
EMPAT BELAS
Tidak ingin menjadi orang bodoh yang hanya pasrah akan akhir tanpa melakukan usaha sedikit pun, kaki Aruni terus melangkah. Ke mana saja sejauh ingatannya tersisa dengan keyakinan nurani. Dalam hati ia amat berharap, jika kemalangan sedang malas berpihak kepadanya.
Dengan bibir bergetar, sesekali Aruni masih meneriakkan nama Helen. Bahkan, di saat situasi genting seperti sekarang, ia masih sanggup memikirkan orang lain yang belum tentu memikirkannya juga.
Malam mulai berarak, namun jalan keluar belum juga ditemukan Aruni yang tubuhnya mulai bersimbah keringat dingin.
Sejauh mata memandang, hanya rimbunan pohon yang ditangkap netranya. Di mana dia berpijak saat ini pun, dirinya tidak tahu.
"Ma, Pa … Uni takut," lirihnya bersamaan dengan cairan bening yang menetes dari kedua pelupuk mata.
Rapalan doa terus ia panjatkan, berharap segera terbebas dari siksa keadaan. Sepintas, ia sempat merutuki dirinya yang mempunyai rasa takut akut terhadap kegelapan. Jika saja dia bisa melawan rasa takut tersebut, tentu dirinya tidak akan sepanik seperti sekarang ini. Terlebih, tubuhnya mulai melemas.
Di bawah sebuah pohon tua, gadis itu terduduk. Dia tidak bisa lagi melanjutkan langkah mencari jalan pulang. Kedua lututnya ditekuk, lalu dipeluk. Kepalanya mendongak, menatap bulan yang sedikit bersembunyi di balik awan hitam.
Jika sudah seperti ini, seringkali ia merasakan sesal di hati. Menyesal karena sudah setuju-setuju saja atas permintaan Mentari tadi, misalnya.
Sedangkan di bumi perkemahan, suasana menegang pasca Helen yang kembali dengan mendekap kayu bakar seorang diri. Wajah gadis itu menampilkan ekspresi bingung, saat tidak menemukan sosok Aruni di sekitar lokasi perkemahan. "Aruni belum balik?" Pertanyaan itu, sontak menghadirkan kernyitan heran di kening setiap orang. Mereka menatap Helen lekat.
"Seharusnya kita dong, yang nanya begitu." Wajah Fely mulai pias. Berbagai pikiran buruk berseliweran di kepalanya. Sepintas menatap langit yang nyaris pekat keseluruhan. "Helen, di mana Aruni?!" Emosi seketika melingkupinya.
"Gue … gue nggak tau. Gue kira … dia balik duluan, karena kita--"
"Shit!" Belum selesai Helen berucap, Edvard menyela dengan umpatan. Laki-laki itu menatap Helen tajam sebelum berlalu begitu saja memasuki hutan.
Mendapat reaksi di luar dugaan dari Edvard seperti tadi, hati Helen berdenyut perih. Bahkan, dirinya yang sudah lebih dulu mengenal dan dekat dengan Edvard sekalipun tidak bisa membuat laki-laki itu menaruh rasa lebih dari seorang teman. Helen mulai sadar, kalau dia semangat hidup. Seringkali tanya sesat hinggap di kepalanya. Kenapa Tuhan tidak turut membawanya bersama ibu dan ayahnya, contohnya.
Tanpa ia sadari, ada seseorang yang begitu mencemaskan dirinya. Seseorang yang kini tengah berjuang mencari keberadaannya dengan berbekal tekad dan keberanian semata. Menyusuri hutan tanpa arah. Mengikuti kata hati membawa.
Kakinya terus melangkah, hingga ia sendiri tidak sadar, waktu sudah berlalu hampir satu jam sejak ia mulai memasuki kawasan hutan. Nyaris menyerah, saat akhirnya netra setajam elangnya menangkap siluet seseorang tidak jauh dari dirinya berdiri.
Aruni, gadis yang kesadarannya mulai menipis itu langsung tersentak saat merasakan sebuah tangan merengkuh tubuhnya. Perlahan, rasa hangat menjalar tak hanya pada fisik, tapi juga jiwanya.
"Sstt … I'm here. Don't cry," bisik seorang laki-laki yang tadi memeluknya. Punggung Aruni diusap naik-turun. Mencoba menenangkan sang gadis yang kian terisak.
Dari suaranya, Aruni langsung mengenali si empunya tangan. "Aku takut," lirih Aruni di sela isak tangisnya.
Diam-diam, laki-laki yang tak lain adalah Edvard itu menarik napas dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Dadanya terasa sesak. Pasokan oksigen seolah mulai berlarian keluar. "Tolong jangan sekarang," batinnya dengan sirat permohonan.
^^^^^
Up up up
Vote vote vote
Komen komen komen
Ups!😆
See you soon😘
Kalimantan Barat, Kamis 24 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro