikan tekanan khusus pada kata tertentu.

"Emang remedialnya apaan, Pak?" Darren bertanya iseng.

"Ngerjain soal di buku paket bab 3, bagian PG semua-"

"Itu mah gampang, Pak!" potong Darren.

"Saya belum selesai, Darren!" beberapa murid tertawa karena aksi sok tahu sekaligus sok pintar Darren. Pak Rahman memberi gestur untuk mereka diam dan melanjutkan ulangannya. "Iya, PG semua, tapi pakai cara!"

"Alamak! Tega kali kau ini, Pak!" Darren memasang wajah syok yang dibuat-buat sehingga mengundang beberapa murid lainnya tertawa.

"Makanya, kerjain yang benar!"

"Siplah, Pak!" Darren kembali melihat kertas ulangannya, lalu pandangannya melirik ke siswa di seberangnya, yang bukan lain adalah Aldan. "Sst!"

Aldan menoleh dan mendapati Darren yang sedang menatapnya. "Panggil gue?"

Darren berdecak, "Panggil setan," lalu memutar kedua bola matanya, "Ya, Panggil elo lah, Bang!" suaranya dibiarkan sekecil mungkin agar Pak Rahman tidak mendengar, walupun gagal karena guru di depannya itu pasti mendengar.

"Kenapa?"

"Lo bisa ngerjain, Bang?"

"Bisa."

"Wih, lo kan anak baru!"

"Materi di sini ketinggal jauh sama sekolah gue."

"Mantap!" serasa ketiban durian runtuh, Darren benar-benar tidak salah orang untuk diajak berteman. Dari awal, ia memang sudah tahu kalau anak Baruwa itu cerdas-cerdas. Makanya, begitu Aldan menyebutkan kalau dia pindahan dari SMA Baruwa, Darren langsung mendekatinya. "Bagi-bagi ke sini lah, Bang!"

Ada beberapa hal yang membuat Darren tak ragu mendekati Aldan: pertama, Aldan pasti punya muka sewaktu di sekolahnya dulu, terbukti dari wajahnya yang tampan, juga di elu-elukan oleh para siswi di sana. Oh, jangan katakan jika Darren tidak punya muka di sekolah ini, bahkan lebih dari punya. Siapa yang tidak tahu manusia berbandana di Bintara? Hanya dia seorang yang memakainya. Tentu! Tidak ada orang waras yang memakai benda itu ke sekolah, terkecuali Darren.

Kedua, meskipun anak Baruwa terkenal dengan gaya sombongnya yang selalu tampil mewah, mereka memiliki IQ tinggi, terbukti dari beberapa lomba dan olimpiade yang sering dimenangkan SMA Baruwa. Juga, meskipun terkenal dengan sekolah anak dugem, mereka tidak benar-benar mengonsumsi alkohol, walaupun ada beberapa yang mengonsumsi.

"Gue kirim lewat LINE, berapa ID lo?" meskipun terbilang cerdas, Aldan tidak sungkan berbagi jawaban kepada siapa pun, terutama makhluk sok kenal di seberangnya.

"Darrenzionp."

Secepat kilat Aldan memfoto jawabannya dan dikirim langsung ke LINE-nya Darren. Aldan bisa menduga bahwa makhluk di sebelahnya itu tidak pernah menyentuh buku pelajaran sama sekali.

See? Senyum terukir lebar di wajah Darren begitu mengecek ponselnya. Jangan tanya seberapa besar dia senang, sudah pasti sangat senang.

"Thanks, Bang!"

"Traktir gue makan di kantin aja," Aldan berkata tanpa menatap orang di sebelahnya, tangannya masih sibuk mengisi beberapa soal lagi yang belum dikerjakan.

"Selow, Bang."

"Kayaknya kita punya dua siswa yang udah selesai terlebih dulu!" kata Pak Rahman. Perhatian semua murid kini tertuju kepada mereka berdua. Sudah dibilang 'kan kalau guru Matematika itu sudah tahu kalau Aldan dan Darren mengobrol.

"Alamak!" Darren berkata dalam hati. Secepat kilat dia menyalin jawaban Aldan. Jika sang empunya jawaban masih anteng menjawab soal ulangannya, maka Darren punya strategi sendiri: sibuk menyalin tanpa ketahuan. Caranya? Gampang! Tangan sebelah kirinya yang memegang ponsel menyentuh sandaran kursi siswa di depannya, sebisa mungkin ponsel tidak terlihat dari jangkauan guru. Hanya perlu satu menit lebih untuk menyalin jawaban Aldan, begitu selesai, tangannya diturunkan sedikit sampai menyentuh bagian terdepan meja dan badan kursi, Darren membenarkan posisi kakinya supaya terkatup, lalu menjatuhkan ponselnya dari lubang yang membatasa antara meja dan kursi temannya, setelah ponsel berhasil mendarat mulus di kakinya yang sengaja terkatup-guna membuat ponsel tidak mendarat di lantai-dia menendang pelan ponselnya ke arah bangku teman di depannya, satu colekan di punggung sudah membuat temannya itu mengerti. Begitu Pak Rahman mendekat, siswa yang duduk di depan Darren menginjak pelan ponsel yang berada di bawah bangkunya, lalu membawanya ke depan dengan sangat hati-hati.

(p.s: lebih aman dilakukan jika teman di depanmu berbadan bongsor/gede/semacamnya)

"Kumpulkan kertas ulangan kalian di depan, sekarang!" ujar Pak Rahman begitu sampai di samping meja Aldan dan Darren. Kesempatan itu dimanfaatkan siswa yang duduk di depan Darren untuk mengambil ponsel Darren dan mengantunginya di saku celana.

Aldan membawa soal beserta jawabannya ke depan meja guru dengan jawaban yang terisi penuh, sedangkan Darren tidak menjawab tiga nomer, itu karena sewaktu Aldan memberinya jawaban, ya, memang baru terisi segitu. Darren tak mau ambil pusing, yang penting sudah menjawab soal Matematika lebih dari lima saja sudah bersyukur. Setidaknya dia mendapat nilai tujuh puluh, jika memang jawaban Aldan benar semua.

Waktu ulangan masih tersisa satu jam setengah. Sebuah kemajuan bagi Darren yang notaben selalu menyelesaikan soal lewat dari waktu yang sudah ditentukan, dua jam.

Baru saja Aldan dan Darren duduk di bangkunya masing-masing, pintu kelas terbuka lebar, dan menampilkan sosok tidak manusiawi di depan pintu: baju seragam yang tidak dimasukkan-walaupun sebagian siswa di sini pun begitu-kerah compang-camping, rambut berantakan, dan keringan di wajahnya yang menandakan bahwa orang itu berlari beberapa kilometer ke sini, walaupun kenyataannya tidak begitu.

Dahi Aldan berkerut, rasa-rasanya makhluk lusuh itu orang yang ditemukannya di pagi hari, Si Siswa Tempramental.

"Maaf, Pak, saya tadi kesiangan, bangun-bangun udah jam tujuh!" katanya memberitahu, walaupun sia-sia karena Pak Rahman tidak percaya sama sekali dengan siswa di hadapannya ini.

"Push up lima puluh kali, dan skot jump tiga puluh kali, baru kamu boleh ikut ulangan!"

"Banyak banget, Pak!"

"Mau tambah?"

"Udah, segitu aja cukup!" dia meletakkan tasnya sembarang di atas meja siswi terdekat sehingga sang empunya protes. "Numpang, oke?"

"Peraturan di sini nggak ketat?" tanya Aldan, hampir berbisik entah kepada siapa. Darren yang menangkap suaranya, langsung menoleh.

"Peraturan dibuat untuk dilanggar kalau di sini, mah!" Darren menjawab pertanyaan Aldan dengan suara yang tak kalah pelannya. "Jangan kaget. Ini belum seberapa!"

Entah apa yang dimaksud Darren, yang pasti Aldan tidak peduli.

"Ngomong-ngomong," Darren menjeda kalimatnya sejenak, lalu melanjutkan, "orang yang lagi di hukum di depan, itu duduk di tempat lo!" beritahunya.

"Si Siswa Tempramental itu?"

Kedua alis Darren menyernyit, "Dari mana lo tahu kalau dia tempramental? Ah, sebenernya sih nggak tempramental."

"Tadi pagi dia nyolot gara-gara kena pintu mobil gue."

Darren hanya ber'oh' ria, lalu pandangannya kembali ke depan.

"Hah... Udah selesai, Pak! Push up, cek. Skot jump, cek!" siswa itu mengambil napas sebanyak-banyaknya."

Pak Rahman mengambil soal ulangan dan memberikannya pada anak kesayangan yang sering sekali terkena teguran dari para guru. "Kamu kerjain itu soal. Waktunya tinggal satu jam lagi!"

"Bentar, Pak, saya ngelap keringet dulu!" lengan serangamnya dijadikan sasaran lap untuk keringatnya sendiri, kemudian mengambil kertas ulangan dari tangan Pak Rahman dan tasnya. Begitu berjalan menuju tempat duduknya, di belakang, pandangan tak senang dilontarkan pada Aldan yang sekarang sedang fokus dengan ponsel.

"Oh, anak baru?" katanya begitu duduk di sebelah Aldan, tepat di pojokan.

Dilirik sekilas siswa di sampingnya, Aldan memasukkan ponsel di dalam saku celana. "Sayangnya, udah dari kemarin," katanya, lalu menoleh dan menatap orang di sebelahnya. Mereka saling bertatapan, sebelum akhirnya siswa tempramental itu memutuskan pandangan.

"Cih, sok ganteng!"

Aldan terheran-heran, alisnya berkerut, matanya masih menatap wajah di sebelahnya yang sudah berpaling. Kali ini, apa salahnya?

"Pak, anak baru ini gangguin saya!"

Hah? Apalagi kesalahannya? Jelas-jelas Aldan tidak mengganggu, bahkan menyentuhnya barang secuil pun tidak!

"Saya nggak buta, Alvan. Dia dari tadi diam di situ dan nggak nyentuh kamu sama sekali!" murid sekelas terbahak karena perilaku Alvan yang seperti anak SD, sedikit-dikit mengadu.

"Ck, Bapak kan udah tua, mungkin aja penglihatannya terganggu-"

"Alvan! Cepet kerjain soalnya dan segera dikumpul!"

"Pak, inget umur, jangan marah-marah mulu. Darah tinggi, nanti-"

"Alvan!"

"Iya-iya!"

"Makanan di kantin Baruwa enak-enak nggak?" Darren bertanya setelah kunyahan di dalam mulutnya tertelan.

"Biasa aja."

"Enakan mana sama di sini?"

Ck. Aldan ingin sekali melempar makhluk di hadapannya karena membuat napsu makannya turun dengan pertanyaan yang sangat tidak bermutu. Aldan menghela napas, "Sama aja."

"Oh, ya, kalau di-"

Aldan bangun dari duduknya.

"Mau ke mana lo?"

"Beli minum." alasan sebenarnya karena dia malas mendengar celotehan Darren.

"Minum lo masih ada tuh, Bang."

"Lagi mau minum yang lain." Aldan berjalan ke pojok kantin, menghampiri tempat yang memang khusus menjual berbagai minuman. Sebenarnya di depan tempatnya duduk juga menjual minuman, tetapi rata-rata mereka menjual minuman kaleng dan botol. Aldan melihat menu yang ditempel di etalase.

"Anak baru tuh?"

"Nggak ada niatan deketin, Ham? Siapa tahu kan cocok."

"Ambigu, njir, omongan lo!"

Aldan menajamkan pendengarannya. Meyakinkan diri kalau bukan dia yang sedang dibicarakan. Semoga anak baru di sekolah ini bukan cuma dirinya-

"Eh, anak baru, ya?"

Aldan menoleh dan mendapati siswi berambut panjang di sebelahnya. Dia tersenyum sekilas, "Iya."

Siswi itu mengulurkan tangannya, "Gue Mala. Lo?"

Aldan menjabat tangan siswi yang memperkenalkan diri sebagai Mala. "Aldan."

"Salam kenal, ya, Aldan." Mala tersenyum, lalu melepaskan jabatan tangannya. Sebagai siswi yang memiliki kulit gelap, dia terlihat sangat manis. Aldan rasa dia bukan anak kelasannya. "Oh, ya, lo anak kelas berapa?"

"XI-IPS-4."

"Gue anak XII-IPA-2."

Oh, kakak tingkat? Aldan rasa Mala bukan termasuk senior yang gila hormat. Entahlah, hawa berada di dekatnya tidak negatif.

"SKSD lo, Mal!"

Aldan menyernyit, suaranya sama seperti siswa yang baru saja menjadi tersangka menggosipkan dirinya.

"Diem lo junior pea!"

"Jaga image di depan anak baru, Senior."

"Bodo amat! Gue mah apa adanya." Mala mengalihkan pandangannya ke Aldan. "Oh, ya, lo mau pesan apa? Biar gue bayarin-"

"Nggak usah. Gue cuma mau beli air mineral doang."

"Mending bayarin minuman gue, Mal."

"Nggak sudi!" pandangan Mala terahli pada satu di antara mereka yang sedaritadi diam memperhatikan teman-temannya. "Ilham, bilangin anak buah lo, dong, jangan gangguin gue mulu. Gini-gini gue senior, lho!"

Aldan tak menghiraukan mereka. Setelah membayar minuman, dia bergegas kembali ke tempatnya, "Gue duluan," katanya yang ditujukan pada Mala.

"Oh, oke."

Setelah tiba di bangkunya, Darren bertanya pelan, "Lo suka terpengaruh nggak?"

Dahi Aldan berkerut, "Maksudnya?"

"Begini, misalnya ada orang yang ngajak lo buat masuk ke gengnya dengan iming-iming popularitas, lo mau atau nggak?" tanpa perlu Aldan jawab pun Darren sudah tahu jawabannya. Orang seperti Aldan tidak mendambakan popularitas karena dia memang sudah dikenal di berbagai khalayak. Yang dia perlu hanya satu-

"Nggak minat juga." Aldan bergidik ngeri melihat Darren tersenyum.

Darren yang menyadari perubahan ekspresi Aldan bertanya, "Kenapa lo, Bang? Ayan?"

"Senyum lo kayak penjahat kelamin."

"Eh, sialan!"

¶_¶

"Dan, di mana?" Ghana berbicara dengan seseorang di seberang ponsel. "Gue tunggu dua rumah dari rumah lo!"

"..."

"Oke, sip! Jangan lama. Lumutan nih gue!" Ghana menutup ponselnya dan memasukannya ke dalam saku celana, dia menyandarkan tubuh di mobilnya, salah satu tangan dimasukkan ke saku celana yang tidak terdapat ponsel, satunya lagi dibawa menghadap ke depan wajahnya untuk melihat arloji, yang ternyata sudah menunjukkan pukul 21.45 p.m.

"Sorry, lama!"

"Inanilahi!" Ghana tersentak begitu mendapati Aldan yang sudah berdiri di sampingnya "Ngagetin, sialan!"

"Biasanya juga nggak kaget lo!"

"Eh, Mas Bro, ini udah malem, di tambah komplek rumah lo sepi banget, udah gitu lo dateng juga nggak pake salam. Ya jangan salahin gue kalau ngira elo setan!"

"Kerenan dikit, kek, gitu. Iblis, misalnya. Biar kelihatan elit!"

"Yeee, nawar, Mas Bro?"

"Bacot! Cepetan berangkat, nanti ketahuan Fabian!"

"Heleh, tumben lo takut?"

"Bokap gue udah balik."

"Hah?"

"Udah cepet!" Aldan segera memasuki mobil Ghana tanpa izin dan duduk di sebelah bangku pengemudi, disusul Ghana yang duduk di belakang kemudi.

"Bokap lo serius udah balik?" mesin mobil mulai dinyalakan, Ghana mulai menjalankan mobilnya keluar komplek rumah Aldan.

"Kalau nggak serius, nggak bakal gue ngumpet-ngumpet begini. Lagi pula, motor juga pasti gue bawa!"

Ghana hanya ber'oh' ria, tidak ingin bertanya lebih jauh. Terhitung sejak empat tahun yang lalu mereka berteman, Ghana memang tidak pernah menanyakan hal-hal yang lebih jauh tentang urusan sahabatnya, bukan karena tidak peduli, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi orang lain. Menunggu hingga orang itu sendiri yang berbicara atau menceritakan sesuatu menjadi pilihan terbaik.

Lima belas menit kemudian, mereka sampai di tepat tujuan, sebuah klub yang sering Aldan kunjungi bersama teman-temannya, bahkan kelewat sering.

"Lo duluan aja, gue mau parkir mobil."

Aldan manut, keluar dari mobil, lalu berjalan memasuki klub. Suara musik dari dj yang sudah tidak asing lagi menyambutnya dengan keras. Tujuan Aldan adalah meja terujung dengan beberapa orang yang sangat tidak asing lagi di penglihatannya.

"Bebeb Aldan!" salah satu dari mereka, juga satu-satunya perempuan, dengan rambut hitam curly sebahu memanggil begitu melihat Aldan berjalan menghampiri, mengabaikan lelaki di sebelahnya yang berdecak sebal karena kelakuan pacarnya.

Aldan yang melihat hanya tersenyum menanggapi, sudah biasa perempuan itu memanggilnya dengan embel-embel 'bebeb' ataupun 'sayang'. Tentu, hanya sebuah gurauan belaka karena perempuan itu pun terkenal supel, terutama dengan lelaki yang punya tampang di sekolahnya, seperti Aldan.

Aldan duduk di seberang perempuan itu dan meminum minuman yang diduga milik perempuan di depannya. "Tepat, gue nggak salah ambil minuman," kata Aldan setelah menenggak setengah dari minuman Shinta. Sengaja mengambil minuman teman perempuannya itu karena dia tahu kalau Shinta tidak menyentuh Alkohol. Pacar Nino ini sangat menjaga baik kesehatannya, meskipun sering ikut clubbing bersama pacar dan teman-teman lelakinya.

"Berhenti, Bosq?" tanya Nino.

"Hm,"

"By the way, gimana sekolah barunya, Say?" giliran Shinta bertanya.

"Lumayan."

"Betah nggak? Kalau nggak betah, pindah aja lagi ke Baruwa."

Baru saja Aldan ingin buka suara, namun seseorang sudah lebih dulu menginterupsi, "Betah nggak betah, ya, mesti betah. Iya nggak, Mas Bro?"

Aldan mengangkat kedua bahunya tak acuh, membiarkan Ghana duduk di sebelahnya.

"Ada yang spesial?" tanya Ghana sembari memandang kedua manusia di hadapannya. Pasalnya, yang mengundang dirinya juga Aldan adalah mereka berdua, pasangan harmonis sejagad, begitu kata Ghana. Terdengar hiperbola, memang, tapi kenyataan benar begitu. Mereka selalu bisa mengatasi masalah tanpa ego masing-masing, Ghana salut dibuatnya.

"Nggak ada," Nino menjawab enteng. "Cuma mau ngumpul aja. Nggak seru kalau Bosq nggak ada. Bagaikan kekurangan personil kita ini," lanjut Nino mendramalisir.

"Heleh, gaya-gayan kekurangan personil. Lo kira ini boyben Korea!" Ghana menanggapi.

"Boyben-boyben amat!" seseorang lainnya menginterupsi, lalu duduk di sebelah Ghana.

"Ya ampun, doi gue manis banget!" ujar Ghana begitu matanya memandang lelaki bertopi yang baru saja duduk di sebelahnya. Lelaki dengan wajah oriental yang terlihat lebih cantik dibanding Shinta sekalipun membuat Ghana senang sekali menggodanya. Pasalnya, hanya dia seorang yang paling menonjol-dengan wajah cantik-di antara teman-teman sekolahnya yang terlihat maskulin. "Pacaran sama gue, yuk?"

"Wih, Bosq, main langsung gaspol aja lo. PDKT dulu kali," celetuk Nino.

Rama, tersangka lelaki cantik itu berdecih, "Nggak sudi, ya, gue."

Ghana merangkul Rama, membawa bujarinya ke depan bibir lelaki bertopi itu yang langsung segera ditepis sebelum mendarat di bibirnya. Sering diperlakukan seperti ini dengan Ghana membuat Rama kebal, kadang ia juga membiarkan Ghana bermain dengan beberapa anggota tubuhnya yang terbuka.

"Jangan ditepis, dong." Ghana merajuk.

"Lo halalin dulu tuh, baru deh Rama mau di grepe-grepe sama lo!"

"Edan!" ujar Rama. "Lo dulu deh, baru gue, gimana?"

"Demen banget yang bekasan!"

Aldan hanya tertawa kecil melihat gurauan teman-temannya itu. Menjadi hiburan tersendiri kalau sudah melihat drama cinta segitiga dari mereka. Jika sudah begitu, Aldan hanya mengamati sebagai penonton, tidak berniat ikut campur yang malah akan berubah menjadi cinta segiempat.

Aldan bangun dari duduknya, "Gue mau ke toilet." teman-temannya mengangguk, entah kenapa sudah biasa dengan perkataan Aldan yang izin ke toilet walaupun sebenarnya ia hanya mencari tempat duduk lain, lalu melihat orang-orang yang asik bergoyang.

Saat menelusuri ruangan yang penuh dengan para manusia, Aldan dikagetkan dengan seseorang yang menyentuh bahunya. Begitu menoleh, sebuah ciuman mendarat tepat di bibirnya. Yang lebih dikagetkan lagi, orang itu adalah lelaki yang saat ini sudah tidak asing lagi di penglihatannya.

"I want more,"

****

Oke sip! Chapter depan saya private. Kenapa? Karena lanjutan dari chapter ini. And-

-silahkan vomment😁

Oiya, karena minggu depan udah puasa, saya update setelah buka atau tarawih 👌

NOTE: Cerita ini pindah genre ke GENERAL FICTION. Setelah saya telusuri cerita saya keseluruhan ternyata nggak cocok di teenfic, fyi

Ann | 26/5/17

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro