Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA

     "Gimana? Dapet?" Saiful segera menodong Aruni dan Fely dengan pertanyaan, saat kedua rekan kerjanya itu keluar dari ruang Pak Mail—menejer supermarket.

Fely menaikkan sedikit dagunya ke atas. Menampilkan kesan sombong di wajah cantiknya. "Emangnya Pak Mail bisa, nolak permintaan para ciwi cantik kek gue?"

Saiful langsung menampilkan wajah ingin muntah setelah mendengar ucapan Fely barusan. "Palingan juga karena Aruni izinnya baik-baik. Iya nggak, Ar?"

Aruni hanya tersenyum, lalu meninggalkan keduanya. Menuju meja kasir untuk melanjutkan pekerjaan. Malas menanggapi pertanyaan Saiful yang pasti akan menjadi panjang nantinya.

Hari minggu. Dia dan Fely tetap bekerja.  Supaya malam nanti, bisa beristirahat dengan layak di atas kasur yang tidak terlalu empuk di rumah. Saiful juga masuk hari ini. Karena semalam, waktu di mana dia seharusnya masuk digantikan oleh salah satu temannya yang hari ini izin untuk urusan keluarga. Mail sama sekali tidak masalah, hitung-hitung keuntungan untuknya jalan-jalan malam tadi bersama gebetan yang entah kapan bisa resmi menjadi kekasihnya.

Tadi, Aruni dan Fely menghadap Pak Mail untuk meminta izin besok tidak bisa masuk shift pagi maupun malam. Kampus mereka mengadakan acara pentas seni. Tentu saja, baik Aruni maupun Fely tidak akan melewatkan acara rutin tahunan itu. Beruntung, Pak Mail mau mengerti dan memberikan keduanya izin. Meski tetap harus mengganti waktu shift mereka dengan rekan yang akan menggantikan mereka nanti.

^^^

     Ramai. Para mahasiswa dari berbagai fakultas berkumpul di lapangan utama kampus. Berpartisipasi. Sebuah panggung yang cukup luas berdiri bak pemeran utama malam ini. Nyaris seluruh mata fokus ke arah panggung. Menyaksikan penampilan dari para mahasiswa. Mulai dari menari, bernyanyi, dance, beatbox, musikalisasi puisi, dan lain sebagainya. Setiap fakultas wajib menampilkan minimal satu dari semua pilihan. Dan Aruni salah satu dari peserta yang tampil malam ini. Gadis itu menampilkan musikalisasi puisi, mewakili fakultasnya.

 "Ar, gue ke stand-nya Sonya dulu, ya. Mau cari yang dingin-dingin." Fely langsung melenggang setelah melihat Aruni menganggukkan kepala sebagai jawaban. Mata gadis itu fokus ke arah panggung. Seseorang dari fakultas hukum yang namanya Aruni lupa tengah bernyanyi diiringi gitas yang dimainkan oleh dirinya sendiri. Lagu milik Ed Sheeran yang berjudul Perfect mengalun merdu dari bibir laki-laki tersebut.

 "Bagus," gumam Aruni memuji tanpa sadar. Suara laki-laki yang namanya dilupakan Aruni itu terdengar berat juga sedikit serak. Entah memang khas suaranya, atau laki-laki itu sedang dilanda flu. Yang jelas, penampilannya begitu memukau. Banyak para mahasiswi yang bersorak. Nampak terkagum. Tidak jauh berbeda dengan Aruni.

Tepat saat lagu selesai dinyanyikan, tiba-tiba Aruni mengayun langkah tidak lambat menuju lorong yang akan membawanya ke toilet.

Ada beberapa siswi di dalam toilet saat sebelum Aruni masuk ke dalam salah satu bilik di dalamnya. Menuntaskan hajatnya, buang air kecil.

Terdengar beberapa langkah menjauh. Mungkin, para mahasiswi yang tadi memoles wajah mereka sudah selesai dengan kegiatan mereka dan memilih kembali bergabung bersama yang lainnya di lapangan.

Tangan Aruni baru saja menyentuh gagang pintu ketika pandangannya mendadak gelap. Pencahayaan di toilet lenyap. Listriknya padam. Entah bagaimana bisa.

Tubuh Aruni seketika berubah seperti patung. Tak mampu bergerak dari tempat berdirinya. Bahkan, bibirnya kelu untuk sekadar mengeluarkan suara. Tubuhnya gemetaran dengan keringat dingin yang mulai keluar. Napasnya putus-putus. Sekalipun oksigen masih tersebar di sekitarnya.

Ingatan Aruni langsung ditarik paksa pada kejadian bertahun-tahun silam. Kejadian naas yang membuat Aruni harus kehilangan orangtuanya. Bahkan, setelah bertahun-tahun berlalu, kejadian itu masih segar dalam ingatannya. Seolah baru terjadi kemarin.

Hari itu, langit malam nampak cerah dengan sinar sang rembulan juga bintang-bintang yang menghiasi. Aruni dan kedua orangtuanya duduk santai di teras rumah, ditemani teh hangat dan brownies oreo kesukaan Aruni.

Hingga pukul sembilan malam, ketiganya memutuskan untuk masuk dengan niat beristirahat.

Ibu Aruni membawa Aruni ke kamarnya. Seperti malam-malam sebelumnya, dongeng pengantar tidur mengalir dari bibir sang ibu. Membuat mata Aruni perlahan memberat sebelum akhirnya tertutup.

Alam mimpi baru saja menyapanya, ketika terdengar suara ribut di lantai bawah. Dengan mata setengah terbuka, Aruni melihat sang ibu keluar kamar dengan tergopoh. Bahkan, pendengaran Aruni dapat sedikit menangkap teriakan sang ibu, sebelum beberapa saat kemudian ibunya kembali masuk ke dalam kamar. Mengguncang tubuh Aruni, dan menariknya cepat untuk masuk ke dalam lemari pakaian di sudut kamar.

 "Jangan keluar, jangan berisik, paham?"  Wajah ibunya tidak terlihat baik-baik saja saat memberi perintah.

 "Tapi, kenapa? Uni ngantuk, Bu." Aruni kecil mengucek matanya sembari menguap.

"Pokoknya, jangan keluar sampai Ibu yang buka lemari. Ngerti?" Mata ibunya memanas. Satu kecupan mendarat di kening Aruni. Cukup lama. Sebelum ibunya menutup kembali pintu lemari. Meninggalkan Aruni yang kebingungan di tengah rasa kantuk yang begitu berat.

Tubuh Aruni terlonjak kaget saat mendengar pintu kamar yang dibuka dengan keras. Nyaris seperti didobrak. Hampir saja Aruni berteriak. Namun, perkataan ibunya langsung terngiang di telinga. Membuat tangan kecilnya dengan cepat menutup mulut.

 "Jangan sakiti istri saya!" Itu suara ayahnya. Entah apa yang terjadi, tapi suara ayahnya terdengar tegas sekaligus serak.

 "Diam!" Kening Aruni mengernyit saat mendengar suara asing seorang laki-laki.

Aruni begitu penasaran. Ingin keluar, tapi ia takut dimarahi ibunya dan tidak diperbolehkan bermain bersama Fely, sahabat sekaligus tetangganya. Seperti saat Aruni yang bermain ke taman komplek tanpa izin. Ibunya memarahi Aruni dan melarangnya keluar untuk bermain. Sekalipun itu untuk bertemu dengan Fely.

 "Apa salah kami?!" Suara sang ayah naik satu oktaf. Sekali lagi, Aruni berjengit. Tidak pernah ia mendengar ayahnya berbicara sekeras itu.

 "Aaakh!" Aruni mendengar dengan jelas, ibunya menjerit.

Rasa penasaran yang sudah mencapai ubun-ubun akhirnya membuat Aruni membuka sedikit pintu lemari. Dalam gelap, ia bisa menilik siluet lebih dari satu orang.

Mata Aruni memicing. Ayahnya nampak terlibat perkelahian sebelum akhirnya terduduk di lantai. Ingin sekali Aruni berlari dan menghentikan ketiga orang yang tidak diketahuinya itu untuk tidak lagi memukul sang ayah. Namun, tidak bisa. Tubuhnya yang gemetaran di tempat tampak tidak bisa diperintah bergerak keluar. Hanya air mata yang terus keluar tanpa isak.

Usia Aruni masih sekitar lima tahun, ketika di depan matanya sendiri, ketiga orang asing itu membunuh orangtuanya tanpa rasa belas kasihan. Menikamkan ujung mata pisau tepat di jantung pria dan wanita berkepala tiga yang sangat Aruni cintai.

Sejak kejadian itu lah, Aruni tidak bisa tidur dalam keadaan gelap. Bahkan, ia akan ketakutan sendiri jika berada di tempat gelap, terlebih ketika malam hari. Pikirannya akan langsung berkeliaran. Seringkali mengulang kejadian yang sama. Membuat Aruni merasakan ketakutan yang teramat besar.

Persis seperti sekarang. "To--tolong …." Akhirnya, bibirnya bisa mengeluarkan suara. Meski hanya berupa bisikan. Namun, harapan Aruni begitu besar untuk ada orang yang mendengarnya. Meski harapan tersebut hanya dua persen.

 "Siapa di sana?" seru seseorang yang sepertinya mendengar suara Aruni. Di luar perkiraan.

 "To--to--long …." Lutut Aruni melemah, hingga akhirnya tidak mampu menahan bobot tubuh. Aruni terduduk di lantai. Menimbulkan suara yang cukup nyaring.

 "Siapa itu?!" Suara gadis di luar semakin nyaring, namun sedikit bergetar.

Derap langkah kaki mendekat ke biliknya. Pintu bilik perlahan terbuka. Di tengah kesadaran, Aruni bisa melihat seorang gadis berdiri dengan senter ponsel mengarah ke arahnya di ambang pintu. Menatapnya dengan mata terbelalak.

 "Hei! Lo kenapa? Aduh, jangan pingsan dulu, dong! Bentar, gue cari bantuan. Tahan, ya!" Sedetik setelah gadis itu menyerocos panik, kakinya memutar arah. Keluar toilet untuk mencari bantuan.

 "Ed!" Gadis berambut sebahu berseru kencang. Tadi, ketika dia sudah keluar dari toilet, lampu kembali menyala. Memberi penerangan di setiap sudut.

Merasa terpanggil oleh sebuah suara yang familiar, kepala seorang laki-laki yang kebetulan juga baru keluar dari toilet menoleh ke arah asal sumber suara. "Kenapa Hel? Kok, muka lo kayak panik gitu?" tanyanya setelah gadis bernama Helen berada di depannya dengan napas memburu.

 "Itu … itu … di toilet … ada cewek mau pingsan." Dengan napas tersendat-sendat akibat berlari juga panik, Helen memberitahu laki-laki di depannya.

 "Serius, lo?" tanya laki-laki itu.

Helena menganggukkan kepalanya cepat, lantas menarik tangan laki-laki yang merupakan teman dekatnya itu ke arah toilet.

 "Eh?!"

 "Ayo, buruan! Wajahnya pucet banget waktu gue senterin tadi!" Suara Helena cukup menjelaskan, jika gadis itu tengah dilanda kecemasan.

Tepat sedetik sebelum mata Aruni tertutup, ia bisa mendengar derap langkah dua orang. Setelahnya, semua menjadi gelap dan Aruni tidak ingat apa-apa.

^^^^^

Poor Aruni, guys😢

Ada yg belum follow akun author???
Kuyy!! Buruan difollow😉

See you soon😘

Kalimantan Barat, Senin, 14 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro