PART 7
Aku menikmati semangkok mie instan yang telah diseduh dengan air panas. Pemilik warung sengaja menyediakan bahan-bahan tambahan agar mie bokom tersebut menjadi lebih nikmat, seperti bawang goreng, cabai rawit, tomat, jeruk nipis, saus hingga kecap. Bagi lidah yang merakyat, dijamin rasa dan kenikmatannya bisa mengalahkan makanan-makanan mewah di luaran sana.
Aku serta Attar mulai meracik makanan tersebut sesuai dengan selera masing-masing. Aku si pecinta pedas sedangkan Attar lebih memilih rasa pedas yang standar. Setelah memasukkan cabai rawit, aku pun menuangkan saus serta memeras potongan jeruk nipis ke dalam mie seduh tersebut. Seolah-olah telah terasa di lidah rasanya yang gurih dan segar. Membayangkan itu, aiu liurku pun berproduksi lebih banyak. Apalagi sejak pagi tadi aku memang belum memasukkan sepotong makanan pun ke dalam perut. Antusias bekerja di hari pertama membuat aku lupa untuk sarapan.
"Mantap kali kurasa ini. Ah!" seruku sambil mendekatkan wajah ke mangkuk dan menghirup aromanya dalam-dalam.
"Banyak kali macammu. Ko* makanlah terus, cacing-cacing dalam perutmu udah teriak-teriak kudengar."
Apa? Selain Dokter Adam yang bisa membaca pikiranku, ternyata Attar juga bisa mendengar suara cacing di dalam perutku. Bah! Ajaib kali kurasa ini. Aku pun mulai menyendok mie instan tersebut dan memasukkannya ke mulut. Aku begitu menikmati setiap sensasi rasa yang pecah di lidah kemudian mengalir nikmat melewati tenggorokan menuju perut. Kuahnya pun juga kaya cita rasa, pedas, asam dan asin yang seimbang membuat aku terbuai dan memejamkan mata. Amboi!
"Biasa ajalah woi makannya. Nggak usah ko pejam-pejamkan kali matamu itu. Nggaknya nikmat-nikmat kali pun mie bokom ni." Lagi-lagi Attar merusak khayalanku.
"Suka-suka akulah. Mie-mieku. Mulut-mulutku. Mata-mataku. Kenapa ko yang ribut?" Aku membalas lebih ketus.
"Ya ributlah. Ujung-ujungnya ko minta nambah, yang bayar siapa? Ya aku!"
Aku baru sadar dan tertawa cekikikan. Attar memang sangat baik padaku. Dari kecil kami selalu bersama, hingga di usia sekarang pun kami tidak terpisahkan. Dia tahu tentangku luar dalam.
"Sesekalinya ko yang bayar. Itung-itungan kali pun."
"Ee, kutu monyet, sesekali ko bilang? Cak* kupegang dulu keningmu, mungkin sedang demamnya ko kurasa."
"Iya iya, sering kamu yang bayarin aku. Makasihlah we udah baek sama aku selama ini."
Begitulah kami, dua makhluk aneh yang selalu bersatu tanpa menghiraukan orang lain. Jika kami sudah bersama, maka dunia serasa hanya milik kami berdua, yang lain? Numpang!
"Dira, jadi tadi kau sedang ada masalah apa? Mukakmu macam jeruk busuk kutengok."
"Ah, kumakan dulu mie ini. Muak kali kalau kuingat kejadian tadi. Hilang selera makanku nanti."
Aku tidak mengindahkan rasa penasaran Attar. Mengingat kejadian dengan sang dokter tadi membuat perutku mendadak sakit. Kulihat Attar juga melanjutkan makannya. Tampak dari samping, anak itu manis juga. Ah! Attar, maafkan aku yang pernah menolak perasaanmu. Setelah sekian lama kita menjadi sahabat, akhirnya beberapa waktu lalu, lelaki dengan rambut keriting itu menyatakan perasaan bahwa dia menyukaiku. Dia ingin agar hubungan kami lebih dari sekadar sahabat. Namun, aku menolaknya. Aku tidak mau persahabatan yang telah dibangun sejak lama menjadi rusak. Karena lebih mudah mengubah persahabatan menjadi cinta, daripada mengubah cinta menjadi persahabatan. Banyak yang menjadi contoh sekarang ini, hal yang paling menyedihkan saat cinta yang berawal dari persahabatan adalah ketika cinta itu berakhir, maka akan menghancurkan persahabatan yang ada. Aku tidak mau jika harus bermusuhan dengan Attar.
Setelah kejadian penolakan itu, hingga beberapa waktu lamanya Attar seperti menghindar. Dia tidak mau bertegur sapa dan menutup diri. Aku frustasi dibuatnya. Karena hanya dialah sahabatku satu-satunya. Jika ia pun ikut pergi maka dengan siapa aku akan menghabiskan hari-hari?
Setiap hari aku berusaha untuk menemuinya. Ke rumahnya pun aku tak peduli. Toh, orang tuanya sudah kuanggap layaknya orang tuaku sendiri. Malah mereka tertawa saat mendengar penjelasanku mengenai tingkah Attar. Setelah berulang kali berusaha, akhirnya suatu sore aku dan Attar berjumpa. Ia terlihat tidak seperti biasa. Kami saling bertukar cerita, meski aku lebih dominan dan ia hanya mendengarkan. Setidaknya dia sudah mau untuk bertemu.
"Kau bahkan bisa lebih dekat denganku dibandingkan seseorang yang nanti menjadi tempat kulabuhkan cinta," ucapku padanya dulu. Lelaki itu akhirnya mengalah, dia lebih memilihku menjadi sahabat dari pada kekasih.
Setelah kejadian itu pertemanan kami pub bertambah dekat. Dia ibarat bayanganku. Dia hapal betul seperti apa tingkahku. Dia memahamiku luar dalam. Dia yang paling tahu bagaimana cara menghadapiku saat aku sedang marah. Attar sungguh sahabat terbaik yang Tuhan turunkan untukku.
"Jadi apa masalahnya semalam*? tanya Attar kembali setelah kami menghabiskan makanan. "Ah! Ko tebak ajalah sendiri."
"Mulai lagi. Ko pikir aku dukun bisa tau semua kejadian? Paoklah* ko!"
Setelah menarik napas panjang, aku pun menceritakan dari awal hingga akhir kejadian yang kualami di puskesmas kemarin. Betapa kesalnya aku terhadap Dokter Adam. Lelaki sok ganteng dan semena-mena, membuat aku muak jika harus bekerja sama kembali bersamanya.
"Apa? Jadi ko buka pintu WC-nya?" tanya Attar tidak percaya. Ekspresinya terlihat memuakkan. Ia menahan tawa agar aku tidak tersinggung. Begitulah tabiatnya. Aku sudah hapal betul.
Aku mengangguk pelan. Pandangan kulempar jauh tanpa melihat Attar.
"Hahaha. Apanya yang ko lihat? Alamakjang. Dira ... Dira. Hahaha." Tawanya semakin keras. Ia sampai terbungkuk-bungkuk menertawaiku. Rambut keritingnya ikut melonjak-lonjak kegirangan. Setelah tawanya reda, tersisa air mata di sudut ke dua matanya. Ya ampun, dia tertawa hingga mengeluarkan air mata. Selucu itukah?
"Bodat!*" Aku menggerutu kesal.
Setelah puas menertawaiku akhirnya dia kembali ke posisi semula. Kurasa cukup puas dia melihat aku tertindas.
"Dir, tau ko, semalam aku jumpa sama Ibu dan Dewi. Mereka buru-buru. Entah mau ke mana."
"Jam berapa?"
"Siap kita balek dari rumah kepala desa itu."
Pantas kemarin saat aku pulang tidak ada Dewi dan Ibu di rumah. Ke mana mereka pergi? Apa Dewi mengajak Ibu ke rumah Pak Kades? Jadi, benar saja. Dari Dewi dan Ibu, Ayah tahu jika aku lulus seleksi dan menjadi asisten Dokter Adam. Jahat sekali mereka. Tidak bisa dibiarkan, pasti mereka telah mengancam Ayah hingga ia menyuruhku untuk membatalkan kontrak bersama sang dokter. Awas! Tunggu saja tanggal mainnya.
"Mereka makin menjadi-jadi sekarang."
Attar menatapku lekat. Wajahnya terlihat berbeda jika sedang serius seperti itu. Sesekali pandangannya berpindah ke kacang kulit gonseng yang sedang ia kupas. Saat mengunyah, jakun lelaki tinggi itu terlihat naik-turun.
"Jadi apa rencanamu? Sebaiknya ko bersabar dululah sama ibu dan saudara tirimu itu. Ada masanya nanti untuk membalas. Oya, besok masih mau kerja?"
"Ya kerjalah. Aku butuh duit untuk pengobatan Ayah. Mana tau dokter itu bisa bantu aku mempermudah ngurus BPJS."
"Aku pun bisanya kawanin ko ke kantor BPJS."
"Ia, tapi ini lain masalahnya, Tar. Aku butuh dokter itu pokoknya."
"Klise! Ko kejar karena ko suka. Itu aja susah kali ngomongnya. Mesti berliku-liku dari Sabang sampai Papua!"
Aku mendorong tubuh Attar. Lelaki yang sampai saat ini menjadi pengangguran. Kerjanya hanya menghabiskan harta orang tua. Orang tua Attar termasuk berada di kampung kami. Namun, entah kenapa penampakan sang anak seperti tak terurus dan kurang gizi. Namun, seperti apapun dia, lelaki keriting itu tetap sahabatku.
"Apa ko liat-liat aku terus?" Attar menyadari jika aku terus menatapnya.
"Siapa yang lihat? Ko aja yang kelebihan pede," jawabku sambil membuang muka. Alamak! Aku ketahuan.
"Alah malunya ko. Tapi jangan salah, aku gak mau ko apakan sama dokter itu," ujar Attar tak jelas.
"Bah! Apakan apa?" tanyaku dengan suara keras.
"Ko apakan pulaknya aku nanti sama dia. Apa kalilah kurasa." Dia masih berbelit-belit.
"Yang jelaslah ko ngomong, Bodat!"
***
~~Jika sudah nyaman memanggil dengan nama candaan atau ejekan, saat itu juga kamu sadar kalau dirinya adalah sahabat terbaik untukmu.~~ - Anonim.
Bersambung
Note:
Semalam : dalam bahasa Indonesia yang baik seharusnya disebut "kemarin".
Ko: Sebutan selain "kau".
Cak: Coba
Paok: Payah, nggak keren, bodoh (tinggal masukkan aja nanti artinya sesuai dengan kalimat)
Bodat: Monyet (dalam artian negatif/hinaan) tapi terkadang lebih sering dipakai buat lucu-lucuan saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro