DUA BELAS
Sudah hampir setengah jam Aruni berdiri di tepi selasar Fakultas Kedokteran. Memandang sendu hujan yang tidak menampakkan tanda-tanda akan reda. Padahal, sekitar satu jam lagi, ia sudah harus berada di tempat kerjanya. Namun, dia tidak mungkin menerobos lebatnya hujan jika tidak ingin terserang demam.
"Aruni!" Kepala gadis itu menoleh ke sebelah kanan. Memicingkan mata sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap lurus ke depan. Membiarkan orang yang tadi memanggil namanya melangkah mendekat. Kakinya terserang rasa malas, walau hanya untuk sekadar menghampiri balik laki-laki berkemeja biru pudar yang kini sudah berdiri di sampingnya.
"Tumben sendiri." Di antara banyaknya kalimat pembuka, entah kenapa bibir Aruni malah mengeluarkan dua kata tersebut.
Di sampingnya, Kin Kevlar Liandra terkekeh pelan. "Bilang aja kangen, Ar." Bukannya dia tidak tahu maksud terselubung dari ucapan Aruni barusan. Gadis itu bermaksud menanyakan keberadaan sahabatnya yang memang selalu ke mana-mana bersama dengan dirinya.
"Kangen sama bokap nyokap, iya."
Lian langsung mencibir kala mendengar nada bicara Aruni yang terdengar ketus. Jelas sekali jika gadis itu sedang menyangkal pernyataan yang ia ungkapkan tadi. "Liburan entar kita ada planning mau camping gitu. Ikut, ya?"
"Lo ngajak atau merintah?" tanya Aruni sinis. Lian ini sahabatnya Edvard. Itu berarti, jika Aruni menyanggupi ajakan camping Lian, dia akan bertemu dengan Edvard. Dan Aruni belum siap sama sekali. Hatinya belum benar-benar tersusun kembali. Lukanya juga belum sembuh total pasca apa yang telah terjadi tempo lalu.
"Maunya sih, merintah. Lagian, si Fely juga udah setuju." Senyum Lian mengembang. Membayangkan wajah kesal Edvard kelak saat ia ternyata turut mengajak Aruni. Sahabatnya itu mungkin tidak akan sampai mencak-mencak alay, tapi bisa dipastikan akan keluar protes dari bibir sang sahabat.
Aruni terdiam. Pandangannya tidak lepas dari satu arah. Depan. Menatap setiap tetes hujan yang jatuh bebas ke atas tanah. Berkali-kali tanpa berniat berhenti. Beberapa mahasiswa terlihat menerobos hujan dengan kepala yang ditutupi oleh tas maupun tangan kosong. Ada juga yang berjalan santai dengan tangan yang memegang gagang payung. Andai saja Aruni tidak melupakan payungnya, pasti sekarang dia sudah sampai di rumah dan tidak perlu bertemu dengan Lian. Mereka memang tidak cukup akrab selama ini. Jarang berjumpa pula. Namun, Aruni tahu kalau Lian laki-laki yang baik juga humble. Beda-beda tipis dengan Edvard.
"Edvard lagi, Edvard lagi!" rutuknya dalam hati. Heran dengan isi kepalanya yang seolah tidak bisa lepas dari satu nama tersebut. Seakan-akan, nama Edvard sudah melekat di dalam kepalanya menggunakan lem yang paling kuat. Sukar untuk dilepaskan.
"Nggak janji," sahut Aruni akhirnya. Sebelah tangannya menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah akibat tertiup angin.
"See you soon, dear." Dua kali tepukan di bahu Lian berikan seraya mengedipkan sebelah matanya. Laki-laki itu kemudian mulai melangkah pergi, sebelum akhirnya kembali berbalik. "Mau nebeng?" tanyanya sambil menatap Aruni sekilas sebelum beralih menatap hujan yang semakin deras. "Kayaknya … hujannya bakal awet, deh." Tatapannya kembali terarah ke Aruni yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya sejak tadi. Sepertinya, Lian tidak lebih menarik sebagai objek dibanding pasukan hujan.
Tawaran Lian terdengar menggiurkan. Memancing lisannya untuk mengiyakan saja. Namun, Aruni harus menahan diri. Ia sudah memutuskan untuk menjaga jarak dari Edvard. Dari lingkungan laki-laki itu juga pastinya. Dan Lian merupakan sahabat Edvard. Aruni tidak membencinya. Cukup berusaha untuk tidak terlibat baik dengan Lian, Helen, ataupun Edvard sendiri. Jadi, menolak adalah pilihan terbaik. "Thanks for your offer," kata Aruni seraya menoleh ke arah Lian dengan ulasan senyum tipis. "But, sorry …maybe next time."
Kepala Lian mangut-mangut. "Okay, gue balik duluan. Bye!" Laki-laki itu lantas berbalik lalu melambaikan tangan dengan gerakan angkuh. Benar-benar khas Lian.
Sepeninggal Lian, Aruni masih setia berdiri di tempat yang sama. Tidak terasa, setengah jam lagi ia habiskan tanpa bisa melakukan apa-apa. Hujan benar-benar awet. Sesuai ucapan Lian. Belum lagi angin yang berembus cukup kencang membawa aura dingin yang menusuk. Sekali lagi Aruni merutuki dirinya yang hanya mengenakan tunik. Membuat hawa dingin terasa begitu mencekam. Sesekali, tangannya menggosok hidung. Setelah ini, bisa dipastikan ia akan terserang flu. Padahal, menerobos hujan saja tidak. Karena memang dasarnya tubuh Aruni sedikit rentan terhadap cuaca dingin. Seperti saat ini.
Beberapa meter di sebelah timur, sepasang mata tajam menatapnya lekat. Si empunya mata sudah akan mengayun langkah menghampiri Aruni, ketika lengannya ditarik seseorang. "Yuk, pulang! Bukunya udah gue ambil, nih." Dan dengan berat, niat awalnya terpaksa dibatalkan. Untuk sekarang, mungkin ini yang terbaik. Baik bagi dirinya, maupun Aruni. Ia tidak mau, Aruni melihat sisi lemahnya. Never.
^^^^^
Hulla!!!😄
Mo absen, masih ada yang melek nggak matanya jam segini?😩
Kalo ada, angkat kaki😂
See you soon😘
Kalimantan Barat, Selasa, 22 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro