TUJUH BELAS
"Mbak!" Seruan barusan berhasil menarik Aruni kembali ke dunia nyata dari khayalan. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum memberikan senyum kikuk kepada seorang ibu-ibu dengan lipstik merah merona yang kini tengah menatapnya jengkel. "Mbak digaji buat ngelamun, ya?!" Lontaran kalimat pedas seperti ini sudah biasa Aruni dapatkan. Entah karena memang terkadang dirinya yang salah, ataupun dirinya yang dijadikan sasaran empuk atas luapan emosi pembeli yang entah apa penyebabnya.
"Totalnya sembilan puluh tiga ribu, Bu." Mengabaikan deret omelan yang terus mengalir dari bibir ibu-ibu di depannya, Aruni menyebutkan nominal yang harus dibayar masih dengan senyum ramah profesional yang tersungging di wajahnya.
"Nih, ambil aja kembaliannya!" Beberapa lembar uang kertas disodorkan dengan kasar. Aruni menerimanya dengan senyum geli tertahan. Kembalian seperti apa yang ibu-ibu itu maksud, sedangkan uang yang diserahkan saja pas begini.
Namun, demi menjaga tata krama, Aruni memilih bungkam. "Terima kasih dan selamat datang kembali." Tangannya mengangsurkan keresek berisi belanjaan si ibu-ibu sembari berujar ramah.
"Nggak akan!" ketus ibu-ibu tersebut menyahuti sebelum melenggang dengan gaya angkuh.
"Untung banget tuh ibu-ibu dapet lo yang layani. Coba aja gue, udah tak sinisin balik!" Tiara yang hari ini bertugas bersamanya menggerutu kesal. Gadis itu juga baru selesai melayani salah satu pembeli.
Aruni tak menanggapi apa-apa selain senyuman tipis. Kondisi hatinya sedang sangat tidak baik-baik saja untuk dipaksakan baik-baik saja. Jika saja bukan karena pekerjaan ini menjadi tanggung jawab juga ladangnya mengais rupiah, bisa dipastikan Aruni lebih memilih mendekam dalam kamar dengan air mata berurai.
Ini sudah hampir dua minggu, pasca hari di mana ia secara tidak sengaja mendengar obrolan Edvard dan Lian yang berhasil memporak-porandakan perasaan Aruni dengan begitu beringas. Beberapa kali, Edvard mencoba menghubunginya. Mengirimi rentetan pesan yang menjelaskan betapa khawatirnya laki-laki itu karena Aruni yang tak kunjung sudi mengangkat telepon. Anehnya, jika dulu Edvard akan mencoba mencari Aruni baik itu ke rumah Fely, kampus, ataupun supermarket tempatnya bekerja, sekarang laki-laki itu seolah sedang berada di sebuah tempat nun jauh dari Aruni yang menyebabkannya tak bisa menemui Aruni secara langsung. Rangkaian kalimat cinta sekaligus cemas laki-laki itu kini seolah hanya sebatas bualan saja. Membuat Aruni kian muak.
Tidakkah Edvard merasa perlu menjelaskan sesuatu padanya?
^^^
Ruangan dengan dominasi warna putih serta bau khas obat-obatan tidak lagi asing bagi seorang laki-laki yang kini terbaring tak berdaya di atas brankar pesakitan. Matanya nyalang menatap bentangan langit malam bertabur bintang dengan bulan yang bersembunyi malu di sebalik mega-mega kelabu. Tanpa bisa dicegah, memorinya memutar kilas balik momen di hutan saat dirinya bersama seorang gadis cantik penawan hati. Atau ketika keduanya berdansa mesra di bawah sorot sinar sang rembulan.
Rindu. Tapi sayang, dia tidak memiliki upaya untuk mengungkapkan langsung ungkapan tersebut kepada si pelaku yang telah berhasil membuat hari-harinya terasa mencekik akibat rindu yang tertahan.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatiannya. Helen masuk dengan seulas senyum tipis. Gadis itu tidak pernah meninggalkan Edvard terkecuali saat kuliah, mandi, makan, atau keluar untuk satu dua kepentingan. Sisanya Helen habiskan untuk menemani Edvard.
"Lo besok kuliah pagi, Hel. Mending pulang dan tidur. Gue nggak apa-apa, kok." Edvard melirik Helen sekilas sebelum kembali melempar pandang ke luar. Sedikit banyaknya, Edvard merasa tidak enak pada Helen. Gadis itu terlalu baik sampai membuat Edvard bingung, harus membalas kebaikannya dengan cara apa. Helen juga terlalu tulus untuk dirinya yang sayangnya sama sekali tidak bisa menatap Helen lebih dari seorang sahabat.
Bukannya menurut, Helen malah mendudukkan diri di sofa sembari bersandar dengan mata terpejam. Ia baru saja pulang dari kampus untuk mengerjakan beberapa tugas sebelum akhirnya memilih ke rumah sakit.
Katakan saja Helen bodoh karena masih amat peduli pada orang yang jelas-jelas telah lebih dari sekali mematahkan hatinya. Sayang, cinta memang terkadang mampu membutakan mata seseorang. Melumpuhkan logika hingga bertindak sesuai kata hati meminta. Sekalipun, permintaan tersebut menjerumuskannya ke dalam sebuah rasa sakit akibat cinta tak terbalas.
"Aruni--"
"Please …." Baru saja Helen ingin membahas topik mengenai seorang gadis pemilik hati Edvard, laki-laki itu lebih dulu menyela. Berkata dengan nada memohon yang malah membuat Helen merasa sedih. Cinta Edvard amat besar sampai-sampai tidak ingin membuat gadis yang ia cintai sedih karena tahu perihal penyakit yang dideritanya.
"Gue cuman mau bilang, kalo Aruni berhak tau kondisi lo yang sekarang," ucap Helen sebelum melenggang masuk ke dalam kamar mandi.
^^^^^
Haihaihaiiii😄
Yang ngerasa hari ini berat, angkat kaki dengg😳
See you soon😘
Kalimantan Barat, Minggu, 27 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro