PART 8
Pagi-pagi sekali aku bangun dan menunaikan salat Shubuh. Setelah melipat mukena, bergegas kembali ke kamar mandi. Hari ini aku akan kembali bekerja. Aku harus bekerja. Tidak peduli bagaimana sikap Dokter Adam nanti, aku harus tetap kuat mental. Dia pikir bisa seenaknya saja? Perlu diketahui jika dia itu adalah pendatang, jadi aku harus lebih hebat dari dia.
"Bu, Jangan sampailah Indira betah kerja. Bikin dia keluar atau dipecat, Bu."
Samar-samar aku mendengar suara Dewi dari dalam kamar. Dari kalimatnya, dia sedang berbicara dengan Ibu. Apa yang sedang mereka rencanakan?
"Kau tunggu sajalah. Nanti juga dipecat dia itu. Gak kita bikin apa-apa pun dia tetap akan dipecat. Nggaknya ko lihat gimana dia ceroboh? Mana betah dokter itu sama Indira. Ibu janji kaunya nanti yang gantikan posisi dia."
Suara Ibu tak kalah kecil. Mereka sedang berbisik dan seperti merencanakan sesuatu untukku. Apa mereka berdua akan mencelakaiku? Tidak! Aku mendapatkan pekerjaan itu dengan usaha, bukan asal-asalan. Dasar anak beranak, picik sekali. Jika mereka pikir aku akan mengalah dan menyerahkan dengan mudah posisi sebagai asisten dokter untuk Dewi, itu salah besar. Bah! Sampai zaman avatar berhasil merebut negera api pun aku tidak rela. Palak* kali* kutengok, Wak!*
"Kalian berdua nggak ada sopan-sopannya! Kalau sedang menyusun siasat, agaknya jangan sampai bocor ke telinga korban! Amatir kali!" Aku berteriak dari depan pintu kamar Dewi. Kunanti sejenak menunggu reaksi mereka, bah, langsung diam? Macam kucing tercebur got saja. Mental bawang putih, berlagak layaknya bawang merah. Aku pun berlalu dari sana. Bisa telat aku jika terus mengintai mereka.
Hari ini harus lebih baik. Aku juga akan berusaha untuk mengontrol emosi dan tabiatku. Jangan sampai meledak-ledak seperti kemarin. Setelah berkemas, aku mengecek ulang sekali lagi penampilanku di cermin. Baju kemeja putih dipadu dengan celana kain panjang berwarna hitam. Ah! Taik cicaklah.
***
Sebelum pergi kusempatkan melihat Ayah di kamarnya. Lelaki itu masih terlelap. Posisi tubuhnya meringkuk kedinginan. Aku mendekat untuk menyelimutinya. "Ayah, aku pergi, ya. Sehat-sehat Ayah. Nggak lama lagi Ayah akan sembuh. Tunggu saja, semoga Allah meridhai," ujarku berbisik di telinga Ayah. Melihat kondisi Ayah hatiku remuk redam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap, kini menjadi tak berdaya. Ia yang dulu selalu tersenyum kepadaku saat pulang bekerja, sekarang yang tersisa hanya air mata. Kelelahan yang ia derita terlihat jelas dari ke dua bola matanya.
"Indira, kamu nggak peluk ayah hari ini, Nak?" Pertanyaan Ayah mengagetkanku. Jadi setiap pagi Ayah tahu jika aku selalu memeluknya. Kupikir Ayah tidur. Aku mendekat dan merengkuh tubuh lelaki yang sangat kucintai itu.
"Maafkan ayah, Nak. Seharusnya ayah yang melindungimu, bukan sebaliknya."
Lelaki itu melepaskan pelukan dan menatapku sendu.
"Ayah ngomong apa? Aku harus bekerja Ayah. Jangan sampai telat. Nanti dihukum kalau telat. Masak anak ayah yang cantik ini diperintah-perintah pulak bersihkan WC yang tersumbat. Alamak oi." Kuberikan alasan agar Ayah tidak larut dalam kesedihannya.
"Ayah tidur lagi. Bentar lagi Ibu datang bawakan sarapan. Ayah makan yang banyak, ya."
Ayah tidak boleh tahu jika aku sedang bersiteru dengan Ibu dan Dewi. Beban pikiran Ayah sudah terlalu banyak. Mataku memanas. Tidak boleh! Aku harus tahan, jangan sampai air mata keluar di depan Ayah. Memberikan senyum setiap pagi mungkin saja bisa menjadi terapi yang baik bagi lelaki paruh baya tersebut.
Kututup pintu kamarnya perlahan. Huh! Lega rasanya. Kuseka air mata yang sudah menganak sungai sejak tadi. Ah, Ayah. Demimu aku akan bekerja keras. Mengganti malam ke siang, siang ke malam. Agar pundi-pundi tabungan semakin bertambah dan kita akan segera pergi berobat.
***
Aku pun berangkat kerja setelah berpamitan dengan Ayah. Sepatu hitam milik adik Attar masih kupakai. Aku akan memulangkannya nanti setelah membeli sepatu baru saat gajian pertama. Hari ini aku memakai tas ransel berwarna abu-abu. Meskipun kondisinya sudah tidak meyakinkan, tapi inilah tas kesayanganku dan satu-satunya tas yang kumiliki.
Berjalan di pagi hari membuat pikiran segar dan rongga paru-paru terasa lebih lapang. Udara yang dihasilkan masih sehat dan segar tanpa terkontaminasi oleh polusi.
"Woi, boi, kerja?" Suara teriakan yang sungguh sangat familiar. Siapa lagi kalau bukan Attar. Posisinya selalu sama, minum kopi di warung langganannya.
"Jangan ko rayu-rayu lagi. Aku mau kerja."
"Hush! Geer! Siapa pulak yang mau rayu. Aku cuma tanya ko mau kerja, kalau ia, kerja sana yang betol. Jangan pulak kelen betekak* lagi nanti? Otak mana otak? Udah ko bawa?
"Bagudung!* Cam betol aja lah ko!" seruku pada Attar. Aku melanjutkan perjalanan yang sempat terganggu karena lelaki kribo itu.
"Woi, tunggu."
"Iss ... apalagi?" tanyaku kesal.
"Ini bekalmu. Pasti ko belum makan. Ko bawaklah! Jangan ko pikir gratis, semua utang-piutangmu udah kucatat di buku catatan. Khusus utang ko catatannya udah panjang, macam kereta api."
Aku tertawa mendengar kalimat Attar. Dia begitu manis dan perhatian. Sampai hal-hal terkecil tentang diriku pun tak luput dari perhatiannya.
"Tumben ko baek. Aku jadi sayang."
Attar terlihat salah tingkah. Ia menggaruk-garuk batok kepalanya yang ditutupi rambut lebat. Eh, lelaki itu malah senyum-senyum tidak jelas.
"Tapi ... boong! Hahaha"
Aku melarikan diri agar tidak kena jitak. Attar terlihat kesal dan merutukku dengan segala sumpah serapahnya. Siapa peduli? Sambil berlari aku terus saja tertawa membayangkan wajah Attar yang kesal. Ah! Lelaki itu. Selalu saja ia mampu membuat aku tertawa dengan hal-hal receh. Terkadang ia juga meminjamkan bahunya sebagai tempatku bersandar di saat gulana. Ia menjadi pendengar setiaku tentang apa saja. Sering sekali ia menjadi samsak tempat aku melampiaskan emosi yang meledak-ledak. Attar selalu ada dalam kondisi apa pun untukku. Pengorbanannya sudah tidak bisa dihitung jari, aku sungguh berutang budi.
Akhirnya aku tiba di puskesmas. Sebelum masuk, aku memilih duduk di bangku panjang dekat parkiran. Sejak tadi aroma kuah lontong buatan ibu warung langganan Attar begitu menggoda. Salivaku naik turun ingin mencicipinya segera. Berulang kali air aku menelan air liur membayangkan kuah lontong yang diberi sedikit teri sambal pedas plus kacang goreng, dengan taburan bawang goreng serta kerupuk merah putih, amboi! Apalagi jika dicampur dengan cabai hijau yang telah berbaur dengan tauco, aduhai, meledak meletup di lidah. Tak sabar segera kubuka bungkusan lontong, kuah dan lontong dibungkus terpisah.
Satu suapan kukunyah perlahan, pedas, asin dan gurihnya pecah menabrak langit-langit mulutku. Nasi lontong dengan tingkat kematangan yang pas, tidak terlalu lembek pun terlalu keras. Semua sempurna, sesempurna wajah Dokter Adam yang tanpa cela. Tiba-tiba anganku melayang ke dokter itu. Wajahnya tidak bosan dipandang, tapi sifatnya sungguh tidak meyakinkan.
"Makan lontong sampai merem melek. Segitu nikmatnya, kah?"
"Ssst! Diam. Ini kuah terakhir."
Alamak! Siapa pula tadi yang menegurku? Aku tersadar dan tidak jadi melanjutkan suapan terakhir. Kulihat kiri-kanan, tidak ada siapa-siapa. Apa pohon ini ada penunggunya?
"E, Bedogol!* Jangannya ko ajak main-main. Nggaknya aku takut!"
Tetap tidak ada jawaban. Siapa peduli? Kulanjutkan suapan terakhir yang sempat tertunda.
"Masih dilanjut juga yang sesendok lagi?"
Secepat kilat aku beralih ke arah suara tersebut, sampai-sampai kuah di dalam sendok pun tumpah.
"Kaget? Yah, sampe tumpah. Maaf!" ujarnya sambil menangkupkan ke dua tangan di depan dada.
O, Inang*!
Dokter Adam berdiri tepat di sampingku. Parfumnya menguar menggelitik bulu hidung. Hampir bersin pula aku. Ulala, itu laki kenapa? Manis sekali perangainya hari ini. Melihat dia tersenyum rasanya meleleh semua daki ditubuhku. Daki? Ups.
"Pak Dokter sehat?" tanyaku ragu. Ini bukan dia seperti biasanya.
"Sehat wal'afiat, Alhamdulillah."
"Yakin? Biasanya Pak Dokter paling banyak cengkunek.*" Aku masih tidak yakin. Kusipitkan mata dan berusaha untuk menatap matanya. Mencari kejujuran yang mungkin saja sedang bersembunyi. Namun, aku tak sanggup menyelam lebih jauh. Mata itu begitu syahdu. Seperti mengandung magis dan membuatku candu untuk terus berada di dalamnya. Aku takut tenggelam. O Tuhan, rasa ini muncul lagi, debaran seperti di awal jumpa. Tak bisa kuelak, sensasi ini begitu menggelora. Hanya sebuah debaran, tapi aku tak mampu mengontrolnya. Inikah rumitnya perasaan?
"Jangan lama-lama dipandang. Nanti kamu jatuh cinta."
Kalimat sang Dokter mengagetkanku. Apa dia tahu tentang perasaanku barusan? Dia kembali bisa membaca? Ah! Apa pikiranku semudah itu tertebak? Duh, bagaimana ini? Dia malah tidak mempermasalahkan kejadian kemarin. Apa itu memang benar Dokter Adam? Atau ada ruh lain yang memasuki raganya? Pening kali kurasa, bah.
***
Aku berdiri di depan ruangan Dokter Adam. Hari ini aku harus tahu apa pekerjaanku. Aku tidak mau hanya duduk-duduk bodoh di kursi tunggu, bisa-bisa akhir bulan gajiku tidak keluar.
"Assala ...." Belum selesai salam kuucap, pintu tersebut terbuka. Dokter Adam berdiri tegak di depanku. Wajahnya menampakkan ekspresi tidak senang. Kenapa lagi ini? Manusia planet yang suka bertingkah aneh.
"Ada apa?"
"Kerjaanku, Dok."
"kerja apa?"
"Ya, mana kutau. Kata dokter aku jadi asisten dokter. Tapi udah dua hari aku belum dikasih kerjaan apa-apa."
"Oke. Ikut aku. Ini tugas pertamamu."
Aku celingak-celinguk. Mau diajak ke mana? Kulihat para perawat malah tersenyum-senyum ke arah sang Dokter. Mereka bertingkah tebar pesona, dengan polesan lipstik yang merah merona. Aih! Mentel*.
Bersambung
Note:
Palak: Kesal
Kali: Sekali, banget, sangat
Wak: Wak masuk ke dalam bahasa gaul yang lazim digunakan oleh anak muda dalam pergaulan sehari-hari.
Betekak: Bertengkar
Bagudung: Anak tikus
Bedogol: Bego
Cengkunek: Banyak tingkah
Inang: Ibu
Mentel: Genit
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro