03. Sekolah Baru
"Nah!" Shira memakaikan kacamata kepada Aldan. "Udah ganteng anak Mama!"
Aldan tersenyum paksa, "Aldan emang ganteng, Ma."
"Najis!" sela Fabian.
"Sirik?"
"Gue sirik sama lo?" Fabian tertawa, "Haram!" lalu mengambil sepatunya di rak sepatu yang diletakkan di belakang pintu rumah.
"Masih pagi udah adu mulut aja kalian!" Shira menengahi, "Cepetan kalian berangkat, nanti terlambat!"
Fabian pamit lebih dulu pada Shira, lalu keluar meninggalkan Aldan yang sedang memasang sepatunya. "Lama, astaga!"
"Berisik!"
"Gue ada kuliah pagi, Bocah!" Fabian memasuki mobil lebih dulu sambil memanaskan mesin mobilnya. "Tinggal, ah!"
Aldan mengacungkan jari tengah ke arah Fabian. Sebelum menyusul sang kakak, ia mencium punggung tangan ibunya. "Aldan berangkat, ya, Ma."
Shira mengelus surai hitam Aldan. "Iya, hati-hati!"
Aldan menghampiri mobil hitam milik Fabian. Remaja berkacamata itu membuka dan menutup pintu mobil milik kakaknya dengan kasar.
Fabian berdecak, "Pelan-pelan dong. Belum lunas nih mobil!"
"Berisik! Cepetan jalan. Tadi katanya lo ada kuliah pagi, 'kan?"
Tidak mengubris omongan Aldan, dia memasang seat belt. "Pake seat beltnya."
"Tanpa lo ngomong juga pasti gue pasang!"
Fabian menjalankan mobil menuju sekolah baru adiknya. Selama perjalanan, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara, hanya lagu dari radio yang Aldan putar untuk menemani perjalanan mereka demi mengusir keheningan. Setidaknya ini lebih baik daripada memancing Fabian berbicara. Jika dirinya berbicara sedikit saja, manusia yang duduk di belakang setir itu pasti langsung berbicara panjang lebar, entah apa topiknya.
Dua puluh lima menit setelahnya, mereka sudah sampai di depan gerbang SMA Bina Nusantara. Namun, Aldan enggan untuk turun dari mobil. Lengannya bersandar pada kaca mobil, tatapannya jatuh pada murid-murid berseragam putih abu-abu yang berlalu lalang memasuki gerbang sekolah, lalu berakhir pada lingkungan sekitarnya.
"Sebelas banding lima belas," gumamnya, "Buruk."
"Salah sendiri. Siapa suruh nakal!"
See? Apakah tadi Aldan mengajak kakaknya itu berbicara? Tidak!
"Nggak usah mulai, gue lagi nggak mood!"
"Oke. Gue punya tantangan biar mood lo bagus!"
Aldan memutar kedua bola matanya malas.
"Well, anggap aja ini hiburan."
"Guna nggak?"
"Gunalah! Gue juga bakal turutin tiga keinginan lo, apa pun itu, kalau berhasil!"
Tertarik, Aldan menoleh, menatap Fabian yang juga sedang menatapnya. "Apa?"
Seringai terpampang di wajah mulus Fabian, "Gue kasih tantangan, lo harus pacaran dengan siswa di sekolah ini selama empat bulan. Deal?"
Aldan melebarkan kedua kelopak matanya. Badannya dengan refleks menghadap ke arah sang kakak, "Lo waras?!" tangannya menyentuh kening Fabian yang langsung segera ditepis.
"Apa-apaan sih!"
"Lo yang apa-apaan!" tangannya membuka seat belt dengan kasar. "Lo mau gue nge-homo?!"
"Oh, atau lo emang homo?"
"Apa maksud lo?"
Fabian mengendikkan kedua bahunya, "Biasanya kalau orang homo, ya, begitu reaksinya. Karena mereka takut ketahuan kalau orientasinya men-"
"Deal!" putus Aldan sebelum kakaknya itu mengoceh lebih panjang lagi.
Seringaian kembali menghiasi wajah Fabian. "Oke!"
"Inget! Apa pun yang gue mau!" Aldan menekankan lima kata terakhir sebelum keluar dan membanting pintu mobil Fabian dengan kasar.
¶
"Oke anak-anak, Ibu minta perhatiannya sebentar!" guru yang sedang mengajar memberi gestur kepada murid-muridnya supaya tenang. "Mulai hari ini, kita kedatangan murid pindahan."
"Cewek atau cowok, Bu?" salah satu siswi berbandana biru angkat bicara.
"Cowok." Ibu Muna-nama guru itu-menjawab singkat.
"Ganteng nggak, Bu?" kini siswi dengan rambut ombre di bagian bawahnya angkat bicara.
"Ganteng." guru bahasa Indonesia itu menyuruh masuk murid pindahan yang sedari tadi menunggu di luar kelas. "Perkenal dirimu," katanya sembari memegang kedua bahu sang murid.
Seluruh murid di kelas XI-IPS-4 berbisik riuh begitu murid pindahan dengan kacamata yang bertengger manis di pangkal hidungnya berdiri di samping Bu Muna. Murid pindahan itu tinggi semampai. Mungkin dia memberi sedikit pomade pada bagian jambulnya sehingga berdiri. Ekspresi wajahnya terlihat suram, seperti terpaksa pindah sekolah. Siswi-siswi tak henti saling berbisik satu sama lain. Rata-rata dari mereka mengatakan hal serupa seperti:
"Ganteng, njir!"
"Cocok, tuh, jadi calon suami gue."
"Aish, gantengnya. Kokoro hayati nggak kuat!"
Suasana kelas menjadi bising. Bu Muna menyuruh mereka semua diam dan mempersilahkan murid baru itu untuk memperkenalkan dirinya. "Silahkan perkenalkan dirimu."
Murid berkacamata itu mengangguk. "Nama saya, Aldan Giovinno. Pindahan dari SMA Baruwa."
"SMA Baruwa? Itu bukannyan sekolah anak-anak yang sering dugem semua?" lagi, siswi berbandana biru itu bertanya.
"Ah iya, Mel. Pantesan rada nggak asing gitu di telinga gue pas dia sebutin nama sekolah SMA Baruwa," kata teman sebangkunya.
"Katanya, cowok SMA Baruwa ganteng-ganteng tau."
"Udah punya pacar belum?"
Bu Muna mengetuk meja untuk mendapatkan perhatian. "Kenalannya bisa dilanjut setelah bel istirahat! Aldan, kamu bisa duduk di bangku yang kosong, di belakang!" Aldan manut, berjalan ke arah bangkunya. Sesekali ia melempar senyum kepada siswi yang menyapanya.
Selama pelajaran berlangsung, Aldan hanya memerhatikan materi yang dijelaskan Bu Muna sekilas, setelah itu, ponsel menjadi pilihan terbaik untuk saat ini. Beberapa rentet pesan dari Ghana menjadi hiburan tersendiri.
Ghana
"Mas Bro, lo telat?"
06.33 a.m
"Anak Setan! Lo pindah?"
07.44 a.m
"Pindah ke mana lo, Sialan!"
07.44 a.m
Kemudian ibujarinya membuka grup angkatan yang sedang ramai. Aldan menyernyit, karena tumben sekali di jam pelajaran mereka sedang berlomba membalas pesan satu sama lain.
Nino
Ladies and gentlemen, ada berita hot!
Ghana
Bau-baunya gue tau nih
Rama
Whut?
Jason
^2
Billy
^3
Nino
Aldan pindah, guys!
Rama
Heh? Serius ente?
Ghana
Seperti dugaan gue
Jason
Ngapa tuh anak pindah?
Nino
Kenapa, Ghan?
Ghana
Apaan yang kenapa, Mas Bro?
Nino
Kenapa partner lo pindah?
Ghana
Heh? Ngapa tanya gue? Lo pikir gue bininye!
Nino
Lo kan sama Aldan udah kayak badan sama bulu! Nggak bisa misah!
Ghana
Ew!
Nino
Berasa pc berdua ye, Bosq?
Ghana
Ho.o
Rama
Nyimak
Nino
SIDER LAKNAT!
Shinta
OMG, doi gue pindah
Nino
LO ANGGAP APA GUE, SHIN?
Rama
Nah lho! Bosq marah. Kaborr, ah, atutttttt
Shinta
Aku menganggapmu pelarian, Sayang
Billy
Sadesssssst
Jason
Rasanya tuh kayak ketelen cilok, sakittttt
Ghana
Sabar, Mas Bro. Lagian, dulu gue ajakin pacaran pake nolak segala. Liat kan sekarang? Gadis yang kau damba-dambakan malah menganggapmu pelarian. Sakitnya tuh di sini *tunjuk selangkangan*
Nino
Gue pacaran sama elo? Hell, pantat gue nggak aman!
Rama
Ngikik
Ghana
Gue tusuk nanti malah minta nambah
Nino
Tergantung genjotan lo, Bosq. Kalau enak, kemungkinan bisa nambah
Shinta
NINO JAHATTTTT PAKE Z
Ghana
Ew! Kode tuh, Mas Bro?
Rama
Nah lho! Ratu titisan pantai selatan ngamokk!
Ghana
Gue doain biar lo cepet diputusin. Biar Nino jadian sama gue!
Shinta
SAYANG! KAMU SEKARANG SUKANYA SAMA BATANGAN? JAHARAAAAAAA! KITA PUTUSSS!
Aldan tertawa pelan, kemudian tangannya mengetikkan sesuatu sebagai balasan.
Aldan
Wow! Nino homo?
Kemudian Aldan tersadar dengan tantangan dari Fabian. Berdecak sebal, ia mematikan dan memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana tanpa melihat balasan dari teman-temannya.
"Sudah selesai?"
Tersentak, Aldan mendongak, dengan refleks bangkunya ikut mundur ke belakang. "Bu!" suaranya tercekat. Bukan karena takut, tapi ia terkejut dengan kehadiran Bu Muna di hadapannya. Guru yang semula mengajar di depan, sekarang hanya berada dua jengkal darinya.
"Saya nggak tahu aturan ini berlaku atau tidak di sekolah lamamu, yang pasti, dilarang memainkan ponsel saat pelajaran sedang berlangsung!"
"Ah, maaf, Bu!"
"Karena kamu anak baru, masih saya kasih toleransi. Jangan diulang!" Bu Muna berbalik, sepatunya mengetuk-ngetuk lantai saat berjalan kembali ke mejanya.
"Hell, Bu Muna emang begitu," Aldan menoleh dan mendapati siswa yang berbicara padanya dengan posisi duduk menyamping, menghadap dirinya. Alis Aldan menyernyit. Jika memainkan ponsel pada saat jam pelajaran dilarang, apakah duduk seenaknya dan mengobrol pada saat jam pelajaran tidak dilarang-
"Darren! Mata kamu ngelihat ke mana? Papan tulis ada di depan, bukan di samping. Dan, benarkan posisi dudukmu!"
Aldan dapat melihat dengan jelas siswa di hadapannya memutar kedua bola mata, "Iya, Bu, tadi cuma minjem pulpen!"
"Alasan!" Bu Muna membalikan badan menghadap papan tulis dan menulis sesuatu di sana. "Saya kasih tambahan materi untuk ulangan harian kalian, minggu depan!"
"Iya, Bu!"
"Bilangin teman kalian yang tidak masuk!" Bu Muna mengambil barang-barang mengajarnya ke dalam dekapan. "Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam!"
"Oh, ya, kenalin gue Darren!" Aldan terpaksa harus duduk di bangku sebelahnya karena manusia yang sama sekali tidak ia kenal memaksa duduk di tempatnya.
"Gue Aldan," ada sedikit rasa risih saat berdekatan dengan siswa yang memperkenalkan diri sebagai Darren. Dilihat dari perawakannya, Darren tipikal siswa yang suka melanggar peraturan. Tipe-tipe bad boy idaman siswi sekolah, seperti karakter novel yang sering Shinta ceritakan di grup angkatan. Bedanya, bad boy yang ini memakai bandana di keningnya. Hebatnya, tidak di kritik oleh guru yang sedang mengajar.
"Udah tahu!" Aldan menyernyit jengkel. Rasanya ingin sekali menendang makhluk SKSD di hadapannya kalau saja dirinya bukan penyandang titel murid pindahan. Nggak lucu jika ayahnya sampai tahu, lalu mendepaknya ke sekolah baru lainnya.
"Oh," jawaban yang sangat pantas Darren dapatkan, begitu menurut Aldan.
"Ngomong-ngomong, kenapa lo pindah? Di Baruwa kan enak, sabeb!"
Aldan memicingkan matanya, memindai wajah Darren penuh curiga. Sekiranya, apa motif dibalik sesi tanya-jawab dari orang di sebelahnya. Wajahnya mendekat, Aldan berkata, "Bukan urusan lo!"
Hening sejenak, kemudian Darren terbahak sampai membuat beberapa murid menoleh ke arah mereka. Tatapan tajam dilayangkan kepada beberapa dari mereka yang hendak memprotes. "Urus urusan kalian masing-masing, oke!"
Berkaca mungkin kata yang tepat untuk Darren. Menurut Aldan, kalimat yang baru saja terlontar lebih cocok jika ia sendiri yang lontarkan untuk makhluk sok asik bernama Darren.
"Oh, ya, gue cuma mau bilang ...." Aldan mengangkat salah satu alisnya, menunggu Darren melanjutkan kalimatnya. Sebuah seringai hadir di wajah oriental Darren, "Selamat datang di SMA Bina Nusantara."
¶
Ingatkan Aldan jika dia sudah menilai sekolah ini dengan sekolah lamanya.
Sebelas lima belas.
Salah! Lebih tepatnya, sebelas dua puluh!
Definisi buruk rasanya tidak cukup untuk memberi pendapat pada sekolah barunya. Karena Aldan tidak suka suasana di sini. Atau lebih tepatnya, ia tidak suka mengakrabkan diri dengan orang baru.
Larut dalam pikirannya sendiri, Aldan bahkan tidak sadar jika menyenggol beberapa murid yang berlalu lalang untuk segera pulang ke rumah mereka masing-masing.
Sambil mengambil ponselnya di dalam saku celana, Aldan menyempatkan diri untuk melirik-lirik lingkungan sekolah. Dari segi fisik, sebenarnya SMA Bintara-begitu singkatannya-tidak berbeda jauh dengan SMA Baruwa. 1 : 2, sekiranya. Hanya saja, Aldan tidak bisa move on dari sana, jadilah ia mencari-cari sisi terburuk sekolah barunya untuk dibandingkan dengan yang lalu.
Ia mengetikkan pesan singkat kepada Fabian, menanyakan sudah sampai di mana kakaknya itu. Jika Fabian membalas masih jauh, lebih baik ia pulang dengan memesan taksi online.
Selang beberapa menit, Fabian membalas jika dia sudah dekat dengan sekolah Aldan. Berbagai ancaman diketiknya kalau sampai adiknya itu sudah pulang terlebih dulu sebelum Fabian datang. Ia menunggu di samping gerbang sekolahnya. Menyandarkan tubuhnya pada tembok dan bermain game di ponsel untuk mengusir kejenuhannya.
"Ah!"
Aldan menjeda gamenya sejenak. Tubuhnya bergeming, namun indera pendengarannya mencoba menangkap lebih dalam apa yang di dengarnya barusan, seperti suara desahan. Bulu kuduknya merinding begitu mendengar suara yang baru saja dua detik berlalu, kini kembali terdengar.
Bukan suara desahan, tetapi sebuah rintihan tertahan.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Tepat, Aldan menemukan sebuah gang kecil tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sambil memasukan kembali ponselnya, ia berjalan santai menuju gang tersebut.
Gelap. Satu kata yang langsung terlintas di kepalanya begitu melihat suasana gang kecil di hadapannya. Padahal, matahari dengan sombong menampakkan dirinya. Namun, sepertinya tidak ada cahaya yang memasuki gang ini. Apakah warga sekitar tidak berinisiatif untuk membeli lampu gantung untuk gang yang Aldan yakin buntu.
Dengan penasaran, langkahnya memasuki gang, suara-suara rintihan yang tadi di dengarnya kini sudah tidak ada lagi. Padahal Aldan yakin kalau sumber suara itu berasal dari sini. Langkahnya terhenti begitu seseorang menyentuhnya bahunya. Dengan napas tercekat, Aldan menoleh.
"Ngapain lo di sini?"
×××
Silahkan vomment, ya😀
Jika ada typo dan kata/kalimat yang janggal/salah tolong ditandai pada kalimat tersebut!
Ann | 19/5/17
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro