Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dusk in Seoul ( chapter 18)

"Aku hanya ingin bisa menjadi satu bagian yang membuat siapaoun ikut bahagia dan mengulas senyum. Saat kita berangkulan bersama dan menjadi satu persaudaraan yang kuat, mereka yang datang bisa saja dan pergi dan mereka yang pergi bisa saja datang. Hanya saja aku terlalu takut ditinggalkan sendirian, hidup dalam sebuah fantasi tak seindah bayanganmu. Bagaimana rasanya dan akan seperti apa itu adalah hak mu hanya saja... dari sekian juta akan ada ratusan manusia yang tak suka, dan itu wajar... "

.

.

.

(Author **** POV)

Hari sudah sore, seseorang datang dengan tergesa dan mengetuk pintu dengan sedikit keras dan cepat. Wanita yang sedikit galak dengan sifatnya yang kadang menjengkelkan itu ada disana. Disisinya ada seorang wanita cantik yang kaca mata hitamnya sekaligus mengeluh kegerahan lantaran musim panas berangsur meski matahari mulai tidur di tahta baratnya.

"Kemana mereka?!"

Rasa jengkel itu kian terasa lantaran rumah terasa sepi di depan tempat sederhana itu. Merasa sang anak menjengkelkan membuat wanita cantik itu menggedor lebih keras lagi dan tak lupa memanggil sang putra berharap jika anaknya yang sedikit kurang ajar itu sudi membuka pintu untuk mereka berdua. Menariknya mereka datang tidak dengan tangan kosong, melainkan banyaknya koper yang berdiri di sekitar kakinya. sepertinya ada yang akan pindah hari ini.

"YAAAAAKKK INI EOMMA, SEOKJIN APA KAU MASIH TIDUR!!!"

Mengetuk sangat keras hingga gedoran pintu itu terdengar hingga di rumah tetangga sebelah, mereka yang sibuk dengan aktifitas masa atau beberapa warga yang sedang berjalan kaki seakan terkejut dengan hal tersebut begitu pula dengan Jiyeon yang langsung menenangkan sang ibu ketika beberapa warga melirik ke arah mereka. Seperti sang ibu yang sedang tempramental itu akan menimbulkan masalah besar. Bukan hal baru memang terlebih dia tinggal dengannya walaupun dia bukan anak kandung dari wanita yang sejujurnya membuat dia malu setengah mati lantaran sikapnya sekarang.

"Dasar anak kurang ajar buka pintunya!"

Dengan kepalan tangan dia menubrukan di atas pintu kayu tersebut, bahkan menendangnya dengan sangat keras. Sungguh gedoran itu membuat suara yang ada disana semakin membuat warga kompleks penasaran, takut jika dia adalah wanita gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Menakuti anak mereka yang kebetulan bermain bola di daerah sana dan justru sedikit resah.

Sementara Jiyeon seakan kehabisan langkah untuk menghentikan wanita yang sedikit merepotkan jika marah seperti ini, dia sedikit gelagapan dengan tatapan warga. Sementara dia beberapa kali juga sedikit di bentak dengan tubuh yang tersenggol tak jatuh saat meminta sang ibu untuk berhenti berteriak seperti tadi.

"Hei bu, ibu... diamlah jangan emosi seperti ini kau memancing warga melihat kita?" dengan terpaksa dia membekap sebentar sang ibu begitu pula dengan tatapan yang sedikit takut, canggung dan malu menjadi satu. Bukan apa hanya saja memang benar jika mereka menjadi daya tarik perhatian dadakan. Sedikit kesal dengan sikap anak perempuan tersebut membuat dia melepaskan dengan kesal bekapan itu dan menyembur dengan sedikit hingga Jiyeon mundur beberapa langkah ke belakang.

"Kau bisa melakukan dengan yang baik bukan? Tanganmu kotor dan kau membekapku!" menyentak dengan wajah emosinya. Wanita yang ingin masuk ke dalam rumah itu hampir saja memecahkan kaca rumah dengan salah satu pot disana, dengan cepat wanita cantik yang berusaha menenangkannya walau terpaksa itu menghentikan kelakukan wanita yang seperti kerasukan itu.

"Yaaaakkk jika kau melakukan itu warga mengira kita pencuri, lihat mereka memperhatikan mereka!" kembali membekap wanita yang sedikit acak itu, demi apapun mereka nampak heboh dan membuat beberapa orang hingga tak nyaman. Wanita paruh baya itu enggan di perlakukan seperti ini hingga dia memilih menggigit tangan gadis cantik itu bak melawan seorang penculik, tak ayal jika Jiyeon berteriak sakit dan melepaskan tangannya cepat.

"Jangan sembarang membekapku gadis muda." Tolaknya dengan wajah tak suka, dia ingin masuk rumah anaknya tapi sialnya anaknya tidak kunjung membukanya.

"Jika aku tidak melakukan ini kau akan membuat kita seperti seorang penjahat, lihatlah wajah mereka seperti mengintimidasi kita." Tunjuknya dengan melirik matanya, dan sesekali Jiyeon mengulas senyum ke arahnya dia juga sedikit canggung dengan sekitar. Bukannya dibalas senyuman gadis cantik itu menimbulkan beberapa kecurigaan dari yang lainnya lagi.

"Memangnya aku salah ingin masuk dalam rumah anak sendiri, dan lihatlah Seokjin aku panggil dari tadi dia tak muncul. Apa bocah sialan itu sudah mempengaruhi putraku?" Dia menatap jendela itu dengan kesal, tertutup oleh tirai dia berfikir bahwa Jungkook sudah membuat anaknya jauh darinya. Dia berdecak sebal sembari menggedorkan pintu sekali lagi dan membuat Jiyeon frustasi melihatnya. Jujur ini juga karena ibunya yang membuat hutang dengan bank dan rumah telah disita. Beberapa hari disini dia sudah menjadi gembel. Jika tahu seperti ini mendingan dia di luar kota dan bersantai disana.

"Siapa tahu dia tidak di rumah kau lihat disini sangat sepi, mungkin juga dia bekerja dan lagi pula hari sudah mulai gelap bagaimana jika kita mencari tempat sewa lain?" ucap Jiyeon dengan santainya bahkan dia hendak memainkan ponselnya namun tak jadi lantaran wanita disampingnya merebut ponsel itu dan menjitak kepala Jiyeon hingga yeoja cantik itu terpekik sakit.

"Kau kira aku punya uang hah! enak saja... lebih baik kita disini. jika dia menolak kedatangan ibunya Seokjin anak durhaka, lagi pula jika kita menyewa rumah kita dapat uang dari mana?" Tak setuju dengan tawaran Jiyeon, sang ibu memilih duduk di teras depan rumah itu dia bahkan melepaskan jaket dan menempatkan koper itu pada sisi kanan dan kirinya. Masa bodoh jika dia menjadi agenda tontonan beberapa warga.

Jiyeon rasanya sangat capek jika berdebat dengan ibunya itu, dia memilih duduk dengan wajah sebalnya rasanya dia tak mood bermain ponsel lagi. Dia juga heran kenapa dia bisa betah dengan omelan yang kadang tak sengaja ia dengar, ya meski dia juga tak suka dengan kedua anaknya salah satunya namja muda yang menjadi babu di rumah kemarin. Ah, pastinya dia hanya anak tiri yang harus membalas jasa itu yang dia dengar dari ucapan wanita pemarah di sampingnya.

"Lalu setiap hari kau dapat uang dari mana?" mendadak dia penasaran, dia juga tak sengaja menemukan beberapa barang mahal di dalam kamar ibunya walau dia tahu kehidupannya bersama anaknya cukup sederhana.

"Tentu saja dari putraku, dia bisa menghasilkan uang sejak dia magang. Aku pensiun dari pekerjaanku karena aku sudah lelah, di tambah lagi aku mengurus anak pungut sialan itu. aku menyesal merawatnya lagi pula Seokjin bodoh mengapa dia membawa anak lemah seperti itu. dan lagi kedua kakaknya yang sialan yang sengaja membuat kehidupanku sulit. Andai saja mendiang suamiku tidak menerimanya dengan senang hati mungkin aku bisa melihat anakku menjadi dokter lebih cepat.

"Memangnya apa hubungannya? Bukankah Jin pernah berhenti dua tahun."

"Menurutmu? Memang dan itu karena anak sialan itu yang bersekolah. Putraku harus bekerja dan menunda sekolahnya."

Jiyeon mengangguk dengan wajah santainya, entah sejak kapan dia menikmati makanan camilannya. Mendadak perutnya merasa keroncongan, pasti dia akan menunggu lama untuk ini. Dia juga sedikit kesal saat salah satu tangan kanan wanita disampingnya mencomot makanan kesukaannya, dia membelinya langsung dari luar negeri dan tak terima jika makanan tersebut diambil paksa.

"Yaaaakkkk itu makananku, jika kau mau jangan merebutnya huh!"

Percuma, wanita ini yang tanpa sengaja membentak itu juga tidak peduli. Dia hanya ingin mengisi kekosongan perutnya, melihat area halaman rumah ini dia merasa bangga jika sang putra ternyata sudah mulai mapan dengan hasilnya hanya saja dia juga khawatir lantaran putranya lupa akan dirinya. ibunya sendiri, dan dia menganggap bahwa semua kehidupannya melarat begini karena Jungkook.

Bersumpah dia tak akan pernah mau menerima atau pun mengurus namja bergigi kelinci itu. lagi pula apa urusan hidup bocah itu jika dia sendiri pun tidak mendapatkan keuntungan apapun.

Sementara matahari perlahan semakin menenggelamkan dirinya.

.

.

...............................

Sudah sepuluh menit dia berada disini, bukan karena dia sakit perut atau apa hingga dia berah dalam toilet. Hanya saja dia butuh ruang sendiri untuk menenangkan fikiran dan berkecamuknya. Dia habis melakukan hal yang besar dan beresiko apalagi dia habis berjuang menyelamatkan adiknya.

"Kerja bagus pak Kim kau sangat hebat melakukannya, kabar baiknya kau bisa menyelamatkan pasienmu."

Salah seorang menepuk pundaknya, Seokjin tak tahu siapa itu tapi dia tahu setelah melihat bayangan seseorang dari kaca belakangnya. Wajahnya nampak tegang dan sedikit basah karena sedang cuci muka. Dia tersenyum untuk kesopanan sekaligus menyembunyikan raut kekhawatiran yang bisa menimbulkan tanda tanya orang lain. Ini wajar lantaran dia yang melakukannya sendiri. ini tak mudah jika dia melakukan kesalahan sedikit saja.

Sebenarnya dia tak suka mendapatkan pujian walaupun ia harus memaksakan senyumannya. Di belakangnya ada San Dong kakak kelasnya yang dulu pernah satu sekolah dengannya. Awalnya dia tak menduga bahwa dia bisa satu kerja dengan salah seorang yang pernah membullynya selama satu tahun.

"Ternyata kita bertemu setelah kejadian itu, hem."

Wajah Seokjin tak suka, tatapannya melirik tajam dengan dirinya yang menghadap kesana. Kenapa dia harus saru kantor dengannya padahal dia berharap bayang pahit akan dirinya yang lemah kala itu sirna. Akan tetapi justru ada masalah kecil yang membutuhkan waktu lama untuk menghilangkannya. Andai dia orang kejam bisa saja dia melakukannya akan tetapi. Dia tidak bisa, mungkin Jungkook membawa perubahan besar dalam dirinya baik hidup ataupun sikap.

"Ya, dan aku harus pergi adikku membutuhkan aku sekarang."

Tak ingin berdebat ataupun terbawa perasaan akan dirinya yang mulai emosi dengan kepalan tangan yang ia longgarkan. Seokjin pergi dengan segala sumpah serapah yang ia buat dalam hatinya. Dia memang harus mengawasi sang adik dari jauh, keberadaan dokter mengesalkan itu akan membuat masalah runyam apalagi dialah yang pernah membuat adiknya terluka.

"Kau masih sama saja, kau dan adikmu sangat lemah. Jadi yang tadi itu adikmu kan? Bocah kecil yang pernah di hajar anggotaku."

Menahan nafas, dia menghentikan langkah saat kedua telinganya mendengar ucapan seseorang. Dia terkecat dan langsung menoleh ke belakang. Mau apa dia? Ingin rasanya dia membogem walau dia tahu ini daerah rumah sakit. Kemungkinan kata menohok tak akan berarti apapun, tapi bisa saja dia lakukan dari pada dia memulai dengan membonyoknya.

"Tuan San Dong, anda masih ingat sumpah dokter bukan? Jangan bawa masalah pribadi sampai ke pekerjaan dan bersumpah menjaga pasien. Seharusnya anda tahu bahwa sumpah kita sudah besar di hadapan negara. Untuk itulah pada anda yang terhormat, jangan menyentuh pasienku dan membuat dia terluka atau kau tidak pantas memakai jas putih kebangganmu itu."

Dia mengatakannya dengan wajah serius. Membuat namja di depannya itu terheran, cukup terkejut dengan ucapannya seakan menohok dirinya yang selalu membanggakan profesinya dari apapun. Sialnya seperti menyindir dirinya dan dia tak terima akan hal itu.

"Kau berani mengatakan hal itu padaku?"

"Aku permisi, masih banyak jadwal pasien yang aku tangani."

Tak ingin membuat keributan dengan elit, namja berbahu lebar itu justru membungkukan badan memilih untuk pergi meninggalkan namja yang seperti hendak mengajak ribut saja. membuat dia yang tadinya tersindir merasa tak nyaman dan sedikit kesal, bukan emosi yang pernah dulu rasakan. Beruntung di dalam sana tak ada orang, jika pun ada dia pasti akan malu setengah mati karena telah disindir oleh namja yang dulu merupakan adik kelasnya.

Beruntung dia disini sebagai dokter, akan tetapi kemungkinan beda jalur saat mereka tidak dalam kawasan kerja seperti ini.

.

.

..............................

Tak akan ada yang menyangka jika di ruangan seseorang pasien yang baru saja menjalankan operasinya sedang terlelap. Disana seseorang dengan baju kotak-kotaknya menatap dia yang sedang lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit itu. Kim Taehyung dia hanya ingat namanya dan keluarganya, memori tentang masa kecilnya masih ada disana walaupun kenyataannya dia bertahan dengan cara tak terduga. Tanpa kesadaran sekian lama lantaran sesuatu pernah membuat dia terluka dan serasa mati rasa.

Dia menangis... ya dia menangis saat melihat si bungsu seperti ini. Dia menyadari satu hal bahwa adik kesayangannya yang dulu manja kini telah dewasa. Rasa sengan dan sedih bercampur bukan hal kecil, dia bangga melihat sang adik menjadi dewasa seperti sekarang dia ingin mengobrol banyak hal akan tetapi melihat keadaannya dia tak ingin egois.

"Saeng, kau harus baik oke. Kookie, tak boleh sakit terus. Kau membuat hyung sedih berkepanjangan, nanti kalau ada Yoongi hyung lihat kau begini dia akan sedih dan memarahiku karena aku tidak bisa menjagamu. Aku senang kau tumbuh sebesar ini dan kau masih sama, tapi aku sedih karena kita bertemu dalam keadaan seperti ini. tolong jangan tidur terlalu lama, rasanya tidak enak. Percaya sama hyung...."

Raut wajah Taehyung nampak sedih dia tak ingin melihat keluarga yang dia sayangi menjadi seperti ini. Rasanya dia sangat malu dengan ayah dan ibunya yang ada di surga, apakah dia pantas disebut sebagai seorang kakak?

Sementara menyelamatkan kakaknya kala itu saja gagal. Akan tetapi...

"Kookie, hyung pergi dulu ya. Aku akan kembali, kau cepatlah sembuh. Ada yang harus hyung lakukan..."

Mengulas senyum tipis, dia menggenggam tangan sang adik penuh keyakinan yang terselip doa dan keyakinan bahwa adiknya baik-baik saja.

"Jika kau bangun rasakan kehadiran hyung, kau tidak sendiri."

Mungkin jika Jungkook membuka matanya dia akan menangis. melihat sang kakak yang berdiri disini sembari menyemangatinya. Rasanya pasti sebuah mimpi, akan tetapi waktu belum mengijinkan dan dia cukup senang masih bisa menyelamatkan sang adik dari bangsal kematian. Akan sangat berguna baginya dia lahir ke dunia, dunia yang baru menurut pandangannya dan dia juga tak tahu banyak hal lantaran banya memejamkan kedua mata.

"Sampai jumpa saeng."

Sang kakak melambaikan tangan dia membayangkan bahwa sang adik juga membalaskan lambaiannya. Seperti masa lalu ketika mereka masih bocah dan dia yang selalu dicari Jungkook untuk dimintai digendong. Selalu ribut dengan kakaknya yang mudah kesal dan marah lalu kedua ayah dan ibu yang sabar menghadapi kenakalannya. Terlalu banyak kenangan dan Taehyung sulit untuk melupakannya. Kematian kedua orang tuanya adalah hal yang membuat dia sangat terpukul. Ingin rasanya dia jatuh terjungkal ke belakang dengan kepala membentur batu hingga berdarah jika dia tak bisa menemui saudaranya.

Kesayangannya yang menjadi semangat hidupnya. Akan tetapi dia sadar, saat dia melangkah keluar dari ruangan sang adik ada satu hal yang ia sadari. Saat dia bangun dalam koma panjangnya dia mengerti apa maksud Tuhan. pastinya Tuhan punya alasan sendiri lantaran dia bangun di saat seperti itu. bertemu Jungkook adalah sebuah alasan, dia tahu bahwa....

Dia yakin bahwa kakaknya masih hidup, walau Taehyung juga ragu saat melihat seseorang di lorong rumah sakit. Di sini.... di tempat ini dimana waktu itu dia. Terkejut melihat kakak kesayangannya, Yoongi hyungnya. Jawaban apa yang tepat untuk tujuannya sekarang? Masih sama.... menemukan saudaranya dan berkumpul.

Seperti janjinya saat dia pertama bangun. Semoga kedua orang tuanya menuntunnya dari atas sana.

Harapan kecil seorang Kim Taehyung.

.............................

Suga berjalan dengan tas makanan dan camilan dalam kantong kreseknya, dia habis menghabiskan uang jajannya dan juga temannya karena sedang ada pesta kecil. Ya, mereka mendapatkan uang dari seorang kakek baik hati yang mereka tolong. Keuntungannya Suga bisa membeli hal yang dia inginkan, camilan seri baru yang harganya sedikit menguras kantong. Sekarang jadwalnya dia belanja dan dia menikmatinya karena pilihannya banyak sekali. suka atau tidak suka temannya menerima harus dengan senang hati.

"Eh kau?"

Salah seorang wanita tak sengaja dia temui, dia datang dengan wajah sedikit terkejut saat mereka berpapasan. Bukan apa hanya saja dia juga bingung siapa wanita itu.

"Hai aku yang ada di depan toko dan kau tolong."

Gadis itu adalah Kim Sohyun, yeoja yang pernah berpapasan dengan dirinya. sementara di sebelahnya juga ada yeoja yang berwajah manis, dia yang menemani sang kakak untuk mengantarkan pesanan bunga ke pelanggan. Wajah bingung itu nampak jelas, dan dia tetap menggandeng tangan sang kakak. lantaran Sohyun sendiri juga sedang sakit tapi dia tetap bekerja dengan memaksakan dirinya.

Suga dengan tatapan diamnya, dia merasa melihat wajah seseorang yang sama. Melihat manik mata seorang wanita yang terlintas di dalam benaknya, wanita yang menggendongnya dan juga menggandeng tangannya. entah kenapa dia mendengar suaranya yang memanggil dengan sebutan.

"Ibu..."

Manik mata siapa itu? seakan membuta hatinya merasa sedih dan menangis. Wanita bernama Kim Sohyun itu yang membuatnya seperti ini.

Sepertinya Sohyun tak sadar akan hal itu.... dia cantik dengan mata yang tak asing di mata Yoongi dan juga wajah yang sedikit mirip dengan namja yang pernah ia tolong.

Seperti hubungan darah saja.

....................

TBC...

Maafkan aku yang lama updete, bahkan ini updete lama yang sudah setahun belum aku sentuh. Tapi, author masih akan melanjutkannya kok kalian tenang saja.

Mungkin kalian sudah lupa akan ff ini, tak apa author sadar akan kekurangan author yang belum bisa mengatasi namanya block writer. Pekerjaan yang masih terus ada membuat author merasa lebih penting selesaikan real life agar satu persatu menjadi tertata.

Tolong hargai author dan author lainnya entah itu dari genre apapun agar populasi penulis wattpad tetap bertahan dan juga dapat membuat karya hebat lainnya. Salam cinta untuk kalian, kesehatan yang kalian jaga. Berpuasa sampai ramdhan dan semoga semua dosa kita dihapus.

Wish u all the best for you all...

Gomawo and saranghae....

#ell

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro