PART 6
"SIAL, SIAL, SIAL! Hancur martabatku sebagai gadis baik-baik. Dicemarinya pulak mataku. Najis tralalala," umpatku emosi. Seharian ini saja sudah berapa kali dokter itu membuat masalah. Aku jadi naik darah. Badannya saja yang besar, tapi isi otaknya nol besar. Setelah kejadian di puskesmas tadi, aku memutuskan untuk pulang. Mood-ku hancur. Rasa kesalku meradang. Dokter sialan!
Aku terus berjalan di bawah terik yang begitu menyengat. Sesekali kuseka keringat yang membasahi dahi. Baju kemeja terasa basah oleh keringat yang juga mengalir di punggung. Jafak ke rumaha zemakin dekat, sebentar lagi akan sampai dan aku pun mempercepat langkah.
"Cepatnya ko pulang. Katanya kerja?" Suara Attar mengagetkanku. Entah dari mana makhluk itu pertama kali muncul. Mungkin saja aku yang tidak memperhatikan karena sibuk memikirkan kejadian tadi.
"Hari ini kita nggak usah ngomong dulu, ya. Aku lagi nggak pas."
"Enggak pas kek mananya?"
"Pokoknya nggak paslah. Jangan ko tanya lagi, cerewet kali pun mulutmu itu."
Tak peduli apa yang dipikirkan oleh Attar, aku langsung meninggalkannya. Sekarang bukan saat yang tepat untuk bercanda, bisa-bisa dia kena imbas dari kekesalanku.
"Woi, ko lagi datang bulan, ya?" teriakan lelaki pemilik mata sipit itu membuat aku benar-benar naik darah. Sudah kubilang jangan ganggu aku untuk hari ini saja, tapi dia mengabaikan. Berarti itu namanya cari-cari penyakit.
Bugh!
Sebuah sepatu hitam mendarat tepat sasaran. Attar kaget dan mengaduh panjang. Lelaki itu memegang jidatnya yang memerah akibat lemparanku.
"Aduh! Sakit woi! Memang sedang nggak pas ko kurasa."
"Udah kubilang jangan ganggu. Tapi macam nggak punya telinga aja ko kutengok."
"Tega kalilah ko. Dir! Saket jidatku ni."
"Hantulah kau. Cepat ko lempar balek sepatuku itu."
Attar melemparkan kembali sepatu milikku. Setelah memakainya aku pun meninggalkan Attar seorang diri. Dokter bulu lebat membuat kebahagiaanku menguap di hari pertamaku bekerja.
***
"Eh, Cewek jadi-jadian udah pulang?" Dewi membuat emosiku mendidih. Namun, lebih baik kutahan, aku tidak mau Ayah mendengar pertengkaran kami. Setelah membuka sepatu, aku bergegas menuju kamar. Merebahkan badan agar kekesalan ini bisa hilang.
"Ko, ya, selalu nikung rezeki orang. Seharusnya aku yang jadi asisten Dokter Adam, bukan ko!"
Lagi-lagi perempuan itu cari-cari masalah. Ia menghadangku di depan pintu kamar.
"Minggir!" seruku tajam.
"Trus sekarang kenapa ko pulang cepat? Dipecat? Syukur, ya. Ko kan memang rusuh, kerja apa pun nggak akan pernah becus. Memalukan!"
Telingaku semakin panas. Jika kuturuti kata hati sekali jentik habislah anak ini. Namun, aku tidak boleh gegabah, Ayah selalu mengingatkanku untuk menjadi orang yang sabar, agar menjadi manusia yang mulia.
"Sekali lagi kubilang MINGGIR!" Ake menekan suara agar Dewi segera pergi.
"Hahaha. Cewek jadi-jadian sok-sokan mau jadi asisten dokter. Makanya kalau bercermin di depan kaca, jangan di kubangan kerbau." Dewi makin menjadi-jadi.
"Bah! Ko pikir mukak bopengmu itu cantik?" Aku mulai terpancing.
"Hahaha, cewek jadi-jadian. Nggak cocoklah jadi asisten dokter. Rawat diri sendiri aja berantakan, apalagi rawat pasien, bisa mati mendadak semua pasien." Dia masih tak mau diam. Agaknya kusumpal mulutnya dengan kaos kaki bekas kupakai pagi tadi.
Dewi membalikkan badan, sepertinya ingin pergi setelah puas menertawaiku. Aku pun bersiap-siap meletakkan sebelah kaki di depan kakinya. Dan sudah terbayangkan bagaimana? Dia tersungkur ke depan mencium lantai. Kakinya tersandung dengan kakiku. Mampus kau!
"Lain kali kalo jalan, pake mata. Jangan bibir aja ko gincukan, itu matamu ko ganti sama mata kerbau. Biar nampak ko lihat dunia!"
Aku segera berlalu dan membanting pintu kamar. Ternyata menjadi orang yang sabar itu tidak mudah Ayah. Sudah kucoba, akan tetapi aku tidak bisa. Jika tidak mengingat Ayah, habislah sudah si Dewi itu tadi. Namun, banyak hal yang harus dipertimbangkan, slaah satunya seperti keinginan Ayah, aku harus menjadi anak baik agar Ayah dan Ibu bangga.
Aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur tanpa melepaskan pakaian yang kukenakan tadi. Emosi yang tidak tersalurkan membuat kepalaku sakit. Ingin sekali aku berteriak agar beban yang kusimpan selama ini sedikit terbang bersama angin. Di umur yang masih muda, berbagai beban hidup telah kulalui. Ibu, seandainya engkau masih di sini, maka akan dengan mudah aku memintamu untuk mendengarkan keluh kesahku. Meminjamkanku bahumu sebagai tempat aku bersandar. Memegang ke dua tanganmu agar aku kuat menghadapi kerasnya hidup. Dari kecil aku tidak merasakan kehangatan pelukanmu, aku tidak pernah mendengar bagaimana lembutnya suaramu. Jika aku diberikan kesempatan untuk meminta, haya satu keinginanku, aku ingin bertemu dan memelukmu sekali saja. Agar lepas semua derita yang kurasa.
Tak terasa air mataku mengalir membasahi bantal. Emosi dan lelah yang amat sangat membuatku terpuruk pada perasaan yang entah. Aku merasa begitu kerdil dan tidak berdaya. Kadang sempat terpikir untuk menghilang, tapi ke mana? Bukan semudah itu juga dan tentu dengan begitu tidak akan menyelesaikan masalah.
Mengharap pada Ayah, setali tiga uang. Melihat ia sakit saja hatiku selalu teriris. Miris sekali Tuhan. Bahkan untuk berobat pun sangat sulit. Ditambah kehadiran dua orang yang begitu menjengkelkan, seakan menambah kesengitan yang kurasa.
Ah, lagi-lagi aku tidak bisa menahan air mata. Jika di luar orang mengira aku adalah gadis pembangkang serta keras kepala, pada dasarnya tidak begitu. Aku suangat lemah, sungguh! Aku harus keras di luar sana, menghadapi dunia yang kejam tidak bisa dengan kelemahlembutan, bisa-bisa kita terkubur karena penindasan.
"Dira! Keluar!"
Saat rasa kantuk mulai menyerang, dari luar kamar malah terdengar teriakan. Itu pasti Ibu. Apa saja yang telah diceritakan anaknya kepada Ibu? Apa seperti yang sudah-sudah, dia selalu mengadu domba?
"Ya, Bu. Ada apa?" tanyaku setelah berada di depan pintu kamar.
"Kau makan gratis, ayahmu juga makan gratis. Semua kebutuhan hidupmu dan ayahmu, aku yang menanggungnya. Seharusnya kalian sadar diri bagaimana harus bersikap. Tau diri apa yang harus dikerjakan. Bukan sekadar ongkang-ongkang kaki, makan tidur-makan tidur."
Tuhan! Apalagi ini? Ke mana arah tujuan pembicaraan ibu tiriku?
"Bu, aku tak pernahlah makan tidur aja. Aku juga cari uangnya. Buat makan kita juga . Memangnya si Dewi, taunya cuma main HP."
"Hajam kali mulutmu sekarang, ya. Sudah punya taring kau, ya?" Ibu semakin emosi mendengar kata-kataku tadi. Ibu, kenapa tidak pernah sekali saja dirimu berbicara dengan baik padaku. Bukan aku tidak mencoba untuk mendekatimu, tapi setiap kali aku berusaha untuk baik, ada saja salahku di matamu. Sedangkan anak kandungmu sendiri--si pemalas itu--selalu Ibu bela. Apa pun salah Dewi seolah Ibu menutup mata, berbeda sekali denganku, Ibu seperti mencari-cari cara agar aku bisa di hukum seberat-beratnya.
Ayah tidak bisa menjadi pembelaku sekarang. Malah dirinya yang setiap hari harus ditolong. Dipapah ke kamar mandi, diangkat dari tempat tidur, dihidangkan makanan, dibantu untuk menyuapkan. Sebenarnya entah apa penyakit yang ia derita. Sudah setahun lebih Ayah sakit tanpa diagnosa dari dokter ahli. Padahal tabungannya ada, hartanya ada. Hanya saja semua surat kepemilikan milik Ayah ada dalam genggaman sang ibu tiri. Saat aku meminta baik-baik, maka amarah wanita itu akan meledak-ledak dan ia akan menyiksa ayah sedemikian rupa. Akhirnya aku memilih untuk diam.
"Jangan samakan kamu sama Dewi. Dia istimewa."
Aku tidak menggubris lagi. Memilih masuk ke kamar serta mengunci pintu. Setelah bertukar baju, aku kembali ke luar. Tujuanku untuk bertemu Attar. Dia satu-satunya tempat aku mengadu sekarang. Sudah sering aku menangis di depannya. Berkeluh kesah melempar segala gulana. Meskipun tampang awut-awutan, akan tetapi ia selalu bisa menjadi pendengar yang baik. Ia mendengarkan dengan hati, sehingga nasehat yang ia beri pun akan masuk ke hati.
"Nah, itu. Kelayapan saja kerja kau. Nggak pulang pun terserah. Nggak ada pun yang cari kau nanti!"
Aku menebalkan telinga dan segera keluar dari rumah. Bagai nereka saja kurasa. Tujuanku adalah menjumpai Attar di rumahnya.
"Woi! Pesek! Mau ke mana?"
Ah! Itu dia. Ternyata mudah sekali mencari anak itu. Aku tersenyum melihat ke arahnya. Eit, tunggu dulu. Pesek? Aku meraba hidungku sendiri. Berkali-kali. Apa karena terlalu banyak beban yang kutanggung membuat hidungku masuk ke dalam beberapa senti?
"Sini! Ngebokom*, yok!" seru Attar dari arah warung langganannya.
"Yok! Tapi ko yang bayar. Anggap aja utangmu karena ko bilang aku pesek! Buta matamu? Aku mancung ko bilang pesek? Saket emang!"
Bersambung
Note:
Bokom: mie instan yang diseduh dengan air panas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro