hidden stories from the sun (Chapter 56)
"Cerita yang kau buat adalah ilusi tak nyata. Terlalu naif juga salah, hidup penuh kepolosan dalam dunia pandai menipu itu sebuah bencana berat."
..
Hati Taehyung sangat sensitif juga mudah cemburu sehingga kepekaan seorang kakak kadang dipermainkan. Suga pernah mendapatkan tipuan di masa kecil dari seorang ayah yang telah meninggalkannya dulu. Dia berharap jika adik pertamanya tidak menuruni sifat ayahnya yang demikian. Adegan dalam setiap potongan kecil terjadi tepat setelah dia melihat bahwa di sana ada pipi merah dalam bekasnya. Bekas tamparan keras sampai rasa sakit itu merujuk pada sistem sarafnya.
"Awas Taehyung! Aku akan membuat kau menyesal, kau bukan adikku kalau kelakuanmu bagai iblis!" Sentak Suga dalam kerongkongan tersenggal. Entah sudah berapa menit dia berlari, tenaga habis saja dia tidak akan pedulikan lagi.
Rumah Taehyung letaknya masih jauh, tak akan dia pedulikan saat dia kesana jika Taehyung menghajar dirinya lantaran anggapan dirinya sudah menganggu keputusannya menyakiti Jungkook. Berkali-kali ponsel lama milik Suga memanggil ponsel adiknya, tetap saja tidak berhasil. "Taehyung sadarkah kau? Jika kelakuan yang kau lakukan ini sangatlah salah?" Entah dia punya naluri kuat atau hal lain. Dia tidak suka jikalau Jungkook menyembunyikan fakta sebenarnya. Sejak kecil Jungkook memang membela kakaknya itu, bersembunyi di belakang ketiak ayah ibunya kalau sudah menangis.
"Tuhan apakah aku akan siap menghadapi fakta permusuhan ini? Adikku sendiri, dia akan melakukan kejahatan. Lindungi Jungkook, aku mohon Tuhan?"
,
Jangan samakan nasib juga takdir dengan orang lain. Meski orang lain melakukan segala petualangan manis-pahit kehidupan dan kau hanya sebatas tahu tanpa mengetahui perjalanan mereka. Jangan harap kalau kau bisa menyelesaikan solusi yang retak sekarang ini.
Seokjin mengintip dari sebuah jendela yang sebenarnya tak sampai dengan tinggi badannya. Suara rengekan dari seseorang di rumah kawannya. Seorang sahabat yang baru datang menjemput sahabatnya bermain di masa liburan sekolah kali ini. Dia harus menunggu sejenak di luar bersama Jungkook yang sibuk menggendong bonekanya.
Tugasnya ialah, menjaga perhatian Jungkook agar tidak bercampur dengan masalah di dalam ruangan sana. Setidaknya tidak ada pertanyaan besar mengenai bibir manisnya untuk mengatakan soal 'apa yang dialami Taehyung saat ini?' semoga saja tidak ada hal itu. Seokjin tidak pandai kalau dia harus melakukan kebohongan demi kebohongan yang telah terjadi. Beruntung sekali saat seorang ayah sedang menyentak suara di depan putranya, Jungkook tidak mendengarnya. Boneka kesayangannya adalah pusat semesta juga perhatian kedua matanya yang lucu.
"Jungkook, come on! Kita pergi ke taman dan bermain pasir disana," ungkap dalam bahasa riang juga penuh semangat. Tak lupa dia menutup kedua telinga Jungkook, agar tidak ada mental yang terluka.
"Oke, tapi aku akan bawa makanan. Jungkook takut kalau lapar, nanti perutku berbunyi."
Jungkook awalnya masuk, mengeluh sedikit dan merengkut suara mencicit manja. Hampir gagal saat tangan itu di tahan oleh Seokjin, ditarik pelan.
"Hei, aku akan belikan kau makanan. Sudah, jangan susah payah berjalan masuk ke dalam kamar. Kakak kan ada uang hehehe..."
Tak ada kata manis yang kuat selain ungkapan jajan yang banyak. Jungkook sangat senang, sedikit melompat dengan kedua tangan bahagia. Berlari lebih dulu hingga Seokjin menggandeng tangan Jungkook agar si kecil tidak jatuh atau bahaya. Yoongi tak jauh disana mengangguk setuju atas perbuatan yang dilakukan oleh Seokjin. Lega juga karena Jungkook fokus bermain.
"Saatnya aku harus turun tangan. Tidak baik, kalau Taehyung mempertahankan egonya. Membuat kisruh keluarga juga aku marah besar!" Sentak pada detak jantungnya yang setidaknya masih berusaha dia kontrol. Yoongi abaikan tugas sekolah yang dia buat, di dalam kamar dia masih bisa mendengar bagaimana ayahnya masih memukul belakang kaki Taehyung dengan rotan panjang. Kaki itu pasti memar berwarna merah dan perih, bukan hanya itu saja.... Rasa sakit yang dia rasakan itu pernah dia lalui saat dia berusia 5 tahun. Ketika Yoongi tidak sengaja menjatuhkan akuarium kesayangan ayahnya.
"Ibu, aku ingin bertemu dengan Taehyung. Apakah aku harus menunggu sampai ayah selesai?" Pertanyaan itu adalah ungkapan kilas balik yang membutuhkan jawaban tepat. Ibunya merasa berat menjawab pertanyaan si anak pertama. Mengulas rambut penuh sayang, mencoba tersenyum diantara rasa tegar miliknya. "Ibu tidak tahu, lebih baik kau tunggu disini sampai ayahmu keluar dari kamarnya. Tidak baik kalau kau masuk saat dia marah besar begini," pengertian yang dia katakan hanya untuk melindungi Yoongi juga.
"Ayahmu akan sangat marah jika seseorang ikut campur. Yang dilakukan Taehyung adalah kesalahan, ibu merasa ini cukup adil untuk dia. Ayahmu melakukan hal terbaik yang bisa dia lakukan untuk menjagamu." Jelasnya kemudian, ada setitik kesedihan. Bangkai kelinci di dalam kamar itu sudah dikubur di dalam tanah. Semoga tidak ada bau busuk yang terkuak dari sana.
"Taehyung sudah membunuh hewan, ibu. Ini sangat keterlaluan dan bagaimana kalau Jungkook tahu? Jika dia bertanya padaku, bagaimana cara aku menjawab pertanyaan adik?" Dalam satu kalimat ucapan dia lakukan secara satu tarikan nafas panjang. Ibunya mengusap puncak kepala Yoongi, sayang sekali kalau dia tidak diijinkan, padahal.... Dia bisa meminta jawaban langsung ketika adiknya menangis. Jujur karena takut adalah kebiasaan Taehyung yang sangat dihafal oleh Yoongi.
"Jika dia membunuh kelinci karena digigit itu memang bukan kesalahan sepele. Taehyung sangat menakutkan, masalahnya yang dia bunuh adalah peliharaan Jungkook. Jika Jungkook mencarinya dan tahu kalau Taehyung membunuh peliharaanya, maka aku tidak bisa melerai perdebatan itu ibu."
.
Kekuatan seorang kakak tiada habis. Tak bisa dipungkiri jika hasil yang Suga dapatkan sudah optimal. Dia mendapati rumah sepi tak ada siapapun disini. Suga menemukan kalau tong sampah di sana penuh dan belum ada lalat. Masih baru, sampah dapur yang masih terbilang belum lama dan sangat tidak mungkin jika penghuni rumah ini pergi.
"Bajingan itu tidak akan bisa lolos, aku yakin kalau Jungkook ada di dalam sini."
Di depan rumah ini dia sudah mencoba membuka engsel pintu secara paksa. Tetap tidak membuahkan hasil, dikunci dari dalam. Kata kasar mengumpat bagai makanan setiap hari bagi Suga. "Brengsek, aku tidak akan memaafkan mu!" Lagi dan lagi, apa dia bisa menahan bogemnya. Jujur, tangan ini sudah sangat gatal dan siap untuk melepaskan beban keras ini.
Suga edarkan pandangan ke sekitar, tidak ada tetangga yang mau keluar dari rumah mereka walau mereka kedapatan sedang mengintip dari jendela.
"Taehyung pasti sudah membuat andaman, jika iya mana mungkin mereka takut."
Terasa sangat dingin dari cara bicaranya. Nafasnya sudah terengah karena dia lelah berlari. Oh, kedua lutut yang telah bekerja keras, keringat keluar sebesar biji jagung. Suga menahan batuknya dan mencoba untuk mengintip dari luar sana. Seluruh rumah ditutupi korden dan tidak ada cahaya lampu disana. Matahari dilarang masuk dan membuat jalan pemandangan untuk siapapun yang hendak melihat. Taehyung sangat serius untuk membuat Jungkook layak di sekap tak berperikemanusiaan.
'aku pikir aku bisa mengatasi emosiku. Sekarang malah aku butuh bantuan kakak, untuk bisa mengendalikan diriku.' Suara itu adalah suara sang adik, Taehyung. Suara menciut minta bantuan di masa lalu.
Sisa kenangan pahit yang tak akan disukai olehnya. Tidak semua kenangan yang dia ingat, dia hanya tahu sebatas ini sejak otaknya sembuh beberapa persen. Ingatan yang dapat hilang kini muncul ke permukaan perlahan. Suga menendang sebuah pintu yang dia dapati adalah rumah adiknya. Taehyung mungkin di dalam sana dan menoleh ke arah suara sumber disana. Suara Suga yang emosional tengah memanggil nama Taehyung murka.
Jebol sudah pintu rumah depan itu. Tak masalah, Suga bisa menggantikan kerusakan dia buat. Nyawa Jungkook sedang di pertaruhkan disini, dia bisa lihat kalau suasana di dalam rumah ini sangat buram tak menyenangkan. Rumah yang cukup bagus tapi tidak ada penerangan sama sekali, bau sup panas mendidih mengepul di dalam ruangan ini.
"Taehyung! Keluar kau, kau apakan adikmu Jungkook?!"
Suga memperhatikan tidak ada orang yang mau mendekat ke arahnya. Meski terkesan sepi, tapi kepulan sup ini masih sangat kuat baunya. Api di kompor menyala dan ukurannya juga sedikit membesar. Untung saja rumah ini tidak terbakar, mungkin saja kebetulan sekali dia tepat waktu. Taehyung mana bisa meninggalkan rumah ini cepat lantaran dia baru bangun dari koma. Kemungkinan besar dia belum sempat tahu menahu soal lingkungan kota ini.
"Aku curiga kau ada di dalam sini. Pengecut sepertimu, kau bagai adik manja selama ini. Sekarang kau lakukan kesalahan lebih dan aku benci ini!" Kekesalan dia katakan sudah membuat dia tersenyum kecewa. Sangat kentara dan menyakitkan dalam pandangan matanya juga. Ada jutaan yang ingin Suga katakan pada Taehyung, dia sangat yakin jika adiknya memiliki masalah tak terbendung.
Suga menarik nafas dan membuangnya pelan. Dia ingat jika ibunya melarang dia untuk egois dalam emosi. Salah jika dia begini, Taehyung akan sangat senang menanggapi kekalahan yang berasal dari kekurangannya.
"Suga, aku tahu kau bisa lakukan ini. Untuk apa kau marah? Kau harus dengarkan apa kata adikmu, seperti nasihat ibu sebelum dia tiada." Berat memang saat dia mengatakannya. Kata tiada, Suga sangat yakin mengatakan ini karena dia sudah rela.
Kematian kedua orang tua membuat dia merasa kurang sebagai seorang anak.
Suga mencoba santai, sesekali melompat beberapa kali agar dia bisa mengambil nafas segar. Mendongak ke atas, memelankan suara emosi dari nafas yang tak bisa dianggap enteng.
"Taehyung, jika boleh aku ingin bicara padamu. Ku harap adik kita Jungkook baik saja, aku ingin bertemu dengan mu. Aku adalah Suga, kakakmu. Jika kau masih menerima ku," dia bicara santai. Kedua bibir kering itu dia dibasahi dengan ludahnya.
Tampaknya nyaman jika dia kembali duduk di atas lantai dapur. Meski ada bau sup hangat dalam dapur, tak ada yang bisa membuat dia goyah. Makanan enak saja dia abaikan demi kepentingan menyelamatkan nyawa adiknya. Suga harus akui kekalahan jika dia perlukan itu.
Satu menit dia menunggu.
"Aku yakin kau ada di sekitar sini Taehyung, kemari lah.... Duduk di sebelahku dan kita mengobrol sebagai kakak adik. Terbuka dan cukup kita saja yang memahami, bagaimana?" Tanya sang kakak. Suga memainkan gambar di atas debu dapur ini dengan ujung jarinya. Menulis nama disana dan nama kedua adiknya bagai silsilah keluarga.
"Bukankah kau rindu juga kebersamaan kita Taehyung? Aku jauh datang kesini sampai mandi keringat demi kau adik," manis juga dia katakan. Sosok di balik dinding sedikit menunjukkan antusiasnya.
Oh ya, Taehyung susah-gampang untuk dibujuk. Suga dia menunjukkan senyum manis gulali di depannya, seorang pemuda yang mengintip. Yang hidup dalam tekanan tak bisa dia katakan, Jungkook di dalam rumah ini dalam keadaan menggantung tak bisa dijelaskan perasaan nya, "ayo! Kita duduk disini bersama. Aku rasa sup anjing yang kau masak ini bisa menggantikan rasa lapar di perutku ini, Kim Taehyung." Suara yang bisa dikatakan antara ejekan dan membujuk. Bagaimana mungkin Suga tahu daging di dalam kuali sana karena sedari tadi dia tidak membuka tutupnya dan hanya mematikan. Taehyung sudah paham betul seorang kakak punya firasat kuat. Beberapa menit dalam suasana kelabu sepi Taehyung berani menunjukkan dirinya sendiri.
Suga menelan ludah diam saat menatap ada pisau tajam juga mengkilap di tangannya. Benda tajam itu akan menusuk siapapun yang mencoba untuk mengganggu jiwanya. Jiwa yang terguncang di balik suara nafas gemetar miliknya.
"Yoongi hyung...."
Panggil pelan seorang adik kepada kakaknya. Suga sangat rindu akan suara ini, tak ada yang bisa mengalahkan panggilan manja maut milik Taehyung. Sangat aneh kalau dia menangis dalam diam, berusaha mengusap kedua air mata diantara kelopak mulai runtuh. Suga punya egois besar karena dia sudah janji untuk tidak menangis.
"Ya, ayo... Aku disini akan mendengar dirimu. Taehyung ingin bicara apa? Kakak akan dengar," ucap Suga secara pelan.
Sama seperti dulu, saat Suga mulai memperhatikan adiknya di sela kesibukannya. Bedanya dia anggota berandal dan bukannya anak sekolah dasar.
,
Ibunya Seokjin menahan tangan anaknya untuk tidak datang atau membantu Jungkook sama sekali. Kegilaan dan perasaan seorang ibu untuk melindungi anaknya adalah hal utama yang bisa dia lakukan saat ini. Penuh keyakinan dia minta pada anaknya bicara berdua saja serius. Rangkaian kisah yang tidak mengenakkan antara ibu dan anak ini bisa jadi berakhir segera, dua buah mata yang mengeluarkan air matanya tak rela. Tak suka kalau anaknya malah membela pada suatu yang merugikan dirinya sendiri.
"Bisa jadi kau yang akan celaka disana nak. Ibu tidak ingin melihat kau mati menderita," kata ini sangat jarang Seokjin dengar, ibunya memang wanita penyayang yang mengkhawatirkan keadaaan putranya. Seokjin merasa senang dengan sikap ibunya, sekaligus sedih juga karena di saat genting begini malah ibunya melarang dirinya menolong Jungkook. Jungkook yang menjadi keluarga rumah ini dalam waktu tak singkat.
Seokjin mengambil beberapa alat perkakas rumah yang dia gunakan untuk membantu Suga, mungkin tidak terlalu penting. Hanya saja dia ingin membobol rumah juga kalau dia disana lebih cepat. Dia hanya mendapatkan pesan dari Suga untuk jangan buru-buru ke rumah Taehyung. Kemungkinan besar dia sedang membujuk Taehyung, membujuk untuk bisa melepaskan Jungkook demi kebaikan semua.
"Apakah menurut mu ibu tidak akan diam saja? Tentu, ibu akan menghalangi dirimu," ucap tegas ibunya.
Tangan itu mendorong pintu sampai ada bunyinya. Marahnya seorang ibu, adalah kasih sayang terhadap anaknya. Seokjin menarik nafas agar dia tenang, sangat tidak etis kalau dia membentak ibunya. Alasan bodoh kalau dia malah melakukan kata kasar kepada ibunya yang sudah membuat dia ada di dunia.
"Dengarkan apa kataku, aku ingin menolong Jungkook. Suatu hal yang bisa aku lakukan agar aku menyelamatkan nyawanya. Menolong ibu juga Jiyeon disini," pantas ucapan itu dia berlakukan di depan ibunya. Selama itu tidak melewati batas keterlaluan.
Ibunya diam, Hae So diam disana dan merenung setiap kata anaknya. Apakah benar dia melepaskan Seokjin membuat ini semua berubah?
Ragu sekali, dia ingin mendapatkan ketenangan malah tidak tahu harus bagaimana. "Aku takut jika sesuatu terjadi padamu, ibu tidak bisa membayangkan bagaimana aku melihatmu berdarah nantinya. Taehyung adalah orang gila, Jungkook adiknya dan kau tidak perlu ikut campur."
Satu tarikan kuat membuat Seokjin sempat terhuyung melangkah ke depan. Perasaan hatinya yang berat untuk ikut masuk ke dalam ruangan dengan ibunya.
"Kumohon ibu, aku ingin kau memberiku jalan untuk bisa menolong Jungkook. Jangan lakukan ini, waktu yang aku dapatkan sangat kecil. Jungkook bisa mendapati masalah lebih besar karena aku terlambat," sanggah Seokjin dengan suara mendayu.
Ingin lepas, tapi sulit. Hae Soo malah semakin yakin kalau anaknya seperti kena pelet berlebih dari orang asing disana.
"Masih ada Yoongi, kakaknya. Dia lebih berhak dibandingkan kau yang datang kesana untuk menolongnya. Jungkook paling sudah aman, jangan terlalu dipikirkan-" tatapan mata kesal. Urusan ini sangat membandel, hingga dia akhirnya mengusap mata jengkel. "ibu sadar tidak? Kalau sebagian masalah yang ibu dapatkan ini juga berasal dari ibu? Taehyung melakukan ini karena dia melindungi Jungkook, ibu ingin mengambil warisan dan hak Jungkook, padahal ibu tahu yang berhak melakukan tanda tangan itu adalah dua walinya. Kedua kakak Jungkook yang masih ada dan utuh juga sehat," ingat masalah ini malah membuat kepalanya hampir meledak.
Ibunya malah menciut nyalinya. Perkataan putranya benar, testimoni soal dirinya malah mengarah ke bagian serakah.
"Aku benar mengatakan ini, aku bahkan tidak bisa mengatakan lebih jauh lagi. Aku menjadi dokter demi ibu, membahagiakan ibu dengan uang dari jerih payah yang aku lakukan."
Pendidikan dia lakukan ini hasil dari dia belajar. Belajar dan belajar menghabiskan waktu adalah usahanya. Ibunya mungkin bangga, lalu selama dia menjadi dokter magang maka yang dia lakukan adalah hal sia-sia tak berdasar.
"Lakukan apa yang ibu mau, selama itu menggunakan uang ku. Jangan lakukan hal lain dengan uang Jungkook, aku mohon."
Permohonan anak adalah permainan bagi sang ibu. Hae Soo bukannya menjawab, dia malah pergi. Pergi menjauhi diri dari hadapan sang anak. Kebenaran ini membuat dia sumpek lalu tak ingin mendengarkannya.
Jungkook adalah awal keruntuhan hubungan dalam keluarga ini menurutnya. Jungkook tinggal petaka malah datang.
"Jangan buat aku membenci ibu, aku mohon...."
....
TBC...
Aku menulis penuh cinta. Berharap kalau kalian suka. Semoga kalian semua sehat selalu, tetap semangat.
Gomawo and saranghae ♥️
#ell
13/06/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro