◌29. Apakah Nasib yang Akan Datang (part 2)?◌
"Even the sleepiest individual can win use nothing but allies and acting."
-Lucidna Jingga
Lucidna mengulurkan tangan, lalu mengelus rambut Kayala yang kebetulan memiliki tinggi kurang lebih sama dengannya.
"Begitu ya? Kamu melakukannya dengan baik, ya?"
Ia ingat dengan jelas, kata Novel, hubungan Kayala dan Badroy itu akrab. Tetapi saat Lucidna tidak masuk, Kayala membantu membersihkan masalahnya, padahal dia punya pilihan untuk diam saja. Kali ini pun, ia memilih untuk tidak menuruti kemauan Badroy hingga dipukul.
Kayala menepis tangan Lucidna dengan mudah. "Apa, sih, aneh banget kamu."
"Sudah-sudah, ayo ke UKS! Itu harus diobati." Novel menengahi, tapi diam-diam juga kaget dengan perilaku Lucidna.
"Benar, kalian pergi saja, aku akan ke kelas dan memberitahu ke guru kalau kalian izin karena tidak enak badan."
Novel segera menangkap maksud Lucidna, bertanya dengan tergesa-gesa. "Apa maksudmu? Kamu mau aku tetap bersama di Kayala di UKS?"
"Iya," jawab Lucidna singkat. "Jangan membesar-besarkan masalah dan pergilah, Novel." Ia melambaikan tangan.
Walaupun tak setuju, Novel tetap pergi dari sana bersama Kayala. "Nanti kami akan ke kelas lagi, jangan pergi-pergi sendirian." Ia berpesan sebelum benar-benar tidak terlihat lagi di jangkauan mata Lucidna.
Tapi bohong, dia takkan diam saja di kelas.
Ia berjalan ke arah Kayala datang sambil berlari tadi.
Ia mengerti keinginan Novel untuk menjaganya. Lelaki itu punya kemampuan unik dan didikan dari keluarganya. Itu seperti membuatnya merasa bertanggung jawab pada nasib orang lain juga, demi menjadi "baik" walaupun orangtuanya belum tentu tahu semua yang dia lakukan.
Ketika ia sedang melewati kelas Vodo dan Violet yang berada di lantai 1, i melirik jendela. Mereka berdua fokus dan tenang, berbeda dengan sifat mereka di depan Novel yang cenderung santai, terutama Vodo. Ia tidak terlalu mengenal mereka. Bagaimana lagi? Ia hanya bertemu dengan mereka sekali dua kali. Namun, dia tebak, mereka ikut membantunya karena Novel mendorong mereka.
Ia menebak-nebak, dari arah mana Kayala berlari, kanan atau kiri. Ketika mengingat perintah Badroy yang ditolak, Lucidna menyimpulkan setidaknya dari arah kantin. Karena itu, ia berbelok ke kanan. Ada jalan yang cukup sempit, tapi itu lebih membantu daripada terang-terangan lewat jalan yang lebih luas, apalagi seluas lapangan.
Baru beberapa langkah berjalan, ia melihat seorang laki-laki berjalan dari arah seberangnya.
Pelaku yang melukai Kayala minggu lalu dan hari ini. Ketika memikirkan teman sekelasnya yang dipukul, Lucidna tidak mengerti. Kayala selalu sinis padanya. Ia manis di depan Novel, tapi tidak dengan Lucidna. Entah benar atau tidak, sepertinya ia juga bercerita tentang rasa tidak sukanya pada Lucidna ke teman-teman di kelas.
Perempuan yang membentaknya habis-habisan kenapa malah menolongnya di tempat yang ia tidak tahu?
Kalau itu rasa bersalah, Lucidna tidak yakin dirinya tepat sebagai sasaran perasaan itu. Karena dia juga sarkas pada Kayala. Ia juga tidak pernah benar-benar melakukan hal baik. Bahkan kata maaf yang saat itu ia ucapkan di depan Kayala tidak ditujukan padanya, tapi pada Novel yang berusaha memihaknya.
Kalau itu seperti perubahan, Lucidna tetap mendapatkan reaksi sinis barusan, saat dia mengusap rambutnya. Walaupun setelah itu mereka tidak berdebat panjang lagi, entah karena bujukan Novel masuk akal atau Kayala sedang tidak mau ribut hal yang tak penting.
Apa itu semacam rasa tidak suka dimanfaatkan olehnya? Lucidna menatap datar pada Badroy yang jaraknya semakin dekat.
Ia yakin itu tak jauh dari alasan yang benar, tapi kata-kata tidak mau memberikan makanan kadaluarsa padanya itu tetap membingungkan. Kalau ini masalah ego tidak ingin dimanfaatkan, kenapa ia perlu mengatakannya? Apalagi ia terlihat benci sekali.
Lucidna tidak mengerti itu.
Kayala terlihat memikirkannya hingga tak masalah jika kena pukul oleh orang yang minggu kemarin mendorongnya dari tangga.
Orang yang sekarang hanya berbeda sekitar tiga meter darinya.
Mereka berdiri berhadapan di jalan sempit yang dibatasi dinding luar dan dinding kelas tanpa jendela. Lucidna sudah memastikan ada CCTV menghadap ke arah ia berdiri tadi, jadi dia berani untuk tetap di sana meski matanya melihat jelas Badroy mendekatinya.
Satu hal yang ia mengerti pasti.
"Ternyata benar Lucidna," sapa Badroy yang sama sekali tidak terasa menyenangkan untuk didengar.
"Ternyata benar tukang pukul jalan ke sini," sapa Lucidna balik. Ia menunjuk ke arah CCTV.
Kak Badroy orang yang tetap melanggar aturan selama tidak dilihat, mau itu merokok, mendorong orang, memukul orang, dia tidak bisa melakukannya jika ada yang tahu. Itu adalah kelemahannya yang pasti.
"Aku tidak suka merepotkan orang lain dan berhutang tanpa tahu orang itu tulus atau tidak," ucap Lucidna tiba-tiba.
"Hah, ngomong apa, sih?" Badroy tertawa mengejek.
Lucidna mengendikkan bahu. "Benar, harusnya yang aku bicarakan adalah seorang kakak kelas memukul adik kelasnya dan mengejarnya, 'kan?"
Badroy baru mengerti kenapa Lucidna yang terlihat lemah malah tidak lari darinya, padahal ia yakin sepupu dengan kemampuan aneh itu sudah pasti memperingatkan cewek itu untuk menjauhinya.
Akan tetapi, ia tidak bodoh.
"Apa kamu kira aku akan panik atau kesal lalu melakukan sesuatu? Sudahlah, kamu pergi saja, karena aku sedang baik. Oh dan CCTV itu tidak merekam suara, apa itu perlu ditakuti," katanya dengan ringan.
Tidak terpancing ya? Memang bukan untuk memancing, kok? batin Lucidna.
"Begitu ya? Kamu memang tidak perlu takut pada CCTV, sih. Kalau buktinya hanya itu dan tidak ada orang lain yang tahu." Lucidna tersenyum penuh arti. "Kalau begitu kenapa nggak lewat, Kak? Pergi saja. Oh, kukasih tips, anak baik itu tidak membolos."
Badroy menatapnya tajam. Ia mengepalkan jarinya. Sindiran yang jelas, seolah mengatakan kalau Lucidna sudah tahu apa yang harus dijaga Badroy.
Gadis itu tahu terlalu banyak.
Kalau dia membiarkannya, bagaimana jika adik kelas kurang ajar ini mengarang cerita tentangnya pada guru BK? Ia tahu Kayala terluka tapi itu bukan hal yang terekam di CCTV. Kalau pun ada yang terekam itu adalah momen saat Kayala berlari kabur darinya. Tapi ia sudah mengatur tempo untuk mengejarnya dengan sengaja lebih lambat.
Ia kira karena semuanya sedang berada di kelas, setidaknya gadis yang sok hebat itu tidak akan kembali ke kelasnya dalam kondisi terluka seperti itu.
Entah apa yang terjadi, tapi Lucidna di sini karena tahu soal itu juga.
Kayala bertemu Lucidna. Gadis lemah di hadapannya menjadi saksi.
Mulai sekarang, mungkin penentuan penglihatan Novel benar atau tidak akan terjadi. Tidak perlu menunggu lama dan menyusahkan semua orang, batin Lucidna, menyadarkan dirinya sendiri.
"Jangan bilang kamu berharap Novel datang?"
Lucidna tidak memberikan reaksi apa pun baik jawaban maupun perubahan ekspresi. Sejujurnya, ia juga tidak tahu.
Hal yang ia tahu adalah ia tidak akan mengandalkannya. Setelah tahu alasan Novel tidak percaya padanya saat itu, Lucidna tidak ingin terlalu bergantung pada penglihatannya.
Itu tidak stabil atau menjanjikan.
Sebatas tahu siapa yang terlibat dan dirinya dalam kondisi apa sudah cukup baginya untuk bergerak sendiri.
Hari ini, sejak awal kegiatan hingga sekarang, Lucidna belum mengantuk. Bahkan ia tidak perlu mencoba ini itu untuk menahan kantuk.
Itu terjadi beberapa kali di sekolah ini.
Ketika ia berada di UKS, setelah kejadian itu, itu kali pertama rasa kantuknya tertunda cukup lama. Tepat seminggu lalu, di hari Jumat, saat ia tidak bersama Novel di waktu bersih-bersih ataupun pulang sekolah, ia juga tidak mengantuk.
Mungkin pikiranku jadi liar karena tahu ada hal seperti kekuatan yang tidak masuk akal dalam diri Novel? Ia mengejek dirinya sendiri.
Ketika tahu ada yang salah atau akan menjadi masalah, dia tidak mengantuk, seperti insting. Itulah kesimpulannya, walaupun dia sendiri ingin tertawa karena memikirkan hal yang sebenarnya tidak mungkin.
Yah, di dunia ini, hal yang tidak mungkin menjadi mungkin itu bisa muncul kalau beruntung. Lucidna tersenyum ketika pikiran itu muncul.
"Mikir apa, sih?" Badroy menarik kerah baju Lucidna lalu mendorongnya ke dinding. Ia berdiri membelakangi CCTV, menurutnya ia takkan kelihatan melakukan kekerasan jika seperti ini. "Wah, bahkan nggak bersuara? Hah, sok kuat juga, tapi tubuhmu ringan begini kok?"
"Kebanyakan ngomong karena takut?" Lucidna menatap tajam mata Badroy yang juga melakukan hal yang sama.
"Takut? Aku nggak melakukan apa-apa kok?" Ia melepaskan kerah baju Lucidna.
"Bukankah ini juga bukan apa-apa kalau dilihat dari sana?" Badroy beralih mencekik leher Lucidna. Kali ini gadis itu memberikan reaksi yang menghibur.
Gadis itu pucat lebih cepat dari yang ia kira. Ia menggenggam tangan Badroy. Meski menggunakan kedua tangan, itu lemah sekali. Laki-laki itu jadi merasa tidak perlu menggunakan satu tangannya yang masih bebas untuk mencegah cekikannya terlepas.
Bahkan, ia tidak perlu mencekiknya terlalu keras, ia juga tidak mau terlihat ada bekas tangan menekan leher karena pasti akan ketahuan.
Ia hanya menunggu kurang dari satu menit hingga tangan gadis itu lemas dan turun sendiri. Suhu tubuh di kulitnya menjadi lebih hangat. Akhirnya, Lucidna menutup mata.
"Pingsannya cepat banget, tapi banyak gaya," ejeknya sambil merangkul Lucidna.
Setidaknya, dia mempercayai itu benar-benar terjadi.
Ia bisa saja menggendongnya, tapi akan terlihat kalau Lucidna tidak sadarkan diri, jadi saat melewati jalan itu, ia merangkul dan menuntun kaki Lucidna berjalan.
"Lewat pintu belakang gerbang sekolah harusnya bisa, tinggal bilang kalau ada yang sakit dan rumahnya lebih dekat pakai pintu sana." Ia berbicara pada dirinya sendiri dengan semangat.
Ia berjalan membelakangi CCTV, sengaja agar tidak ketahuan.
Ia tahu letak CCTV di sekolah ini, jadi saat sudah berada di area paling belakang, ia berhenti berpura-pura menuntun. Ia menggendong Lucidna di punggungnya, lalu bergegas melewati gerbong belakang yang dekat dengan pembuangan sampah. Ia harus melewati kantin, tapi semua masih sesuai rencana.
"Mas, kok itu Mbak-nya digendong? Sakit, Mas?" Salah satu dari penjual di kantin bertanya.
Ia tertawa singkat seolah sedang kikuk. "Iya, sakit dia, rumahnya dekat sini jadi disuruh antar pulang."
Ia sempat ditawarkan motor, tapi dengan mudahnya ia menghindari itu, berbohong kalau cara ini lebih mudah.
"Semoga Mbak-nya cepat sembuh ya."
"Terima kasih. Permisi." Setelah menjawab seperti itu dan agak lebih dekat dengan gerbang, ia bergumam, "Itu sih kalau dia beruntung ditemukan tepat waktu."
Ia berniat membuat gadis itu menghilang. Walaupun nantinya ia akan dicurigai, ia bisa bilang sesuai kebohongannya; ia hanya mengantar Lucidna pulang. Beruntung penjual tadi percaya, ia akan menggunakannya jika perlu orang untuk membuktikan alasannya.
Ia membuka gerbang yang seperti pintu berkarat itu. Ia sempat kaget karena ada bapak berbaju rapi dan berkacamata hitam.
"Permisi, Pak," ucapnya sopan, tidak takut sedikit pun.
Rencananya sempurna.
Harusnya.
Dari atas pundak Badroy, gadis yang berpura-pura pingsan membuka matanya sedikit. Ini penentuan.
"Mau ke mana?" tanya orang itu dengan suara rendah.
"Mengantar teman saya pulang. Permisi, ya."
Saat akan berjalan lagi, Badroy merasa pundak kanannya ditahan dari belakang.
"Oh begitu ya? Mau saya bantu?"
Badroy terpaksa menghadap ke bapak itu. Baginya orang asing di hadapannya mengganggu. Sepertinya juga bukan tamu sekolah, karena tadi guru-guru tidak berkumpul juga tidak banyak yang tiba-tiba izin tidak mengajar.
"Tidak, saya tahu rumahnya kok."
"Oh ya?" Orang itu bertanya lagi.
"Iya. Kalau sudah paham, tolong lepaskan tangan Bapak."
Orang itu mengangguk. Lalu tidak lagi menahannya. Badroy memutuskan untuk cepat-cepat pergi. Ia sedikit kesal, sepertinya kalau lewat gerbang depan, setidaknya ia bisa pakai motor tanpa perlu menjawab orang-orang yang melihat ini.
Andaikan Lucidna tidak tahu apa-apa. Andaikan dia hanya orang yang dilindungi sepupunya tanpa bisa berbuat apa-apa.
Andaikan Novel membereskan masalah seperti janjinya.
Ia kesal sekali, karena sepupu dan temannya mengganggu. Padahal, ia juga sudah tidak mengganggu Vodo, menghindari Novel, melakukan pelampiasannya dengan merokok yang tak melukai siapa pun.
Tapi terus saja muncul alasan dia akan ketahuan.
Dia bukan jahat, dia terpaksa karena dia juga ingin hidup baik-baik saja. Kalau tidak begini, dialah yang dibuang orangtuanya.
Hanya karena tidak bisa menjadi anak baik.
Ckrek! Ckrek!
Langkahnya terhenti seketika. Ia mendengar jelas suara itu dari arah belakang.
Lihat? Sekarang dia hanya berusaha mengakhiri masalah, tapi muncul lagi orang yang mengganggu hidupnya.
Ckrek! Ckrek! Ckrek!
Suara itu tidak berhenti saat ia menoleh ke belakang. Ia berdecak. Lalu berbalik dan mendekati orang itu, masih dengan membawa Lucidna yang pingsan.
"Kenapa foto saya, Pak? Hapus fotonya."
"Kalau foto saya simpan, memang kenapa? Saya hanya mengoleksi foto kalau ada anak baik membantu temannya yang sakit," jawab orang itu, tidak sesuai dengan kata-katanya, suaranya terdengar menantang.
Badroy ingin sekali memukul orang itu. Tapi tidak bisa dengan Lucidna masih di pundaknya.
Gadis itu benar-benar beban di hidupnya. Ia akan melakukan sesuatu yang membuatnya trauma sebelum membawanya jauh dari tempat ini.
"Pak, hapus fotonya, saya nggak suka. Kalau nggak, nanti saya laporkan Bapak ke keamanan sekolah!" ancamnya, dibalas senyuman sarkas.
"Boleh, anak muda, bilang saja. Apa itu cukup?"
"Jangan main-main dengan saya ya Pak! Saya cuma mau bantu teman saya."
Ini obrolan yang tidak berguna. Bagi Badroy semakin lama ia di sini, semakin besar kemungkinan keberuntungan ada di pihak Lucidna. Novel, anak yang seperti manusia super itu sudah pasti akan tahu Lucidna ada di tangannya.
"Kan saya bisa bantu. Memang mau dibawa ke mana?"
"Ke rumahnya! Ngotot banget!" Dia mulai kehilangan kesabaran pada orang yang bukan siapa-siapa.
"Saya juga tahu rumahnya. Dia Lucidna kan?"
Badroy terdiam.
Detik itu juga, ia kebingungan, mencurigai orang di depannya, juga kesal karena masalah terus muncul.
Apalagi, dari pakaiannya, orang ini jelas bukan orang biasa.
"Bukan Lucidna–"
"Teman kok nggak tahu namanya?"
"Bukan teman–"
"Oh ya?"
Badroy mengumpat. Ia membuat kesalahan karena kaget. Ia menurunkan Lucidna, membiarkannya terbaring di tanah, jalan pejalan kaki.
"Merepotkan banget sialan." Ia melayangkan tinju ke orang itu tapi dihindari dengan mudah.
Orang itu tidak hanya menghindar dengan baik, tapi juga menangkap tangannya. Lalu sempat memotret lagi. Memotret Badroy lalu ke arah Lucidna yang sedang terbaring.
Setiap Badroy menyerang, ia akan diombang-ambingkan bapak itu. Ia tak menyangka akan kesusahan seperti ini bahkan seperti dikendalikan. Ia tak menyerah, terus berusaha menyerang, baik menggunakan tangan atau kaki.
"Hah, bukankah ini berlebihan? Harusnya kamu belajar saja," ucap orang itu sambil sibuk melakukan sesuatu pada handphone-nya.
Tak butuh waktu lama untuk Badroy tahu dia melakukan apa. Muncul suaranya, mulai dari awal ia mengobrol dengan orang itu. Ia berusaha merebutnya tapi dalam sekejap tangan kanannya yang tertangkap diputar, dikunci hingga rasanya hampir patah.
Ini saja sudah buruk baginya.
"Bapak siapa hah?" bentaknya mengamuk. Selanjutnya ia merintih karena tangan kanannya ditekan dalam posisi dikunci. "Tangan saya mau patah, sialan!"
"Yang ini saya rekam juga ya."
Badroy berteriak penuh kemarahan bercampur kesakitan. Situasi ini sangat buruk baginya. Namun, rupanya belum selesai di sana.
"Lucidna!"
Badroy bisa melihat Novel berlari dari dalam sekolah, menuju ke sini. Ia berusaha melayangkan tinju ke belakang tanpa melihat, berharap bisa mengenai wajah orang itu atau setidaknya handphone sial itu.
Hasilnya, tangannya yang masih terbebas itu ditangkap, dipelintir, dan ditarik ke atas. Ia berteriak dan mengumpat.
Novel yang datang, menatap sosok orang tua itu dengan kebingungan. Ia kehilangan kesempatan untuk mengamuk pada Badroy yang ada di depannya.
"Permisi, siapa?" tanyanya terbata-bata. Ia menoleh dan mendapati Lucidna terbaring di atas tanah. "Ketemu!"
Ia bergegas menggendong Lucidna di antara kedua tangannya. Gaya bridal style itu memancing orang itu untuk mengintimidasinya.
"Hei, Nak, jangan sentuh putri saya. Mau jadi seperti temanmu ini?" Ia semakin menyiksa tangan Badroy, yang tidak sedikit pun membuat Novel kasihan.
Novel mematung.
Ia mendengar sesuatu yang aneh sekarang. "Hah?"
"Hei, Nak, pendengaranmu baik-baik saja, kan? Kenapa diam?"
Novel berkedip kebingungan. Itu terdengar sarkas, seperti Lucidna.
Ia menunduk, bermaksud membandingkan wajah Lucidna. Namun, yang ia lihat adalah mata Lucidna melotot padanya.
"Loh? Ka-um!" Ia tak bisa berbicara karena Lucidna menutup mulutnya. Selanjutnya gadis itu berusaha turun, tentu saja Novel membantu menyeimbangkan langkahnya.
"Papa, ini Novel yang aku ceritakan." Lucidna membersihkan debu-debu di sepanjang pakaiannya. "Kalau mau hukum kakak kelas di tangan Papa saja. Sekalian bawah ke psikolog, siapa tahu psikopat."
"Oh, kamu nggak pingsan?" tanya Irram.
Baru saja Lucidna ingin menjawab, Badroy berteriak kesal. "Tadi kan kamu pingsan!"
Lucidna tersenyum penuh kemenangan. "Bohongan, kasihan kena."
Tak dapat memberikan perlawanan lagi, Badroy terpaksa mengikuti Irram pergi. Karena tidak sopan jika melaporkan lewat gerbang belakang, jadi Badroy dipaksa ikut jalan menuju gerbang depan.
Sementara itu, Novel menggenggam tangan dan menatap Lucidna, seolah meminta penjelasan.
"Nanti, saat kumpul dengan Vodo, Violet, dan Kayala. Sekarang masuk dulu, aku ... ngantuk beneran."
Novel dengan sigap menangkap Lucidna yang tertidur dalam waktu secepat itu. Ia berusaha menahannya agar tak terjatuh, lalu menoleh ke belakang, memastikan posisi papa-nya Lucidna sudah jauh.
Setelah yakin, ia menggendong Lucidna ala bridal style dan kembali ke sekolah lewat gerbang belakang yang sudah terbuka itu.
10-02-2025 | 2648 kata
Malas pisah karena malas bikin quotes lagi
Btw wattpad kenapa? Kemarin udah publish chapter 28, bahkan bisa dicopy link, kok tadi pas cek di hp statusnya "draft" padahal di lepi statusnya "dipublikasikan"?
Wattpad ngantuk?
‧༓☾𝙼𝚊𝚢 𝚌𝚕𝚘𝚟𝚎𝚛 𝚋𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚢𝚘𝚞☽༓
Kepak kupu-kupu di atas daun semanggi,
Peluk hangat untuk semuanya dari Yemi
┈˚୨୧⋆。⛧˚ ⋆ 🦋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro