자르지 마십시 오
𝐃𝐎𝐍'𝐓 𝐂𝐔𝐓 𝐘𝐎𝐔𝐑 𝐇𝐀𝐈𝐑
𝐀𝐅𝐓𝐄𝐑 𝐀 𝐇𝐄𝐀𝐑𝐓𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊.
가슴 아픈 후 머리를 자르지 마십시오
°
Aku punya sahabat namanya Kim Dani. Dia wanita. Jangan bilang itu mirip nama lelaki, nanti kamu ditebas.
Sejak SMA dia selalu bilang padaku kalau dia akan pergi ke London, menemui kakak tirinya yang kabur dari rumah karena tidak ingin melanjutkan pabrik tekstil. Kudengar kakaknya lebih suka literatur. Dani berencana membujuk kakak laki-lakinya pulang karena satu-satunya orang tua yang tersisaㅡAyahㅡmereka sakit.
Kala itu Bandara Incheon diselimuti langit lembayung. Suara riang Dani yang bergema masih nyaring di kepalaku.
"Kadang yang sederhana bukan berarti enggak luar biasa. Dan aku percaya itu."
Dahiku mengernyit, pegangan koper abu-abu milik Dani kulepas pelan. Kalau benar yang sederhana juga spesial, aku punya pertanyaan. "Jadi apa yang luar biasa?"
Perempuan mungil yang tingginya sama denganku itu terkekeh sembari menyibak rambut sebahunya. "Kita akan menemukan jawabannya pada suatu waktu yang tepat."
"Kau tahu? Kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana saja," tambahnya.
"Bicara apa kamu? Kamu yang rumit."
"Well, well. Efek patah hati," candanya. Dani mengedipkan satu mata dengan ceria sembari mengangkat tiket penerbangannya. QO1343. "Aku harus segera boarding. Dah, Bae Joohyun!"
Dia terlihat lebih bersemangat dari biasanya. Katanya Kak Taehyung memberikan jawaban berbeda sejak 5 tahun terakhir. Dari 'tidak akan' menjadi 'akan kupikirkan'. Tentu saja secercah harapan itu membuat Dani menyengir begitu lebar. "Doakan kali ini Kak Taehyung mau pulang! See you again!"
Akan tetapi, aku tidak pernah berjumpa Dani lagi.
Kamu tidak kembali, Danee-ya.
QO1343 terjatuh. Proses evakuasi memakan waktu nyaris sebulan. Nama Kim Dani masuk ke dalam daftar korban tewas.
Dan di sinilah aku berada. Mengurus proses kremasi bersama ayah Dani yang sakit-sakitan dan Kim Taehyung.
Ironisnya, kamu berhasil Dani. Kakakmu pulang ke Korea.
Aku tidak tahu apakah harus kuucapkan selamat atas kegigihanmu selama 5 tahun atau seharusnya aku menyumpahi kakak sialanmu yang menyusahkan ini. Seandainya dia tidak kabur dari rumah setelah bertengkar dengan ayahmu, kamu takkan ke London, kamu tidak naik pesawat, dan tidak berakhir menjadi abu dalam guci yang kini kupeluk. Iya, 'kan?
Semua pertanyaan sesak itu menghujam jiwaku. Air mataku menyeruak deras. Kurasa kalau aku lepas, jeritanku akan memantul ke seluruh sudut ruangan. Tapi aku tak bisa melakukan apapun selain meredam kesedihan atas sepeninggalan Dani dengan sesenggukkan bisu. Aku lelah. Aku terlalu lelah karena meski aku telah mengusap air mata berkali-kali, tetap saja bulir itu menetes jatuh.
"Jangan menangis."
Kurasakan ada sentuhan hangat pada wajah. Saat mendongak, Kak Taehyung dan ibu jarinya berada di sana, menyeka kristal bening di pelupuk serta pipiku yang basah.
Sinar netranya tulus, penuh rasa bersalah. Kurasa ia sendiri pun juga ingin menangis. "Maafkan aku."
Awal mulaku dengan Kak Taehyung dimulai dari ujung koridor sekolah. Dia tingkat 3, sedangkan aku murid baru menetas dari sekolah menengah pertama.
"Oh, maaf! Apa makananmu baik-baik saja?"
Alisku mengernyit heran. Kurasa itu bukan pertanyaan lazim untuk seseorang yang baru saja membuat gadis pelajarㅡyang membawa bentoㅡnyaris terjatuh ke ubin keras.
"Ya, makananku baik."
Aku pergi usai berkata datar seperti itu. Tapi suara beratnya membuat langkahku berhenti. "Kau teman Dani, ya?"
"Tampak familiar." Dia tersenyum tipis.
Aku juga tahu tentangnya. Dia kakak tiri Dani. Kim Taehyung. Rupawan dan binal. Kombinasi populer karakter utama pria di romansa remaja.
"Kalau ada sesuatu terjadi pada makananmu, aku traktir. Jangan sungkan. Keluarga kami banyak uang." Tubuh tingginya berbalik, lalu melewatiku sambil melambai pamit.
"Hei," panggilku. Dia berhenti. "Alih-alih menanyakan makanan, harusnya kau tanya dulu apa aku baik-baik saja."
"Tapi aku sudah tahu kau baik-baik saja."
"Itu etika seharusnya."
"Makananmu berada di dalam kotak. Aku tidak tahu apakah isinya baik atau tidak. Sedangkan kamu aku lihat dengan mata kepalaku. Kamu berdiri dan masih bernapas." Kak Taehyung terkekeh ramah sembari menambahkan, "Dan sekarang kamu sedang marah."
Kubuang napas dengan kasar, kemudian memunggunginya yang samar-samar berkata, "Baiklah. Rumit sekali, padahal sederhana saja."
Sekali lagi, dia berhasil mencuri atensiku. Kepalaku menoleh.
Dan tepat di detik itu, ia berhasil membuat jantungku berdegup saat bertanya santai sembari mengacak pelan rambut panjangku. "Jadi, apa kau baik-baik saja?"
Pipiku memerah. Sial. Kalau dia langsung mengalah begini aku jadi malu sendiri. Tanpa bicara aku mengiyakan dengan anggukan kepala.
Satu fakta sedari pertemuan abstrak itu; Kim Taehyung adalah cinta pertama terpendamku.
Dirinya yang berusia 22 tahun kini duduk bersebelahan denganku di bus. Tangannya mendekap bingkai Dani, tanganku memeluk guci abu. Tatapan Kak Taehyung seperti terowongan bawah lautㅡhampa dan sepi.
"Kau memotong rambutmu jadi pendek," komentarnya tiba-tiba.
Kutatap rambut sebahuku sekilas. Rambut ini kupotong bersama Daniㅡlebih tepatnya menemani Dani yang patah hati karena ditolak. Ini hanya hal kami berdua; memotong rambut usai kehilangan.
Aku tidak mengerti darimana seluk-beluk korelasi patah hati dengan potong rambut. Tapi setelah melakukannya, beban dalam dada memang terasa lebih ringan. Dani bilang, untuk beberapa alasan yang sulit dijelaskan dia merasa hatinya yang kosong itu seperti ditemani sang rambut yang juga kehilangan panjangnya. Merasa tidak terlalu sepi dan sendiri.
"Kupotong bersama Dani dua minggu sebelum dia ke London."
"Perkara patah hati Kim Dani?"
"Jadi Dani juga bercerita padamu."
"Yeah, lelaki bodoh yang menolak adikku itu. Tidak bisakah buat adikku merasa disayang sebelum meninggal." Kak Taehyung berdecak sebal. "Orang itu punya selera buruk. Siapa namanya? Sungyeol?"
Aku terkekeh pelan. "Ya. Lee Sungyeol. Harusnya dia naikkan standarnya. Dani memang terlalu keren untuk patah hati kepadanya."
"Setuju." Kak Taehyung mengangguk. Dia lalu menatapku. "Rambutmu itu... apa kau juga patah hati?"
Kugelengkan kepala. "Aku hanya menemani Dani."
"Apa kamu juga pernah?" tanyanya penasaran. "...maksudku, potong rambut patah hati."
Mataku mengerjap dua kali. Aku pernah melakukannya sekali. Jadi sangat pendek. Itu 5 tahun lalu saat orang di sebelahku iniㅡyang menanyakan pertanyaan barusanㅡkabur ke London tanpa pemberitahuan. Ha-ha.
"Nope. Belum pernah jatuh cinta," dustaku.
"Ah, begitu..." Kak Taehyung tidak banyak bicara lagi. Dia hanya menerawangi lagit dari jendela bus. Tidak ada yang terlihat jelas, pemandangan kabur karena kendaraan melaju cepat. Dia memangku dagu lalu bergumam pelan tanpa memandangku. "Joohyun-ssi... Kau terlihat cantik dengan rambut pendek."
Senyumku mengembang tipis. "Thanks. Berkat Dani."
"Ah, Lee sialan itu. Rambut adikku jadi pendek sekali. Apa banyak rambut dipotong melambangkan jumlah sakit hati?"
Aku mengendikkan bahu. "Kurasa begitu."
"Menurutmu jika cowok itu tahu, apa dia akan merasa bersalah?"
Lagi-lagi, bahuku terangkat. Entah.
Suara kecil Kak Taehyung mengisi hening setelah beberapa menit. "Kamu jangan potong rambut lagi."
"Seberapapun kehilangan yang dirasakan, jangan potong rambutmu."
Bola mataku memandang punggungnya dengan nanar. Kak Taehyung di sana sedang menatap langit mendung di balik jendela. Dia mengembuskan napas hangat di kacaㅡmembuat embun, lalu menggambar acak dengan jarinya. Bunga, matahari, awan, kemudian ada tulisan 'Aku rindu Dani'.
Sesaat netra hitam itu menatapku, kini waktu terasa berhenti. Lipatan mata asimetris artistik, tulang hidung tinggi, kulit cokelat madu manis, bibir kenyal menawanㅡsemua kombinasi itu mengingatkanku kembali kalau dia masih terlihat sama seperti Kak Taehyung 5 tahun lalu. Hanya saja dia tidak seusil dulu. Tatapan jenaka dan perangai nakalnya memudar berganti sendu.
"Bisakah?" Dia bertanya sekali lagi.
Aku terheran dan tidak mengerti maksud perkataannya namun kuiyakan saja. Kadang kala pertanyaan rumit hanya butuh jawaban sederhana, sesederhana itu jugalah bahwa kadang-kadang jawaban tidak harus berupa kata-kata. Terkadang diam juga jawaban.
Dan jawaban Kak Taehyung kutemukan pada malam itu.
Malam itu di tengah hujan Kak Taehyung berdiri di garis pembatas jembatan Han.
"Apa yang kaulakukan?!"
"Menikmati bintang."
"Bohong!"
Suaranya tadi parau. Jelas-jelas kulihat ia nyaris melompat. Kalau aku tidak melihatnya usai membeli makan malam, dia mungkin sudah menceburkan diri ke dalam sana.
Dia lantas berbalik. Tubuh menyender pada tralis, tangan dilipat di depan dada. "Kalau aku bohong, jadi apa yang kulakukan?"
Seketika aku kehilangan kata-kata.
Pemuda itu tersenyum pahit. "Kaukira aku mau bunuh diri?"
"Apa kaupikir aku merasa bersalah atas kematian adikku? Jika saja aku tidak ke London, jika kulanjutkan usaha Ayah dengan hati lapang... barangkali... Dani..." ia meneguk saliva, merasa tercekik saat melanjutkan, "...mungkin Dani masih hidup."
Air matanya tumpah, perlahan dia merosot ke tanah. "Apa kaupikir aku akan melompat karena banyaknya rambut terpotong itu menunjukkan Dani yang tidak bahagia semasa hidup? Semakin banyak yang dipotong, rasanya semakin besar kesalahan yang kubuat. Itu membuatku merasa tidak berguna dan mau mati saja."
Kupeluk Kak Taehyung dengan erat. Dalam hitungan sekon, pertahanannya runtuh. Kami saling membasahi bahu satu sama lain dan isakan pun semakin kencangㅡwalau teredam hujan. Kalau saja aku terlambat satu detik mungkin semuanya akan betul-betul tenggelam ke dasar air.
"Apa kamu pikir aku akan begitu, Joohyun?" Ia menggigit bibir agar tidak menyebabkan isak lanjutan.
"Tidak. Kakak takkan begitu." Kutepuk pundaknya dengan hati perih. "Aku hanya berpikir alangkah baiknya kakak mau ke rumahku. Kita bisa minum soju bersama. Melakukan hal-hal sederhana yang biasa saja. Mengisi kekosongan, memudarkan rasa bersalah, mengulang rindu. Dan pelan-pelan pada waktunya, akan jadi keberanian yang luar biasa."
Kamu benar, Dani.
Kadang yang sederhana bukan berarti tidak luar biasa. Kita akan menemukan jawabannya suatu hari nanti pada waktu yang tepat.
Kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana saja.
"Kita bisa mulai dari kosong."
Tidak perlu memotong sisa hidup, kesempatan datangnya harapan, atau rambut sekalipun.
Kehilangan bukan hanya tentang hampa atas kepergian seseorang. Tapi juga keberanian menghadapinya satu kali lagi. []
FIN.
NOTES:
Jangan banyak siders, ya 😥
My another work with similar genre:
[ Call You By My Name ]
ㅡ
Located in suburb in Paris, highlighting the friendship of 3 Korean students. One of them is a gay whom been lying to his sincere girlfriend for years.
Written in Bahasa Indonesia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro