PART 9
Kuikuti sang Dokter dengan tergesa. Langkahnya yang lebar membuat aku tertinggal di belakang. Sedikit berlari aku mengejarnya.
"Dokter, kita mau ke mana?" tanyaku sedikit ngos-ngosan.
"Ikut saja. Katanya mau kerja." Dia menjawab tanpa melihat ke arahku.
"Tapi ke mana?" Aku masih penasaran.
Sang Dokter menghentikan langkah dan menoleh ke arahku. "Bisa diam? Atau mau dipecat?" Arogan sekali, bah!
Dia menuju ke arah parkiran. Timbul rasa malas untuk mengikutinya. Aku berhenti dan memilih duduk di kursi tunggu. Dokter Adam sudah tidak terlihat. Baguslah. Dasar orang aneh! Lebih baik aku tak usah ikut saja.
"Asisten! Cepat! Ini bagian dari tugasmu." Tiba-tiba dia berteriak dari atas sepeda motor matic miliknya.
"Pake kereta?* Mau ke mana?"
"Makan lontong. Kamu bikin orang selera. Jadi tanggung jawab."
Ya ampun. Ini dokter memang aneh. Bukannya mengurusi pasien yang sakit, malah keluar mau makan lontong. Baiklah, jadi ini tugas pertamaku? Terlihat sangat mudah.
Aku duduk di jok belakang. Rasanya sedikit aneh harus berboncengan dengannya. Kurasa pasti perawat-perawat itu sedang terbakar api cemburu melihatku pergi bersama Dokter Adam. Tampak jelas saat kulihat ke belakang, mereka berdesak-desakan mengintip kepergian kami.
Sepanjang perjalanan sang dokter diam saja. Tak ada sepatah kata terucap. Mulut pun terasa asam jadinya. Hanya sepoi-sepoi angin yang membelai telinga. Menggelitik manja membuat aku menguap beberapa kali. Wah, kurasa bisa gawat jika aku sampai tertidur. Kenapa pula dia sanggup berdiam diri? Apa dia lupa jika di belakang juga ada manusia? Atau apa dia pikir sedang membonceng patung?
"Dokter, kenapa jalannya lambat kali?" tanyaku memecah keheningan. Mana tahu denganku membuka komunikasi maka seterusnya akan lancar.
Krik krik!
Tidak ada jawaban. Bagai orang bodoh aku menutup mulut menahan malu. Dokter berbulu lebat mengabaikan pertanyaanku. Aku kembali memutar otak. Memberikan pertanyaan yang lebih berbobot. Mungkin saja dia terlalu berkelas sekadar menjawab pertanyaan receh dariku.
"Dokter sudah punya pacar? Atau istri? Anak? Apa dokter duda?"
Satu detik, dua detik, tiga detik ... waktu habis. Hanya deru sepeda motor yang terdengar. Pekak* kurasa ini orang. Ganteng-ganteng, tapi ada kurangnya juga.
Kami mulai melewati area persawahan. Padi yang hampir menguning seutuhnya terlihat berjejer rapi. Sejauh mata memandang, hamparan sawah terbentang bagai permadi hijau menyelimuti bumi. Desaku memang indah. Masih jauh dari hiruk pikuk seperti di kota, polusi udara pun jarang sekali ada.
Duduk di belakang seperti ini aku jadi membayangkan yang bukan-bukan. Aduh, bagaimana rasanya jika memeluk tubuh sang Dokter? Dengan badan sebesar ini apa tanganku bisa merengkuh dada bidangnya? Aih! Sadar diri, aku hanya gadis kampung, mana mungkin Dokter Adam bisa mencintaiku, melirik saja dia tak sudi.
Uhm, kira-kira wanita seperti apa, ya, yang disukai dokter? Apa aku masuk ke dalam tipenya? Mungkin saja dia menginginkan gadis manis imut-imut seperti aku. Makjang, tak bisa kubayangkan jika aku bersanding dengan dokter impian. Apalagi saat malam, berdua menikmati cahaya rembulan sambil berangkulan dan sesekali tatap-tatapan. Amboi indahnya.
Rasa-rasa sudah agak lama sepeda motor kami melaju, karena untuk tiba ke kedai* yang menyediakan lontong tadi, hanya memerlukan waktu setengah jam melalui jalan besar. Sedangkan pagi tadi aku melalui jalan tikus, hanya memerlukan beberapa menit saja untuk sampai ke puskesmas.
"Masih jauh? Bisa kenyang makan angin ini." Dokter Adam mendadak menghentikan laju motor.
Aku kaget dan menabrak tubuh Dokter Adam dari belakang. Unrung saja ke dua tangan kuletakkan di depan dada, sehingga area yang terlarang tidak tersentuh sembarangan.
"Jangan cari-cari kesempatan, Dok. Aku orang asli kampung sini."
"Maksud?"
"Itu ... tadi. Rem mendadak. Sengaja, kan? Biar kita bisa kena-kenaan!*" Aku menggerutu kesal dan turun dari sepeda motor. Meskipun aku suka sama dia, bukan berarti aku segampang dan semudah itu bah.
"Lho? Sengaja? Sengaja apa? Mana warung lontongnya?"
"Lontong? Alamak! Udah lewat, Dok. Aduh. Mati awak!"
"Lewat? Jadi sejak tadi kamu ngapain di belakang? Tidur?" tanya Dokter Adam. Dia terlihat sangat kesal. Kali ini habislah aku. Pakai acara menghayal segala.
"Menghayal, Dok," ungkapku pelan.
"Menghayal?" tanyanya heran.
"Iya."
"Hayalin apa?"
"Hayalin masa depan bersamamu." Makjang! Aku keceplosan. Kulihat Dokter Adam memelototkan matanya. Mulutnya menganga mendengar jawabanku. Aku harus bagaimana? Inang, tolong! Oh, tidak! Aku telah menghancurkan reputasiku sendiri. Rusak rusak rusak.
"Kamu sehat?"
Rasa tidak senang ia tunjukkan padaku. Harus begitukah? Apa tidak bisa dia meladeni dengan guyonan agar lawan bicaranya tidak malu hati? Ah, dari awal dia memang sudah tidak menyukaiku. Ini faktor keberuntungan saja aku bisa lulus jadi asistennya. Meski hingga detik ini belum ada kerjaan nyata yang ia berikan. Tak lama sang Dokter bergegas menaiki sepeda motor dan meninggalkanku sendiri di jalanan sepi.
"Dok ... Dokter, tunggu. Aku jangan ditinggal." Aku berusaha mengejar sepeda motornya.
"Silakan dilanjutkan hayalannya. Aku ngga mau ganggu. Waktu dan tempat dipersilakan! Tapi tolong ganti lelakinya. Jangan aku!" seru lelaki berjambang tipis itu dari atas motornya.
Apa sikap orang kota begitu semua? Sombong dan merasa diri sangat dibutuhkan? Bisa-bisanya dia pergi begitu saja. Seperti bukan lelaki saja meninggalkan seorang gadis di pinggir jalan. Namun, masih saja ada untungnya, kali ini untung suasana jalan begitu lengang, sehingga aku tidak malu karena kejadian tadi. Hanya sesekali saja lewat penduduk berjalan kaki atau bersepada. Mereka melihat ke arahku heran, seakan bertanya "ngapain ko tadi? Memalukan." Sungguh tega dokter itu tidak mengajakku ikut serta. Tadi pergi baik-baik bahkan cenderung agak romantis, tapi akhirnya malah jadi begini. Pasti dia sangat kesal padaku. Ya ampun, kerjaan semudah ini saja aku bisa gagal. Siap-siap kena pecat kalau begini.
***
Aku berjalan melewati meja piket. Sengaja kulewati sebuah kaca besar yang ditempel di dinding, sehingga aku bisa melihat wajahku yang kemerahan akibat sengatan matahari ditambah lagi emosi yang meledak-ledak dan ingin segera kusemburkan kepada lelaki tak berperikemanusiaan itu.
Kupercepat langkah menuju ruangan Dokter Adam. Ini masalah besar. Harus segera dituntaskan. Agar ia tidak seenaknya saja memperlakukan bawahan. Seumur-umur tidak pernah aku diperlakukan seperti ini. Jika saja Attar tahu, dia pasti akan sangat marah.
Gagang pintu kuputar keras. Tidak ada ketukan bahkan salam sebelum masuk. Kulihat sang Dokter sedang memegang ponsel. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku. Namun, hanya sebentar, karena setelah itu ia kembali terpekur menatap layar ponsel tanpa menggubris kehadiranku. Aku mendekat dan berdiri di belakang meja tepat di hadapannya. Napasku saling kejar mengejar. Emosi kian membuncah melihat ekspresinya seperti orang tidak bersalah.
"Tanggung jawab, Dok!" seruku.
Ia masih sibuk dengan ponselnya. Ya ampun! Ini orang bumi atau dari planet lain? Mau kuhantam pula rasanya, biar tahu diri dia.
"Bah! Woi, Dokter! Tak dengar? Perasaanku sejak tadi aku ngomong, diam saja kutengok. Apa perlu alat untuk mendengar?"
Rasa kesalku sungguh tak tertahankan. Jika kutonjok kepalanya sekali saja, kira-kira bermasalah tidak, ya?
"Kalau mau bikin heboh, jangan di sini. Waktuku nggak ada."
Akhirya dia bersuara juga. Macam menanti buaya darat taubat saja.
"Bikin heboh gimana? Kenapa tadi aku ditinggal? Seenaknya saja kutengok."
Tenggorokanku terasa gerah. Kulihat ke sekeliling, tidak ada sesuatu yang bisa untuk diminum.
"Kamu itu ...,"
Segera kupotong kalimatnya. Aku sudah tak tahan. Air liur sudah tidak bisa membantu untuk meringankan rasa haus yang terus bergejolak.
"Sebentar, Dok. Jangan ngomong dulu. Ada minum? Haus kali aku. Capek kali bah. Jalan kaki aku tadi, Dok. Nggak pernah-pernah aku dibuat gini. Makjang!"
"Trus? Di sini nggak ada minum. Kamu cari di luar sana."
Mak oi! Sudah sombong, pelit lagi. Untung saja ganteng.
"Dok, lama-lama bicara sama dokter aku bisa naik tensi."
"Terus? Masalahnya?"
"Dokter mau kusantet?"
Bersambung
Note:
Kereta: Sepeda motor
Pekak : Tuli
Kedai: Warung
Kena-kenaan: Saling kena
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro