Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 4

"Attar ... bangun!"

Aku berteriak kegirangan di depan lelaki jangkung yang sedang tidur di bawah pohon mangga milik bapak kepala desa. Dengkurannya menjadi pertanda jika ia tertidur lelap. Aku tak sabar menunggu hingga ia bangun, pun juga kami harus segera pulang. Masak tidur di halaman rumah orang? Di sini jelas terlihat siapa yang pemalas!

"Attar, bangun!" Dasar! Dia masih juga belum bergerak.

"Tolong ... kebakaran, kebakaran!" Aku berteriak tak tanggung-tanggung. Membuat Pak Kades serta Dokter Adam berlari ke luar. Termasuk Attar, ia terbangun sambil melihat kiri-kanan. Kepanikan jelas tergambar di wajahnya.

"Mana ... mana? Attar bangun dari duduknya dan berlari ke arah rumah Pak Kades.

"Apanya? tanyaku setengah berteriak.

"Kebakaran!"

"Udah padam! Kusiram tadi pakek jigongmu. Itu masih tersisa setetes dekat mulutmu! Hahaha!"

Apa yang terjadi setelah itu? Attar mengejarku tanpa ampun. Aku berlari sambil melihat ke belakang. Pak Kades serta Pak Dokter melihat kami sambil geleng-geleng kepala.

"Sampai jumpa besok, Pak Dokter!" seruku sambil ttersenyum. Aku melambaikan tangan ke arah mereka berdua yang masih berdiri melihat ke arah kami.

"Awas kau, Dira! Kutenggelamkan otakmu ke sungai. Biar jadi makanan buaya!" Attar berteriak sambil terus mengejar. Aku terbahak melihat ekspresinya yang kesal. Siapa pula tak kesal, dibangunkan dengan cara seperti itu.

Tak terasa aku berlari hingga sampai ke rumah. Tidak terlihat Attar mengejar di belakang. Sepertinya dia bosan dan memilih pulang untuk melanjutkan mimpi yang sempat terputus akibat ulahku. Ckckck, kasihan. Setelah melepas lelah sebentar di teras rumah, aku pun berencana untuk mengganti baju. Baru kusadari jika suasana rumah begitu lengang tidak seperti biasanya. Ke mana Ibu dan Dewi? Apa Dewi belum pulang setelah dari rumah kepala desa tadi? Ah! Biarlah, sesekali tanpa mereka di rumah jauh lebih baik.

Rumah kayu yang kami tempati sekarang adalah milik Ayah. Dulu sebelum Ibu meninggal, sejak mereka menikah rumah ini telah ditempati. Setelah Ibu meninggal, aku dan Ayah sempat tinggal di rumah nenek untuk sementara waktu. Tak lama setelah itu, Ayah kembali menikah dengan seorang janda beranak satu. Anak tersebut seusia denganku. Aku pikir nantinya akan senang karena mempunyai teman bermain. Pasti seru. Ternyata, cerita hidupku tidak jauh berbeda dengan sinetron-sinetron yang sering tayang di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Nasib tinggal bersama ibu dan saudara tiri tidak akan pernah berubah. Dia hanya mencintai Ayahku saja. Saat itu Ayah masih mempunyai jabatan penting di sebuah PT kelapa sawit yang ada di daerahku. Namun, beberapa tahun kemudian Ayah pun di PHK karena pabrik tersebut gulung tikar.
"Ada uang abang sayang, tak ada uang abang kutendang."

Kalimat itu sangat cocok dengan nasib Ayah. Ibu tiriku tidak mencintai Ayah sepenuhnya. Ada kelicikan yang sedang ia simpan. 99, 99 persen karena materi, hanya tersisa satu persen untuk cinta, entah itu murni atau karatan, yang jelas susah ada ketulusan. Sepintar-pintarnya ia menyimpan bangkai, akan tetapi lama kelamaan akan tercium juga. Aku bisa mengendus kebusukan hati wanita tersebut. Ayah pun sepertinya telah mengetahui, akan teyapi beliau memilih diam sengaja ingin menyembunyikan semuanya dariku. Sehinga dari hari ke hari pun kondisi kesehatan Ayah semakin menurun. Tubuhnya hanya tinggal kulit membungkus tulang. Ayah terlihat lebih tua dari usianya.

Larut dalam pikiran yang sedang berlayar entah ke mana, aku tersadar jika tidak mendengar suara batuk Ayah sejak pulang tadi. Apa Ayah sedang tertidur? Aduh! Perasaan tak enak menyergapi. Aku merasa takut dan segera menuju ke kamar Ayah.

Betapa kagetnya aku melihat Ayah tergeletak di lantai kamar dalam kondisi basah. Sepertinya akibat tumpahan air. Aku juga melihat tempat berisi air putih milik Ayah ikut jatuh dan berada tak jauh darinya.

"Ayah."

Aku merengkuh tubuh ringkih tersebut. Setengah badannya yang bertelanjang dada juga ikut basah.

"Di-ra, to-long A-yah, Nak. Tu-buh A-yah sa-kit se-mua," ujar Ayah terbata.

"Kenapa, Yah? Jatuh Ayah tadi? Mana Ibu? Eggak jaganya Ayah?" Begitu banyak pertanyaan yang kulontarkan. Tak tahan air mataku keluar melihat kondisi Ayah. Perlahan aku membantu Ayah berdiri dan memapahnya ke tempat tidur.

"Maaf, Ayah. Tadi aku ikut tes wawancara. Aku mau dapat duit, biar Ayah bisa berobat." Aku memeluk lelaki itu. Antara lelah dan sakit yang terpancar dari matanya sungguh tidak bisa kubedakan. Lelaki yang dulunya sangat menyayangiku, dan aku yakin rasa sayang itu tetap ada hingga saat ini.

Setelah membaguskan posisinya di atas tempat tidur, aku pun beranjak mengambil air minum di dapur, kemudian sambil memegangi kembali tubuh Ayah, aku memberikannya minum.

"Maafkan Ayah, Dira. Kau susah karena Ayah. Kau putus sekolah dan menjadi seperti ini karena Ayah." Dia tergugu sambil menatapku dalam. Suaranya sudah terdengar lebih baik. Tidak terbata dan bergetar seperti tadi.

Ah, Ayah! Sebenarnya aku tak menyukai situasi seperti ini. Aku tidak mau Ayah melihat air mataku tumpah di depannya. Selama ini aku selalu berusaha ceria agar Ayah ikut tersenyum. Agar ia tidak merasa terbeban dengan kondisiku. Namun, kali ini aku tidak bisa menahan laju air mata yang mendobrak ingin keluar. Perlahan kusapu air mata lelaki yang sangat kucintai itu. Kemudian membersihkan badannyan menggunakan handuk. Setelah selesai aku pun memakaikannya kaos tipis berwarna putih.

"Ayah tak perlu merisaukanku. Aku sudah terlatih, Yah. Aku kuat. Semua orang kulawan kalau nggak pas kurasa."

Kembali aku menghadirkan humor agar Ayah tersenyum, tapi, nampaknya belum berhasil. Wajah lelaki paruh baya itu masih kusut seperti tadi. Ia memandang ke depan, entah apa yang dipikirkan.

"Kau tidak perlu bekerja di puskesmas. Batalkan keinginanmu menjadi asisten dokter itu, Dira. Ada orang lain yang tidak suka."

Apa? Kenapa Ayah bisa tahu jika aku lulus dan akan menjadi asisten Dokter Adam?

"Kenapa Ayah? Ayah tau dari mana aku lulus?"

"Tidak perlu kau tau, Dira. Saran Ayah, batalkan niatmu itu. Dengarkan Ayah, Nak."

"Enggak! Aku sudah capek-capek melengkapi berkas dan ikut wawancara, malah batal. Enggak mau!"

"Kamu akan dicelakai nanti!"

"Siapa? Ayah kasih tau. Biar kutonjok mukaknya."

Ayah tetap tidak memberitahukan siapa orang yang dimaksud. Siapa pula yang mengancam Ayah sehingga membuat ia takut dan kepikiran. Atau itu hanya kekhawatiran Ayah saja? Aku menyelam di sungai Singkil yang terkenal banyak buayanya saja Ayah tidak takut seperti ini. Pernah juga aku kerja serabutan, menjadi buruh harian lepas, menjajakan ikan segar menggunakan sepeda serta pekerjaan berat lainnya, lelaki itu tidak pernah segundah ini. Kenapa kali ini begitu berbeda? Seperti apakah ancaman orang tersebut?

Dalam aku mencari tahu, maka aku akan berpura-pura tidak tahu.

***

"Dira, ke mana ko, woi!" Attar berteriak dari warung kopi milik neneknya.

"Attar! Kemaren ke mana ko?" Aku malak balik bertanya sambil menghampirinya. Kurebut satu bakwan hangat yang ia pegang dan sudah siap masuk ke mulutnya, tanpa merasa bersalah bakwan tersebut segera kudaratkan ke mulutku.

"Biasa kali ko. Pantang liat awak senang." Protes lelaki bemata sipit itu. Sepertinya dia mulai kesal.

"Jangan pelit wee. Sempit kuburanmu nanti!"

"Ngeri kalilah mulutmu, Dir. Jadi mau ke mana pagi buta gini?"

"Ko yang buta, ini udah jam delapan woi. Ko pikir mau ke mana kalau aku rapi kek gini?" Aku balik bertanya.

"Mana kutau. Ko pikir aku dukun bisa baca pikiranmu. Hahaha!" Dasar cowok labil. Tadi emosi, sekarang ketawa. Entah apa yang salah dengan otaknya.

"Mau kerja aku. Kan kemarin aku udah bilang, kalau aku lulus dan jadi asisten dokter tampan," jawabku sambil tersenyum senang. Tak lupa membayangkan sedikit bagaimana nanti akan melalui hari pertamaku dengan sang dokter. Sedikit saja, tak banyak. Takut awak sesak napas lagi.

"Oo, okelah. Kerjalah ko. O,ya, aku sebagai sahabat ko satu-satunya mau ingatin dirimu. Kalau kerja selalu ikuti kata hatimu, tapi jangan lupa bawa juga otakmu. Biar gak apa kali ko nanti! Paham?"

Attar tertawa sangat kencang hingga bakwan yang sedang ia kunyah beterbangan dari mulutnya. Semakin aku memperhatikannya, ia makin tidak bisa berhenti tertawa. Lucu kali lah dia pikir. Kali ini tangannya berpindah ke perut, sambil memegang perut dengan ke dua tangannya lekaki itu masih terbahak. Tak sadar dia, semakin kencang dia tertawa maka makin hilang mata sama hidungnya.

"Woi! Saket! Janganlah kuat kali ko ketawa, ingat juga mata sama hidungmu itu, hilang tak berbentuk. Tenggelam bersama pipimu. Alamak oi!

Attar berhenti seketika. Saat dia sadar, aku telah berlari jauh dari warung tempat ia menikmati paginya.

"Ko tunggu aja, Dir! Kututup akses jalan ke rumahmu."

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro