TIGA
Fely mulai panik saat tidak menemukan sahabatnya di sekitar panggung. Beberapa teman yang ia tanyai pun memberikan gelengan atas pertanyaan Fely. "Lo di mana sih, Ar?" tanyanya dengan suara lirih.
Tiba-tiba, Fely menepuk dahinya kuat. "Bego! Kenapa nggak ditelepon aja daritadi?!" rutuknya pada diri sendiri. Segera, dikeluarkannya ponsel dari tas dan mendial nomor sang sahabat.
"Halo?" Pada dering ketiga, panggilannya di amgkat. Namun, suara di seberang sana bukan suara Aruni.
Fely menjauhkan ponselnya. Memastikan kalau dia tidak salah menekan nomor. "Halo. Aruni-nya ke mana, ya?" Perasaan Fely semakin tak karuan.
"Lo temen yang punya hp, ya?" tanya seseorang di seberang sana.
Kepala Fely refleks mengangguk. Namun, setelah sadar kalau orang di seberang sana tak mungkin melihatnya, Fely langsung menjawab. "Iya. Aruni ada?" Dalam hati, Fely terus berdoa supaya sahabatnya dalam keadaan baik-baik saja.
"Ada. Lo mending ke ruang kesehatan FK sekarang. Dia pingsan," sahut seseorang di seberang sana yang sepertinya seorang perempuan.
Deg.
"Aruni … dia … dia nggak apa-apa, 'kan?" tanya Fely gugup. Jantungnya berpacu cepat.
Ada apa dengan Aruni?
Apakah sudah terjadi sesuatu selama mereka berpisah?
Kaki Fely mulai melangkah cepat menyusuri koridor kampus. Menuju ruang kesehatan fakultas kedokteran. Fakultas yang paling dekat dengan tempat acara saat ini.
"Kata dokter sih, nggak apa-apa. Lo liat sendiri aja deh, entar." Setelahnya, panggilan ditutup. Fely semakin mempercepat langkah kakinya.
^^^
"Aruni!" seru Fely ketika sudah berada di dalam ruang kesehatan. Segera dihampirinya sang sahabat yang terbaring dengan wajah pucat di atas brankar. Di samping brankar ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Mungkin, gadis itu yang tadi menerima telepon dari Fely.
"Lo temennya?" tanya gadis berambut sebahu seraya menatap Fely.
Kepala Fely mengangguk. "Dia kenapa?" tanya Fely sarat akan kekhawatiran.
"Gue nggak tau persis. Yang jelas, tadi pas mati lampu gue udah liat dia kek pucat gitu di bilik toilet. Mungkin, dia sakit?" Helen menjelaskan. Menebak dengan nada tidak yakin.
"Mati lampu?" beo Fely menatap Helen dengan kernyitan di kening.
"Mungkin ada masalah sama listrik di daerah toilet. Tapi, pas kita bawa ke sini listriknya udah nyala, kok." Lagi, Helen menjelaskan. Sedikit bingung dengan reaksi Fely yang nampak tidak biasa.
Fely duduk lemas di sisi brankar. Bibirnya mengembuskan napas pelan. "Aruni fobia sama gelap," ungkapnya memberitahu.
Helen dan Edvard terkejut. Pantas saja, Aruni sampai pingsan. "Tapi, dia nggak bakal kenapa-kenapa, 'kan?" tanya Edvard spontan.
Bahu Fely mengedik ragu. Dia juga tidak terlalu yakin. Selama ini, sebisa mungkin Fely memastikan Aruni untuk tidak berada di tempat yang tidak ada pencahayaan.
"Gue kira … fobia gelap cuman berlaku buat anak-anak. Eh, maksud gue--"
"Santai. Kebanyakan emang terjadi pada anak-anak. Cuman yaaa, gitu. Trauma Aruni terlalu besar, makanya sampai sekarang fobia-nya belum hilang." Cukup panjang lebar Fely menjelaskan. Netranya menatap iba sang sahabat. Betapa berat beban hidup Aruni.
Setelahnya hanya keheningan yang mendominasi. Sampai akhirnya, Edvard dan Helen undur diri. Kembali ke lapangan karena acara yang belum selesai.
"Thanks, ya." Seulas senyum Fely lempar kepada keduanya. Sebagai wujud rasa terima kasih atas pertolongan yang Helen dan Edvard berikan.
"My pleasure," sahut Edvard seraya melenggang keluar ruangan. Sebelumnya, sekilas ia melirik Aruni yang belum juga sadar.
"Udah kewajiban sesama manusia buat saling tolong-menolong, kok." Helen menepuk bahu Fely beberapa kali, sebelum ikut melenggang. Menyusul Edvard.
^^^^^
Haihaihaii readers tercintahhh😍
How are you, guys?
Gimana sama part ini?
Apa kesan kalian?
See you soon😘
Kalimantan Barat, Selasa, 15 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro