PART 3
Aku bergegas menuju rumah Attar. Mengajaknya menemaniku untuk melengkapi berkas formulir pendaftaran. Hanya KTP dan KK saja yang diminta. Serta pas foto dengan ukuran 3x4 sebanyak dua lembar. Kemudian berkas yang telah dimasukkan ke dalam map itu harus segera diantarkan ke rumah kepala desa. Mereka memberikan waktu hanya satu hari, dan besok lusanya Adam dan asisten pribadi yang terpilih sudah mulai bekerja.
Sebelum berangkat dari rumah pagi tadi, aku melihat Dewi juga sedang sibuk melengkapi berkas bersama Ibu. Mereka mengerjakannya berdua. Ibu malah membantu memasukkan semua berkas milik Dewi ke dalam map berwarna biru.
"Kau dengar, Dira. Kali ini janganlah kau bikin onar lagi. Sudah cukup panas kali kuping mamak mendengar aduan para tetangga. Anak perempuan, kok, aneh. Lihat Dewi, meskipun usia kalian sebaya, Dewi malah jauh lebih bijak dibanding kau!" Kalimat yang diucapkan Ibu menusuk ke relung hatiku. Menjadi pikiran yang seharusnya kuabaikan, akan tetapi terus saja terngiang tak bisa terelakkan. Ah! Menyebalkan.
Sebelum pergi kusempatkan diri untuk menyalami Ayah. Lelaki itu terbaring lemah di pembaringan. Batuknya terus saja terdengar, kadang hingga seharian tidak reda. Terkadang Ibu tidak lagi memedulikannya. Kasihan benar Ayahku, sudah tua, sakit-sakitan, dapat istri tak perhatian. Bukan aku tidak mau mengurus Ayah, akan tetapi ibu tiriku memberi jarak antara aku dengan lelaki yang kucintai itu.
"Tar, sehat hari ini?" teriakku di depan rumah Attar.
Sepi. Tidak terdengar jawaban dari dalam.
"Tar! Attar! Manalah kau?"
"Sstt! Ke rumah orang itu pakek salam, bukan pake jidat! Ko pikir ini rumahmu, capek kali lah mulutku bikin ko pintar." Tampak lelaki itu muncul di depan pintu.
"Attar! Aku kerumahmu itu aku pakek kaki, mana pulak pakek salam!" Aku membela diri.
Attar tidak menghiraukan pembelaanku. Ia membalikkan badan ingin masuk kembali ke dalam.
"Boy, aku mau ke rumah Pak Kades antar berkas. Mau ikut kawanin apa enggak?"
"Duluan ajalah. Ada yang sedang menantiku di kamar. Semalaman dia kawanin aku tidur, nggak mungkinlah kutinggalin dia demi ko," ujar Attar serius.
"Hah?" Aku kaget tak percaya. Siapa pula gerangan yang temani dia tadi malam.
"Kenapa? Mau tau?" tanyanya dengan wajah yang dibuat-buat.
Aku menganggukkan kepala dengan cepat, tapi Attar malah berlalu begitu saja. Kain sarung yang digunakan sebagai selimut menutupi sebagian tubuhnya. Lelaki kriwil itu meninggalkanku dengan rasa penasaran yang masih tersisa. Tidak biasanya Attar menolak ajakanku. Mungkin saja dia benar, seseorang itu lebih penting untuk dia saat ini. Tapi siapa? Ah, Baiklah! Aku harus berusaha sendiri. Lupakan Attar!
"Woi, Pesek. Tunggu! Sensitif kali kutengok. Datang bulan?"
Attar tiba-tiba muncul di belakang saat aku sedang membuka pintu pagar rumahnya.
"Ee, Bodat! Macam hantulah kau!" umpatku kesal sambil merabai hidung.
***
Setiba di rumah kepala desa, kulihat ada antrian yang lumayan panjang menghiasi teras rumah kayu tersebut. Mereka terdiri dari beberapa orang perempuan serta laki-laki dengan usia sekitar dua puluh tahun ke atas, sebaya denganku. Di antrian nomor empat, tampak Dewi sedang memeluk mapnya. Ia terlihat rapi mengenakan baju kemeja berwarna biru. Rambutnya dibiarkan tergerai menyentuh bahu. Melihat dirinya, aku pun menurunkan pandangan melihat penampilanku sendiri. Tidak ada yang salah. Aku mengenakan baju kemeja dipadukan dengan celana jeans kumal layaknya preman. Rambut lurus panjang milikku sengaja kuikatkan keatas. Dengan menggulungnya membuat aku bebas bergerak. Sejak lama ingin kupendekkan rambutku, tetapi Ayah selalu melarang, katanya aku lebih cantik jika berambut panjang. Namun, sama saja, rambut panjang itu tidak pernah kugeraikan. Gerah kurasa.
Menurutku Dewi memang lebih cantik. Ia sangat pintar merawat diri. Pun sang Ibu selalu menyediakan rupiah untuk putri kandungnya itu. Berbeda denganku, dikasih makan saja sudah bersyukur, jadi jangan pernah berharap lebih untuk mendapatkan perhatian darinya. Sedangkan untuk keperluanku, aku harus banting tulang memenuhinya sendiri. Bukan mudah, aku bekerja serabutan untuk meraih apa yang kuinginkan. Mau beli baju baru, artinya kerja dulu sebelum mendapatkannya. Gengsi? Tentu saja tidak. Jika hidup dibatasi dengan gengsi, maka ketidaksuksesan akan menanti. Untuk kami makan sehari-hari, aku tidak tahu Ibu dapat duit dari mana, yang kutahu, bulan lalu dia kembali menjual tanah milik Ayah.
"Semua yang sudah hadir di sini, tolong kumpulkan berkas kalian di atas meja. Kalian semua bisa duduk di mana suka, tapi jangan jauh-jauh dari rumah ini. Karena untuk selanjutnya akan ada sesi wawancara."
"Huuu!" Serentak mereka menyoraki bapak kepala desa. Tidak menunggu lama, barisan pun bubar dengan sempurna.
"Dir, pulang ajalah kita. Macam mau ikot pemilihan caleg aja pake wawancara segala. Sekalian suruh hapal surat-surat pendek sama doa sehari-hari." Attar menggerutu kesal.
Aku terbahak melihat tingkah sahabatku yang satu itu. Jika bicara selalu ada benarnya.
"Sekalian kubacakan ayat untuk mengruqyah biar setan-setan hilang semua. Hahaha" Aku tak henti tertawa.
"Sukak hati kaulah. Apa gunanya aku di sini, pulang duluan aku, ya." Attar sudah berdiri dari duduknya. Sepertinya ia serius mau pulang.
"Apa kubilang. Belum pun kubacakan, eh, setannya udah mau pergi aja, hahaha."
Lelaki berwajah petak itu memandangiku. Kemudian mencopot sebelah sandalnya dan melemparkan ke arahku.
"Hajab kali bah jadi kawanmu!" Attar bangun dari duduknya dan berpindah mencari tempat yang lain. Ia mencari tempat yang pas, sepertinya lelaki itu ingin menyambung mimpinya yang sempat terputus karena kedatanganku ke rumahnya pagi tadi.
Waktu terus berjalan, akhirnya tiba giliranku untuk diwawancara. Setelah Pak Kades memanggilku, aku pun masuk ke dalam dengan rasa percaya diri yang tinggi. Dewi kaget melihat kehadiranku di sana. Ia mencemoohku dengan tatapan sinis miliknya.
"Tak usah kau besar-besarkan matamu itu, Lembu!" serangku sebelum masuk ke dalam.
***
"Jadi namamu Indira?" tanya Adam memulai wawancara. Tadinya ia sempat kaget melihat kedatanganku. Mungkin saja masih kesal dengan kejadian ludah kemarin di puskesmas.
"Ya, Dok! Namaku Indira."
"Jadi apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa bersedia melamar menjadi asisten pribadi saya?"
"Duit, Pak Dokter. Capek tiap hari nyelam cari lokan di sungai. Sampek gosong dan kasar kulitku macam kulit buaya."
"Oh, selain duit?"
"Tidak ada."
Aku berbohong. Padahal Ayah adalah tujuan utamaku. Mengobati beliau sampai sembuh. Namun, hal itu tidak boleh terbongkar terlebih dahulu, aku takut jika Ibu akan menentangnya. Dokter Adam mengangguk-anggukan kepalanya. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh dokter tampan tersebut.
"Jika kamu diterima, berapa persen saya harus percaya kalau kamu tidak akan membuat onar?"
Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Dia memang masih trauma ternyata.
"Aku janji, Pak, baek-baeknya aku kerja nanti. Dari pada harus berjuang hidup di sarang buaya air, bagusan juga menghadapi buaya darat."
"Maksud kamu?"
"Tak ada, Pak." Aku cengar-cengir merasa geli sendiri.
Tatapan tajamnya kembali diperlihatkan. Lama-lama minta dipeluk itu dokter kurasa.
Setelah selesai, aku pun diminta untuk keluar karena mereka ingin memilih siapa yang layak untuk diajak bekerja sama. Tak sampai dua puluh menit, Pak Kades muncul lagi di depan pintu rumahnya untuk mengumumkan siapa yang terpilih. Aku yakin, pasti setiap yang hadir di sana akan merasa deg-degan. Mereka pasti berharap untuk lulus harapan yang sama seperti aku.
"Setelah dipertimbangkan, akhirnya Dokter Adam memilih Indira sebagai asisten pribadinya."
Mendengar kalimat Pak Kades, aku tersedak saat sedang menelan air liur. Apa benar dokter itu memilihku?
"Indira, masuk!" Perintah Pak Kades
Dengan perasaan gembira aku berlari kembali ke dalam ruangan tempat aku tadi diwawancara. Kucari wajah Dewi. Ternyata dia sedang kesal sambil memperlihatkan kepalan tinju ke arahku. Aku tak peduli.
"Selamat, ya." Setiba aku di dalam dan duduk di hadapan sang dokter, ia mengulurkan tangannya padaku. Debaran itu kembali terasa. Aku kaku tidak bisa berkata-kata. Aku merasakan jika telapak tanganku sangat dingin, sedangkan badan terasa hangat.
"Kalau boleh tau, apa dokter tidak salah pilih?"
Dia kaget mendengar pertanyaan yang kulontarkan.
"Tidak. Selain menjadi asisten saya di puskesmas, saya juga butuh orang yang bisa membantu untuk mengetahui tentang desa ini lebih jauh. Saya ingin tau semua mengenai desa ini. Menurut saya, setelah menimbang dengan bapak kepala desa, kamu adalah orang yang tepat. Atau kamu keberatan? Saya bisa membatalkan jika memang tidak setuju."
"Oh, enggak, Pak. Pak Dokter itulah dia, sensitif kali. Kutanya ajanya tadi, bukannya aku bilang enggak mau."
Dia tersenyum melihat tingkahku. Tak tahu seperti apa sudah warna pipiku sekarang. Entah nampak seperti tomat busuk, karena aku merasakan hawa panas di sekitar wajah dan seketika itu pula hawa itu menjalar ke hati. Cenat-cenut kembali hadir menggelitiki.
"Dokter, aku nggak bisa bernapas," ujarku dengan susah payah. Melihat senyumnya membuat aku lupa bagaimana cara bernapas dengan benar.
"Kamu sesak napas? Di sini tidak ada tabung oksigen"
"Kalau nggak ada tabung oksigen, pake tabung gas aja pun boleh, Pak. Tapi yang 3 kilo aja, jangan yang 12 kilo."
"Kenapa?"
"Berat!"
***
Ayah, lihat! Aku telah memperoleh pekerjaan tetap. Tunggu sebentar lagi, aku akan membawamu berobat. Bertahanlah.
Selama ini, orang melihatku hanya seorang gadis ceroboh pembuat sial. Apakah mereka tahu isi hati serta apa yang sedang kupikirkan? Menunjuk itu memang mudah, sadarkah kita jika satu jari yang dilemparkan ke orang, maka empat jari lainnya sedang mengarah kepada kita.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro