S2|#7. Trust Me
Pada akhirnya, mimpi buruk selalu menjadi kenyataan. Di penutupan resmi galeri pameran lukisan Jungkook, wanita itu kembali datang bersama anaknya. Kali ini, Dahyun tak mau bersembunyi lagi, ia memeluk erat lengan kekar Jungkook seraya menatap waspada wanita yang mengenakan dress selutut berwarna mocca yang dipadukan dengan blazer berwarna hitam itu. Cukup tertutup namun lekukan tubuhnya masih terlihat. Jelas, tubuh seksi seperti itu adalah idamannya para pria. Kalau saja dia tidak menuntun seorang anak, pasti sudah dikira wanita panggilan. Seketika Dahyun merasa jahat karena pikirannya sendiri.
Jungkook menyadari kegelisahan Dahyun, dan ketika ia melihat ke arah tatapan wanita itu, ia bersitatap dengan Jihyo yang langsung melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar padanya.
"Cantik sekali" batin Dahyun, ia tidak bisa menyangkal hal itu. Membuatnya semakin kesal karena merasa tidak percaya diri.
Dalam sekejap, wanita itu sudah ada dihadapan mereka, pun Jeochan juga langsung berlari dan memeluk kaki Jungkook, minta dipangku sementara Jihyo memberikan sebuket bunga pada Jungkook. "Chukkae, kudengar pameran kali ini berjalan dengan baik. Aku tahu, kau pasti akan berhasil di bidang ini. Sudah kubilang, seni adalah bakatmu," ujarnya ramah.
Jungkook memangku Jeochan—sebelum anak itu menangis—sementara bunga itu ia letakan di meja sampingnya. Dahyun yang melihatnya mendengkus tak percaya seraya memalingkan wajah. Apa-apaan ini? Jungkook tetap saja meladeni wanita itu, bikin kesal saja.
Dahyun memutuskan untuk pergi, namun Jungkook menahan tangannya, menariknya mendekat seraya merangkul pinggangnya dengan tangannya yang bebas. "Perkenalkan, dia Dahyun, istriku."
Jihyo agaknya terlihat kaget, namun ia pandai mengatur ekspresinya menjadi tersenyum ramah seketika. Ia mengulurkan tangannya pada Dahyun, "Aku Park Jihyo."
Dahyun membalas uluran tangannya, tetap mengulas senyum walaupun enggan. Entah kenapa, ia juga merasa kalau wanita itu tidak begitu suka padanya. Kentara sekali. Wanita itu hanya melihat Jungkook saja sejak tadi hingga tak menyadari keberadaannya—entah memang sengaja tidak mau melihatnya.
Jungkook menurunkan Jeochan, menyuruh anak itu untuk kembali pada ibunya. Lelaki itu lantas meminta Jihyo untuk menikmati pestanya, selagi ia pergi bersama Dahyun untuk menyapa tamu lain, namun Jihyo kembali berujar pada Dahyun.
"Kalau kau ada waktu, kita minum bersama ya lain kali? Aku ingin lebih mengenalmu."
Dahyun tersenyum samar, "Mian, eonnie. Sepertinya tidak bisa karena aku—"
"Dia sedang mengandung, jadi tidak boleh minum," potong Jungkook.
"Ah ... jinjja?" Jihyo tersenyum tipis seraya menatap Jungkook sarkastik. "Hebat sekali ya, kau benar-benar memanfaatkan momen pelarianmu dengan baik," lirihnya tajam membuat Jungkook mengeraskan rahangnya, bahkan Dahyun dapat merasakan genggaman tangannya yang menguat. Membuatnya bertanya-tanya, apa yang dikatakan Jihyo barusan. Pelarian? Apa maksudnya?
Jihyo kembali tersenyum, kali ini pada Dahyun, "Kalau begitu, kita makan saja, tanpa alkohol. Bagaimana?"
"Tidak, kami sibuk," potong Jungkook lagi sebelum Dahyun menjawabnya.
Jungkook langsung membawa Dahyun pergi dari sana, meninggalkan Jihyo yang memangku anaknya. Dalam sekejap ekspresi Jihyo berubah dingin. Maniknya terus mengamati pasangan suami istri yang menyapa tamu undangan lain dengan senyum lebar penuh kebahagiaan sementara dirinya menanggung rasa sakit yang seolah menggerogoti dirinya tanpa ampun. Ia benci melihat itu. Benci melihat senyuman kebahagiaan di wajah Jungkook bersama wanita lain.
"Seharusnya, aku yang berada diposisi itu."
Hari ini benar-benar melelahkan sekali. Tubuh Dahyun terasa sangat pegal pun selera makannya juga semakin jelek saja. Ingin pulang namun Jungkook masih punya urusan di sini.
Menatap malas lelaki yang tengah membereskan alat lukisnya, Dahyun kembali teringat kejadian tadi, saat Jihyo menemui mereka lagi. Dan ya, wanita itu semakin menaruh curiga pada suaminya itu.
"Oppa, apa aku boleh menanyakan sesuatu?"
Jungkook menoleh, tersenyum tipis padanya sekilas sebelum kembali fokus berbenah. "Hm, tanyakan saja."
"Oppa, tadi Jihyo eonni mengatakan soal pelarian, maksudnya apa?"
Pergerakan Jungkook terhenti sesaat. Posisinya yang membelakangi Dahyun membuat wanita itu tidak bisa melihat raut wajahnya.
"Mwola, aku juga tidak mengerti." Jungkook kembali melanjutkan pekerjaannya.
Dahyun mengernyit, tidak puas mendengar jawabannya. "Tidak mengerti atau tidak mau memberitahuku?"
Skakmat. Jungkook menghela napas sebelum berbalik dan menghampiri Dahyun. "Sayang, kau bicara apa si? Aku sungguh tidak mengerti, dia memang begitu, semenjak kematian suaminya, dia berubah."
"Berubah kenapa? Katanya baru bertemu lagi?"
"Ya ... Memang baru bertemu tapi ya begitulah, anaknya tiba-tiba saja memanggilku ayah, bukankah itu aneh?"
"Tapi sikapmu jauh lebih aneh oppa. Kau bisa menolaknya dan bilang kalau kau bukan ayahnya, bukan bersikap seperti kau benar-benar ayahnya. Kau mendengarkanku tidak sih? Kan sudah kubilang, jangan terlalu baik pada anak orang lain."
"Aku melakukannya karena takut dia menangis, pestanya bisa jadi kacau kalau itu terjadi." Jungkook memegang kedua bahu Dahyun seraya mensejajarkan wajah mereka saat wanita itu memalingkan wajahnya karena kesal.
"Hey, tatap mataku."
"Shiro, aku sedang kesal padamu."
Jungkook tersenyum, ia malah mengecup pipi Dahyun, membuat wanita itu langsung menatapnya berang. "Ish, jangan menyentuhku!" Dahyun berontak, ingin melepaskan kedua tangan Jungkook juga di bahunya namun lelaki itu malah mengangkatnya, memangkunya seperti koala dengan mudahnya. Posisinya persis seperti memangku Jeochan.
"Oppa! Apa-apaan sih? Turunkan aku!"
"Bukannya ini keinginanmu? Kau kan tadi bilang, aku tidak boleh memangku anak orang lain, jadi sekarang aku memangkumu."
"Tapi aku bukan anak oppa."
"Iya, tapi anakku ada dalam perutmu." Wajah Dahyun kontan memerah, jantungnya berdebar kencang saat Jungkook memeluknya dalam pangkuan itu, membuat Dahyun mau tak mau balas memeluk lehernya.
"Oppa, kau sungguh tidak menyembunyikan sesuatu dariku, kan?"
"Hm? Maksudmu?"
Dahyun menggeleng, ia menyandarkan kepalanya di tengkuk Jungkook yang nyaman. "Ani, lupakan. Energiku sudah habis, tidak mau bertengkar lagi."
Jungkook terkekeh mendengarnya. Ia kembali mengecup bahu dan tengkuk Dahyun yang terbuka. Wanitanya ini memang memakai dress tanpa lengan. "Mau langsung pulang atau pergi makan diluar? Ada restoran enak di dekat sini."
"Pulang saja. Aku ingin makan masakan oppa." Dahyun menegakan tubuhnya, kembali bersitatap dengan wajah tampan suaminya. "Bolehkan? Aku merindukan masakanmu."
"Tentu saja boleh, tapi cium dulu."
Dahyun tersenyum. Wanita itu memegang rahang tegasnya, lantas mengecup kedua pipi Jungkook bergantian, kemudian pada kening dan hidungnya. Terakhir di bibirnya, yang langsung Jungkook balas dengan lumatan penuh kelembutan.
Dahyun kembali menyandarkan kepalanya di bahu Jungkook begitu ciuman itu usai. Memeluk lehernya erat seiring dengan langkah kaki Jungkook yang mulai meninggalkan ruangannya itu. Dari dalam sampai tiba di mobil, lelaki itu terus memangku tubuh Dahyun tanpa beban, seolah terbiasa karena Jungkook selalu ingin memanjakannya. Bahkan saking kelelahannya, Dahyun tertidur di sepanjang jalan.
Mengatur posisi kursinya supaya Dahyun dapat berbaring dengan nyaman, pun Jungkook juga menyalakan penghangat dan memelankan musiknya supaya Dahyun tidak terganggu. Saat lampu merah menyala, Jungkook kembali melirik Dahyun yang tertidur pulas. Tangannya bergerak mengambil tangan mungil Dahyun, menggenggamnya lembut seraya mengusapnya dengan ibu jari.
"Percaya padaku. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Apapun yang terjadi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro