Chapter 4: Training
“Kau ahli dalam pertarungan tangan kosong, kau bisa mematahkan leher doppelganger-mu untuk membunuhnya atau—”
“Itu terlalu kejam, Maki.”
Maki memegang kedua bahu Kasumi dan menyelaraskan posisi mata mereka. “Ketika kau bertarung melawannya, insting bertahan hidupmu memegang kendali.”
Kasumi menyisihkan waktu di akhir pekan guna latihan dengan Maki. Ia sedikit kewalahan melawan gadis itu karena kekuatan fisik Maki sedikit lebih besar darinya.
Dari segi ukuran tubuh pun Maki lebih tinggi dan berisi—otot-otot terlatihnya mampu membuat laki-laki minder. Kasumi sendiri bertubuh kurus dan pendek, mungkin ini salah satu akibat ia bekerja terlalu keras dan kurang nutrisi—meski begitu, kekuatan fisik Kasumi tak dapat diremehkan, ia lebih kuat dari rata-rata remaja putri pada umunya.
Terlahir di keluarga yang keras membentuk sosok Maki yang tangguh di segi fisik dan mental. Itu salah satu alasan Maki tidak gentar membunuh doppelganger-nya sendiri.
Latihan diawali Maki dan Kasumi saling beradu serangan. Dilanjutkan Kasumi yang mematahkan kayu-kayu dalam beragam ketebalan dan kekerasan dengan tangan kosong. Maki takjub melihat kecepatan Kasumi membelah kayu itu menggunakan sepasang tangan mungilnya.
Kekuatan dan kemampuan bela diri Kasumi tak boleh dianggap remeh. Berkontradiksi dengan kepribadiannya yang lemah lembut dan polos.
“Secara fisik kau memang kuat. Aku tidak perlu melatihmu,” ujar Maki menyodorkan botol pada Kasumi yang mengatur napasnya. Kayu-kayu yang disediakan Maki berserakan di atas reremputan setelah dibelah Kasumi.
“Tidak, Maki lebih kuat dariku. Ah, terima kasih.”
“Itu sudah cukup. Masalahnya mental dan cara pikirmu.”
Selepas minum dan mengemasi potongan-potongan kayu, dua gadis itu duduk di gazebo. Rumah keluarga Zen'in berkali-kali lipat dari rumah mungil yang disewa Kasumi. Rasa tak nyaman dan kurang percaya diri mewarnai hati. Meski hubungannya dan kembar Zen'in lumayan dekat, Kasumi masih merasa sedikit tak pantas berteman dengan mereka.
Air terjun kecil yang mengaliri kolam ikan merilekskan pikiran Kasumi sejenak, pun sedikit mengusir perasaan rendah dirinya. Teluh yang berembus diperkuat gesekan dedaunan mendinginkan tubuh.
Suasana yang pas untuk tidur.
“Kau kurang tidur lagi?” tanya Maki.
“Hah?” Kasumi refleks menyentuh bawah mata kanannya.
“Kantong matamu terlihat semakin menebal.”
“Lebih tepatnya kualitas tidurku memburuk. Jam tidur dan bangunku masih sama.”
Kasumi merebahkan kepala di atas meja, matanya memberat seakan dibebani berton-ton besi—oke, ini perumpamaan yang tak masuk akal—ditambah pusing yang mendera.
“Istirahat saja dulu, jangan terlalu paksakan dirimu bekerja. Kalau kau takut aku bisa tinggal bersamamu sementara.”
“Mengapa kau mau membantu sejauh ini, Maki?”
Maki salah tingkah mendengar pertanyaan itu, pipinya dihinggapi warna merah samar. Ia sendiri juga bingung penyebab mau membantu Kasumi. Mungkin ... karena mereka teman? Tidak, rasanya lebih dari perasaan seorang teman, tetapi tak setingkat perasaan romantis.
“Kau tak perlu alasan membantu seseorang 'kan?” Kalimat itu terucap dari mulut Maki, jawaban terbaik menurutnya.
“Terima kasih. Terima kasih banyak sudah membantuku selama ini. Maki selalu memberi bantuan.”
“Bu-bukan masalah. Daripada kau tidur di sini lebih baik di kamar tamu saja. Aku akan—”
“Tidak usah, Maki. Aku tidur sebentar saja, di sini udaranya sejuk.” Kasumi menggoyangkan tangan pertanda menolak, menahan Maki yang akan bangkit dan masuk ke rumahnya.
“Ya sudah, tidur sana. Aku menjagamu.”
Aku menjagamu.
Dua kata itu mampu menangkal mimpi buruk yang menggentayangi Kasumi akhir-akhir ini. Rasa nyaman yang hadir menghapus ketakutan di kalbunya sejenak.
Di luar perawakan sangarnya, Maki sebenarnya gadis yang baik. Ia yang paling banyak membantu Kasumi, karena itu Kasumi yakin Maki akan benar-benar menjaganya.
Beberapa hari terakhir, tidur Kasumi kurang lelap karena kehadiran sosok kembaran yang selalu mengejar dan hendak menancapkan pisau padanya. Setiap malam mimpi itu berulang. Kasumi hanya bisa berlari di mimpinya tanpa melakukan perlawanan.
Perasaan takut dan panik terbawa sampai ke dunia nyata. Saat bangun tidur bukannya tubuh kembali ke kondisi fit, justru Kasumi lelah karena jantung berdebar kencang dan keringat bercucuran—efek dari mimpinya.
Maki yang sedang menggulir beranda akun media sosialnya dijeda suara yang berasal dari ponsel Kasumi. Mengambil benda persegi itu, Maki melirik Kasumi yang sudah terlelap.
Angkat saja tidak, ya? Jempol gadis itu sedikit mengambang di udara, lalu ia memilih keputusan dan memijat tombol hijau.
Kalau ada pesan aku akan menyampaikannya.
“Moshi moshi.”
“Moshi moshi. Kau bukan Miwa, ya?”
“Aku Maki, ada apa?”
“Bisa kauberi ponsel itu pada Miwa?”
“Dia sedang tidur. Titipkan saja pesan padaku.”
Lawan bicara diam sejenak. “Tidak jadi.”
Telepon diputus sepihak. Maki menaruh ponsel Kasumi di meja, manik hazelnya berputar di tempat. “Aneh.”
[]
Aku sadar book ini terlalu padat kayak materi IPS-ku di geschool //pijat kening//
Inner me: "bukan book ini aja keleus! Yang lain juga gitu!"
//Kri//
Mmm... besok Miwa ultah, ya. Barengan sama Kurapika hwhwhw.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro