SEPULUH
"Nomor yang anda tuju--"
Tut.
Ini sudah kali ke sekian Aruni mencoba menghubungi Edvard dan hanya sahutan dari operator yang ia dapatkan. Ke mana sebenarnya laki-laki itu berada? Sudah dua hari Edvard tidak memberi kabar. Tidak juga terlihat batang hidungnya di area kampus. Hilang bak ditelan bumi. Menimbulkan cemas di benak Aruni. Tentu saja.
"Emang Edvard nggak bilang dia mau ke mana, gitu?" Fely yang duduk di samping Aruni bertanya. Mereka sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Aruni harus rutin menjalani psikoterapi-nya. Sejauh ini, hasilnya cukup bagus. Aruni mulai bisa menyugesti diri ketika berjalan malam hari bersama Fely menuju ke supermarket ataupun saat pulang.
Aruni mendesah keras. "Kalo gue tau, nggak bakal deh, secemas ini." Gadis itu bersandar di sandaran jok. Melempar pandang ke luar jendela mobil. Di luar hujan mengguyur jalanan. Tidak sekali gelegar guntur memekakkan telinga. Langit seolah turut merasakan apa yang sedang hati Aruni rasakan.
^^^
Dengan mata memicing, Aruni melangkah pelan menuju sebuah taman. Tangannya mendekap dua buah buku yang tadi ia pinjam dari perpustakaan sebagai referensi untuk tugas salah satu mata kuliah. "Edvard?" Ia bergumam ragu.
Di salah satu bangku taman di sana, duduk dua orang laki-laki dan perempuan. Nampak tertawa entah karena apa.
Tidak salah lagi. Itu Edvard. Laki-laki yang sudah berhasil memporak-porandakan isi hatinya belakangan ini. Dan laki-laki itu tanpa rasa bersalah tertawa lepas bersama gadis lain. Jadi, jangan tanyakan bagaimana perasaan Aruni saat ini. Hatinya bagai dicubit. Apa yang ia lihat saat ini seolah menarik kesadarannya, jika di antara dia dan Edvard tidak ada hubungan apa-apa yang membuat Aruni berhak melangkah ke arah laki-laki itu, kemudian menyemprotnya dengan api emosi. Aruni bukan siapa-siapa dalam hidup Edvard. Dia tidak memiliki hak untuk melarang Edvard berjalan dengan siapa. Juga, tidak memiliki hak untuk marah atas perasaannya yang bertepuk sebelah tangan.
Dengan menahan perih di hati, kaki Aruni memutar arah. Pulang dengan membawa serpihan hati yang entah masih bisa ditata ulang atau tidak.
^^^
"Lo serius, nggak apa-apa gue tinggal?" Sekali lagi, Fely melempar tanya. Ragu.
Di tempatnya, Aruni berdecak kesal. "Udah, deh! Mending lo buruan berangkat kerja sana! Ganggu orang nonton aja!" Tanpa mengalihkan tatapannya dari layar televisi di depan, Aruni mengusir Fely. Menyuruh gadis itu untuk segera berangkat kerja.
"Tapi, masalahnya gue bakal balik besok pagi, Ar!" Fely menekuk wajah. Kesal dengan Aruni yang sama sekali tidak mengerti, kalau dirinya tengah khawatir setengah hidup.
"I'm okay, Fely." Mau tidak mau, Aruni mengalihkan tatapan ke arah Fely. "Lagian, fobia gue udah nggak separah dulu setelah melakukan psikoterapi. Jadi, lo nggak perlu ngerasa cemas. Okay?"
Bicara tentang psikoterapi, Aruni masih tetap rutin konseling kepada Dokter Surya. Mengesampingkan hatinya yang sedang patah karena Edvard. Namun, satu hal yang masih mengganjal. Edvard seolah memberi harapan, sekaligus memudarkan harapan tersebut. Di satu sisi, semua biaya terapi mental Aruni masih ditanggung Edvard. Begitu yang Aruni ketahui dari bagian administrasi kemarin. Sedangkan di satu sisi lagi, Edvard terlihat menjalin hubungan dengan gadis yang selama ini Aruni kenal sebagai sahabat dari laki-laki itu. Helen. Jadi, jangan salahkan kalau hati Aruni menjadi bimbang.
"Mau lo apa sih, Ed!" Dengan kesal Aruni memakan keripik kentang yang kemarin dibuat Fely.
Hilang sudah mood menonton Aruni. Gadis itu memilih beranjak dari sofa. Menutup pintu, jendela, serta gorden dari depan sampai belakang. Tidak lupa juga untuk menguncinya. Setelah itu, ia lanjut mematikan satu per satu lampu rumah yang dirasa tidak perlu dinyalakan ketika beranjak tidur begini.
"Tenang, Ar. Tenang," gumamnya berusaha menyugesti diri. Rasa cemas masih melingkupi dirinya ketika penerangan di dalam rumah mulai minim. Hanya cahaya lampu dari luar dan kamar yang pintunya terbuka yang menerangi jalan Aruni menuju kamar tidurnya. Perlahan, kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Gemetar. Tubuh Aruni masih memberikan reaksi yang sama. Namun, tidak terlalu berlebihan. Seperti yang dulu-dulu.
Hembusan napas lega keluar begitu saja kala pintu kamar berhasil ditutup dengan susah payah. Lututnya melemas. Aruni terduduk di bibir ranjang sambil berusaha mengatur deru napas yang tak teratur.
Ini kali kelima Aruni nekad memberanikan diri seperti tadi. Pelan-pelan tapi pasti. Begitu yang selalu Dokter Surya tanamkan dalam pikiran Aruni.
Jika menyebut namanya, yang terbayang di kepala pasti seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal juga rambut yang mulai terkikis. Persis seperti bayangan Aruni sebelum akhirnya dia bertemu langsung dengan Dokter Surya. Semua yang berada di kepalanya sebagai gambaran akan psikiater tersebut hilang. Lenyap. Karena nyatanya, Dokter Surya baru akan mendekati kepala tiga. Usianya dua puluh delapan tahun. Masih terbilang muda.
Mengingat Dokter Surya, Aruni jadi teringat Edvard. Mengira-ngira, apakah ia membuat kesalahan yang menyebabkan hubungan keduanya merenggang seperti sekarang?
Hubungan?
Wake up, Aruni!
Logikanya langsung berseru menyadarkan. Aruni berdecih seraya tersenyum kecut. Sekali lagi, ia harus menegaskan pada hatinya yang tidak tahu malu ini, kalau dia bukan siapa-siapa di mata Edvard. Tidak lebih dari seorang teman. Itu pun, jika Edvard menganggapnya teman. Kalau tidak?
Memilih mengenyahkan segala macam pikiran unfaedah di kepalanya, Aruni merebahkan diri di atas kasur. Tubuhnya lelah. Hatinya juga lelah. Ia butuh istirahat. Sebelum besok, kembali mengadu nasib di dunia yang keras.
^^^^^
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, cabat orange😄
Awali pagimu dengan senyum cerah meski mentari sedang bersembunyi malu di sebalik awan😊
Apa kabarnya pagi ini?
Semoga selalu dalam lindungan Sang Kuasa, yaaa. Aamiin😌
See you soon😘
Kalimantan Barat, Senin, 21 September 202
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro