Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◌13. Bagaimana Rasanya Menerima Perbuatan Sendiri?◌

"Communication is the ultimate weapon, whether through words or a silent gaze."

-Lucidna Jingga


Lucidna memejamkan mata beberapa detik. Setelah itu, ia menatap makanannya yang masih banyak.

"Permintaan seperti itu sepertinya sulit." Ia berterus terang. "Novel, kalau tujuanmu membelikanku makan untuk membuatku menurut, ini terlalu murah. Makanan ini bahkan tidak ber-merk."

Mata kantuknya sedikit menyipit sedetik. Walaupun aku memang hampir mengikutinya dengan mudah.

"Kalau begitu anggap saja ini permintaanku sebagai ketua kelas," pinta Novel, ia tidak menyerah.

"Permintaan bebas diberikan, begitu juga penolakan." Lucidna menatap tajam si ketua kelas. "Jangan pikir aku merasa nggak enak ke kamu hanya karena kamu bersikap baik."

Apalagi kamu bersikap seperti tidak percaya aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Ia memendam kata-kata itu.

"Lucidna," panggil Novel dengan suara lembut dan berhati-hati, "kamu marah, ya?"

Pertanyaan itu benar-benar membuat makanan yang sudah ditelan Lucidna seolah mengoyak perutnya. Mual. Panas. Walaupun ia tahu, itu hanya delusi yang keluar karena kepalanya dipenuhi kekecewaan.

Entah kecewa pada Novel atau dirinya sendiri.

"Aku berusaha tidak berprasangka buruk, ya. Jadi, jangan melakukan itu padaku. Apa menolak permintaanmu berarti marah?"

Novel tidak segera menjawab. Ia menunduk, lalu menggeleng.

"It's clear as a sky. That's a no. Jadi, balik lagi ke pertanyaanku, ini harganya berapa?"

"Nggak, aku nggak mau dibayar. Itu juga nggak akan cukup untuk menutupi kesalahanku. Aku minta maaf ya."

Kekecewaan yang dipendam perlahan menghilang setelah mendengar suara lembut yang memohon dan mata cemerlang yang menatapnya seperti sangat merasa bersalah.

Bagi Lucidna, akan lebih baik jika ia meminta dibayar, jadi dia tak akan merasa tak enak seperti saat ini. Apa ada yang salah dengan kata-kata yang ia lontarkan? Sepedas apa pun ucapan dari bibirnya, ia yakin tak ada yang salah.

Kepercayaan itu mahal, buktinya meski sudah memberitahukannya rahasia, Novel belum percaya dan ingin menanggung masalah sendirian. Bahkan itu bukan masalah yang menimpa temannya.

Kalau ingin barter, harus dengan harga setimpal, apa Lucidna salah? Masalah merk hanya perumpamaan, tapi bukannya bertanya ia harus apa, Novel justru berusaha mendorong Lucidna agar menuruti permintaannya sebagai ketua kelas.

Jangankan ketua kelas, guru saja kalau Lucidna tidak suka maksud kata-katanya akan disindir olehnya.

Namun, entah mengapa hal yang membuat Lucidna terpukul adalah penilaian Novel. Benar atau tidak, dia tidak tahu, tetapi Novel seolah menilai kalau ia memiliki sifat prasangka buruk dan mudah marah.

Apa Lucidna salah ketika ia mengembalikan itu ke Novel? Ia tidak berpikir ada yang salah.

Apa spesialnya Novel sampai membuatku merasa tak enak karena berkata-kata hal yang tidak salah? Manipulasi? Lucidna berusaha keras menemukan alasan di balik perasaan tidak jelas yang terasa berlawanan dengan pikirannya.

Novel mendekatkan kemasan makanan yang masih berisi nasi dan ayam itu ke Lucidna. "Habisin makanan dan minumnya, ya. Kalau kurang, nanti aku ke kantin lagi. Kalau mau ke kantin, nanti aku temani."

"Aku bukan anak kecil."

"Bagiku, kamu perempuan pintar dan keren, kok," puji Novel diikuti senyuman lebar.

Lucidna hanya mengangguk. Lalu melanjutkan makan, sembari berhati-hati agar tidak tersedak.

Hening. Novel tidak mengobrol lagi. Tidak memanggil namanya dengan suara lembut atau mengomentari sesuatu dengan nada canda.

Perubahan yang sangat jelas itu membuat Lucidna mengumpulkan tekad.

Lain kali aku akan minta Mama membawakanku bekal. Makan makanan pemberian orang lain yang kutolak permintaannya rasanya terbebani.

◌◌◌

"Hei, anak yang tidur di sana!"

Lucidna segera bangun mendengar bentakan penuh amarah dari guru IPS-nya.

"Kamu lagi. Niat sekolah tidak?"

"Niat, Bu," jawab Lucidna sekadarnya. Ia heran kenapa guru perempuan di sini cenderung sangat aktif menegurnya, padahal guru laki-laki saja cuek kalau dia tidur di meja, bahkan sampai benar-benar tertidur.

Ah nggak, kecuali guru olahraga yang suka genit, keluh Lucidna, sibuk di dunia pikirannya.

"Bangun kamu. Ini spidolnya habis, kamu isi dulu, sekaligus cuci muka agar tidak mengantuk terus!" perintahnya membuat Lucidna hampir sengaja tiduran lagi.

Aku mengantuk di kelas bukan karena aku suka. Lagi-lagi ia mengeluh dalam hati.

"Siapa namanya? Saya lupa nama anak baru."

"Nama saya Lucidna, Bu, tidak apa karena nama saya bukan nama pahlawan bangsa yang harus dihafalkan."

Lucidna berusaha mengendalikan ekspresinya. Diam-diam ia sangat puas melihat wajah kehabisan kata-kata guru IPS itu. Ia segera berdiri, mendekati meja guru, menunduk hormat sambil mengambil spidol dan pergi.

"Jangan mampir ke kantin atau koperasi kamu ya!" larang guru IPS itu.

"Baik, Bu."

Ia menuruni tangga dengan langkah cepat. Lorong-lorong sekolah begitu sepi, taman kelas juga sama. Ia berjalan santai, tidak berniat cepat kembali ke kelas. Ini kesempatan karena ia keluar saat rasa kantuknya belum terlalu berat.

Untuk mengisi spidol, ia perlu menemukan lemarin penyimpanan barang seperti piala, kerajinan, juga alat tulis seperti spidol dan tintanya. Lemari itu ada di lorong menuju pos satpam. Jauh dari koperasi dan kantin.

Tidak seperti yang diperingatkan gurunya, ia tidak memiliki kemungkinan untuk mampir ke sana. Lucidna tidak merasa peduli juga.

Saat ia fokus berjalan menuju tujuannya, keramaian mulai menyapa. Ia melirik ke kanan, lapangan olahraga diisi dengan anak-anak dengan seragam olahraga berwarna merah sedang bermain bola volly.

Itu warna seragam olahraga kelas tiga.

Lucidna mengalihkan wajahnya dengan cepat. Tidak ada yang menarik untuk dilihat. Akan tetapi, mengingat pemilik seragam itu, ia jadi teringat ucapan Novel.

Taman di depan kelas, ia ingat bagaimana ekspresi Novel saat menceritakan orang yang hampir mengganggunya karena mengira dia melihat orang itu merokok.

Mata cemerlang itu seolah berkilat seperti mata pisau. Begitu tajam dan menusuk. Walaupun tidak menggebu-gebu, setiap ia menyebut nama orang itu, ia akan terdiam, mengatur napas, entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu.

Seperti menahan sesuatu mati-matian.

Lucidna bergumam, "Kalau tidak salah namanya ..."

"Roy!"

Lucidna tak dapat menahan diri untuk tak menoleh. Ia berhenti melangkah, mencari si pemilik nama hama. Ia tak yakin teriakan itu dari mana karena tadi ia melamun, tapi ia tahu satu hal.

Laki-laki dengan tubuh kokoh yang baru saja memukul bola yang dioper sembari berteriak puas penuh kemenangan itu membuat leher Lucidna merinding.

"Tim Badroy skor 3-0!" seru guru olahraga yang duduk di pinggir lapangan, tak jauh dari lorong Lucidna berdiri.

Kebetulan sial apa ini?

Mata Lucidna mendapati kalau pemilik nama Badroy itu menatapnya.

Sial.

Kakak kelas itu melemparkan tatapan tajam padanya. Ia mengambil bola voli terdekat lantas bersiap melemparnya ke arah Lucidna. Itu terlalu jelas dibaca dari mata.

Sial.

Lucidna tidak berkedip sekali pun. Tangan kanannya mengenggam spidol dengan sangat kuat sampai tulang jemarinya berbunyi.

Seperti apa ekspresiku saat ini?

Bola voli melesat cepat padanya. Ia mengambil selangkah ke kanan, menghindari kontak dengan bola itu. Hasilnya, bola itu menabrak dinding dan terjatuh.

Guru olahraga memarahi Badroy lalu menyuruhnya mengambil bola itu. Di sisi lain, Lucidna mengambil bola voli yang menggelinding tanpa arah.

Badroy tertawa ringan sambil menuruti perintah gurunya. Diam-diam, Lucidna membuka penutup spidol, lalu menusuk bola itu keras-keras. Ia tidak peduli kalau itu properti sekolah.

Itu lebih baik daripada menusuk orang.

"Hei, cewek kelas dua."

Lucidna berbalik.

"Cantik, lempar bolanya ke sini dong!"

Lucidna dapat mendengar sorakan kakak kelas lainnya, sepertinya mengira bahwa Badroy sedang bercanda, menggoda adik kelas yang kebetulan lewat. Ia yakin dari lemparan keras tadi, manusia yang tak ada bedanya dengan hama ini justru serius ingin melukainya.

"Kok, diam saja, sih? Lempar, dong, Cantik!"

Ia ingat Novel bercerita kalau identitas Lucidna tidak diketahui Badroy. Itu membuatnya lega.

Sama seperti perasaan bergemuruh dalamnya yang mengetahui ia hampir dicelakai oleh seseorang yang bahkan tak ia kenal, Lucidna harap Badroy merasakan hal yang sama.

Ia melempar bola yang mulai terasa empuk, kehilangan udara akibat tusukan menggunakan spidol. Lalu ditangkap dengan sigap oleh kakak kelas itu.

Lemparan yang hampir tepat, refleks yang sigap. Orang ini membuat laki-laki sekuat Novel sangat waspada, pikir Lucidna, berusaha tak menurunkan kewaspadaannya.

"Oke, terima kasih, Cantik." Badroy tersenyum miring. "Siapa namamu?"

"Jangan bertanya namaku, Kakak," jawab Lucidna, ikut tersenyum miring. Ia tidak tahu bagaimana ekspresinya sekarang.

Tapi ia tahu dua hal.

Pertama, Novel tidak cerita bahwa dia kalah dari Badroy. Artinya, Novel masih lebih hebat.

"Nanti Kakak dimarahi Novel."

Kedua, sejak ia tersenyum miring, Badroy menunjukkan tatapan permusuhan yang sangat kentara. Ditambah kata-katanya, sepertinya ia akan meledak kalau bukan karena guru olahraga memanggilnya.

Lucidna melanjutkan perjalanan lebih cepat. Begitu menemukan lemari penyimpanan yang berkaca bening, ia mudah menemukan isi tinta spidol. Ia mengisi spidol itu dengan hati-hati lalu menutupnya.

Dari jauh ia memperhatikan pertandingan bola kakak kelas itu. Hanya menonton sebentar, pertandingan itu berhenti. Terlihat ada pergantian bola.

Lucidna tersenyum miring, lantas segera pergi dari sana.


25-01-2025 | 1383 kata

Author note

Bosan ya Lucidna disuruh nurut terus?

Lucidna ketika tidak dibatasi: membuat bola yang lagi dipakai bertanding, kempes

Aku gatau bagi kalian chapter ini kesannya bagaimana.

JUJUR

Aku excited banget Lucidna dengan tegas menolak Novel walau di hatinya ada rasa ga enak tertinggal

Tahu ga sih tega ke orang yang niatnya baik itu ga enak? Iya itu yang dirasakan Lucidna

Cuma dia baru kali ini beneran ngerasain

Karena di sekolah sebelumnya *pip*

Anyway

TERIMA KASIH ATAS DUKUNGAN KALIAN SEMUA🌷💗

‧༓☾𝙼𝚊𝚢 𝚌𝚕𝚘𝚟𝚎𝚛 𝚋𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚢𝚘𝚞☽༓

Kepak kupu-kupu di atas daun semanggi,
Peluk hangat untuk semuanya dari Yemi
┈˚୨୧⋆。⛧˚ ⋆ 🦋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro