◌19. Bagaimana Lucidna Mendapatkan Jawaban?◌
"Sometimes, our fears reveal themselves through our body."
-Lucidna Jingga
Ini tengah hari, waktunya matahari berada di atas kepala secara vertikal. Tidak ada angin menyejukkan yang lewat. Pepohonan yang ada di sekitar lapangan hanya beberapa, itu pun tidak bisa menjadi payung karena saat ini bayangan pohon hanya di sekitar akarnya saja, tidak miring ke arah lapangan.
Air yang tadi ia siram ke wajahnya sudah kering sebelum mereka berada di lapangan. Kalau pun itu menjadi alasan wajah Lucidna belum terasa panas setelah tercurah matahari, seharusnya tubuhnya tetap merasa panas di tempat tak beratap itu.
Sejak kapan?
Lucidna baru menyadari kalau Novel jauh lebih tinggi, cukup untuk membuat bayangan dirinya menjauhkan rasa panas dari pancaran sinar matahari hanya dengan berdiri agak miring menghadap Lucidna.
"Hoek. Ada saja tingkahmu ya, Novel." Badroy menepuk-nepuk pundak Novel sembari mendekati Lucidna. "Suspicious? Haha benar-benar, deh. Ngaca dong, Novel juga suspicious kan?"
"Iya, Kak." Ungkapan penerimaan itu membuat Novel sedikit terkejut, terlihat dari tangannya yang sedikit tersentak. "Tadinya begitu, tapi kami sedang menyelesaikannya dengan baik-baik. Kacanya untuk Kakak saja, tidak perlu terharu, saya tahu Kakak butuh ngaca."
Dari samping Violet tersenyum-senyum sendiri. Diam-diam menikmati bagaimana Novel protektif pada temannya dan bagaimana temannya itu tidak mengalah pada Badroy.
"Tapi kalau dibiarkan terus, bahaya atau nggak yah," gumamnya tanpa ada yang mendengarkan. "Badroy memang nggak boleh terang-terangan membuat masalah, tapi hanya terbatas di sekolah."
"Mau kuberi saran, Lucidna?" tanya Badroy dengan nada menantang. "Tentang teman yang kamu percaya di sampingmu itu. Dia itu mudah kesurupan." Ia tersenyum. "Saat kesurupan, jangan percaya kata-katanya. Kamu nggak percaya dengan setan, kan? Mereka sesat terutama ke cewek polos."
Untuk sesaat, jantung Lucidna terasa lepas. Meski benar-benar hanya sedetik atau dua detik, ia merinding, seperti ada yang membeku dalam tubuhnya.
Satu hal yang Lucidna tangkap; Badroy juga tahu rahasia Novel. Ia yakin kesurupan yang dimaksud bukan tentang setan, tapi kemampuan mengetahui masa depan.
Lucidna tertawa hambar. "Kak Badroy bohong, yah? Setannya kan Kakak? Butuh dua kaca?"
Badroy mengedikkan bahu, terlihat santai walau sorot matanya tidak. "Akan kuberikan dua kaca saat kita bertemu lagi, berdua."
Lucidna ingin membalas lagi, tapi ia merasakan dingin dari tangan yang digenggam.
Tiba-tiba dingin seperti ini juga terjadi di taman sebelum ini kan?
Badroy tersenyum miring melihat Novel menatapnya tajam. "Kenapa? Kerasukan lagi? Haha." Setelah itu, dia pergi begitu saja. Tak sampai semenit, bel istirahat selesai berbunyi.
"Novel, Lucidna, aku balik ke kelas duluan!" pamit Violet, meninggalkan mereka di lapangan secepat mungkin.
Lucidna tahu ini saatnya ia melepaskan genggamannya. Ia hanya sengaja menguras emosi Badroy karena ingin orang seperti hama itu tahu ada laki-laki lebih muda yang lebih hebat. Jadi ia tidak boleh merasa hebat dan sembarangan mengganggu.
Tapi ini ... bukan sakit. Lucidna menatap jemari Novel yang mengepal kuat. "Apa itu?" tanyanya pelan-pelan.
Ia harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan jawaban yang tak memuaskan.
"Tidak ada apa-apa, Lucidna. Tidak akan ada apa-apa."
Mungkin karena Lucidna sudah menumpahkan semua emosinya di kamar mandi. Mungkin karena ia mendengar tips dari Violet. Mungkin karena ini sudah terjadi berkali-kali seperti pola sebuah permainan.
Barangkali karena ia telah menyatakan, kalau Novel adalah teman yang ia percaya, dengan melantangkannya tadi.
Lucidna tidak merasakan perasaan meledak-ledak atau ingin pergi dari sana saat ini juga.
Ia melepaskan genggamannya. "Kalau mau aku menurut, jangan bilang seperti itu."
Ia tahu ini akan berakhir menjadi permintaan menuruti Novel tanpa kejelasan lagi.
"Aku sudah bilang tadi." Ia mengucapkan kembali kata-katanya di kelas. "Butuh berapa kali kita bahas soal ini? Please, ini terakhir." Ia berusaha menekankan kata "terakhir".
Ia mengambil langkah maju, keluar dari bayangan Novel. Panas matahari langsung menyambut. Ia yakin, wajahnya, apa pun ekspresinya, sangat terlihat sekarang.
"Tanganmu dingin beberapa kali. Awalnya kukira karena angin di luar. Taman dan tempat dudukmu membuatmu tersentuh angin." Ia berjongkok, menyentuh lapangan dengan tangan. "Panas, kan di sini? Jadi, ada apa?"
"Lucidna ... di sana panas. Kamu ke kelas saja, ya."
"Oh di kelas aman ya? Sampai kapan? Sampai Kayala tiba-tiba mengajakku bicara lagi?"
Lucidna tidak lupa jika ada satu lagi orang di kelas yang bisa jadi membuatnya dalam masalah. Terakhir kali, Kayala memang mengajaknya bicara, tapi bagi Lucidna yang sudah merasakan berbagai hal karena tak bisa memenuhi ekspektasi teman sekelas lamanya, ia tidak yakin, bicara dengan Kayala akan berakhir damai-damai saja.
"Oh atau sampai guru menegurku karena mengantuk?"
Walaupun Lucidna berusaha, ia tetap punya kelemahan yang sulit diubah.
Lucidna mengembuskan napas panjang melihat Novel menunjukkan tanda-tanda ingin melakukan sesuatu sendiri. Sebenarnya, kalau Novel seperti itu untuk diri sendiri, Lucidna takkan segigih ini untuk bertanya hal yang tak ingin dijawab.
Jangan marah, nanti dulu. Tahan Lucidna. Kalau tidak mau menjawab, aku akan menyudutkan dia sampai aku dengar apa yang seharusnya aku dengar!
Lucidna bangkit berdiri, membersihkan debu dari roknya. Setelah itu, ia mendekati Novel, berdiri di depannya. Menangkap mata cemerlang yang sedikit bergetar tak fokus itu dalam pandangannya.
"Kemampuanmu itu membuatmu takut kan? Seperti melihat hantu?"
Melihat bola mata cemerlang itu seperti dihentikan waktu hanya untuk terfokus padanya, Lucidna langsung tahu.
Ia tepat sasaran.
31-01-2025 | 837 kata
‧༓☾𝙼𝚊𝚢 𝚌𝚕𝚘𝚟𝚎𝚛 𝚋𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚢𝚘𝚞☽༓
Kepak kupu-kupu di atas daun semanggi,
Peluk hangat untuk semuanya dari Yemi
┈˚୨୧⋆。⛧˚ ⋆ 🦋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro