Family (Chapter 41)
Sohyun masih menggunakan pakaian gaun dia kenakan. Dalam sebuah mall gadis ini lolos dan bisa melarikan diri, tampak lelah juga buru-buru menghindari dari dia yang kini memanggil namanya berulang kali.
Sohyun tampak acuh serta tak peduli. Saat dia mendapatkan pandangan sekitar atas sikapnya tampak sangat mengganggu. Jika bukan karena hatinya memberontak, maka langkah kaki itu pastinya juga menurut sesuai keinginan ayahnya. "Aku tidak mau lakukan ini, menyakiti ayah atau sebagainya. Tapi... Menikah juga bukan jawaban tepat untuk dia lakukan. Usianya masih terbilang sangat muda untuk kata adiknya." Ucapnya diantara nafas tersenggal.
Makin jauh pergi dirinya, maka dia semakin acuh juga. Pria di belakangnya juga menyuruh beberapa pengawal berseragam hitam untuk bisa mengikuti langkah kakinya. Langkah kaki yang ditujukan untuk terus berlari dan berlari, berharap Sohyun akan di selamatkan di ujung sana. Tanpa ada tahu bahwa dia sudah sangat kesusahan untuk meminta tolong saja.
Mereka yang melihat juga seolah tidak peduli bagaimana kesulitan Sohyun, membuat adegan tanpa menolong ketika gadis itu jatuh tersandung oleh gaunnya sendiri. Ketika seorang pria hendak menolongnya secara tulus maka tangan lain melarangnya. Menimpal kalau seorang pria punya kekasih tidak akan bisa menolong seorang gadis kesusahan.
"Apa yang kau lakukan? Kau ingin menolong gadis ini?! Jika kau berani, aku akan memutuskan hubungan kita sekarang juga!"
"Eh- kenapa malah begini? Aku hanya mencoba menolong, kau tidak lihat bagaimana dia sangat susah bangun. Sayang.... Jangan bilang kau sangat cemburu karena aku membantu seorang gadis kesulitan," ucapnya diantara membela diri sekaligus mengatakan akan kemanusiaan.
Sohyun merasa kalau dunia semakin gila serta aneh. Dia tidak mabuk, minum anggur saja tidak pernah. Gelengan pelan tanpa dia menerima tangan itu, di sisi lain dia harus menekan egoisnya. Sohyun tidak bisa menerima bantuan orang lain jika salah satu pihak merasa keberatan.
"Aku tidak akan minta bantuan. Tapi, kuharap kau bisa jaga hubungan dirimu dengan kekasihmu. Dia tidak akan suka melihat dirimu, kebaikan bisa kau berikan pada mereka yang lebih membutuhkan."
Sohyun tidak ingin menjadi sosok paling pintar di dunia. Setidaknya, dia bisa menohok sang pacar pria itu agar tidak ada lagi nasib seorang kesusahan seperti dirinya.
Oh ayolah... Siapa yang mau dianggap sebagai pengganggu? Gadis kesusahan seperti dirinya dianggap perusak hubungan tanpa gadis lain itu tahu. Sohyun harap cukup dirinya saja merasakan demikian, getirnya kehidupan semua orang juga merasakannya. Nasib itu beda, akankah dia akan berlanjut membaik?
Mendadak panas juga marah. Gadis yang tadi sedikit marah menahan kekesalannya dengan cara merangkul sang pacar dalam dekapan lengan. Tidak boleh mengatakan apapun dan hanya menurut pada dirinya saja. Sohyun merasa kasihan dengan pria memakai kacamata itu, entah kenapa... Sedikit tersiksa dengan apa dia rasakan sekarang.
Pacarnya terlalu berlebihan. Itulah kenapa, menjadi Omelan sendiri atas sikap dia.
"Semoga... Pria itu baik saja."
Tatapan gadis cantik bernama Kim di depannya itu saja menatap iba juga kasihan.
Sedikit menggantung bicara, dalam akhir kalimat dia mengatakannya dalam untaian doa. Kadang orang gila saja bisa tertawa ketika melihat orang waras melakukan hal gila. Bertemu orang gila dan gadis itu diganggu, merupakan salah satu sumpah serapah yang akan terjadi dalam karmanya di masa depan.
Tak seharusnya Sohyun sangat yakin begini. Kadang dia bingung sendiri, mimpi apa dia sampai bisa berpikir gila dan tak lazim.
Kaki kanan bagian pergelangan saja sakit. Membuat dia memaksa diri untuk berjalan sesuai keadaan, sesekali menoleh ke belakang. Takut kalau, para pengawal itu menemukan dirinya. Pria yang akan menjadi suaminya tidak akan melakukan hal ini kalau Sohyun memilih lebih baik dari dia.
"Aku tidak suka, lebih baik aku menanam seribu bunga demi membayar hutang jika aku harus mengalami ini," omelnya dalam kekesalan luar biasa.
Orang melihatnya, kemanusiaan, kasihan. Entah.... Kadang ini membuat dia malu sendiri tinggal dalam ibu kota yang ada di masyarakatnya saja sangat pupus. Kalau dia ada pilihan, dia bisa mengatakan pada dunia bahwa dia adalah menteri etika untuk bisa memperbaiki semuanya.
Mimpi semata, tak ada kepastian untuk hidup dia jalani saat ini.
"Apakah aku harus kabur? Kalau aku pulang ke toko. Akan sama saja, aku pasti akan mendapatkan masalah. Ayah, dia juga akan mengatakan banyak hal nantinya. Aduh... Aku harus bagaimana dan dimana?"
Kebingungan dalam kelimpungan setengah mati. Kedua mata itu saja tampak buram dalam pandangan matanya. Inti sari dalam masalahnya, dia akan jadi gelandangan satu malam karena tingkahnya sendiri. Sementara di luar sini tanah masih basah karena hujan. Sempat deras, membuat permukaan bawah gaun dia pakai saja sedikit kotor kecoklatan akibat tanah. Semua yang dia pikirkan ini mudah ternyata sangat sulit.
Tak membawa uang, membayar sewa penginapan murah tiga hari saja mungkin tidak akan mampu dia lakukan. Uang dalam dompet kecilnya hanya cukup untuk ongkos naik taksi saja.
"Pikirkan! Bagaimana bisa kau bersembunyi sejenak sampai kau punya ide baik lainnya!"
Setidaknya dia masih ada otak yang cukup pintar untuk hal lain selain menghitung dasar matematika secara lengkap.
"Keinginanku, aku hanya ingin menikah dengan pria aku cinta. Bukan karena paksa, persyaratan atau lainnya. Kenapa ayah mengatakan ini, mengatakan jika aku harus melakukan demi kebaikan keluarga. Rasanya menolak saja susah dan aku tidak mau semua ini terlanjur jauh."
Jauh pemikiran, sampai di halte bus. Tempat beberapa orang menunggu kedatangan tujuan mereka untuk mengantar. Sohyun merasa kalau dia harus mengistirahatkan kakinya. Pegal dan sakit, sudah menjadi biasa bagi dirinya yang setiap hari bergerak ke sana dan kemari tanpa lelah.
"Aku harus bagaimana?"
Masih belum temukan ide. Duduk disini beberapa menit mungkin akan membuat darahnya menjadi lancar jaya tanpa gangguan.
Namun...
Kata santai juga membuat masalah. Ketika dua orang saling mengayuh sepeda bersama menghabiskan perbincangan kecil di jalanan basah. Di depannya, sang komando sangat hati-hati melakukan tugasnya. Sebagai penjaga, sebagai kakak, sebagai pengimbang dan perlindungan ekstra untuk adiknya yang masih sakit.
"Jangan paksa kakimu kalau lelah, Jungkook. Aku tidak akan bisa membiarkan kau merasa sakit, kakimu, badan juga pemikiran yang membuat kau banyak beban. Tidak... Lakukan itu akan membuat diriku ikut sakit."
Taehyung sangat fasih mengatakan hal manis serta puitis. Tak ayal kalau dulu Yoongi suka meledek adik pertamanya ini sebagai anak alay.
Kadang Yoongi akan mengatakan hal itu secara sadis sembari berkacak pinggang seolah tak ada lawan. Ketika matahari terbit maka sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat di depan orang tua.
Baik Jungkook, Taehyung. Keduanya sangat hafal. Tetapi, mereka hanya mengatakan masa lalu dalam hati tanpa mengatakan secara langsung atau ada yang terluka nantinya. Entah kenapa... Keduanya saling memikirkan satu sama lain tanpa sadar hal itu juga membuat keduanya kehilangan kesempatan.
"Apakah Taehyung Hyung juga baik saja? Aku tidak akan merepotkan dirimu dengan membiarkan kau bergerak sendiri saja."
Jungkook mendorong sedikit wajahnya, dia bisa lihat bagaimana Taehyung mengulas senyum dari samping. Senyum kotak khas serta kesayangan satu keluarga dalam rumah. Tidak ada Taehyung dalam keluarga juga silsilah saudara?
Bagai kuah sup jamur tanpa garam. Rasa hambar yang menyakiti ujung lidah juga semuanya. Tanpa ada kata sebagian lagi.
"Tak perlu khawatir. Aku sangat paham, bagaimana aku bisa melakukan ini secara baik. Selama ini aku tidur cukup lama, membuat kau adikku..."
Taehyung mengatakan secara sungguh. Tepat dimana kata adik saja dikatakan, dia sudah menemukan satu titik terang dia lewatkan tanpa dia sadari. Tuhan mempertemukan sekilas tanpa tatap muka langsung satu sama lain. Dimana Sohyun duduk bersantai di atas kursi halte tidak sadar kalau dia kakak kesayangannya dalam fakta itu melewati dirinya di belakangnya.
Tepat dan akurat. Akan terjadi perdebatan hebat saat dia tahu semua ini. Maka dia juga bisa membatalkan pernikahan. Itupun kalau dia mau.
Tuhan akan mengatakan manusia itu punya jodohnya, dia dengan satunya. Dirinya dengan dia. Semua urusan telah diatur sedemikian rupa agar terjalin semua kebajikan serta sebab-akibat yang bisa menyatukan segalanya dalam segala aspek.
Jika Sohyun tahu dia punya tiga saudara laki-laki. Maka yang menjaga dirinya akan jauh lebih ketat, ketimbang mengurus dirinya sendiri. Tuhan memang belum ijinkan itu semua, kala kepala gadis cantik itu menoleh ke kanan dan dia belum menemukan apa-apa.
"Jungkook, aku sayang adikku ini. Kau adalah adikku, tetap seperti ini sampai kita tua nanti."
Taehyung bahagia sekarang. Suka duka akan dia lakukan bersama seiring waktu dan segala kesempatan yang ada. Jungkook membalasnya angguk semangat dengan dia menatap sekitar penuh pesona.
"Aku janji akan selalu bersama kakak. Asal jangan tinggalkan aku lagi," ungkapnya sedikit pilu. Ingat dulu saja membuat dia sedikit sakit, ah... Jungkook tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Keinginan akan dirinya tak bisa mampir ke dalam kehidupan Suga saja membuat dia sedikit sedih juga tak adil.
"Aku merasa aneh. Ketika kau mengatakan semua, kalau kau akan selalu bersamaku. Tapi... Tumbuh menjadi dewasa membuat kita berpisah lama... Jungkook, aku tidak mau menjadi kakak bodoh. Aku akan pintar demi dirimu, aku ingin seperti Seokjin. Dia pintar dan menjalankan tanggung jawabnya. Saat aku tahu aku tidak ada pendidikan tinggi. Aku merasa... Aku tidak akan mampu menjaga adikku serta mengurusnya dengan sangat baik."
"Kau menyalahkan dirimu? Yang lalu adalah kecelakaan. Jangan berkata seperti itu, Seokjin Hyung tidak akan suka kalau kau menyindir dirimu sendiri karena dirinya. Dia dokter hebat."
Jungkook yakin kalau pendapatnya mungkin tidak akan membuat Taehyung merasa baik. Kalau demikian dia salah, tolong maafkan dia. Wajahnya hampir tidak kelihatan dari depan, saat bahu Taehyung menutupi bagian bawah dagunya.
Mata sedih juga ketakutan. Mengandalkan dua bayangan di atas sepeda tercetak di tanah?
Semua itu tidak akan bisa diulangi lagi untuk esok hari. Jungkook merasa takut, pulang ke rumah. Esoknya dia tidak akan bisa kembali menemui dua kakaknya. Ibu juga Jiyeon selalu punya rencana tidak adil padanya.
Ingin bicara tapi susah. Kenyataan pahit mengatakan bahwa dia harus selalu bungkam dan selalu saja begitu, selamanya dia akan menjadi pengecut jika itu yang mengatakan adalah Yoongi.
"Aku kangen Hyung..."
Jungkook memeluk erat tubuh Taehyung. Rasanya sangat terkejut ketika seseorang di belakang sana melingkari pinggang miliknya. Jungkook bilang dia kangen kakaknya, Taehyung memahami. Karena Jungkook sudah bersama dekat dengannya, maka pemuda kelinci kesayangannya ini pasti rindu pada kakaknya satu lagi.
"Kalau kau kangen anggap saja aku Yoongi Hyung, meski kita beda sikap. Tapi... Rasa sayang kami pada dirimu itu sama. Lebih besar, menyayangi dirimu adik kami dibandingkan menyayangi diri kami sendiri."
Taehyung masih mengayuh, menemukan kenyamanan dalam suasana begini memang hal paling lumrah. Bisa jadi, satu kesempatan indah ini akan menjadi memori indah yang harus dan memang disimpan dalam kehidupan masing-masing manusia dalam kejadian berbeda.
"Lakukan apa yang kau suka. Aku akan mendukung, menemukan dirimu lagi. Tidak ada cara lain, saat kau mengatakan aku ingin menggapai mimpi. Maka aku dan Yoongi Hyung, akan menjadi pondasi dirimu supaya lebih kuat."
Jungkook tersenyum, saking senangnya dia menaruh kepalanya ke sisi kanan. Dimana sang kakak memberikan punggung miliknya sebagai tanda kesayangan. Ini manis... Sangat manis, hingga Jungkook tidak mampu menahan senyum lagi. Taehyung menoleh ke belakang sejenak, melihat adik yang begitu manja membuat dia bahagia kembali.
"Eh... Adikku yang manis. Kau sangat membuat aku bahagia sekarang, lakukan lagi. Punggungku akan selalu menjadi bagian dari dirimu yang paling menyenangkan, bukan begitu?"
Jungkook mengangguk setuju. Kenapa dia harus menolak semua ini? Biarkan saja kakaknya ini banyak bicara. Merasa yakin jika suatu hari nanti, akan ada saat paling mendebarkan dalam hidup.
"Aku tidak mau membuat keinginan Taehyung Hyung sia-sia..."
Katakan terima kasih pada Tuhan. Seseorang memang mendapatkan penderitaan serta ujian yang tidak akan melebihi hambanya. Maka, dia bisa memberi satu manusia pilihannya rasa syukur, nikmat besar, juga bahagia.
Hal paling menyenangkan dalam hidup adalah...
Saat kau sendiri mengatakan ya, untuk kau mau. Tidak untuk penolakan. Maka semua akan terasa mudah dan tidak ada lagi kata keberatan.
,
Seokjin keberatan untuk sikap dua orang yang bersama dengannya. Duduk di kursi keluarga, berhadapan satu sama lain. Ingin mengutarakan uneg-uneg agar tidak ada lagi kebencian. Dirinya semakin gagal saat ibunya saja keras kepala, memanfaatkan kesempatan yang ada.
"Sudah berapa banyak dosa kalian pada Jungkook? Kesalahan apa saja yang tak kalian ingat pada dirinya? Begitu mudah ibu dan juga kau Jiyeon! Mengambil haknya, selama ini dia tidak mengambil apapun selain aku yang memberikan padanya kebutuhan secara tulus."
Seokjin langsung meralat ucapannya tanpa kesalahan. Perdebatan ini tidak akan berakhir kalau ibu dan gadis yang merupakan saudaranya ini tidak menyadari kesalahan mereka.
Dokter muda?
Seokjin pikir... Semua itu tiada guna jika dihadapkan pada mereka berdua. Dunia akan runtuh kalau dia tidak bisa mengatasi masalah pula. Belajar dari pengalaman yang lalu, saat dia bisa membuat kesalahan yang sama.
"Jiyeon, tetap duduk. Aku hafal perangai mu. Apa perlu aku sebutkan sampai kau puas?"
Mendengar hal itu saja, Jiyeon langsung memukul meja menggunakan telapak tangannya cukup kesal. Dia tidak bisa mengatakan secara pasti, kalau dia baru saja kalah.
Ibu dari satu anak ini, siapa lagi kalau bukan dia.... Wanita paling disayang oleh Seokjin. Hae Soo, seolah mengabaikan segala tugas juga lainnya hanya demi uang. Dirinya mementingkan di atas segalanya, tiada tahu kalau Jungkook bisa menderita.
"Seokjin, kau tidak bisa mengatakan hal ini pada kami!"
Gebrakan itu dari ibunya. Sang ibu mengatakan dirinya tidak setuju atas apa yang dikatakan anaknya ini. Keinginan agar dia kaya sudah mulai dekat. Lalu, putranya datang mengganggu. Tidak ada urusan dengannya, tidak ada mimpi yang harus dia gapai kalau anaknya saja datang dan selalu mengganggu dirinya.
"Tentu bisa. Aku mengatakan sekarang, bukankah aku bisa melakukan juga? Ibu harusnya malu, mengambil hak Jungkook? Ibu! Dia masih punya dua kakak, kemungkinan besar keinginan ibu... Maaf, tidak akan bisa dipenuhi, sayang sekali..."
Seokjin sebenarnya tidak ingin meremehkan wanita yang telah melahirkan dirinya. Cuma, dia sudah putus asa untuk bisa membuat beliau sadar.
"Kau mengatakan itu? Tidak sadarkah? Kau sudah sakiti hati ini Seokjin," kalau dia menangis apakah akan menjadi masalah?
Seokjin menatap malas. Memutar dua bola mata tak masuk akal atas semua ini. Kalau dia punya keinginan, dia ingin ibunya sadar. Kesalahan apa dia lakukan di masa lampau?
"Kalau saja aku bisa mensyukuri nikmat itu lebih baik. Hanya saja aku tidak bisa bersyukur kalau ibuku semacam ini," ucapnya sedikit keras secara sengaja. Kalau dia mengatakan ini semua akan terasa menyenangkan.
Dia tidak sejahat itu, menjadi seseorang yang buruk bukan tipe dirinya. Maka dia juga ibunya sama saja, sama-sama jahat.
Jiyeon menarik perhatian diri mengamati kelima kuku miliknya begitu cantik. Dia baru saja ke salon sebentar merawat kukunya. Warna merah menyala adalah tipe keberuntungannya. Sangat senang saat dia bisa menampilkan bagian paling menyenangkan dalam hidupnya.
"Janji, ibu tidak akan melakukan hal sama lagi," balas ibunya kemudian.
"Aku tidak mau percaya dengan ibu lagi. Ada banyak janji yang ibu katakan, tak sekalipun kata ibu tepati. Sampai sekarang, aku kecewa. Apakah ibu menyadarinya? Jiyeon yang bukan satu keluarga kandung dalam kartu keluarga saja ibu membelanya dengan sangat. Apakah ibu yakin? Tidak... Aku merasa kalau ibu tidak akan bisa berubah, selamanya..."
Hae Soo harusnya tahu. Anaknya menginginkan sebuah kebajikan.
Air mata keluar kala Seokjin berusaha menahannya. Tak bisa mendongak apalagi membendung air mata di kelopak bawah matanya itu. Hae Soo melihat kalau dia tidak ada urusan dengan ini juga lainnya.
"Aku mau mengatakan sesuatu pada ibu, kalau aku lahir dan waktu bisa di putar. Aku ingin sekali mengatakan pada Tuhan. Berikan aku ibu lebih baik dari ini," ucap Seokjin berat hati sebenarnya.
Tamparan keras, harusnya seorang ibu tahu akan hal ini. Perjanjian dirinya pada Tuhan sejak dia dilahirkan sampai menjadi seorang ibu?
Dia tak akan menyangka kalau putra kesayangannya, Seokjin. Mengatakan hal jahat macam ini padanya.
"Kim Seokjin, kau!"
"Ibu juga harus tahu kalau apa yang aku inginkan ini juga demi kebaikan ibu sendiri..."
Mengulum tangis secara sengaja. Mencoba tegar, tak bisa menahan. Lalu, kedua mata yang terpejam sejenak itu dihadiahkan tamparan kuat oleh sang ibu. Mengatakan kemustahilan tak pernah ada habisnya.
"Bicara omong kosong karena Jungkook lagi!"
Hae Soo berseru keras. Tuhan inginkan dua anak manusia melihat dan menyaksikan secara langsung. Di depan pintu masuk, di sebuah rumah sederhana milik dokter yang baru saja mengirim pesan.
Ponsel Taehyung memang bergetar pesan. Dimana itu pesan baru dari orang lain, setelahnya ada pesan milik Seokjin yang mengatakan kalau dia akan membawa adiknya, Jungkook. Pada sesuatu yang memang harus dia dapatkan sejak dulu.
"Jungkook?"
Taehyung melihat, kalau adiknya menjatuhkan air mata.
Apakah ini bisa dikatakan bahagia? Sementara lingkungan dalam rumah ini saja tidak cukup baik bagi persepsinya sekarang ini.
........
TBC..
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Sudah ada banyak cerita yang aku buat, aku merasa sebentar lagi aku tidak akan lagi melanjutkan berkarya. Melihat fakta, mengatakan kalau aku sudah cukup lama untuk berada di dunia orange.
Lainnya sudah pergi dalam berbagai alasan dan berjuang sendiri untuk bisa menulis Fanfiction sad. Rasanya sangat tidak mudah untuk aku lalukan kalau tidak ada lagi peminatnya.
Aku harap, semua sudah aku selesaikan secara baik.
#ell
23/10/2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro